Daftar Isi
Masuki dunia penuh emosi dalam cerpen Hujan Perjodohan dan Cinta yang Tumbuh, sebuah kisah perjodohan terpaksa yang membawa Rania Jelita dan Tavindra Surya ke dalam petualangan cinta di desa Sumber Lestari. Dengan alur yang kaya akan kesedihan, konflik batin, dan akhir yang menghangatkan hati, cerita ini menggambarkan perjalanan dua jiwa yang terjebak tradisi namun menemukan harmoni di tengah rintik hujan. Siapkah Anda terseret dalam simfoni cinta yang inspiratif ini?
Hujan Perjodohan dan Cinta yang Tumbuh
Bayang di Tengah Hujan
Hujan turun deras di kampung kecil bernama Sumber Lestari, sebuah desa terpencil di mana udara dipenuhi aroma tanah basah dan suara jangkrik yang berdenting di malam hari. Di ujung jalan tanah yang berbatu, berdiri sebuah rumah bambu sederhana dengan dinding kayu yang mulai lapuk, tempat tinggal Rania Jelita, seorang perempuan berusia 28 tahun dengan mata abu-abu yang langka di wilayah itu. Rambutnya yang hitam panjang dan sedikit berombak sering ia biarkan tergerai, terkadang basah oleh hujan karena ia merasa air itu membawa ketenangan untuk menulis lagu-lagunya. Rania adalah seorang penyair dan penyanyi lokal yang lagu-lagunya sering dinyanyikan di acara desa, meski ia hidup sederhana dan tak pernah mendapatkan banyak keuntungan.
Pagi itu, Rania duduk di beranda rumahnya, menatap hujan yang membentuk genangan di halaman. Di tangannya, ia memegang gitar tua yang sudah retak di bagian leher, dan sebuah buku catatan penuh lirik yang belum selesai. Ia sedang mencoba merangkai nada tentang kesepian, tapi pikirannya terusik oleh suara langkah kaki yang mendekat dari dalam rumah. Ibunya, Sariwati, muncul di pintu dengan wajah penuh harap yang membuat Rania merasa cemas. “Rania, ada kabar penting,” katanya, suaranya lembut namun penuh tekanan.
Rania menurunkan gitarnya perlahan, menatap ibunya dengan curiga. “Kabar apa lagi, Bu?” tanyanya, tahu bahwa percakapan seperti ini biasanya berujung pada topik yang ia hindari: perjodohan. Di Sumber Lestari, tradisi mempertemukan anak-anak lajang dengan calon pasangan dianggap sebagai kewajiban keluarga, terutama bagi perempuan seusia Rania yang dianggap “terlalu lama” untuk belum menikah.
Sariwati menghela napas panjang, duduk di kursi rotan di samping Rania. “Keluarga Pak Harsono datang minggu depan. Anak mereka, Tavindra Surya, baru pulang dari kota besar. Orangnya pandai, punya pekerjaan baik, dan… cocok untukmu,” jelasnya, matanya penuh harap yang membuat Rania tertekan.
Rania meletakkan buku catatannya dengan agak kasar, suara kertas yang berderit menggema di beranda kecil itu. “Bu, aku sudah bilang aku nggak mau dijodohkan. Musik dan puisi itu hidupku—” Ia berhenti, melihat ekspresi ibunya yang penuh keputusasaan. “Aku nggak kenal orang itu. Aku nggak mau dipaksa!”
Sariwati menggenggam tangan Rania, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah 28 tahun, Rania. Di Sumber Lestari, orang mulai bisik-bisik. Aku cuma ingin kamu punya masa depan yang terjamin. Tavindra ini berbeda. Dia punya pendidikan tinggi, punya rencana besar. Aku yakin kamu bisa menemukan kebahagiaan dengannya.”
Rania menarik tangannya perlahan, hatinya bergetar antara marah dan iba. Ia memahami beban ibunya—sebagai janda yang membesarkannya sendirian sejak ayahnya meninggal delapan tahun lalu karena sakit, Sariwati selalu mengorbankan segalanya untuknya. Tapi gagasan menikahi seseorang yang tak ia pilih terasa seperti pengkhianatan terhadap mimpinya sendiri. “Aku nggak mau terjamin kalau itu berarti kehilangan jiwaku, Bu,” katanya pelan, lalu bangkit meninggalkan beranda.
Malam itu, hujan semakin deras, dan Rania duduk di kamarnya, menatap foto ayahnya yang tersimpan dalam bingkai kayu sederhana. Ayahnya, seorang petani yang suka bernyanyi, pernah berkata, “Lagu-lagumu adalah ceritamu, Rania. Jangan biarkan siapa pun menyanyikannya untukmu.” Kata-kata itu kini terasa seperti pelukan hangat sekaligus beban berat yang menekannya.
Esok harinya, Rania memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Tavindra. Ia tak ingin menghadapi pertemuan itu tanpa persiapan, seperti musisi yang naik panggung tanpa latihan. Ia berjalan ke pasar desa, tempat di mana gosip mengalir lebih cepat daripada air hujan. Di sana, ia bertemu dengan Kirana, sahabatnya sejak kecil yang kini menjual buah di lapak kecil.
“Kir, kamu tahu apa tentang Tavindra Surya, anak Pak Harsono?” tanya Rania sambil membantu Kirana menyusun mangga di keranjang.
Kirana tersenyum kecil, tapi ada keraguan di matanya. “Dia baru pulang dari kota, katanya dari Jakarta. Bekerja di perusahaan teknik, tapi entah kenapa balik ke Sumber Lestari. Orang bilang dia pendiam, tapi ada yang bilang dia bawa luka dari sana. Aku cuma dengar dia sering kelihatan di sawah, sendirian.”
“Luka apa?” Rania mengerutkan kening, rasa ingin tahunya mulai membesar meski ia berusaha menahannya.
Kirana mengangkat bahu. “Entah. Mungkin urusan kerja, mungkin hati. Kamu kenapa tanya? Jangan bilang…” Kirana berhenti, matanya melebar. “Kamu dijodohkan sama dia?”
Rania memalingkan wajah, wajahnya memerah. “Bukan aku yang mau. Ibu.”
Kirana tertawa pelan, tapi ada simpati di suaranya. “Kamu tahu Sumber Lestari, Ran. Tradisi ini susah dilupain. Tapi kalau kamu nggak suka, cari jalan keluar. Kamu kan punya bakat, buat lagu buat hidupmu sendiri.”
Kata-kata Kirana sederhana, tapi mengguncang Rania. Kabur? Ke mana? Ia tak punya cukup uang, tak punya tempat tujuan. Sumber Lestari adalah dunianya, meski kadang terasa seperti sangkar.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya hari kunjungan keluarga Harsono tiba. Rania mengenakan kebaya sederhana warna biru langit, peninggalan ibunya, yang terasa asing di tubuhnya. Ia berdiri di ruang tamu, jantungan berdegup kencang, saat pintu depan dibuka. Pak Harsono, seorang pria tua dengan wajah ramah, masuk bersama istri dan anak laki-lakinya—Tavindra.
Tavindra lebih tinggi dari yang Rania bayangkan, dengan rambut hitam yang rapi dan mata cokelat gelap yang tampak dalam. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, tapi ada aura yang membuatnya berbeda dari pemuda Sumber Lestari lainnya. Sikapnya tenang, hampir dingin, dan ia tak banyak bicara selama percakapan formal itu berlangsung.
“Rania, ini Tavindra,” kata Pak Harsono, suaranya penuh kebanggaan. “Dia baru pulang dari kota. Sekarang dia membantu aku mengelola tanah keluarga.”
Tavindra mengangguk sopan, tapi matanya hanya sekilas bertemu dengan Rania sebelum ia memalingkan wajah. Rania merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik sikapnya itu, tapi ia tak punya cukup waktu untuk memikirkannya sebelum ibunya memulai percakapan lebih lanjut.
Malam itu, setelah keluarga Harsono pulang, Rania duduk di beranda lagi, hujan kembali turun. Ia merasa seperti lagu yang tak selesai—terjebak dalam nada yang tak ia tulis sendiri. Tapi di antara rasa frustrasinya, ada sesuatu yang menggelitik di hatinya. Tavindra, dengan segala misterinya, membuatnya penasaran. Dan itu, entah kenapa, membuatnya takut.
Ia mengambil gitarnya dan mulai memetik nada pelan, lalu menulis lirik di buku catatannya:
Di tengah hujan, aku lihat bayangmu,
Seorang asing yang membawa tanya.
Apakah ini awal luka,
Atau nada cinta yang terpaksa?
Rania menutup buku itu, menatap hujan yang tak kunjung reda. Ia tahu, ini baru awal dari cerita yang tak ia inginkan, tapi entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang menunggunya di ujung jalan—entah luka atau harmoni.
Melodi di Bawah Payung
Hujan di Sumber Lestari tak pernah benar-benar berhenti, hanya jeda singkat sebelum kembali mengguyur kampung dengan irama yang terasa seperti alunan musik alam. Pagi itu, Rania Jelita berjalan menyusuri jalan tanah menuju bukit kecil di pinggir desa, tempat ia sering mencari inspirasi untuk lagu-lagunya. Ia mengenakan jaket cokelat tua yang sedikit robek di lengan, warisan ayahnya, dan membawa gitar tua serta buku catatan yang sudah penuh coretan. Di tangan kirinya, ia memegang payung sederhana berwarna hijau yang sering bocor di sisi kanan, tapi itu tak menghalanginya menikmati hujan.
Sejak kunjungan keluarga Harsono seminggu lalu, pikiran Rania dipenuhi bayangan Tavindra Surya. Bukan karena ia tertarik—setidaknya, itulah yang ia yakinkan pada dirinya sendiri—tapi karena ada sesuatu dalam sikap pria itu yang terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Matanya yang menghindari kontak, gerakannya yang hati-hati, dan diamnya yang lebih berbicara daripada kata-kata—semua itu terus bergema di kepalanya. Rania benci mengakui, tapi rasa ingin tahunya mulai menggerogoti pertahanannya.
Di bukit kecil, Rania duduk di bawah pohon beringin tua, menyelaraskan senar gitarnya yang sudah mulai kendur. Angin bercampur hujan membawa aroma rumput basah, dan ia mulai memetik nada pelan, mencoba merangkai lagu baru tentang harapan yang hilang. Tapi pikirannya melayang ke cerita yang ia dengar dari Kirana: Tavindra sering terlihat di sawah, sendirian, seolah mencari sesuatu yang hilang. Rania bertanya-tanya apa yang membawa pria itu kembali ke Sumber Lestari, meninggalkan kehidupan yang katanya penuh janji di kota.
Saat ia tenggelam dalam melodi, suara langkah kaki di rerumputan basah mengalihkan perhatiannya. Rania mendongak, dan jantungnya seolah berhenti sesaat. Tavindra berdiri tak jauh dari situ, mengenakan jaket abu-abu dan celana jeans, rambutnya sedikit basah meski ia memegang payung. Ia tampak terkejut melihat Rania, tapi cepat menutupinya dengan ekspresi netral. “Rania?” panggilnya, suaranya rendah namun jelas.
Rania buru-buru menunduk, berharap ia tak terlihat terlalu kaget. “Ya, aku… cuma nyanyi,” jawabnya, berusaha terdengar acuh. Ia melanjutkan memetik gitarnya, tapi jarinya sedikit gemetar. Tavindra mendekat perlahan, berdiri di sampingnya tanpa mengganggu, matanya menatap buku catatan dengan minat yang tak disangka.
“Itu lagu?” tanya Tavindra, suaranya hangat namun penuh cadangan. “Keren. Kamu punya bakat.”
Rania memandangnya sekilas, terkejut dengan pujian itu. “Terima kasih. Aku cuma iseng,” balasnya, lalu menambahkan, “Kamu sering ke sini?”
Tavindra mengangguk, matanya kembali menatap bukit. “Kadang. Tempat ini… tenang. Membantu aku mikir.” Ia berhenti sejenak, lalu melirik Rania. “Kamu juga suka tempat ini?”
“Kadang,” jawab Rania, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Katanya kamu baru pulang dari kota. Kenapa balik ke Sumber Lestari?”
Pertanyaan itu membuat Tavindra menegang. Ia menunduk, memainkan tepi payungnya dengan jari-jarinya. “Ada alasan,” katanya singkat, suaranya penuh beban. “Keluarga. Dan… aku butuh istirahat.”
Rania ingin bertanya lebih dalam, tapi ada sesuatu dalam nada Tavindra yang membuatnya berhenti. Ia melanjutkan memetik gitarnya, dan selama satu jam berikutnya, mereka duduk dalam keheningan yang anehnya tak canggung. Hanya suara hujan dan nada gitar yang mengisi ruang, sementara Rania menyelinap memandangi Tavindra dari sudut matanya. Ia memperhatikan caranya duduk—tegak, tapi dengan bahu yang sedikit turun, seolah membawa beban yang tak terucap.
Saat hujan mulai deras, Rania menyadari payungnya tak cukup melindungi gitarnya. Ia menghela napas, bersiap untuk membungkus alatnya, tapi Tavindra tiba-tiba menggeser posisinya, mengulurkan payungnya lebih lebar untuk melindungi Rania dan gitarnya. “Ambil ini,” katanya, suaranya tegas. “Payungmu bocor.”
Rania menolak secara refleks. “Nggak usah, aku baik-baik saja—”
“Kamu bakal basah kuyup,” potong Tavindra, matanya menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dibantah. “Aku nggak keberatan.”
Mereka berbagi payung, berjalan perlahan menuju jalan tanah yang menuju desa. Awalnya, tak ada yang bicara. Rania memeluk gitarnya erat, mencoba mengabaikan kehadiran Tavindra di sampingnya. Tapi keheningan itu terasa semakin berat, seperti awan yang siap pecah.
“Kenapa kamu nggak suka dijodohkan?” tanya Tavindra tiba-tiba, suaranya lembut namun langsung.
Rania terkejut, hampir tersandung. “Aku… aku nggak mau hidup yang udah ditentuin orang lain,” jawabnya, suaranya pelan. “Aku pengen laguku jadi ceritaku, bukan pernikahan yang dipaksa.”
Tavindra mengangguk, seolah memahami. “Aku juga nggak suka dipaksa,” katanya. “Tapi kadang, kita nggak punya pilihan.”
Kata-kata itu membuat Rania meliriknya, mencoba membaca ekspresinya. “Kamu terpaksa setuju sama ini?” tanyanya, hatinya mulai dipenuhi rasa ingin tahu yang lebih dalam.
Tavindra tak langsung menjawab. Ia menatap hujan di depan, lalu menghela napas. “Aku balik karena keluarga butuh aku. Ayahku sakit, tanah keluarga perlu dikelola. Tapi aku… aku juga lari dari sesuatu di kota. Jadi, ya, aku terpaksa.”
Rania terdiam, merasa ada koneksi aneh di antara mereka—dua orang yang terjebak dalam paksaan yang tak mereka inginkan. Mereka sampai di persimpangan menuju rumah Rania, dan Tavindra berhenti. “Sampai sini saja,” katanya, menyerahkan payungnya sepenuhnya. “Pegang ini. Aku punya cadangan di rumah.”
Rania memandang payung itu, lalu Tavindra, dengan perasaan bingung. “Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku suka hujan,” jawab Tavindra sederhana, lalu berbalik meninggalkannya di bawah guyuran air.
Malam itu, Rania tak bisa tidur. Ia duduk di kamarnya, menatap payung Tavindra yang kini bersandar di sudut ruangan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: mengapa Tavindra begitu tertutup? Apa yang ia lari dari? Dan mengapa, di tengah rasa kesalnya, ia merasa ada benih harapan yang tumbuh di hatinya—sesuatu yang asing dan menakutkan?
Ia mengambil gitarnya dan memetik nada baru, lalu menulis lirik di buku catatannya:
Di bawah payungmu, aku dengar melodi,
Tapi hatimu menyimpan badai yang tak terucap.
Apakah ini awal dari harmoni,
Atau hanya hujan yang menipu?
Esok harinya, Rania mendengar dari Kirana bahwa Tavindra sering terlihat di sawah dengan buku catatan, menulis sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. “Dia aneh, Ran,” kata Kirana sambil menyusun buah. “Orang bilang dia pernah punya seseorang di kota, tapi ceritanya berakhir buruk. Mungkin itu kenapa dia balik.”
Kata-kata Kirana membuat Rania terdiam. Seseorang? Hati Rania tiba-tiba terasa sesak, meski ia tak tahu mengapa. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi setiap kali ia melewati sawah dalam perjalanan ke pasar, ia tak bisa menahan diri untuk melirik, berharap—dan takut—melihat sosok Tavindra di sana.
Hujan terus turun di Sumber Lestari, dan Rania tahu, pertemuan di bawah payung itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah lagu hidupnya, entah menjadi simfoni indah atau nada yang patah.
Harmoni di Tengah Badai
Hujan di Sumber Lestari pagi itu terasa lebih dingin, seolah menyapa dengan irama yang lebih dalam, saat Rania Jelita berjalan menyusuri jalan tanah menuju pasar desa. Payung hijau milik Tavindra di tangan kirinya terasa seperti beban ringan yang membawa kenangan, sementara tangan kanannya memegang buku catatan yang kini penuh dengan lirik baru—melodi tentang harapan dan ketakutan yang mulai menyatu. Sejak pertemuan di bukit kecil dua minggu lalu, Rania merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia masih menolak gagasan perjodohan, tapi kehadiran Tavindra, meski penuh keheningan, meninggalkan jejak yang tak bisa ia abaikan.
Di pasar, suasana ramai dengan suara pedagang menawarkan ikan segar dan aroma kelapa yang terbawa angin. Rania berhenti di lapak Kirana, sahabatnya, yang sedang sibuk menyusun mangga dan pisang. Kirana melirik payung di tangan Rania dan tersenyum penuh makna. “Itu bukan payungmu, kan?” tanyanya dengan nada menggoda.
Rania memalingkan muka, wajahnya memerah. “Cuma pinjam,” jawabnya cepat, berharap Kirana tak akan menggali lebih dalam. Tapi Kirana, dengan sifatnya yang penasaran, tak mudah menyerah.
“Pinjam dari siapa, hm? Tavindra?” Kirana menaikkan alis, tangannya berhenti menyusun buah. “Kalian ketemu lagi? Ceritain dong, Ran. Jangan bikin aku penasaran.”
Rania menghela napas, tahu tak ada gunanya menghindar. Ia menceritakan pertemuan di bukit, tentang payung yang kini jadi pengingat aneh akan Tavindra, dan tentang perasaan campur aduk yang ia rasakan. Kirana mendengarkan dengan serius, tapi matanya berkilat penuh antusiasme. “Dia pasti tertarik sama kamu,” katanya tiba-tiba, membuat Rania tersedak.
“Tertarik? Dia bahkan hampir nggak bicara, Kir. Orang seperti dia nggak mungkin—” Rania berhenti, suaranya melemah. Hatinya berkata lain, dan itu membuatnya gelisah.
Kirana mengangkat bahu. “Kamu nggak tahu apa yang ada di hati orang, Ran. Tapi aku dengar dari Ibu Siti di pasar, Tavindra sering terlihat di sawah dengan buku catatan, nulis sesuatu yang rahasia. Katanya dia pernah punya seseorang di kota, tapi ceritanya berakhir tragis. Mungkin itu kenapa dia balik.”
Kata-kata Kirana menggema di pikiran Rania sepanjang hari. Seseorang? Hati Rania terasa sesak, meski ia tak mengerti mengapa. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia memutuskan untuk kembali ke sawah, kali ini dengan niat mencari Tavindra dan memahami lebih dalam, meski ia tahu itu mungkin membukakan luka yang tak ia siap hadapi.
Sore itu, setelah hujan mereda menjadi gerimis, Rania berjalan menuju sawah dengan hati-hati. Udara dingin menyelinap melalui jaketnya, tapi ia tak peduli. Di kejauhan, ia melihat sosok Tavindra duduk di tepi pematang, buku catatan terbuka di pangkuannya dan pena di tangannya. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya, rambutnya basah oleh gerimis yang tak ia hindari. Rania ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah mendekat.
“Tavindra?” panggilnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin.
Tavindra mendongak, terkejut, lalu cepat menutup buku catatannya. “Rania? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.
“Aku… cuma mau balikin ini,” kata Rania, mengangkat payung di tangannya. Itu alasan yang lemah, ia tahu, tapi ia tak punya alasan lain. “Dan mungkin ngobrol sedikit.”
Tavindra mengangguk, menyimpan buku catatannya sebelum mengundang Rania duduk di sampingnya. Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, hanya suara gerimis dan desir angin yang mengisi ruang. Rania memperhatikan buku catatan itu—kulitnya usang, dengan sudut yang sedikit sobek, seolah menyimpan cerita yang dalam. “Kamu suka nulis?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.
Tavindra mengangguk, matanya menatap sawah. “Ya. Dulu aku tulis laporan teknis di kota. Sekarang… cuma catatan pribadi.”
“Ini bagus,” kata Rania, jari-jarinya hampir menyentuh buku itu sebelum ia menariknya kembali. “Kenapa nggak lanjutin di kota? Kamu pasti punya bakat besar.”
Pertanyaan itu membuat Tavindra menegang. Ia menatap Rania, lalu menghela napas panjang. “Aku punya, tapi aku kehilangan semuanya. Pekerjaan, mimpi, dan… seseorang. Aku balik karena aku nggak bisa nerusin.”
Rania terdiam, merasa ada koneksi aneh dengan cerita Tavindra. “Siapa dia?” tanyanya pelan, hatinya berdetak kencang.
Tavindra menunduk, tangannya menggenggam buku itu erat. “Namanya Lirna. Kami sama-sama insinyur, punya rencana buat bikin proyek besar. Tapi dia… dia nggak tahan dengan tekanan keluargaku yang terus minta aku pulang. Dia pergi, dan aku nggak bisa ngejar. Aku balik ke Sumber Lestari karena aku nggak tahu harus ke mana.”
Kata-kata itu seperti menusuk hati Rania. Ia tak tahu mengapa cerita itu terasa begitu dekat, tapi ia merasakan luka yang sama seperti saat ia melawan perjodohan. “Jadi kamu menyerah?” tanyanya, suaranya lembut namun menantang. “Kamu biarin masa lalu nentuin hidupmu?”
Tavindra menatapnya, matanya penuh pertahanan. “Kamu nggak ngerti, Rania. Kadang menyerah itu satu-satunya cara buat selamat.”
Rania menggelengkan kepala, kemarahan kecil menyala di dadanya. “Itu bukan selamat, Tavindra. Itu cuma sembunyi. Aku tahu rasanya terjebak—aku juga nggak mau perjodohan ini! Tapi aku nggak mau hidup cuma buat orang lain. Aku pengen laguku punya makna.”
Kata-katanya menggema di sawah, lebih keras dari yang ia maksud. Tavindra terdiam, matanya menatap Rania dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara terkejut dan sesuatu yang lebih dalam. “Kamu bener,” katanya akhirnya, suaranya pelan. “Aku sembunyi. Tapi kamu juga, Rania. Kamu sembunyi di balik lagumu, di nada-nada yang cuma kamu dengar.”
Rania tersentak, merasa seperti ditampar. Ia ingin membantah, tapi kata-kata Tavindra terlalu jujur. Ia memang sering menulis lagu untuk melarikan diri, untuk menyembunyikan ketakutannya akan masa depan yang tak ia kendalikan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa seperti dua jiwa yang mulai saling memahami.
“Aku takut,” akui Rania, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gerimis. “Aku takut kalau aku nerima ini, aku bakal kehilangan jiwaku. Tapi aku juga takut… kalau aku tolak, aku bakal nyesel.”
Tavindra memandangnya, dan untuk pertama kalinya, matanya tak menghindar. “Aku juga takut,” katanya. “Tapi mungkin… kita bisa takut bareng.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi terasa seperti jembatan yang menghubungkan mereka. Rania tersenyum kecil, air mata menggenang di matanya. “Itu tawaran teraneh yang pernah aku denger,” candanya, tapi suaranya penuh kehangatan.
Tavindra tertawa pelan, suara yang jarang Rania dengar, tapi terasa seperti harmoni di tengah badai. “Mungkin aku perlu latihan,” katanya, lalu mengulurkan tangan. “Ayo, kita coba temuin nada bareng.”
Rania memandang tangan itu, lalu menggenggamnya. Tangan Tavindra hangat, meski sedikit kasar karena pekerjaan. Malam itu, di kamarnya, ia memetik gitar dan menulis lagu baru, menambahkan harmoni yang terinspirasi dari pertemuan itu.
Esok harinya, Sariwati memberi kabar bahwa keluarga Harsono mengundang mereka untuk makan malam minggu depan—langkah berikutnya dalam perjodohan. Rania merasa dadanya sesak, tapi di saat yang sama, ia tak bisa menyangkal bahwa ia ingin tahu lebih banyak tentang Tavindra. Ada harmoni di tengah badai hatinya, dan Rania tahu, ia ingin menjelajahinya, meski itu berarti menghadapi ketakutannya sendiri.
Hujan terus turun di Sumber Lestari, dan Rania merasa seperti berdiri di ambang nada baru—antara menutup lagunya atau membukanya untuk cerita bersama.
Simfoni di Bawah Langit Baru
Pagi itu, 25 Juni 2025, pukul 08:37 WIB, hujan di Sumber Lestari terasa lebih lembut, seolah menyapa dengan nada yang penuh harapan, saat Rania Jelita berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, mengenakan kebaya biru langit yang dipilih Sariwati untuk acara makan malam di rumah keluarga Harsono. Rambutnya disisir rapi dan dibiarkan tergerai, beberapa helai sengaja dibiarkan longgar untuk mencerminkan dirinya yang tetap bebas meski di tengah tekanan tradisi. Gitarnya bersandar di sudut ruangan, buku catatan terbuka di meja, penuh dengan lirik terbaru—simfoni tentang cinta yang tumbuh di tengah paksaan. Hari ini adalah hari yang menentukan, dan hatinya bercampur antara ketakutan dan antisipasi.
Perjalanan menuju rumah keluarga Harsono terasa seperti perjalanan menuju titik balik. Rania berjalan di samping Sariwati, memegang payung hijau milik Tavindra yang kini menjadi bagian dari ceritanya. Ia tak yakin apa yang diharapkannya—apakah ia akan melawan perjodohan ini hingga akhir, atau membiarkan hati yang mulai terbuka membawanya ke arah baru. Di dalam dirinya, ada perang batin yang perlahan mereda, digantikan oleh nada harmoni yang ia mulai dengar.
Rumah keluarga Harsono tampak hangat dengan lampu minyak yang menyala di halaman, dikelilingi pohon pisang dan aroma makanan khas Sumber Lestari: ayam goreng, sayur bayam, dan sambal terasi yang menggoda. Pak Harsono dan Bu Lestari menyambut mereka dengan senyum lebar, tapi mata Rania langsung tertuju pada Tavindra, yang berdiri di sudut ruangan mengenakan kemeja putih yang rapi, rambutnya sedikit basah oleh gerimis yang ia lewati. Matanya bertemu dengan Rania sekilas, lalu kembali memalingkan wajah, tapi ada kelembutan yang tak ia sembunyikan sepenuhnya.
Makan malam berlangsung dengan percakapan ringan tentang panen terakhir dan rencana desa. Rania berusaha mendengarkan, tapi pikirannya melayang ke pertemuan di sawah. Kata-kata Tavindra tentang Lirna, luka yang ia bawa, dan tawaran untuk “temuin nada bareng”—semua itu seperti lirik yang perlahan membentuk lagu baru dalam hidupnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi di meja makan ini, dengan tatapan penuh harap dari Sariwati dan Bu Lestari, ia merasa seperti terkurung.
Setelah makan, Bu Lestari mengusulkan agar Rania dan Tavindra “berbincang sebentar” di beranda belakang, sebuah langkah tradisional untuk menguji kecocokan calon pasangan. Rania merasa jantungnya berdegup kencang, tapi ia mengangguk, mengikuti Tavindra yang berjalan pelan menuju beranda. Di luar, hujan turun pelan, menciptakan tirai tipis yang membingkai mereka. Mereka duduk di bangku bambu, ditemani suara rintik yang menenangkan.
“Jadi, ini saatnya kita dipaksa buat akur,” kata Rania, mencoba memecah keheningan dengan nada ringan, meski suaranya sedikit gemetar.
Tavindra tersenyum tipis, matanya menatap hujan. “Kamu masih nggak suka ini, ya?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh makna.
“Apa kamu suka?” balas Rania, alisnya terangkat. “Kamu nggak kelihatan orang yang gampang nurut.”
Tavindra menghela napas, tangannya bermain dengan tepi kemejanya. “Aku nggak suka dipaksa,” akunya. “Tapi aku balik ke Sumber Lestari karena ayahku butuh aku. Tanah keluarga hancur, dan aku nggak bisa ninggalin dia sendirian. Tapi aku juga… aku lari dari kegagalan di kota.”
Rania memandangnya, mencoba memahami. “Kegagalan itu Lirna, kan?” tanyanya pelan, hatinya bersiap untuk jawaban yang mungkin menyakitkan.
Tavindra menunduk, matanya berkaca-kaca. “Ya. Lirna pergi karena aku nggak bisa bagi waktuku antara dia dan keluarga. Aku pikir aku bisa punya semuanya, tapi aku salah. Setelah dia pergi, aku nggak tahu harus ke mana lagi. Aku balik, tapi aku takut buat coba lagi.”
Kata-kata itu menusuk hati Rania, tapi juga membukakan pintu pemahaman. “Jadi kamu sembunyi di sini, seperti aku sembunyi di laguku,” katanya, suaranya lembut. “Kita sama-sama takut, tapi aku nggak mau hidup cuma buat lari.”
Tavindra menatapnya, matanya penuh kejutan. “Kamu bener. Aku sembunyi. Tapi aku lihat kamu—lagumu, caramu bertahan. Itu bikin aku mikir… mungkin aku bisa coba lagi.”
Rania tersenyum kecil, air mata menggenang. “Tapi kita dipaksa, Tavindra. Bagaimana kita bisa bahagia kalau ini semua cuma paksaan?”
Tavindra berpikir sejenak, lalu mengulurkan tangan. “Mungkin kita ubah paksaan ini jadi pilihan. Aku nggak janji sempurna, tapi aku janji coba bareng kamu. Nggak buat keluarga, tapi buat kita.”
Rania memandang tangan itu, jantungnya berdegup kencang. Ia menggenggamnya, merasa hangatnya tangan Tavindra yang kasar namun penuh harapan. “Kalau gagal, aku bakal tulis lagu kegagalan kita,” katanya, tersenyum tipis.
Tavindra tertawa, suara yang hangat dan tulus. “Deal. Tapi aku harap kita tulis lagu kemenangan.”
Malam itu, setelah pulang, Rania duduk di beranda, menatap hujan yang perlahan reda. Ia mengambil gitar dan memetik nada baru, menulis lirik terakhir untuk cerita ini:
Hujan membawa kita ke nada baru,
Tanganmu jadi harmoni hatiku.
Kita melangkah, terpaksa namun bebas,
Menyanyi di bawah langit yang menyatu.
Beberapa bulan kemudian, Rania dan Tavindra memulai perjalanan mereka sendiri. Mereka menunda pernikahan, memilih membangun usaha kecil bersama—studio musik sederhana yang menggabungkan lagu Rania dan desain teknis Tavindra untuk peralatan. Tavindra kembali menggambar proyek-proyek kecil, sementara Rania merekam album pertamanya, dengan satu lagu didedikasikan untuk “pria yang membawa hujan ke laguku.” Mereka belajar saling memahami, mengubah paksaan menjadi cinta yang tumbuh perlahan, di bawah langit Sumber Lestari yang selalu basah, tapi kini penuh harmoni.
Hujan Perjodohan dan Cinta yang Tumbuh adalah lebih dari sekadar cerita romansa—ini adalah perjalanan transformasi dari paksaan menjadi cinta sejati, diwarnai oleh keberanian dan pengorbanan. Dengan ending yang memikat, cerpen ini mengajarkan bahwa cinta dapat bersemi bahkan di tengah tekanan, meninggalkan pesan abadi yang akan menggetarkan hati pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan kehangatan kisah ini di setiap tetes hujan!
Terima kasih telah menyelami keindahan Hujan Perjodohan dan Cinta yang Tumbuh bersama kami! Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan dalam hidup Anda. Sampai jumpa di petualangan membaca berikutnya, dan jangan lupa bagikan artikel ini jika Anda terpikat oleh lagu Sumber Lestari!


