Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih, kamu benci banget sama seseorang, tapi entah kenapa, di balik kebencian itu, ada sesuatu yang bikin hati kamu berdebar? Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu nyelami perasaan yang sering banget terjadi, tapi jarang banget diakui: I hate you but I love you.
Gimana rasanya? Kadang berantem terus, saling nyakitin, tapi di satu sisi, kamu nggak bisa hidup tanpa mereka. Penasaran kan? Baca aja terus, siapa tahu kamu bisa nemuin bagian dari diri kamu yang udah lama kamu sembunyiin.
I Hate You But I Love You
Pertemuan yang Penuh Kebencian
Aku membuang napas panjang, menatap papan tulis dengan kosong, mencoba mengabaikan suara riuh di sekitarku. Hari pertama di semester baru, dan rasanya seperti mimpi buruk yang harus aku jalani. Kelas ini penuh dengan wajah-wajah yang tidak aku kenal—seperti biasa, tapi ada satu wajah yang pasti membuatku gila: Axell.
Dia duduk di bangku dekat jendela, dengan ekspresi sok tenang seperti biasa. Rambut cokelatnya yang selalu sedikit berantakan seolah berkata, lihatlah aku, aku cool. Semua orang, terutama para cewek, selalu mengagumi dia. Rasanya itu sudah jadi kebiasaan. Axell adalah tipe cowok yang nggak butuh usaha lebih untuk menarik perhatian. Satu senyuman dari dia bisa membuat hati banyak gadis berdebar. Tapi tidak untuk aku.
Aku berusaha fokus pada buku catatanku, meskipun aku tahu itu sia-sia. Tanpa sadar, mataku tertuju pada Axell lagi. Dia sedang berbicara dengan teman sekelompoknya, tertawa dengan cara yang seolah dunia ini hanya miliknya. Aneh, ya, bagaimana bisa ada orang yang merasa dunia berputar hanya untuk mereka?
Setelah beberapa detik, Axell menyadari pandanganku. Matanya menatapku dengan tatapan yang aku kenal benar—tatapan yang selalu menggangguku. Dengan santai, dia mengangkat alis, seolah berkata, ada apa? Aku membuang muka, pura-pura tidak peduli.
Tiba-tiba, suara guru membuyarkan lamunanku. “Baiklah, untuk proyek akhir semester ini, kalian akan dikelompokkan secara acak. Setiap kelompok harus menyelesaikan satu tugas besar yang akan ditampilkan di acara amal akhir tahun. Kita mulai dari kelompok pertama…”
Aku hampir tidak mendengarkan, terlalu sibuk dengan perasaan kesalku sendiri. Tiba-tiba, suara guru menghentikan semua keraguan itu. “Eira dan Axell, kamu berdua akan satu kelompok.”
Sekejap, dunia terasa berputar lebih cepat. Aku menatap guru dengan mata lebar, tidak percaya. Tidak mungkin. Dia bahkan tidak memberi waktu untuk mengelak, sudah mengunci kami berdua di dalam satu tim.
“Kenapa nggak memilih saja orang yang benar-benar kompeten?” gumamku, lebih keras dari yang aku kira. Tanpa sadar, aku sudah melontarkan komentar sinis.
Axell menoleh ke arahku, menatapku dengan tatapan yang tak kalah sinis. “Kamu nggak suka? Maaf, deh, aku nggak bisa bantu.”
Aku mengerutkan dahi. “Kamu justru yang nggak bisa bantu, Axell. Aku cuma butuh orang yang ngerti soal kerja tim, bukan… orang yang cuma suka pamer.”
“Jangan ngelawak, Eira. Jangan sampai kamu yang bikin aku pusing,” katanya, suaranya mengandung nada yang sama sekali tidak menyenangkan.
Setelah itu, kami berdua terdiam, seolah seluruh kelas menjadi tempat yang sangat sunyi. Aku merasa mataku panas, dan jantungku berdegup lebih cepat. Ini cuma tugas, pikirku. Aku bisa menghadapinya. Tapi kenapa rasanya seperti dunia ini sempit, hanya ada aku dan dia di dalamnya?
Kegiatan dimulai, dan aku hanya bisa merutuki nasib. Bagaimana bisa aku satu kelompok dengan Axell? Dia yang selalu jadi pusat perhatian, yang setiap kata-katanya dipenuhi dengan keangkuhan. Dia yang selalu merasa paling tahu segalanya. Tapi tak bisa disangkal, dia memang pintar.
“Jadi, kita mulai dari mana?” tanya Axell, suaranya tetap santai meski aku bisa mendengar sedikit ketegangan. Kami duduk di meja panjang yang terletak di sudut ruangan.
Aku menatapnya dengan kesal. “Aku pikir kita harus buat rencana dulu. Tentuin siapa yang bakal ngurus apa. Aku nggak mau berantakan, Axell.”
Dia mengangguk, meskipun aku bisa merasakan bahwa dia agak terkejut dengan keseriusanku. “Oke, kalau kamu mau itu. Aku nggak masalah.”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak butuh kamu banyak bicara. Kamu cuma perlu fokus aja.”
Axell menatapku tajam. “Aku memang nggak perlu banyak bicara, kalau kamu nggak berhenti nyolot, semuanya pasti lebih gampang.”
Aku hampir melontarkan kata-kata kasar, tapi memilih untuk diam, fokus pada kertas yang tergeletak di depanku. Ada saat-saat di mana aku merasa Axell itu seperti api yang membakar. Sulit dikendalikan, selalu panas, dan seringkali meninggalkan luka. Tapi di sisi lain, dia juga seolah punya daya tarik yang nggak bisa aku pungkiri.
Hari berlalu, dan kami menghabiskan waktu bersama untuk merencanakan segala hal untuk acara amal. Tentu saja, hampir setiap detik diisi dengan adu argumen dan pandangan yang saling bertentangan. Tapi meskipun begitu, aku merasakan ada sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Perasaan yang membingungkan—antara kesal, bingung, dan entah bagaimana mulai sedikit… penasaran.
Ketika malam menjelang, dan kami sudah menyelesaikan sebagian besar rencana, Axell mendekatkan kursinya ke meja. Wajahnya serius, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara.
“Kenapa sih kamu selalu nyalahin aku?” tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku nggak ngelakuin apa-apa kok.”
Aku menatapnya, ragu. “Aku nggak nyalahin kamu. Aku cuma nggak suka cara kamu nyantai, kayak semuanya gampang.”
Axell terdiam. “Mungkin kamu bener. Mungkin aku terlalu santai. Tapi… aku nggak tahu kenapa kita berdua bisa jadi begini. Kita terus bertengkar, padahal aku… nggak benci kamu, Eira.”
Aku terdiam. Kalimatnya melayang di udara. Apa dia serius? Aku ingin berkata sesuatu, tapi mulutku terkunci. Aku benci dia. Aku benci caranya selalu membuatku kesal. Tapi kenapa aku merasa… ada yang berbeda? Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih rumit dari sekadar benci.
Namun, aku memilih diam, melanjutkan pekerjaan dengan memfokuskan pikiranku pada tugas. Aku tidak siap untuk membuka perasaan itu, terutama terhadap seseorang seperti Axell. Benci atau cinta? Entahlah. Yang jelas, aku merasa terjebak di antara keduanya.
Konflik yang Tak Pernah Selesai
Hari-hari berlalu dengan cepat. Setiap kali aku bertemu dengan Axell, kami seperti magnet yang selalu saling tarik menarik, bertemu di titik-titik paling tajam, lalu mundur lagi sebelum benar-benar menyentuh satu sama lain. Ada kalanya kami bisa bekerja sama dengan cukup baik—tapi lebih seringnya, kami saling bertengkar, mengungkapkan pendapat yang bertolak belakang, bahkan saling menjatuhkan tanpa sadar.
“Kenapa sih, Eira? Selalu aja nyalahin aku!” suara Axell melengking, membuat aku hampir terjatuh dari kursiku.
Aku menatapnya, mataku berkilat. “Aku nggak nyalahin kamu, Axell! Aku cuma bilang, kamu bisa lebih serius dikit nggak? Jangan cuma ngandelin keberuntungan!”
Dia menghela napas panjang, jelas kesal, lalu berdiri dari kursinya. “Kamu nggak ngerti apa yang aku kerjain, kan? Kalau aku kerja keras kayak kamu, ini semua bakal makin ribet.”
Aku hampir tertawa mendengar pernyataannya. “Kerja keras? Kamu malah ngabisin waktu buat main game dan ngobrol sama teman-temanmu, Axell. Itu kerja keras menurut kamu?”
Dengan gerakan cepat, Axell menyentak rambutnya, menandakan kalau dia benar-benar kesal. “Kamu nggak ngerti! Gue butuh waktu untuk mikir. Lu nggak pernah mau ngerti, kan?”
Aku memutar bola mataku, merasa lelah dengan semua ini. “Ya, karena kamu terlalu banyak ngomong dan sedikit banget bertindak!”
Kami terdiam sesaat, udara terasa semakin tegang. Semua orang di sekitar kami seakan menjauh, memilih untuk tidak ikut campur dalam pertengkaran yang sudah menjadi tontonan rutin kami. Aku ingin menghentikan semuanya, ingin semuanya selesai, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Entah kenapa, semakin aku marah padanya, semakin kuat pula perasaan ini—perasaan yang bahkan aku sendiri tidak bisa mengidentifikasi.
“Kenapa sih, Eira? Kenapa kamu selalu kayak gini?” Axell tiba-tiba bertanya, suaranya lebih pelan, lebih serius. “Kenapa kamu nggak pernah kasih aku kesempatan buat jelasin?”
Aku tercengang mendengar pertanyaan itu. Aku bukan tipe orang yang gampang membuka diri. Tapi entah kenapa, saat itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang mendalam di balik kalimatnya. Kenapa dia bertanya seperti itu? Kenapa aku merasa dia benar-benar peduli?
“Apa kamu serius, Axell?” aku bertanya tanpa sadar, dengan suara yang agak bergetar.
Axell mengangguk pelan. “Serius, Eira. Gue tahu kita berdua keras kepala. Tapi… gue nggak mau terus-terusan begini. Aku nggak benci kamu, walaupun sering banget kesel sama kamu.”
Aku terdiam, hatiku berdegup lebih cepat dari yang seharusnya. “Gue nggak tahu harus ngomong apa,” jawabku jujur, mataku menatap ke lantai. “Aku… aku nggak tahu kenapa kita bisa terus bertengkar gini, Axell. Tapi gue bener-bener nggak suka kamu… dan cara kamu.”
Axell mendekat, duduk di sampingku dengan ekspresi yang tak lagi keras. “Lu tahu, Eira… terkadang kita berusaha terlalu keras buat benci orang lain. Padahal… mungkin kita cuma takut terlalu dekat sama orang itu.”
Aku menoleh padanya, terkejut mendengar kata-kata itu. Takut terlalu dekat…?
“Tapi aku nggak takut sama kamu,” kataku, sedikit gugup. “Aku cuma… nggak suka sama semua yang kamu lakukan. Terlalu… mudah buat kamu.”
“Dan aku nggak suka kamu yang selalu merasa lebih pintar dan tahu segalanya.” Axell berkata dengan nada yang lebih lembut, berbeda dari biasanya. “Kamu pikir semua orang harus ngikutin cara kamu, tapi dunia nggak berputar hanya di sekitar kamu, Eira.”
Ada keheningan. Kedua mata kami bertemu. Aku bisa merasakan ketegangan itu semakin kuat, lebih intens. Tapi meskipun rasanya begitu menyakitkan, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan.
Tiba-tiba, bel berbunyi, menandakan berakhirnya jam pelajaran. Aku bangkit dari kursi, berusaha menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus pergi.
“Gue nggak mau lagi ngobrol sama lo, Axell.” Aku berkata dingin, melangkah cepat keluar dari ruang kelas.
Aku bisa merasakan pandangannya mengikutiku, namun aku tidak peduli. Aku berjalan dengan cepat, berusaha menghindari segala perasaan yang mulai tumbuh dalam hatiku. Tapi meskipun aku berusaha keras, di bagian dalam, aku tahu—aku sedang jatuh dalam perangkap yang sudah aku buat sendiri.
Hari-hari setelahnya semakin kacau. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang mengganggu setiap kali aku bertemu dengannya. Setiap tatapan tajam dari Axell, setiap sindiran halus yang dilemparkan, malah semakin membuat hatiku berdebar. Aku mencoba menutupinya, mengabaikan kenyataan bahwa entah mengapa, aku mulai peduli. Aku mulai peduli lebih dari yang aku inginkan.
Suatu sore, kami kembali bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas proyek itu. Semua rasa kesal, marah, dan benci tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang tak bisa lagi aku kendalikan. Aku merasa cemas, tapi aku juga merasa seperti ada sisi lain dari diriku yang mulai menerima Axell dengan cara yang berbeda.
Aku menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. “Kamu… nggak perlu ngasih tahu gue lagi, Axell,” aku mencoba berkata sekeras mungkin, meski hatiku bergetar. “Aku nggak butuh bantuanmu.”
Axell menatapku tanpa kata-kata, lalu menjawab pelan. “Tapi kamu butuh, Eira. Dan kamu nggak perlu takut buat ngakuinya.”
Aku diam, menatapnya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kebingunganku. Aku nggak tahu apa yang sedang terjadi. Aku nggak tahu perasaan apa yang mengalir di antara kami. Tapi satu hal yang pasti—sekarang, aku harus memilih. Menghadapi semua kebencian ini… atau belajar untuk menerima sesuatu yang lebih rumit.
Aku menarik napas panjang. “Kita selesaikan tugas ini dulu, Axell. Nggak ada lagi drama.”
Namun, dalam hatiku, aku tahu—ini baru permulaan.
Tepi Batas yang Tak Terlihat
Beberapa hari setelah insiden itu, hubungan antara aku dan Axell terasa lebih rumit daripada sebelumnya. Ada semacam ketegangan yang selalu menggantung di udara setiap kali kami berada dalam satu ruangan. Kami lebih sering menghindar, namun anehnya, tak ada satu pun dari kami yang bisa benar-benar menjauh. Tugas proyek itu menjadi satu-satunya alasan kami harus berurusan satu sama lain, dan semakin aku berusaha menjauh, semakin kuat rasa itu mengganggu.
Hari ini, aku tahu aku nggak bisa lagi menghindarinya. Aku dan Axell terpaksa harus bekerja di perpustakaan untuk menyelesaikan proyek yang semakin menumpuk. Aku duduk di meja pojok, merapikan beberapa buku, berusaha untuk tampak sibuk. Tapi mata itu, mata Axell, selalu saja berhasil menemukan aku.
Dia duduk di depanku dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada cemas, ada marah, dan mungkin, sedikit… kecewa? Aku nggak tahu lagi. Aku ingin membuka percakapan, tapi kata-kata itu sulit keluar. Lalu, dia membuka mulutnya duluan.
“Kenapa sih, Eira?” suaranya lebih lembut dari sebelumnya, hampir seperti bisikan. “Kenapa kita terus berputar di lingkaran ini? Kenapa kamu nggak mau bilang apa yang kamu rasain?”
Aku menatapnya, merasa hatiku berdegup lebih cepat. Kenapa dia selalu berhasil membuatku merasa seperti ini? Kenapa perasaan yang aku coba sembunyikan malah semakin menguasai?
“Karena kamu nggak pernah ngertiin aku, Axell.” Suaraku terdengar lebih lemah dari yang aku inginkan, tetapi aku nggak bisa mengubahnya. “Kamu selalu nyalahin gue, selalu bikin gue merasa kayak gue nggak bisa apa-apa. Kayak semuanya salah kalau nggak sesuai sama cara lo.”
Dia menatapku dengan ekspresi yang nggak bisa aku tafsirkan. “Aku nggak pernah bilang kamu salah, Eira. Aku cuma… bingung kenapa kamu selalu bertahan sama cara kamu yang keras itu. Kamu bisa lebih fleksibel, kamu bisa lebih open. Aku cuma nggak ngerti kenapa kamu selalu nyutup diri.”
Aku menggigit bibir, merasa kesal. Tapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang menyentuh. Aku mencoba menahan diri untuk tidak terperangkap dalam emosi, tapi hatiku mulai berdetak lebih cepat, dan aku merasa, mungkin… mungkin dia benar. Aku terlalu sering menutup diri, terlalu sering merasa benar. Tapi itu karena aku takut. Takut kalau aku terlalu terbuka, aku akan terluka lagi.
Aku mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan diriku. “Aku nggak bisa jadi kayak lo, Axell. Gue bukan orang yang bisa gampang percaya sama orang lain. Gue nggak bisa… bisa kayak lo yang selalu kelihatan… mudah, gitu.”
Dia diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku ngerti. Gue ngerti. Cuma, gue nggak mau kamu hidup kayak gini terus. Kamu nggak sendirian, Eira.”
Aku merasa ada sesuatu yang menyesak di dadaku. Kata-kata Axell itu, yang terdengar begitu sederhana, terasa lebih dalam daripada yang aku harapkan. Aku mencoba untuk tidak terlalu peduli, tapi kenapa perasaan ini terus mengganggu?
Kami berdua kembali terdiam, hanya suara tuts keyboard dan lembaran kertas yang berderak terdengar di ruangan itu. Meskipun suasana tampak tenang, aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang mengalir di antara kami. Sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa mengabaikan.
Tiba-tiba, Axell melangkah lebih dekat. “Eira…” katanya pelan. “Lo nggak perlu selalu bertahan sendirian. Kalau lo butuh bantuan, gue ada. Gue nggak akan nyakitin lo.”
Aku menatapnya, mata kami bertemu lagi. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku terasa kelu. Ada yang berbeda. Semua pertengkaran, semua perasaan benci itu… rasanya mulai melebur. Aku nggak tahu kenapa, tapi semakin aku melihat Axell, semakin aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemarahan kami. Ada perasaan yang nggak bisa aku definisikan—tapi itu nyata. Aku mulai merasakannya.
“Apa kamu serius, Axell?” aku bertanya, suara aku bergetar sedikit.
Dia hanya mengangguk. “Serius. Gue nggak pernah bilang lo harus berubah jadi orang lain. Gue cuma bilang, kalau lo butuh gue, gue bakal ada. Nggak ada yang lebih penting dari itu.”
Aku menunduk, merasa cemas. Semua kebencian yang aku pikir ada, sepertinya sekarang malah berubah jadi perasaan yang lebih halus, lebih sulit diungkapkan. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutku terasa kering. “Aku… nggak tahu, Axell. Aku takut.”
Dia tersenyum sedikit, senyuman yang terasa aneh, hangat, dan sedikit menyakitkan. “Aku tahu, Eira. Gue juga takut. Tapi kita nggak bisa terus begini, kan? Kalau lo terus-terusan lari, kita nggak bakal tahu apa yang bisa terjadi.”
Aku memejamkan mata sebentar, mencoba mencerna kata-katanya. Rasanya seperti ada benang yang menarik hati kami berdua ke arah yang tak terduga, tak bisa dihindari. Meski aku benci perasaan ini, aku juga merasa seperti aku tidak bisa lagi menahannya.
“Gue nggak janji bisa berubah, Axell,” aku berkata pelan, hampir seperti berbisik. “Tapi… aku janji aku nggak akan nyerah sama kita.”
Dia menatapku dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, aku melihat dia tidak hanya sebagai pria yang membuatku kesal, tapi juga sebagai seseorang yang mulai aku percayai. Ada sesuatu yang lebih besar dari kebencian ini—sesuatu yang sulit aku hadapi, tapi tak bisa aku hindari.
Kami berdua terdiam, membiarkan perasaan yang belum kami pahami sepenuhnya mengalir di antara kami. Dan aku tahu—ini baru permulaan. Sebuah awal dari cerita yang mungkin tidak bisa kami kendalikan.
Ketika Semua Rasa Menyatu
Waktu terus berjalan, dan aku serta Axell masih terjebak dalam ketidakpastian yang tak terucapkan. Ada banyak hal yang belum kami selesaikan, banyak kata yang belum sempat diucapkan, dan banyak perasaan yang belum kami hadapi. Namun, di tengah keraguan itu, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih lembut, lebih nyata, dan lebih rumit dari yang bisa aku duga sebelumnya.
Kebencian itu, yang dulu menjadi dinding penghalang antara kami, mulai luntur sedikit demi sedikit. Tidak dalam sekejap, tentu saja. Itu seperti sebuah proses yang tidak bisa dipaksakan, meskipun kadang aku merasa seperti sedang melawan diri sendiri. Axell tidak mengubah sikapnya. Dia tetap seperti dulu—terlihat tenang, selalu ada untukku meski aku sering kali menyakitinya dengan kata-kata dan sikapku yang dingin. Tapi entah kenapa, setiap kali aku melihatnya, semakin aku sadar bahwa ada sesuatu lebih dalam di antara kami. Sesuatu yang aku tak tahu cara mengartikannya, namun sudah jelas ada.
Hari itu, setelah berjam-jam bekerja di perpustakaan, kami akhirnya menyelesaikan proyek itu. Aku berdiri dari kursiku, menyelipkan buku-buku ke dalam tas, dan mendekat ke meja Axell.
“Udah selesai, ya?” tanyaku dengan nada yang lebih ringan dari sebelumnya.
Axell menoleh ke arahku, dan kali ini senyumnya terlihat lebih tulus, lebih tenang. “Iya, kita hampir selesai. Terimakasih udah bantuin, Eira.”
Aku mengangkat alis, tidak percaya. “Tunggu, lo beneran bilang terimakasih ke gue?” aku menertawakannya. “Ini yang pertama kali, loh!”
Dia tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal. “Ya, gue emang nggak sering bilang, kan? Tapi lo bantuin banget, kok.”
Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba ada rasa hangat yang menjalar di dadaku, perasaan yang sebelumnya hanya bisa aku hindari, kini seolah muncul begitu saja, tanpa bisa aku tahan.
“Lo tau, Axell,” aku mulai dengan suara lebih pelan, “semakin gue deket sama lo, semakin gue sadar kalau gue… nggak benci lo kayak yang gue kira. Kadang gue malah bingung kenapa gue sering banget ngerasa… marah. Padahal, lo nggak sebegitu jahatnya.”
Dia diam sejenak, kemudian menatapku dengan tatapan yang lebih dalam. “Gue juga gak ngerti kenapa kita sering banget berantem, Eira. Mungkin itu karena kita dua-duanya keras kepala. Tapi gue tahu… gue nggak pernah bener-bener benci lo.”
Kata-kata itu, yang sederhana namun begitu dalam, membuat hatiku berdegup kencang. Rasanya seperti ada sesuatu yang meledak di dalam diriku, sesuatu yang sudah lama aku pendam. Semua perasaan itu yang selama ini aku sembunyikan, yang aku anggap sebagai kebencian, ternyata hanya cemas, hanya ketakutan akan kehilangan.
Aku menatapnya, dan dalam keheningan itu, kami hanya saling menatap—seperti dua orang yang tengah menemukan bagian dari diri mereka yang selama ini tertutupi. Tak ada lagi kebencian, tak ada lagi marah, hanya ada dua hati yang berusaha untuk saling mengerti.
“Axell…” suara aku bergetar, lebih lembut dari yang aku inginkan, “mungkin… kita bisa mulai dengan ini. Coba pelan-pelan, tanpa saling menyalahkan. Gue tahu kita nggak sempurna, dan mungkin kita nggak akan pernah jadi sempurna. Tapi, gue janji… gue akan berusaha. Gue akan mencoba.”
Axell tersenyum lagi, dan kali ini, senyum itu terasa lebih tulus dari sebelumnya. “Itu yang gue tunggu, Eira. Gue juga akan berusaha.”
Aku melangkah mendekat, dan tanpa sadar, tangan kami bertemu di atas meja. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang lebih cepat, dan aku tahu… entah bagaimana, semuanya mulai terasa lebih baik. Ini bukan tentang saling mengalah, ini tentang saling menerima—semuanya, kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Di saat itu juga, aku sadar kalau perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa aku hindari lagi. Itu ada, sudah lama ada. Dan mungkin, justru karena kebencian dan konflik itulah, rasa itu menjadi semakin jelas. Aku mencintainya. Mungkin sejak dulu, aku hanya terlalu takut untuk mengakuinya.
Axell menatapku dengan mata yang lembut. “Kamu tahu, Eira, gue nggak pernah bisa benci lo. Bahkan ketika kita berantem, itu cuma… cara gue untuk mengerti lo lebih dalam.”
Aku mengangguk, perasaan itu makin kuat. “Aku juga… nggak bisa benci lo. Aku malah bingung, kenapa semuanya jadi kayak gini.”
Kami tertawa bersama, dan entah kenapa, tawa itu terasa sangat lega, seperti melepaskan segala beban yang sudah lama terpendam. Kami mungkin masih jauh dari kata sempurna, tapi setidaknya, kami sudah sampai di sini—di titik yang jauh lebih baik daripada yang pernah kami bayangkan sebelumnya.
“Jadi…” Axell mulai, sedikit ragu, “kalau gitu, kita… gimana?”
Aku tersenyum, menggeleng pelan. “Kita mulai dari sini, Axell. Kita mulai dari sini, dan lihat kemana semuanya akan berakhir.”
Dalam senja yang perlahan meredup, kami berdua hanya diam, menikmati keheningan itu—keheningan yang akhirnya terasa lebih damai. Tidak ada lagi kebencian, tidak ada lagi ketegangan. Hanya ada dua orang yang saling berusaha untuk memahami, untuk mencintai tanpa ragu. Dan entah bagaimana, aku tahu, ini baru permulaan.
Dan akhirnya, meski penuh pertengkaran, kebencian, dan salah paham, satu hal yang jelas—kadang, cinta itu muncul dari tempat yang nggak terduga.
Mungkin, kita nggak pernah tahu kapan kita bakal mulai menerima seseorang dengan segala kekurangannya, atau kapan perasaan yang kita anggap cuma kebencian itu ternyata malah jadi cinta yang paling tulus. Jadi, kalau kamu pernah merasa benci sama seseorang, coba deh liat lagi, siapa tahu ada cinta yang tersembunyi di balik semua itu.