Hujan Perjodohan yang Berubah Menjadi Cinta: Perjodohan Terpaksa di Lembah Cahaya

Posted on

Masuki dunia penuh emosi dalam cerpen Hujan Perjodohan yang Berubah Menjadi Cinta, sebuah kisah perjodohan terpaksa yang membawa Saryna Lumintang dan Javan Ratihendra ke dalam petualangan cinta di desa Lembah Cahaya. Dengan alur yang kaya akan kesedihan, konflik batin, dan akhir yang menghangatkan hati, cerita ini menggambarkan perjalanan dua jiwa yang terjebak tradisi namun menemukan harmoni di tengah rintik hujan. Siapkah Anda terseret dalam melodi cinta yang inspiratif ini?

Hujan Perjodohan yang Berubah Menjadi Cinta

Nada di Tengah Hujan

Hujan turun deras di kampung kecil bernama Lembah Cahaya, sebuah desa terpencil yang dikelilingi oleh sawah hijau dan sungai kecil yang mengalir pelan. Di ujung desa, berdiri sebuah rumah kayu dengan atap genteng merah yang mulai usang, tempat tinggal Saryna Lumintang, seorang perempuan berusia 26 tahun dengan mata hijau keabu-abuan yang langka di wilayah itu. Rambutnya yang hitam legam selalu diikat sederhana dengan ikatan kain, sering kali basah oleh hujan karena ia merasa air itu membawa inspirasi untuk bermain seruling. Saryna adalah seorang musisi lokal yang lagu-lagunya sering menggema di acara adat, meski ia hidup sederhana dan tak pernah mencari ketenaran.

Pagi itu, Saryna duduk di ambang jendela, menatap hujan yang membentuk genangan di halaman. Di tangannya, ia memegang seruling bambu yang sudah tua, dan sebuah buku catatan penuh dengan notasi lagu yang belum selesai. Ia sedang mencoba merangkai melodi tentang kesendirian, tapi pikirannya terusik oleh suara langkah kaki yang mendekat dari dalam rumah. Ibunya, Darmawati, muncul di pintu dengan wajah penuh harap yang membuat Saryna merasa cemas. “Saryna, ada kabar penting,” katanya, suaranya lembut namun penuh tekanan.

Saryna menurunkan serulingnya perlahan, menatap ibunya dengan curiga. “Kabar apa lagi, Bu?” tanyanya, tahu bahwa percakapan seperti ini biasanya berujung pada topik yang ia hindari: perjodohan. Di Lembah Cahaya, tradisi mempertemukan anak-anak lajang dengan calon pasangan dianggap sebagai kewajiban keluarga, terutama bagi perempuan seusia Saryna yang dianggap “terlalu lama” untuk belum menikah.

Darmawati menghela napas panjang, duduk di kursi kayu di samping Saryna. “Keluarga Pak Santoso datang minggu depan. Anak mereka, Javan Ratihendra, baru pulang dari kota besar. Orangnya pintar, punya pekerjaan baik, dan… cocok untukmu,” jelasnya, matanya penuh harap yang membuat Saryna tertekan.

Saryna meletakkan buku catatannya dengan sedikit keras, suara kertas yang berderit menggema di ambang jendela. “Bu, aku sudah bilang aku nggak mau dijodohkan. Musik itu hidupku—” Ia berhenti, melihat ekspresi ibunya yang penuh keputusasaan. “Aku nggak kenal orang itu. Aku nggak mau dipaksa!”

Darmawati menggenggam tangan Saryna, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah 26 tahun, Saryna. Di Lembah Cahaya, orang mulai bisik-bisik. Aku cuma ingin kamu punya masa depan yang terjamin. Javan ini berbeda. Dia punya pendidikan tinggi, punya rencana besar. Aku yakin kamu bisa menemukan kebahagiaan dengannya.”

Saryna menarik tangannya perlahan, hatinya bergetar antara marah dan iba. Ia memahami beban ibunya—sebagai janda yang membesarkannya sendirian sejak ayahnya meninggal tujuh tahun lalu karena penyakit, Darmawati selalu mengorbankan segalanya untuknya. Tapi gagasan menikahi seseorang yang tak ia pilih terasa seperti pengkhianatan terhadap mimpinya sendiri. “Aku nggak mau terjamin kalau itu berarti kehilangan jiwaku, Bu,” katanya pelan, lalu bangkit meninggalkan ambang jendela.

Malam itu, hujan semakin deras, dan Saryna duduk di kamarnya, menatap foto ayahnya yang tersimpan dalam bingkai kayu sederhana. Ayahnya, seorang petani yang suka bermain seruling, pernah berkata, “Melodimu adalah ceritamu, Saryna. Jangan biarkan siapa pun memainkannya untukmu.” Kata-kata itu kini terasa seperti pelukan hangat sekaligus beban berat yang menekannya.

Esok harinya, Saryna memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Javan. Ia tak ingin menghadapi pertemuan itu tanpa persiapan, seperti musisi yang naik panggung tanpa latihan. Ia berjalan ke pasar desa, tempat di mana gosip mengalir lebih cepat daripada air hujan. Di sana, ia bertemu dengan Tirza, sahabatnya sejak kecil yang kini menjual sayuran di lapak kecil.

“Tir, kamu tahu apa tentang Javan Ratihendra, anak Pak Santoso?” tanya Saryna sambil membantu Tirza menyusun kolplay di keranjang.

Tirza tersenyum kecil, tapi ada keraguan di matanya. “Dia baru pulang dari kota, katanya dari Surabaya. Bekerja di perusahaan teknologi, tapi entah kenapa balik ke Lembah Cahaya. Orang bilang dia pendiam, tapi ada yang bilang dia bawa luka dari sana. Aku cuma dengar dia sering kelihatan di tepi sungai, sendirian.”

“Luka apa?” Saryna mengerutkan kening, rasa ingin tahunya mulai membesar meski ia berusaha menahannya.

Tirza mengangkat bahu. “Entah. Mungkin urusan kerja, mungkin hati. Kamu kenapa tanya? Jangan bilang…” Tirza berhenti, matanya melebar. “Kamu dijodohkan sama dia?”

Saryna memalingkan wajah, wajahnya memerah. “Bukan aku yang mau. Ibu.”

Tirza tertawa pelan, tapi ada simpati di suaranya. “Kamu tahu Lembah Cahaya, Sar. Tradisi ini susah dilupain. Tapi kalau kamu nggak suka, cari jalan keluar. Kamu kan punya bakat, buat melodi buat hidupmu sendiri.”

Kata-kata Tirza sederhana, tapi mengguncang Saryna. Kabur? Ke mana? Ia tak punya cukup uang, tak punya tempat tujuan. Lembah Cahaya adalah dunianya, meski kadang terasa seperti sangkar.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya hari kunjungan keluarga Santoso tiba. Saryna mengenakan blus sederhana warna krem, peninggalan ibunya, yang terasa asing di tubuhnya. Ia berdiri di ruang tamu, jantungan berdegup kencang, saat pintu depan dibuka. Pak Santoso, seorang pria tua dengan wajah ramah, masuk bersama istri dan anak laki-lakinya—Javan.

Javan lebih tinggi dari yang Saryna bayangkan, dengan rambut hitam yang rapi dan mata cokelat gelap yang tampak dalam. Ia mengenakan kemeja biru sederhana, tapi ada aura yang membuatnya berbeda dari pemuda Lembah Cahaya lainnya. Sikapnya tenang, hampir pendiam, dan ia tak banyak bicara selama percakapan formal itu berlangsung.

“Saryna, ini Javan,” kata Pak Santoso, suaranya penuh kebanggaan. “Dia baru pulang dari kota. Sekarang dia membantu aku mengelola tanah keluarga.”

Javan mengangguk sopan, tapi matanya hanya sekilas bertemu dengan Saryna sebelum ia memalingkan wajah. Saryna merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik sikapnya itu, tapi ia tak punya cukup waktu untuk memikirkannya sebelum ibunya memulai percakapan lebih lanjut.

Malam itu, setelah keluarga Santoso pulang, Saryna duduk di ambang jendela lagi, hujan kembali turun. Ia merasa seperti melodi yang tak selesai—terjebak dalam nada yang tak ia tulis sendiri. Tapi di antara rasa frustrasinya, ada sesuatu yang menggelitik di hatinya. Javan, dengan segala misterinya, membuatnya penasaran. Dan itu, entah kenapa, membuatnya takut.

Ia mengambil serulingnya dan mulai meniup nada pelan, lalu menulis notasi di buku catatannya:

Di tengah hujan, aku dengar nadamu,
Seorang asing yang membawa tanya.
Apakah ini awal luka,
Atau melodi cinta yang terpaksa?

Saryna menutup buku itu, menatap hujan yang tak kunjung reda. Ia tahu, ini baru awal dari cerita yang tak ia inginkan, tapi entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang menunggunya di ujung nada—entah luka atau harmoni.

Harmoni di Tepi Sungai

Hujan di Lembah Cahaya pagi itu turun dengan irama yang lembut, menciptakan kilauan di permukaan sawah yang membentang di sepanjang jalan setapak. Saryna Lumintang berjalan perlahan menuju tepi sungai di pinggir desa, tempat ia sering mencari inspirasi untuk melodi serulingnya. Ia mengenakan jaket hijau tua yang sedikit robek di saku, peninggalan ayahnya, dan membawa seruling bambu serta buku catatan yang sudah penuh coretan. Di tangan kirinya, ia memegang payung sederhana berwarna kuning yang sering bocor di sisi kanan, tapi itu tak menghalanginya menikmati hujan.

Sejak kunjungan keluarga Santoso seminggu lalu, pikiran Saryna dipenuhi bayangan Javan Ratihendra. Bukan karena ia tertarik—setidaknya, itulah yang ia yakinkan pada dirinya sendiri—tapi karena ada sesuatu dalam sikap pria itu yang terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Matanya yang dalam, gerakannya yang hati-hati, dan diamnya yang lebih berbicara daripada kata-kata—semua itu terus bergema di kepalanya. Saryna tak bisa mengabaikan cerita dari Tirza tentang luka yang Javan bawa dari kota, dan rasa ingin tahunya mulai menggerogoti pertahanannya.

Di tepi sungai, Saryna duduk di bawah pohon bambu tua, meniup serulingnya dengan nada pelan yang mencoba menangkap aliran air. Angin bercampur hujan membawa aroma rumput basah, dan ia mulai merangkai melodi baru tentang harapan yang samar. Tapi pikirannya melayang ke cerita yang ia dengar: Javan sering terlihat di tepi sungai ini, sendirian, seolah mencari sesuatu yang hilang. Saryna bertanya-tanya apa yang membawa pria itu kembali ke Lembah Cahaya, meninggalkan kehidupan yang katanya penuh janji di kota.

Saat ia tenggelam dalam melodi, suara langkah kaki di rumput basah mengalihkan perhatiannya. Saryna mendongak, dan jantungnya seolah berhenti sesaat. Javan berdiri tak jauh dari situ, mengenakan jaket biru tua dan celana jeans, rambutnya sedikit basah meski ia memegang payung. Ia tampak terkejut melihat Saryna, tapi cepat menutupinya dengan ekspresi netral. “Saryna?” panggilnya, suaranya rendah namun jelas.

Saryna buru-buru menunduk, berharap ia tak terlihat terlalu kaget. “Ya, aku… cuma main seruling,” jawabnya, berusaha terdengar acuh. Ia melanjutkan meniup serulingnya, tapi nadanya sedikit bergetar. Javan mendekat perlahan, berdiri di sampingnya tanpa mengganggu, matanya menatap buku catatan dengan minat yang tak disangka.

“Itu indah,” kata Javan, suaranya hangat namun penuh cadangan. “Kamu punya bakat.”

Saryna memandangnya sekilas, terkejut dengan pujian itu. “Terima kasih. Aku cuma iseng,” balasnya, lalu menambahkan, “Kamu sering ke sini?”

Javan mengangguk, matanya kembali menatap sungai. “Kadang. Tempat ini… tenang. Membantu aku mikir.” Ia berhenti sejenak, lalu melirik Saryna. “Kamu juga suka tempat ini?”

“Kadang,” jawab Saryna, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Katanya kamu baru pulang dari kota. Kenapa balik ke Lembah Cahaya?”

Pertanyaan itu membuat Javan menegang. Ia menunduk, memainkan tepi payungnya dengan jari-jarinya. “Ada alasan,” katanya singkat, suaranya penuh beban. “Keluarga. Dan… aku butuh istirahat.”

Saryna ingin bertanya lebih dalam, tapi ada sesuatu dalam nada Javan yang membuatnya berhenti. Ia melanjutkan meniup serulingnya, dan selama satu jam berikutnya, mereka duduk dalam keheningan yang anehnya tak canggung. Hanya suara hujan dan melodi seruling yang mengisi ruang, sementara Saryna menyelinap memandangi Javan dari sudut matanya. Ia memperhatikan caranya duduk—tegak, tapi dengan bahu yang sedikit turun, seolah membawa beban yang tak terucap.

Saat hujan mulai deras, Saryna menyadari payungnya tak cukup melindungi serulingnya. Ia menghela napas, bersiap untuk membungkus alatnya, tapi Javan tiba-tiba menggeser posisinya, mengulurkan payungnya lebih lebar untuk melindungi Saryna dan serulingnya. “Ambil ini,” katanya, suaranya tegas. “Payungmu bocor.”

Saryna menolak secara refleks. “Nggak usah, aku baik-baik saja—”

“Kamu bakal basah kuyup,” potong Javan, matanya menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dibantah. “Aku nggak keberatan.”

Mereka berbagi payung, berjalan perlahan menuju jalan setapak yang menuju desa. Awalnya, tak ada yang bicara. Saryna memeluk serulingnya erat, mencoba mengabaikan kehadiran Javan di sampingnya. Tapi keheningan itu terasa semakin berat, seperti awan yang siap pecah.

“Kenapa kamu nggak suka dijodohkan?” tanya Javan tiba-tiba, suaranya lembut namun langsung.

Saryna terkejut, hampir tersandung. “Aku… aku nggak mau hidup yang udah ditentuin orang lain,” jawabnya, suaranya pelan. “Aku pengen melodiku jadi ceritaku, bukan pernikahan yang dipaksa.”

Javan mengangguk, seolah memahami. “Aku juga nggak suka dipaksa,” katanya. “Tapi kadang, kita nggak punya pilihan.”

Kata-kata itu membuat Saryna meliriknya, mencoba membaca ekspresinya. “Kamu terpaksa setuju sama ini?” tanyanya, hatinya mulai dipenuhi rasa ingin tahu yang lebih dalam.

Javan tak langsung menjawab. Ia menatap hujan di depan, lalu menghela napas. “Aku balik karena keluarga butuh aku. Ayahku sakit, tanah keluarga perlu dikelola. Tapi aku… aku juga lari dari sesuatu di kota. Jadi, ya, aku terpaksa.”

Saryna terdiam, merasa ada koneksi aneh di antara mereka—dua orang yang terjebak dalam paksaan yang tak mereka inginkan. Mereka sampai di persimpangan menuju rumah Saryna, dan Javan berhenti. “Sampai sini saja,” katanya, menyerahkan payungnya sepenuhnya. “Pegang ini. Aku punya cadangan di rumah.”

Saryna memandang payung itu, lalu Javan, dengan perasaan bingung. “Kamu sendiri bagaimana?”

“Aku suka hujan,” jawab Javan sederhana, lalu berbalik meninggalkannya di bawah guyuran air.

Malam itu, Saryna tak bisa tidur. Ia duduk di kamarnya, menatap payung Javan yang kini bersandar di sudut ruangan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: mengapa Javan begitu tertutup? Apa yang ia lari dari? Dan mengapa, di tengah rasa kesalnya, ia merasa ada benih harapan yang tumbuh di hatinya—sesuatu yang asing dan menakutkan?

Ia mengambil serulingnya dan meniup nada baru, lalu menulis notasi di buku catatannya:

Di tepi sungai, aku dengar harmoni,
Tapi hatimu menyimpan badai yang tak terucap.
Apakah ini awal dari cinta,
Atau hanya hujan yang menipu?

Esok harinya, Saryna mendengar dari Tirza bahwa Javan sering terlihat di tepi sungai dengan buku catatan, menulis sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. “Dia aneh, Sar,” kata Tirza sambil menyusun sayuran. “Orang bilang dia pernah punya seseorang di kota, tapi ceritanya berakhir buruk. Mungkin itu kenapa dia balik.”

Kata-kata Tirza membuat Saryna terdiam. Seseorang? Hati Saryna tiba-tiba terasa sesak, meski ia tak tahu mengapa. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi setiap kali ia melewati sungai dalam perjalanan ke pasar, ia tak bisa menahan diri untuk melirik, berharap—dan takut—melihat sosok Javan di sana.

Hujan terus turun di Lembah Cahaya, dan Saryna tahu, pertemuan di tepi sungai itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah melodinya, entah menjadi simfoni indah atau nada yang patah.

Melodi di Tengah Ketakutan

Pagi ini, pukul 10:30 WIB, Rabu, 25 Juni 2025, hujan di Lembah Cahaya turun dengan irama yang lembut, membawa kilauan di permukaan sungai yang mengalir pelan di pinggir desa. Saryna Lumintang berjalan menuju pasar desa, payung kuning milik Javan di tangan kirinya terasa seperti beban yang penuh tanya, sementara tangan kanannya memegang buku catatan yang kini penuh dengan notasi baru—melodi tentang harapan dan ketakutan yang mulai bercampur. Sejak pertemuan di tepi sungai dua minggu lalu, Saryna merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia masih menolak gagasan perjodohan, tapi kehadiran Javan, meski penuh keheningan, meninggalkan jejak yang tak bisa ia abaikan.

Di pasar, suasana ramai dengan suara pedagang menawarkan ikan segar dan aroma ketan yang terbawa angin. Saryna berhenti di lapak Tirza, sahabatnya, yang sedang sibuk menyusun kolplay dan bayam. Tirza melirik payung di tangan Saryna dan tersenyum penuh makna. “Itu bukan payungmu, kan?” tanyanya dengan nada menggoda.

Saryna memalingkan muka, wajahnya memerah. “Cuma pinjam,” jawabnya cepat, berharap Tirza tak akan menggali lebih dalam. Tapi Tirza, dengan sifatnya yang cekatan, tak mudah menyerah.

“Pinjam dari siapa, hm? Javan?” Tirza menaikkan alis, tangannya berhenti menyusun sayuran. “Kalian ketemu lagi? Ceritain dong, Sar. Jangan bikin aku penasaran.”

Saryna menghela napas, tahu tak ada gunanya menghindar. Ia menceritakan pertemuan di tepi sungai, tentang payung yang kini jadi pengingat aneh akan Javan, dan tentang perasaan campur aduk yang ia rasakan—curiga karena cerita luka, tapi juga penasaran akan pria itu. Tirza mendengarkan dengan serius, tapi matanya berkilat penuh antusiasme. “Dia pasti tertarik sama kamu,” katanya tiba-tiba, membuat Saryna tersentak.

“Tertarik? Dia bahkan hampir nggak bicara, Tir. Orang seperti dia nggak mungkin—” Saryna berhenti, suaranya melemah. Hatinya berkata lain, dan itu membuatnya gelisah.

Tirza mengangkat bahu. “Kamu nggak tahu apa yang ada di hati orang, Sar. Tapi aku dengar dari Ibu Rina di pasar, Javan sering terlihat di sungai dengan buku catatan, nulis sesuatu yang rahasia. Katanya dia pernah punya seseorang di kota, tapi ceritanya berakhir tragis. Mungkin itu kenapa dia balik.”

Kata-kata Tirza menggema di pikiran Saryna sepanjang hari. Seseorang? Hati Saryna terasa sesak, meski ia tak mengerti mengapa. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia memutuskan untuk kembali ke sungai, kali ini dengan niat mencari Javan dan memahami lebih dalam, meski ia tahu itu mungkin membukakan luka yang tak ia siap hadapi.

Sore itu, setelah hujan mereda menjadi gerimis, Saryna berjalan menuju sungai dengan hati-hati. Udara dingin menyelinap melalui jaketnya, tapi ia tak peduli. Di kejauhan, ia melihat sosok Javan duduk di tepi sungai, buku catatan terbuka di pangkuannya dan pena di tangannya. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya, rambutnya basah oleh gerimis yang tak ia hindari. Saryna ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah mendekat.

“Javan?” panggilnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara air.

Javan mendongak, terkejut, lalu cepat menutup buku catatannya. “Saryna? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.

“Aku… cuma mau balikin ini,” kata Saryna, mengangkat payung di tangannya. Itu alasan yang lemah, ia tahu, tapi ia tak punya alasan lain. “Dan mungkin ngobrol sedikit.”

Javan mengangguk, menyimpan buku catatannya sebelum mengundang Saryna duduk di sampingnya. Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, hanya suara gerimis dan aliran sungai yang mengisi ruang. Saryna memperhatikan buku catatan itu—kulitnya usang, dengan sudut yang sedikit sobek, seolah menyimpan cerita yang dalam. “Kamu suka nulis?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.

Javan mengangguk, matanya menatap sungai. “Ya. Dulu aku tulis kode program di kota. Sekarang… cuma catatan pribadi.”

“Ini bagus,” kata Saryna, jari-jarinya hampir menyentuh buku itu sebelum ia menariknya kembali. “Kenapa nggak lanjutin di kota? Kamu pasti punya bakat besar.”

Pertanyaan itu membuat Javan menegang. Ia menatap Saryna, lalu menghela napas panjang. “Aku punya, tapi aku kehilangan semuanya. Pekerjaan, mimpi, dan… seseorang. Aku balik karena aku nggak bisa nerusin.”

Saryna terdiam, merasa ada koneksi aneh dengan cerita Javan. “Siapa dia?” tanyanya pelan, hatinya berdetak kencang.

Javan menunduk, tangannya menggenggam buku itu erat. “Namanya Kirana. Kami sama-sama insinyur, punya rencana buat bikin aplikasi besar. Tapi dia… dia nggak tahan dengan tekanan keluargaku yang terus minta aku pulang. Dia pergi, dan aku nggak bisa ngejar. Aku balik ke Lembah Cahaya karena aku nggak tahu harus ke mana.”

Kata-kata itu seperti menusuk hati Saryna. Ia tak tahu mengapa cerita itu terasa begitu dekat, tapi ia merasakan luka yang sama seperti saat ia melawan perjodohan. “Jadi kamu menyerah?” tanyanya, suaranya lembut namun menantang. “Kamu biarin masa lalu nentuin hidupmu?”

Javan menatapnya, matanya penuh pertahanan. “Kamu nggak ngerti, Saryna. Kadang menyerah itu satu-satunya cara buat selamat.”

Saryna menggelengkan kepala, kemarahan kecil menyala di dadanya. “Itu bukan selamat, Javan. Itu cuma sembunyi. Aku tahu rasanya terjebak—aku juga nggak mau perjodohan ini! Tapi aku nggak mau hidup cuma buat orang lain. Aku pengen melodiku punya makna.”

Kata-katanya menggema di tepi sungai, lebih keras dari yang ia maksud. Javan terdiam, matanya menatap Saryna dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara terkejut dan sesuatu yang lebih dalam. “Kamu bener,” katanya akhirnya, suaranya pelan. “Aku sembunyi. Tapi kamu juga, Saryna. Kamu sembunyi di balik melodimu, di nada-nada yang cuma kamu dengar.”

Saryna tersentak, merasa seperti ditampar. Ia ingin membantah, tapi kata-kata Javan terlalu jujur. Ia memang sering bermain seruling untuk melarikan diri, untuk menyembunyikan ketakutannya akan masa depan yang tak ia kendalikan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa seperti dua jiwa yang mulai saling memahami.

“Aku takut,” akui Saryna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gerimis. “Aku takut kalau aku nerima ini, aku bakal kehilangan jiwaku. Tapi aku juga takut… kalau aku tolak, aku bakal nyesel.”

Javan memandangnya, dan untuk pertama kalinya, matanya tak menghindar. “Aku juga takut,” katanya. “Tapi mungkin… kita bisa takut bareng.”

Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi terasa seperti harmoni yang menghubungkan mereka. Saryna tersenyum kecil, air mata menggenang di matanya. “Itu tawaran teraneh yang pernah aku denger,” candanya, tapi suaranya penuh kehangatan.

Javan tertawa pelan, suara yang jarang Saryna dengar, tapi terasa seperti nada baru. “Mungkin aku perlu latihan,” katanya, lalu mengulurkan tangan. “Ayo, kita coba ciptain melodi bareng.”

Saryna memandang tangan itu, lalu menggenggamnya. Tangan Javan hangat, meski sedikit kasar. Malam itu, di kamarnya, ia meniup seruling dan menulis notasi baru, menambahkan harmoni yang terinspirasi dari pertemuan itu.

Esok harinya, Darmawati memberi kabar bahwa keluarga Santoso mengundang mereka untuk makan malam minggu depan—langkah berikutnya dalam perjodohan. Saryna merasa dadanya sesak, tapi di saat yang sama, ia tak bisa menyangkal bahwa ia ingin tahu lebih banyak tentang Javan. Ada harmoni di tengah ketakutannya, dan Saryna tahu, ia ingin menjelajahinya, meski itu berarti menghadapi ketakutannya sendiri.

Hujan terus turun di Lembah Cahaya, dan Saryna merasa seperti berdiri di ambang nada baru—antara menutup melodinya atau membukanya untuk cerita bersama.

Simfoni di Bawah Langit Baru

Pagi itu, pukul 10:33 WIB, Rabu, 25 Juni 2025, hujan di Lembah Cahaya turun dengan lembut, seolah menyapa dengan irama yang penuh harapan, saat Saryna Lumintang berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, mengenakan kebaya hijau muda yang dipilih Darmawati untuk acara makan malam di rumah keluarga Santoso. Rambutnya disisir rapi dan dibiarkan tergerai, beberapa helai sengaja dibiarkan longgar untuk mencerminkan dirinya yang tetap bebas meski di tengah tekanan tradisi. Serulingnya bersandar di sudut ruangan, buku catatan terbuka di meja, penuh dengan notasi terbaru—simfoni tentang cinta yang tumbuh di tengah paksaan. Hari ini adalah hari yang menentukan, dan hatinya bercampur antara ketakutan dan antisipasi.

Perjalanan menuju rumah keluarga Santoso terasa seperti perjalanan menuju titik balik. Saryna berjalan di samping Darmawati, memegang payung kuning milik Javan yang kini menjadi bagian dari ceritanya. Ia tak yakin apa yang diharapkannya—apakah ia akan melawan perjodohan ini hingga akhir, atau membiarkan hati yang mulai terbuka membawanya ke arah baru. Di dalam dirinya, ada perang batin yang perlahan mereda, digantikan oleh nada harmoni yang ia mulai dengar.

Rumah keluarga Santoso tampak hangat dengan lampu minyak yang menyala di halaman, dikelilingi pohon kelapa dan aroma nasi liwet yang menggoda. Pak Santoso dan Bu Wulan menyambut mereka dengan senyum lebar, tapi mata Saryna langsung tertuju pada Javan, yang berdiri di sudut ruangan mengenakan kemeja putih yang rapi, rambutnya sedikit basah oleh gerimis yang ia lewati. Matanya bertemu dengan Saryna sekilas, lalu kembali memalingkan wajah, tapi ada kelembutan yang tak ia sembunyikan sepenuhnya.

Makan malam berlangsung dengan percakapan ringan tentang panen padi dan rencana desa. Saryna berusaha mendengarkan, tapi pikirannya melayang ke pertemuan di tepi sungai. Kata-kata Javan tentang Kirana, luka yang ia bawa, dan tawaran untuk “ciptain melodi bareng”—semua itu seperti notasi yang perlahan membentuk lagu baru dalam hidupnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi di meja makan ini, dengan tatapan penuh harap dari Darmawati dan Bu Wulan, ia merasa seperti terkurung.

Setelah makan, Bu Wulan mengusulkan agar Saryna dan Javan “berbincang sebentar” di beranda belakang, sebuah langkah tradisional untuk menguji kecocokan calon pasangan. Saryna merasa jantungnya berdegup kencang, tapi ia mengangguk, mengikuti Javan yang berjalan pelan menuju beranda. Di luar, hujan turun pelan, menciptakan tirai tipis yang membingkai mereka. Mereka duduk di bangku bambu, ditemani suara rintik yang menenangkan.

“Jadi, ini saatnya kita dipaksa buat akur,” kata Saryna, mencoba memecah keheningan dengan nada ringan, meski suaranya sedikit gemetar.

Javan tersenyum tipis, matanya menatap hujan. “Kamu masih nggak suka ini, ya?” tanyanya, suaranya hangat namun penuh makna.

“Apa kamu suka?” balas Saryna, alisnya terangkat. “Kamu nggak kelihatan orang yang gampang nurut.”

Javan menghela napas, tangannya bermain dengan tepi kemejanya. “Aku nggak suka dipaksa,” akunya. “Tapi aku balik ke Lembah Cahaya karena ayahku butuh aku. Tanah keluarga terancam, dan aku harus bantu. Tapi aku juga… aku lari dari kegagalan di kota.”

Saryna memandangnya, mencoba memahami. “Kegagalan itu Kirana, kan?” tanyanya pelan, hatinya bersiap untuk jawaban yang mungkin menyakitkan.

Javan menunduk, matanya berkaca-kaca. “Ya. Kirana pergi karena aku nggak bisa bagi waktuku antara dia dan keluarga. Aku pikir aku bisa punya semuanya, tapi aku salah. Setelah dia pergi, aku nggak tahu harus ke mana lagi. Aku balik, tapi aku takut buat coba lagi.”

Kata-kata itu menusuk hati Saryna, tapi juga membukakan pintu pemahaman. “Jadi kamu menyerah?” tanyanya, suaranya lembut namun menantang. “Kamu biarin masa lalu nentuin hidupmu?”

Javan menatapnya, matanya penuh pertahanan. “Kamu nggak ngerti, Saryna. Kadang menyerah itu satu-satunya cara buat selamat.”

Saryna menggelengkan kepala, kemarahan kecil menyala di dadanya. “Itu bukan selamat, Javan. Itu cuma sembunyi. Aku tahu rasanya terjebak—aku juga nggak mau perjodohan ini! Tapi aku nggak mau hidup cuma buat orang lain. Aku pengen melodiku punya makna.”

Kata-katanya menggema di beranda, lebih keras dari yang ia maksud. Javan terdiam, matanya menatap Saryna dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara terkejut dan kekaguman. “Kamu bener,” katanya akhirnya, suaranya pelan. “Aku sembunyi. Tapi kamu juga, Saryna. Kamu sembunyi di balik melodimu, di nada-nada yang cuma kamu dengar.”

Saryna tersentak, merasa seperti ditampar. Ia ingin membantah, tapi kata-kata Javan terlalu jujur. Ia memang sering bermain seruling untuk melarikan diri, untuk menyembunyikan ketakutannya akan masa depan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa seperti dua jiwa yang mulai saling memahami.

“Aku takut,” akui Saryna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah rintik. “Aku takut kalau aku nerima ini, aku bakal kehilangan jiwaku. Tapi aku juga takut… kalau aku tolak, aku bakal nyesel.”

Javan memandangnya, matanya tak menghindar. “Aku juga takut,” katanya. “Tapi mungkin… kita bisa takut bareng, dan ciptain sesuatu dari situ.”

Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi terasa seperti simfoni yang menghubungkan mereka. Saryna tersenyum kecil, air mata menggenang. “Itu tawaran paling aneh yang pernah aku denger,” candanya, tapi suaranya penuh kehangatan.

Javan tertawa pelan, suara yang hangat dan tulus. “Mungkin aku perlu latihan,” katanya, lalu mengulurkan tangan. “Ayo, kita coba mainkan melodi bareng.”

Saryna memandang tangan itu, lalu menggenggamnya. Tangan Javan hangat, meski sedikit kasar karena pekerjaan. Malam itu, setelah pulang, ia duduk di ambang jendela, meniup seruling dan menulis notasi terakhir untuk cerita ini:

Hujan membawa kita ke simfoni baru,
Tanganmu jadi nada hatiku.
Kita melangkah, terpaksa namun bebas,
Menyanyi di bawah langit yang menyatu.

Beberapa bulan kemudian, Saryna dan Javan memulai perjalanan mereka sendiri. Mereka menunda pernikahan, memilih membangun studio musik sederhana yang menggabungkan melodi Saryna dan keahlian teknologi Javan untuk alat rekam. Javan kembali mengembangkan aplikasi sederhana, sementara Saryna merekam album pertamanya, dengan satu lagu didedikasikan untuk “pria yang membawa hujan ke melodiku.” Mereka belajar saling memahami, mengubah paksaan menjadi cinta yang tumbuh perlahan, di bawah langit Lembah Cahaya yang selalu basah, tapi kini penuh harmoni.

Hujan Perjodohan yang Berubah Menjadi Cinta adalah lebih dari sekadar cerita romansa—ini adalah perjalanan transformasi dari paksaan menjadi cinta sejati, diwarnai oleh keberanian dan pengorbanan. Dengan ending yang memikat, cerpen ini mengajarkan bahwa cinta dapat bersemi bahkan di tengah tekanan, meninggakan pesan abadi yang akan menggetarkan hati pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan kehangatan kisah ini di setiap tetes hujan!

Terima kasih telah menyelami keindahan Hujan Perjodohan yang Berubah Menjadi Cinta bersama kami! Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan dalam hidup Anda. Sampai jumpa di petualangan membaca berikutnya, dan jangan lupa bagikan artikel ini jika Anda terpikat oleh simfoni Lembah Cahaya!

Leave a Reply