I Love You Mr. Egois: Cinta yang Tumbuh di Antara Dua Ego

Posted on

Pernah nggak sih, ketemu sama orang yang punya ego besar tapi bikin kamu nggak bisa berhenti mikirin dia? Ini dia ceritanya tentang seorang perempuan yang berhadapan dengan pria super egois, Aryandra. Sifatnya yang selalu ingin menang sendiri ternyata malah menyimpan sisi lain yang menarik.

Di tengah ketegangan dan perbedaan mereka, tumbuh sesuatu yang tak terduga: cinta. Kisah ini penuh dengan pertarungan ego, tawa, drama, dan tentu saja, cinta yang nggak selalu berjalan mulus. Siap-siap deh, buat melihat bagaimana dua orang dengan ego besar akhirnya saling menemukan satu sama lain!

 

I Love You Mr. Egois

Tuan Egois dan Asistennya yang Tak Pernah Menyerah

Pagi itu, aku merasa seperti baru bangun dari tidur panjang yang nyenyak, meskipun jam sudah menunjukkan pukul delapan. Aku melangkah masuk ke kantor, menatap gedung tinggi yang sudah memantulkan sinar matahari pagi. Aroma kopi dari mesin kopi otomatis di sudut ruangan menyambutku, mengingatkanku akan hal-hal yang lebih penting, seperti pekerjaan yang belum selesai.

Tapi, sebelum aku bisa menikmati secangkir kopi hangat, mataku sudah menangkap sosoknya. Aryandra, bosku yang tak pernah berhenti menarik perhatian. Duduk dengan sangat santai di meja kerjanya, matanya fokus pada laptop, dan tangan kanannya—selalu memegang secangkir kopi. Tidak banyak orang yang bisa terlihat seperti itu, seperti laki-laki yang sudah menang dalam hidup hanya dengan duduk dan menyeruput kopi.

“Zhavina, laporan yang aku minta selesai jam sepuluh. Jangan buat aku kecewa,” ujarnya tanpa menoleh sedikit pun. Suara itu dingin, seperti selalu, penuh ketegasan.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tugas itu baru saja kuterima semalam, dan sekarang dia memberi tenggat waktu yang hampir tak masuk akal. Tapi, ya, aku sudah terbiasa. Ini adalah bagian dari pekerjaan sebagai asisten pribadi di bawah tangan seorang yang selalu merasa dirinya lebih pintar dari orang lain.

“Tenang saja, Tuan Egois. Saya tahu harus bagaimana,” jawabku, sambil duduk di meja kerja. Aku membuka laptop dan mulai mengetik dengan cepat. Namun, meskipun aku sudah berusaha untuk tenang, kata-kata itu tetap keluar, “Kenapa nggak bisa santai sedikit sih? Ini baru hari Senin, bukan hari terakhir hidup kita.”

Aryandra tersenyum kecil, tanpa mengangkat pandangannya. “Santai? Aku nggak percaya pada kata itu, Zhavina. Waktu itu musuh terbesar kita. Kalau kamu nggak bisa mengejar waktu, kamu akan kalah.”

Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Kamu tahu nggak sih, kalau kamu itu seperti mesin? Cuma kerja, kerja, dan kerja. Pantas aja nggak ada yang berani deketin kamu,” ejekku.

Aryandra akhirnya menoleh ke arahku, matanya menyipit dengan tatapan tajam. “Itu bukan urusanmu, kan?” jawabnya singkat, kembali fokus pada layar laptopnya.

Aku mendengus, merasa sedikit kesal. Tapi aku tahu, semakin aku meladeni Aryandra, semakin dia senang. Aku ingin berteriak, tapi aku lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah menumpuk.

Sampai akhirnya, dia berdiri dari kursinya dan melangkah ke meja kerjaku, mengintip layar laptopku yang penuh dengan angka dan grafik yang aku tahu akan membuatnya lebih banyak berkomentar.

“Zhavina,” suaranya kali ini agak lebih lembut dari biasanya. “Kamu kenapa? Kamu biasanya lebih cepat.”

Aku meliriknya dengan tatapan kesal. “Ya, karena kamu baru saja kasih saya revisi lagi yang harus selesai dalam waktu dua jam, kan?”

“Dan itu masalahnya?” Dia memiringkan kepalanya, ekspresinya tak berubah. Masih seperti seseorang yang merasa berada di atas angin.

Aku menyerahkan tangan, merasa seperti menyerah pada keadaan. “Kamu tuh nggak ngerti, ya? Kadang aku merasa aku bukan asisten, tapi robot yang disuruh terus kerja tanpa ada waktu buat istirahat.”

Dia hanya mengangkat bahu, tidak terpengaruh oleh keluhanku. “Kalau kamu mau istirahat, aku nggak masalah. Tapi aku nggak suka pekerjaan yang setengah-setengah. Jadi, kamu pilih—kerja atau istirahat?”

Aku mengatupkan bibir, menahan agar tidak mengatakan hal-hal yang lebih buruk. Pekerjaan di bawah bos seperti ini memang membuatku merasa terjebak. Tidak ada waktu untuk protes, tidak ada ruang untuk mengeluh. Semuanya serba mendesak, dan Aryandra selalu ada di sana, memberikan perintah dengan sikap dinginnya yang mematikan.

Dengan perasaan kesal, aku kembali mengetik di keyboard, berusaha menuntaskan pekerjaan meski itu terasa mustahil.

Namun, tak lama kemudian, dia berjalan ke arahku dengan langkah yang lebih santai. “Kamu lupa makan siang?” tanyanya sambil duduk di kursi sebelah meja kerjaku.

Aku sedikit terkejut. “Aku nggak lupa, cuma… nggak sempat. Lagian, kerjaan ini lebih penting.”

Aryandra menatapku sejenak, lalu mengangkat bahu. “Aku pesan makanan buat kamu. Cepat habiskan, jangan bilang nggak lapar.”

Aku ingin berdebat, tapi melihat wajahnya yang begitu serius, aku malah tertawa kecil. “Terima kasih, Tuan. Tapi ini nggak akan membuatmu lebih baik, kan?”

Dia tersenyum dengan penuh kemenangan. “Kamu memang nggak bisa menghargai perhatian, ya?”

Aku menatapnya, bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba melunak. Aryandra selalu seperti ini—berubah-ubah, egois, tapi ada momen-momen di mana dia memperhatikan hal-hal kecil, seperti kali ini. Aku tak tahu apakah dia melakukannya karena benar-benar peduli atau sekadar ingin menunjukkan siapa yang memegang kendali.

“Kenapa sih kamu selalu suka bikin aku bingung?” ujarku, jengah.

Dia hanya menyeringai dan kembali duduk di kursinya, menatap layar laptopnya. “Kamu kebanyakan mikir, Zhavina. Selesaikan kerjaan, baru kamu boleh mikir.”

Dan saat itu, aku tahu, hari-hariku akan terus dipenuhi dengan perintah-perintah yang mengganggu, pertengkaran kecil yang lucu, dan… mungkin sedikit perhatian yang tak pernah aku harapkan dari seorang Tuan Egois.

 

Perang Kata di Tengah Deadline

Hari-hari berikutnya tak banyak berubah. Aryandra tetap dengan sikapnya yang dingin, selalu mengatur segalanya dengan detail yang luar biasa—bahkan dalam hal-hal kecil yang menurutku nggak penting. Tapi, aku sudah terbiasa. Kalau aku ingin tetap bertahan di pekerjaan ini, aku harus pintar-pintar menghadapinya, meski kadang rasanya aku ingin menyerah dan mencari pekerjaan lain yang lebih… manusiawi.

Pagi itu, aku sudah mempersiapkan laporan yang diminta dengan sebaik mungkin. Tapi, seperti biasa, Aryandra muncul tiba-tiba dan langsung memberi komentar pedas.

“Zhavina,” katanya sambil menatap layar laptopnya, tanpa menoleh ke arahku. “Kenapa kamu masih pakai format itu? Itu udah kuno banget.”

Aku menatapnya dengan tatapan bingung, memeriksa laporan yang sudah kuminum darahnya untuk menyelesaikan. “Apa yang salah dengan format ini? Saya nggak melihat ada yang salah.”

Aryandra mengangkat alis, menyandarkan punggungnya ke kursi, dan akhirnya menatapku. “Zhavina, itu bukan masalah kamu. Aku tahu apa yang aku mau, dan aku nggak mau ada yang mencuri waktuku hanya karena laporan yang nggak rapi.”

Aku meremas kertas laporan itu, berusaha menahan emosi. “Aku sudah bekerja keras, Aryandra. Dan jangan salah, aku bisa lebih baik daripada itu, tapi kamu selalu saja…”

“Selalu apa?” tanyanya, suara rendah, penuh tantangan.

Aku mengatur napas. “Selalu bikin aku merasa nggak pernah cukup. Apa lagi yang kamu mau dari aku?”

Aryandra menatapku lebih lama dari biasanya, seolah mencari-cari sesuatu di mataku yang aku sendiri nggak tahu apa. “Aku nggak bilang kamu nggak cukup. Aku cuma bilang kalau kamu bisa lebih baik, kenapa harus setengah-setengah?”

Aku mendengus. “Setengah-setengah? Aku nggak setengah-setengah, cuma aku nggak selalu sepakat dengan cara kamu yang super perfeksionis itu.”

Dia tertawa pelan. “Zhavina, kamu nggak ngerti. Kadang, kamu harus jadi lebih keras. Pekerjaan ini nggak bisa dilakukan dengan santai.”

Aku merasa seperti hendak meledak. “Keras? Kamu memang egois, tahu nggak sih? Apa semua orang di sekitar kamu harus ikut dengan cara kamu yang keras itu? Aku tahu kamu bos, tapi nggak perlu selalu menganggap orang lain nggak bisa apa-apa.”

Ada jeda panjang setelah kata-kataku itu. Aryandra terdiam sejenak, menatapku dengan mata yang lebih serius. “Aku nggak bilang mereka nggak bisa. Aku cuma ingin mereka berusaha lebih. Kalau kamu nggak berusaha lebih, gimana bisa maju?”

Aku menyandarkan tubuhku ke kursi, mulai merasa sedikit lelah dengan argumen tanpa ujung ini. “Aku udah berusaha, Aryandra. Kamu pikir aku nggak capek?”

Dia tersenyum tipis, menyendok sepotong kue yang sudah lama tergeletak di meja. “Kamu yang pilih kerja di sini, Zhavina. Kalau kamu nggak bisa ikutin ritme ini, ya… mungkin ini bukan tempatmu.”

Aku menatapnya, perasaan seakan dipukul keras. Aku tahu, kalimat itu seperti sebuah peringatan, tapi anehnya, aku malah merasa lebih tertantang. Ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa menerima begitu saja. Sebagai asisten, aku harus kuat, aku harus bisa menghadapi semua perintahnya. Meski Aryandra begitu egois dan keras kepala, ada saat-saat tertentu di mana aku merasa dia membutuhkan orang di sekitarnya lebih dari yang dia tunjukkan.

Aku mengubah topik, berusaha menyelamatkan diri dari perasaan kesal yang semakin memuncak. “Ya udah deh, laporan itu nanti akan aku revisi, oke? Tapi jangan lupa, aku punya waktu juga untuk istirahat.”

Aryandra melemparkan pandangan sinis ke arahku, seakan menganggap aku sekadar menghindar dari kenyataan. “Istirahat itu kamu atur sendiri, Zhavina. Kalau aku sih, nggak punya waktu buat itu.”

Sambil menahan amarah yang tersisa, aku berkata, “Kalau kamu terus-terusan kayak gitu, lama-lama semua orang di sini bakal jauh dari kamu, tahu nggak?”

Dia hanya menyeringai. “Itu bukan urusanmu. Aku bisa mengatur diriku sendiri.”

Aku terkekeh pelan. “Mungkin kamu bisa. Tapi orang lain nggak bisa. Jangan harap semua orang bisa selalu mengikuti ritme gila kamu.”

Aryandra berhenti sejenak, lalu tertawa ringan. “Ya, mungkin. Tapi aku nggak peduli. Yang penting aku selesaikan pekerjaanku dengan cara yang aku tahu.”

Aku membuang napas panjang. Sial, dia benar-benar nggak berubah.

Hari itu berlanjut dengan segala kegilaan deadline dan revisi yang terus datang. Setiap kali aku merasa selesai, Aryandra selalu punya cara untuk menambah tekanan. Di tengah suasana yang penuh ketegangan itu, aku pun mulai memahami satu hal: meskipun dia sangat egois dan selalu ingin menang sendiri, ada sisi lain dari dirinya yang tak banyak orang tahu.

Aku masih nggak tahu apakah aku bisa bertahan di sini lebih lama atau tidak. Tapi satu hal yang jelas—aku nggak akan menyerah begitu saja. Aku akan berusaha lebih keras, bukan karena dia, tapi karena diriku sendiri. Aryandra boleh saja berpikir aku nggak bisa, tapi aku akan tunjukkan kalau aku lebih dari sekadar asisten yang terus mengikuti perintahnya.

 

Ketegangan yang Tak Terungkap

Hari-hari terus berlalu, dan aku semakin terbiasa dengan suasana yang tegang di kantor. Aryandra masih dengan caranya yang dingin, mengatur setiap detil pekerjaan dengan sempurna—atau lebih tepatnya, dengan cara yang hampir menguras habis tenaga semua orang. Terkadang, aku merasa seakan berada di medan perang, dan Aryandra adalah komandan yang tak kenal ampun. Namun, ada saat-saat ketika tatapannya berubah, ketika ekspresi wajahnya seketika lembut dan canggung, seolah dia tak tahu bagaimana harus bersikap.

Pagi itu, aku duduk di meja kerja, menatap layar laptop dengan lesu. Deadline datang begitu cepat, dan semua pekerjaan terasa seperti tumpukan batu yang semakin menekan punggungku. Seperti biasa, Aryandra muncul tiba-tiba di samping meja.

“Zhavina,” katanya, suara datar seperti biasanya. “Kamu sudah kirim laporan ke klien?”

Aku menoleh ke arahnya, sedikit terkejut. “Belum. Saya masih nunggu beberapa data dari tim marketing.” Aku merasa perlu menjelaskan lebih panjang, tapi sebelum aku sempat melanjutkan, dia sudah mencuri perhatianku dengan ekspresi seriusnya.

“Seharusnya kamu sudah bisa lebih cepat. Jangan selalu ada alasan. Deadline itu nggak bisa ditunda.”

Aku merasakan sedikit geli di dalam diri, namun berusaha menahan diri agar tidak langsung melawan. “Aku tahu, Aryandra. Tapi data itu belum lengkap. Kalau dipaksakan, malah bisa bikin masalah.”

Dia menghela napas, berjalan mondar-mandir di depan meja kerjaku. “Kamu selalu punya alasan. Aku ingin kamu lebih gesit.”

Aku merasa seperti ada jarum yang menancap perlahan di dadaku. “Gesit bukan berarti asal cepat, Aryandra. Kalau mau hasil yang maksimal, kita butuh waktu. Aku bukan mesin.”

Aryandra berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan tajam. “Aku tahu kamu bukan mesin, Zhavina. Tapi aku nggak mau ada pekerjaan yang keteteran karena kamu santai. Itu aja.”

Aku menunduk, mencoba menenangkan diri. “Aku nggak santai, Aryandra. Aku cuma nggak mau hasil yang asal-asalan.”

Suasana hening sejenak. Aku bisa merasakan ketegangan yang begitu kental, seperti ada sesuatu yang tak terucapkan. Aryandra mendekat, berdiri di sampingku, dan matanya masih menatap layar laptopku. Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat, seakan suasana ini akan berubah menjadi sesuatu yang lebih besar.

“Kamu tahu nggak, Zhavina?” Aryandra akhirnya membuka mulut setelah beberapa detik penuh hening. “Kadang aku merasa kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku sedikit tenang. Meski aku nggak bisa pamer itu ke orang lain.”

Aku menoleh dengan cepat, kebingunganku memuncak. “Apa?”

Dia memutar kursi yang ada di dekat meja kerjaku, duduk sambil menatapku dengan ekspresi yang tak biasanya—sedikit lebih lembut, meski masih ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. “Kamu, dengan segala keribetanmu dan sikapmu yang kadang nggak sejalan dengan aku, tetap bisa bikin aku merasa… sedikit lebih baik. Aku nggak tahu kenapa.”

Aku tertawa pelan, merasa canggung. “Jadi, kamu merasa nyaman dengan cara aku yang nggak sempurna ini?”

Aryandra menatapku dengan serius. “Lebih nyaman daripada yang kamu kira.”

Aku terdiam, bingung dengan perasaanku sendiri. Selama ini aku selalu menganggap Aryandra sebagai orang yang super egois, orang yang hanya peduli dengan dirinya sendiri dan pekerjaannya. Tapi di saat-saat tertentu, aku mulai merasa ada sisi lain dari dirinya yang belum aku temui—sisi yang tak banyak orang lihat.

Namun, ketegangan masih terasa di udara, dan aku tahu kalau Aryandra bukan tipe orang yang mudah mengungkapkan perasaannya dengan jelas. Ada semacam pembatas antara kami yang sulit dijelaskan, dan itu membuatku ragu—apakah semua ini hanya sebuah permainan egois darinya? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam?

“Aryandra, kamu itu memang rumit,” kataku, sedikit kesal tapi juga geli. “Pengen punya semuanya sempurna, tapi di sisi lain, kamu kadang nggak tahu apa yang kamu inginkan.”

Dia tersenyum tipis. “Itulah aku, Zhavina. Aku nggak pernah bisa puas dengan apa yang ada.”

“Apa itu berarti kamu nggak puas dengan diriku?” aku bertanya dengan hati yang sedikit gelisah, meski berusaha menjaga ekspresi tetap tenang.

Aryandra tertawa pelan. “Kamu ini, Zhavina. Aku cuma nggak bisa lihat orang lain duduk diam dan nggak berusaha lebih. Tapi kamu, entah kenapa, bikin aku sadar kalau nggak semua hal bisa dikejar dengan keras.”

Aku merasa kalimat itu membekas. Ada sesuatu yang lebih dalam dalam perkataannya, dan aku merasa dia bukan hanya berbicara tentang pekerjaan saja. Sesuatu yang lebih pribadi, mungkin.

“Tapi, nggak apa-apa kan, kalau aku tetap jadi diri aku?” aku bertanya, ingin memastikan.

Dia mengangguk dengan lembut, meskipun masih ada sisa-sisa ketegangan di matanya. “Tentu. Kamu nggak perlu jadi seperti aku untuk bisa berhasil. Tapi, kamu juga harus berusaha lebih. Kamu bisa lebih dari yang kamu kira.”

Aku mengangguk pelan, merasakan ada beban yang sedikit menghilang. Mungkin, hanya mungkin, dia mulai melihat aku lebih dari sekadar asisten yang selalu mengeluh. Tapi di saat yang sama, aku tahu ada banyak hal yang harus kutempuh untuk bisa benar-benar memahami siapa Aryandra yang sebenarnya.

 

Di Balik Ego yang Mengikat

Hari itu terasa berbeda. Setelah bertahan dengan ketegangan yang terus berkembang di antara aku dan Aryandra, ada sesuatu yang terasa lebih ringan. Mungkin karena kami sudah mulai berani membuka sedikit sisi lain dari diri kami yang sebelumnya tertutup rapat. Tapi tetap, meski ada perubahan kecil dalam dinamika kami, aku tahu satu hal: hubungan kami masih rumit dan penuh teka-teki.

Pagi itu, aku duduk di meja kerja, menatap laptop dengan mata yang mulai lelah. Deadline hampir habis, dan aku masih sibuk menyelesaikan laporan yang entah kenapa selalu tertunda. Aryandra memasuki ruangan dengan langkah cepat, dan aku tahu, dengan kehadirannya yang tiba-tiba, dia pasti membawa sesuatu yang besar.

“Zhavina,” katanya dengan nada yang tak biasa. Kali ini, tidak ada kekakuan dalam suaranya, justru ada sedikit kekhawatiran. “Kamu baik-baik saja?”

Aku menatapnya sebentar, mengernyitkan dahi. “Tentu. Kenapa?”

Dia memajukan langkahnya sedikit lebih dekat. “Kamu terlihat seperti kelelahan, dan aku tahu kamu udah kerja keras untuk menyelesaikan laporan itu. Jangan terlalu dipaksain.”

Aku tersenyum tipis, merasa terkejut dengan perhatian yang dia tunjukkan. “Aku baik-baik aja kok, Aryandra. Kamu nggak perlu khawatir.”

Tapi dia tetap bertahan di sampingku, seolah ragu untuk pergi. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya kali ini—sesuatu yang membuat hatiku berdebar tak menentu. Apakah ini berarti dia mulai peduli lebih dari sekadar urusan pekerjaan?

“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” katanya pelan, menatapku dengan intens. “Aku tahu aku sering keras dan selalu ingin semuanya sempurna, tapi itu nggak selalu baik. Kamu juga punya batasan.”

Aku bisa merasakan ada kedalaman yang tersirat dalam kata-katanya. Dia, yang selalu tampak tak peduli dengan orang lain, sekarang berbicara dengan cara yang tak pernah aku duga. Aku menunduk, merasa sedikit tersentuh. “Aku tahu, Aryandra. Tapi aku nggak bisa seenaknya aja. Aku mau kerja keras supaya nggak ada yang kecewa.”

Aryandra terdiam beberapa detik, lalu menarik napas dalam. “Aku nggak pernah berharap kamu jadi sempurna, Zhavina. Aku cuma ingin kamu bisa lebih menghargai diri sendiri.”

Aku menatapnya, agak bingung dengan perasaanku sendiri. Terkadang dia tampak seperti seseorang yang sangat dingin dan egois, tapi saat-saat seperti ini, dia menunjukkan sisi lain yang lebih manusiawi. Ada sesuatu yang sangat sulit aku ungkapkan, sesuatu yang membuatku merasa tersentuh meski dia tak pernah benar-benar mengatakannya.

“Terima kasih, Aryandra,” kataku pelan, dan dia tersenyum, meski senyum itu cepat memudar.

“Aku nggak butuh ucapan terima kasih dari kamu, Zhavina,” jawabnya, dengan nada yang sedikit geli. “Cuma, ingat itu, oke?”

Aku hanya mengangguk, merasa ada banyak hal yang masih perlu aku pelajari tentang dia. Meski begitu, aku tahu bahwa kami berdua, meskipun berbeda, mulai menemukan pemahaman yang lebih dalam. Ego kami yang sering bertubrukan kini mulai mencair sedikit demi sedikit.

Hari-hari setelahnya terasa lebih ringan. Aryandra tetap dengan caranya yang tidak bisa lepas dari perfeksionisme, tapi ada jeda yang lebih banyak, ruang yang lebih lebar untuk saling mengerti. Dan meskipun masih banyak hal yang tak bisa diungkapkan, aku merasa ada kemajuan—kami berdua semakin bisa menerima perbedaan kami.

Beberapa hari kemudian, saat laporan terakhir sudah aku serahkan ke klien, Aryandra datang dengan ekspresi yang agak canggung, membawa secangkir kopi.

“Kerja bagus,” katanya singkat, tapi ada kekaguman yang sulit disembunyikan dalam suaranya. “Aku nggak sangka kamu bisa nyelesaiin semuanya secepat itu.”

Aku terkekeh, merasa sedikit bangga dengan diriku sendiri. “Berkat bimbinganmu yang kadang keras itu, sih.”

Aryandra hanya tersenyum tipis, sambil meletakkan kopi di atas meja. “Aku cuma nggak mau kamu jadi orang yang selalu menganggap semuanya terlalu mudah. Kamu punya potensi yang lebih dari itu.”

Aku memandangi kopi yang dia bawa, lalu menatap wajahnya yang kini lebih santai dari biasanya. “Tapi, kadang aku juga mikir, kenapa kamu nggak bisa lebih santai aja, Aryandra? Terus, apa yang bikin kamu terus-terusan berjuang untuk jadi yang terbaik?”

Dia mengangkat bahu dengan senyum tipis. “Mungkin karena aku nggak bisa hidup dengan setengah-setengah, Zhavina. Aku cuma nggak mau ada yang kecewa. Dan… aku rasa, ada beberapa hal yang aku pelajari dari kamu.”

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. “Dari aku? Seperti apa?”

“Ya,” dia tersenyum lagi. “Kamu nggak selalu butuh kesempurnaan untuk bisa membuat semuanya berjalan dengan baik. Kadang, sedikit kesalahan nggak akan merusak segalanya.”

Aku terkejut mendengar itu. Ternyata, di balik sifat kerasnya, Aryandra masih bisa belajar untuk menerima ketidaksempurnaan, dan itu datang dariku. Aku merasa bangga dengan diriku sendiri, meski aku tak tahu apakah itu karena aku benar-benar berubah, atau karena dia mulai melihat lebih dari sekadar apa yang terlihat di permukaan.

Tapi satu hal yang pasti: meskipun kami berdua adalah orang-orang yang sangat egois dengan cara kami masing-masing, kami berdua juga mulai mengerti bahwa—mungkin—sedikit kelembutan, sedikit pengertian, dan sedikit kesabaran adalah hal yang diperlukan untuk membuat segalanya berjalan dengan lebih baik.

“Terima kasih, Aryandra,” kataku, kali ini dengan tulus, dan dia hanya tersenyum, mengangguk ringan.

Dan meski tak pernah ada pengakuan besar atau kata-kata manis yang keluar dari mulutnya, aku tahu bahwa hubungan kami—penuh dengan kekuatan ego masing-masing—akhirnya mulai membentuk sebuah pemahaman yang lebih mendalam. Aku, yang tak sempurna, dan dia, yang terlalu keras pada dirinya sendiri, akhirnya bisa berdamai dengan realita. Dan itu sudah cukup untuk membuatku merasa, bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata “egois.”

 

Akhirnya, meski ego masing-masing masih sering jadi penghalang, mereka mulai sadar bahwa kadang, cinta memang nggak butuh kesempurnaan. Kadang, yang dibutuhkan cuma sedikit pengertian, sabar, dan keberanian untuk melepaskan gengsi.

Mungkin hubungan mereka nggak sempurna, tapi siapa bilang cinta harus selalu sempurna? Di antara dua ego yang keras kepala, mereka menemukan cara untuk saling menerima—dan mungkin, itu sudah cukup. Karena, terkadang, cinta yang paling indah datang dari tempat yang paling tak terduga.

Leave a Reply