Daftar Isi
Oke, bayangin kamu lagi duduk sendirian di tempat yang sepi, denger suara hujan yang udah mulai turun pelan-pelan, dan kamu ngerasa semua kenangan itu datang begitu aja, kayak hujan yang nggak bisa berhenti.
Cerita ini bukan tentang hujan yang nyegerin, tapi lebih ke hujan yang ngerusak semua yang udah kamu bangun. Kadang, kita ngerasa kita bisa sembuh, tapi ternyata cuma nambahin luka aja. Begitu juga dengan cinta. Ada kalanya kita cuma diseret masuk ke dalam, tanpa tahu gimana cara keluar. Cinta itu bukan selalu manis, kadang malah bikin kita terjatuh.
Hujan di Bulan September
Tetes-Tetes yang Tak Pernah Berhenti
Hujan turun dengan deras, menampar atap rumah dengan ritme yang hampir seperti lagu sedih yang tak ada ujungnya. Dhuha duduk di jendela kamar, menatap ke luar. Tanah yang basah mengeluarkan aroma khas yang selalu mengingatkannya pada kenangan buruk. Setiap kali hujan, dia merasa seperti ada sesuatu yang menyesakkan dada, seperti ada yang mencekik tenggorokannya.
Di luar, jalanan mulai tampak sepi, kecuali beberapa kendaraan yang melintas dengan kecepatan tinggi, menyemprotkan air yang menambah kekacauan pada trotoar. Dhuha menarik napas dalam-dalam, berharap bisa mengusir segala perasaan itu, namun yang dia rasakan malah semakin berat. Dia selalu merasa sendirian, meskipun ada banyak orang di sekitar. Semua tampak seperti kabut yang mengaburkan pandangan.
Hujan yang datang setiap September itu, seperti teman lama yang selalu kembali. Tidak ada yang istimewa tentang hujan di bulan ini, selain fakta bahwa itu mengingatkan Dhuha pada satu hal: Azzam.
Azzam, pria yang datang dengan segala kelembutannya, memecahkan dinding hati Dhuha yang sudah lama terkunci rapat. Tapi, justru ketika dinding itu mulai runtuh, dia merasa terjatuh semakin dalam. Azzam seakan menjadi satu-satunya yang bisa membuatnya merasa hidup kembali, tapi di saat yang bersamaan, dia juga menjadi yang paling melukai.
Dhuha masih ingat pertemuan pertama mereka. Waktu itu, dia sedang duduk sendiri di taman, meresapi kesendirian yang entah mengapa terasa semakin menyakitkan. Dhuha bukan tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain. Dia lebih suka menyendiri, berkutat dengan pikirannya sendiri. Tapi, Azzam berbeda. Dia duduk di dekatnya, tak lebih dari satu meter, dan hanya mengamati Dhuha sejenak.
“Aku bisa duduk di sini?” suara Azzam begitu tenang, namun cukup untuk mengalihkan perhatian Dhuha.
Dhuha menoleh sekilas, menyadari bahwa pria itu bukan sembarang orang. Rambutnya rapi, senyumnya hangat, dan mata cokelatnya penuh dengan kedamaian yang membuat Dhuha merasa aneh. Ada sesuatu dalam diri Azzam yang membuatnya ingin bertanya, meskipun tidak ada alasan jelas untuk itu.
“Silakan,” jawab Dhuha singkat, merasa sedikit terganggu namun tidak cukup untuk meminta Azzam pergi.
Azzam duduk tanpa banyak bicara. Mereka hanya duduk diam, menikmati keheningan yang memisahkan mereka, hingga akhirnya Azzam membuka percakapan.
“Aku Azzam,” ujarnya sambil menatap Dhuha dengan penuh rasa ingin tahu. “Kamu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.”
Dhuha menoleh, sedikit terkejut. “Tidak juga. Hanya memikirkan hujan,” jawabnya, berusaha bersikap biasa. Hujan memang selalu menjadi teman setianya, meskipun itu menyakitkan.
“Aku suka hujan,” kata Azzam, kemudian menambahkan, “Kadang, hujan bisa menghapus banyak hal.”
Dhuha tertawa kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba mengusik hatinya. Hujan tidak menghapus apa-apa. Hujan hanya datang untuk mengingatkan, hanya membuat semuanya semakin jelas. Setiap tetesnya adalah kenangan yang kembali, yang tidak pernah bisa dilupakan.
“Tentu,” jawab Dhuha, setengah tidak percaya.
Mereka berdua hanya duduk, menikmati hujan yang semakin deras. Azzam memandang Dhuha dengan pandangan yang sulit dipahami. Ada kehangatan di sana, tapi Dhuha tidak ingin terlalu memikirkannya. Dia tahu dia tidak pantas diberi perhatian lebih dari orang lain. Tidak ada yang bisa menyembuhkan luka-luka itu.
Hari-hari berikutnya terasa aneh. Azzam muncul di mana-mana. Tak peduli di mana Dhuha berada, dia selalu saja muncul, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua. Awalnya, Dhuha merasa canggung. Namun, lama-kelamaan, dia merasa seolah ada ruang untuknya di dunia Azzam, meskipun hanya sebentar.
Suatu malam, ketika hujan kembali turun, Azzam mengajaknya berjalan di taman yang biasa mereka kunjungi. Tangan Dhuha terulur, dan tanpa banyak berpikir, Azzam menggenggamnya.
“Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, Dhuha,” kata Azzam, suara berat dan penuh makna.
Dhuha berhenti berjalan, menatap Azzam dengan cemas. “Apa maksudmu?” tanyanya, meskipun hatinya sudah mulai terhimpit rasa takut yang tak bisa ia jelaskan.
“Aku ingin membuatmu percaya lagi. Percaya pada cinta, percaya pada kebahagiaan,” jawab Azzam, matanya bersinar dengan tekad. “Aku tahu itu sulit, tapi aku akan berjuang.”
Dhuha hanya diam. Bagaimana bisa Azzam mengatakan hal seperti itu padanya? Dia yang sudah terlalu lama terluka. Dia yang sudah kehilangan semua harapan. Cinta itu… bukankah hanya kebohongan? Kenapa Azzam masih berusaha?
“Dhuha,” Azzam melanjutkan, menariknya lebih dekat. “Aku tahu aku tidak bisa menyembuhkanmu dalam semalam, tapi aku janji aku akan ada di sini. Aku akan membuatmu percaya pada cinta.”
Dhuha menunduk, menahan air mata yang sudah mulai menggenang. Hujan di bulan September itu mengingatkan padanya pada sesuatu yang tak bisa dihapus. Dhuha merasa ada yang berbeda dalam dirinya, perasaan yang tak bisa dia ungkapkan, rasa yang membuatnya takut.
Namun, apa yang Azzam katakan, ternyata hanyalah permulaan dari perjalanan yang akan membawa Dhuha lebih dalam lagi ke dalam kegelapan yang sulit untuk ia keluar darinya. Cinta itu, yang dulu begitu asing baginya, ternyata membawa luka yang lebih dalam dari yang dia kira.
Cinta yang Terlambat
Hari-hari yang penuh dengan perhatian Azzam kini mulai terasa seperti sebuah mimpi buruk yang terulang tanpa henti. Dhuha mulai merasa semakin terperangkap dalam dunia yang dibangun Azzam, dunia yang dipenuhi dengan janji-janji kosong yang hanya memperburuk luka-lukanya. Sebelum semuanya menjadi jelas, Dhuha sudah terjebak begitu dalam, begitu terikat pada perasaan yang ia tidak pahami, bahkan tidak ingin dipahami.
Azzam terus datang, dengan segala perhatiannya yang tidak pernah berhenti. Setiap kata yang diucapkan Azzam, setiap senyuman yang diberikan, hanya membuat Dhuha semakin bingung. Terkadang, dia merasa ada sesuatu yang indah dalam perhatian itu, tapi sering kali juga ada perasaan hampa yang mengikutinya, seperti bayangan yang tak bisa dia hindari.
Hari itu, hujan turun dengan deras, lebih deras dari biasanya. Dhuha berdiri di jendela kamar, menatap luar dengan tatapan kosong. Dia sudah terbiasa dengan hujan, tapi kali ini hujan itu terasa lebih menyakitkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang menolak kenyataan, menolak perasaan yang dia coba sembunyikan.
“Dhuha,” suara Azzam terdengar dari belakang, lembut namun memaksa. “Kenapa kamu selalu terlihat seperti itu? Terlalu banyak berpikir.”
Dhuha berbalik, dan menemukan Azzam berdiri di ambang pintu kamar. Matanya menatapnya dengan penuh perhatian, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. Dhuha tidak tahu harus berkata apa, karena setiap kali Azzam menatapnya seperti itu, dia merasa lelah. Lelah dengan perasaan yang terus bergejolak, lelah dengan perasaan yang tidak bisa dia kendalikan.
“Aku hanya merasa… semuanya seperti akan runtuh, Azzam,” jawab Dhuha, mencoba menghindar dari pandangan Azzam. “Aku takut… takut kalau aku salah berharap.”
Azzam melangkah mendekat, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Dhuha. “Jangan takut, Dhuha. Aku di sini untukmu. Aku akan membuatmu merasa lebih baik. Percaya padaku.”
Namun, ada sesuatu yang merayap dalam hati Dhuha, sesuatu yang lebih besar daripada perasaan takut atau cemas. Rasa itu seperti sebuah batu besar yang menghalangi jalan, menahan dirinya untuk tidak sepenuhnya menyerah pada Azzam. Meskipun Azzam terlihat seperti orang yang bisa menyembuhkan segala luka, Dhuha tahu—dalam hatinya yang terdalam—bahwa dia tidak bisa disembuhkan begitu saja.
“Tidak, Azzam,” kata Dhuha pelan, menarik tangannya dari genggaman Azzam. “Aku tidak bisa… Aku tidak bisa hanya mengikuti kata-katamu. Aku tidak bisa begitu saja percaya.”
Azzam terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kamu tahu, Dhuha, aku tidak bisa membuatmu lupa semua rasa sakitmu, tapi aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu. Aku ingin membantu.”
Tapi, kata-kata itu hanya membuat Dhuha semakin bingung. Azzam selalu berbicara seperti dia adalah satu-satunya yang bisa mengerti, satu-satunya yang bisa membuat semuanya menjadi baik-baik saja. Tapi kenyataannya, semakin Azzam berusaha, semakin dalam Dhuha merasa terjatuh. Seperti ada sesuatu yang salah dalam cara mereka berdua berhubungan. Azzam memberi harapan, tapi juga menambah luka yang sulit untuk sembuh.
Dhuha menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. “Aku tidak ingin terluka lagi, Azzam,” kata Dhuha, suara tenggelam dalam ketidakpastian. “Aku tidak ingin mempercayai sesuatu yang akan menyakitiku lagi nanti.”
Namun, Azzam tidak mengerti. Dia terlalu penuh dengan keyakinannya sendiri, dengan kepercayaan bahwa cinta bisa menyembuhkan segalanya. Tanpa sadar, dia terus memberi janji-janji yang tidak bisa dipenuhi. Setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya semakin memperburuk keadaan.
Beberapa hari kemudian, Azzam datang dengan kabar yang membuat Dhuha terkejut. “Aku harus pergi sebentar,” katanya, matanya tampak ragu. “Ada urusan keluarga yang harus kuselesaikan.”
Dhuha merasa aneh mendengarnya. Meskipun mereka baru saja mulai saling mengenal, Dhuha merasa seperti kehilangan sesuatu yang besar. Padahal, seharusnya dia merasa lega, karena itu memberi kesempatan untuknya berpikir, untuk melihat segalanya dengan lebih jelas. Tetapi perasaan yang muncul justru sebaliknya—rasa cemas yang membuncah, kekosongan yang semakin dalam.
“Aku akan kembali, Dhuha. Tunggu aku,” kata Azzam, seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Dhuha hanya bisa mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. Azzam pergi, dan Dhuha kembali ke kamarnya, duduk di jendela. Hujan masih turun, kali ini lebih lebat. Suara gemericik hujan seperti bisikan dari dunia yang jauh, jauh dari kenyataan yang harus dihadapinya. Dhuha merasa seolah-olah dirinya tak lebih dari sekadar bayangan dalam cerita yang dia coba ceritakan sendiri.
Namun, di luar sana, dunia terus berputar. Azzam akan kembali—tapi untuk apa? Untuk membawa lebih banyak janji kosong? Atau untuk memberikan rasa sakit yang lebih dalam? Dhuha merasa sudah terlalu banyak waktu yang dia habiskan untuk berharap, hanya untuk terjatuh lagi. Sebuah cinta yang tidak pernah dia inginkan, kini menjadi beban yang semakin berat.
Waktu terus berjalan, dan Dhuha kembali merasa dirinya terjebak. Ketika Azzam kembali, Dhuha tahu bahwa itu hanya akan memperburuk segalanya. Namun, di balik semua ketidakpastian itu, ada perasaan yang terus menyiksa—rasa sakit yang semakin dalam, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Hujan masih mengguyur, dan di tengah kebingungannya, Dhuha merasa semakin jauh dari dirinya sendiri.
Kegelapan yang Makin Dekat
Waktu terasa semakin gelap. Meskipun hujan sudah reda, langit tetap mendung, penuh dengan awan yang tak kunjung pergi. Dhuha tidak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi perasaan yang terus membebani pikirannya. Setiap kali dia mencoba mengabaikannya, rasa itu kembali datang, lebih kuat, lebih menekan, seperti cuaca yang tidak pernah berubah, seakan-akan tidak ada pelarian. Hati dan pikirannya masih terperangkap dalam kebingungannya.
Azzam kembali, seperti yang dijanjikan. Namun, kehadirannya tidak membawa apa-apa selain ketegangan yang semakin mengisi ruang di antara mereka. Ada sesuatu yang berubah, meskipun Azzam berusaha untuk tetap terlihat seperti sebelumnya, dengan senyuman hangat dan kata-kata manis. Namun, Dhuha tahu, semuanya sudah berbeda. Ada jarak yang tumbuh di antara mereka, jarak yang tak bisa diukur dengan waktu, tapi hanya bisa dirasakan dalam keheningan.
“Aku kembali,” kata Azzam, berdiri di depan Dhuha, dengan wajah yang penuh harapan. Tapi matanya, matanya yang dulu penuh dengan keyakinan, kini tampak ragu. Seperti ada sesuatu yang hilang, seperti ada bagian dari dirinya yang tidak bisa kembali.
Dhuha hanya menatapnya, diam. Ada rasa yang sulit diungkapkan—campuran antara penyesalan, kebingungan, dan kebencian yang terpendam. Dulu, dia berharap Azzam bisa menyembuhkan lukanya. Dulu, dia berpikir bahwa mungkin, mungkin saja, cinta bisa memperbaiki semuanya. Tapi sekarang, dia merasa seperti dia baru saja jatuh dari ketinggian, jatuh begitu dalam, tanpa ada yang menunggu di bawahnya.
“Kenapa kamu tidak pernah berkata apa-apa, Dhuha?” tanya Azzam, suaranya terasa lebih rendah, lebih penuh dengan keraguan. “Kenapa kamu selalu diam?”
“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi,” jawab Dhuha pelan, menunduk. “Kamu tidak mengerti. Aku… Aku tidak bisa lagi percaya pada apa pun, Azzam.”
Azzam terdiam, lalu perlahan duduk di samping Dhuha. Keheningan antara mereka membesar, begitu besar hingga sulit untuk bernafas. Dhuha ingin mengatakan sesuatu, ingin melepaskan semuanya, tapi kata-kata itu terasa begitu berat, seperti batu yang menekan tenggorokannya.
“Aku tidak ingin kamu merasa terjebak,” kata Azzam akhirnya, menatap Dhuha dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku di sini. Aku di sini untukmu. Jangan lari dariku.”
Tapi Dhuha sudah terlalu lelah untuk mendengar kata-kata itu. Dia tahu, Azzam hanya berbicara untuk dirinya sendiri, untuk meyakinkan dirinya bahwa dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Tapi di hati Dhuha, semuanya sudah terlambat. Janji-janji itu hanya semakin membuatnya merasa kosong. Azzam telah membawa harapan yang tidak bisa dipenuhi, dan kini Dhuha hanya merasa semakin terjebak dalam rasa sakit yang lebih dalam.
“Azzam,” suara Dhuha terdengar lebih tegas sekarang, meskipun ada getar di ujung kalimatnya. “Cinta itu bukan untukku. Aku tidak bisa, Azzam. Aku tidak bisa terus berharap, hanya untuk akhirnya jatuh lagi.”
Azzam terlihat bingung, seperti dia tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan Dhuha. “Dhuha, jangan seperti itu. Aku… Aku tidak pernah bermaksud membuatmu terluka. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
“Tapi kebahagiaanmu hanya sementara, Azzam,” jawab Dhuha, suaranya penuh dengan kepahitan yang tidak bisa disembunyikan lagi. “Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan. Kamu tidak tahu betapa aku merasa hancur setiap kali melihatmu dengan semua perhatianmu, seolah-olah aku bisa menyembuhkan diri hanya karena ada kamu di sini. Tapi kenyataannya, kamu justru yang semakin membuatku terluka.”
Azzam terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Dhuha bisa melihat betapa sulitnya bagi Azzam untuk menerima kenyataan bahwa semua yang dia lakukan hanya memperburuk keadaan. Dia ingin sekali menjelaskan semuanya, tapi kata-kata itu tidak datang. Apa yang bisa dia katakan? Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan, adalah hasil dari janji-janji kosong yang tidak pernah bisa dipenuhi.
“Aku tidak bisa lagi, Azzam,” kata Dhuha dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku lelah… lelah dengan semua ini. Aku sudah tidak bisa lagi mempercayai apa pun.”
Azzam menunduk, matanya penuh dengan kesedihan, dan Dhuha bisa merasakan beratnya rasa sakit yang muncul dalam dirinya. Tetapi itu tidak bisa menghentikan rasa yang telah ada dalam dirinya selama ini—rasa kebencian yang terpendam, rasa sakit yang semakin dalam seiring berjalannya waktu.
“Jadi… kamu ingin aku pergi?” tanya Azzam pelan, suaranya penuh dengan kepedihan.
Dhuha tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Azzam dengan tatapan yang kosong, matanya yang sebelumnya penuh dengan kebingungan kini tampak lebih jelas, lebih tegas. “Mungkin itu yang terbaik, Azzam. Mungkin itu yang kita butuhkan.”
Azzam hanya bisa mengangguk, merasa hancur oleh kenyataan yang baru saja dihadapi. Dia berdiri, melangkah pergi tanpa kata-kata lagi. Dhuha hanya diam, menatap punggung Azzam yang semakin jauh, semakin hilang dari pandangannya.
Namun, meskipun Azzam sudah pergi, rasa sakit itu tetap tinggal. Rasa sakit yang semakin dalam, yang semakin sulit untuk diterima. Dhuha tahu bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari kenyataan, bahwa luka ini akan selalu ada, terperangkap di dalam dirinya. Cinta itu bodoh, dan Dhuha merasa semakin gila karena mencintai seseorang yang tidak pernah bisa mencintainya dengan cara yang benar.
Dhuha kembali menatap hujan di luar jendela, membiarkan air matanya mengalir bersama hujan yang tak kunjung berhenti.
Ketika Semua Berakhir
Dhuha duduk sendiri di sudut ruang yang gelap. Pintu jendela terbuka sedikit, membiarkan angin malam yang dingin menyusup masuk, membawa aroma hujan yang masih tercium meski sudah tidak turun lagi. Hujan itu sudah lama berhenti, namun di dalam hati Dhuha, rasanya tak pernah surut. Ia mengerutkan wajah, menahan air mata yang tak lagi bisa ia bendung. Perasaan itu terlalu kuat, terlalu menyakitkan, dan ia merasa seperti tak bisa bernapas.
Azzam sudah pergi. Dan sekarang, Dhuha hanya terbaring di tempat tidur, dikelilingi oleh keheningan yang menusuk. Keheningan yang selama ini ia inginkan, namun sekarang terasa begitu berat. Ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang pernah dia yakini bisa mengobati semua luka di hatinya. Cinta itu, yang dulu datang dengan harapan, kini hanya meninggalkan kehampaan yang dalam.
“Kenapa selalu seperti ini?” gumam Dhuha pada dirinya sendiri. “Kenapa aku tidak bisa berhenti merasa sakit?”
Dia memejamkan mata, mencoba mencari ketenangan yang tak kunjung datang. Ingatan tentang Azzam, tentang kata-katanya yang pernah penuh harapan, kini hanya menambah derita. Apa yang dulu dipikirkan sebagai kesempatan kedua, kini hanya berakhir dengan kehancuran. Mungkin Azzam tidak tahu betapa dalam luka yang ia buat, betapa banyak harapan yang hancur ketika ia datang dengan janji yang akhirnya tidak bisa ia tepati.
Dhuha merasakan perasaan itu kembali—perasaan yang selalu dia coba hindari, perasaan bahwa cinta itu bukan untuknya. Cinta itu tak pernah benar-benar ada untuknya. Cinta itu hanya ilusi yang membawa kebahagiaan sesaat, lalu meninggalkan keputusasaan yang lebih besar. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa dia tak pernah layak dicintai.
“Kenapa aku masih menunggu sesuatu yang tak akan datang?” suara Dhuha bergetar pelan. “Kenapa aku masih berharap dia akan kembali dan memperbaiki semuanya?”
Namun jawabannya sudah jelas: tidak ada yang bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi. Azzam sudah pergi, dan Dhuha tahu, dia tak akan kembali. Bahkan jika dia kembali, perasaan itu sudah rusak, sudah tercabik-cabik oleh waktu dan luka yang terlalu dalam.
Dhuha bangkit dari tempat tidurnya, berjalan menuju jendela yang masih terbuka. Dia menatap langit malam yang gelap, seolah mencari sesuatu yang bisa memberinya jawaban. Namun hanya ada keheningan yang terasa mencekam. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, meskipun semuanya terasa sia-sia.
Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tidak ada lagi yang bisa dia harapkan. Waktu terus berjalan, tapi untuk Dhuha, waktu hanya membawa kesedihan. Tidak ada yang bisa mengembalikan dirinya pada keadaan yang dulu. Semua sudah berubah, dan ia tahu, perubahan itu tak akan pernah bisa diputar kembali.
Dhuha menundukkan kepala, membiarkan air mata yang sempat ia tahan akhirnya mengalir. Ini bukan lagi tentang Azzam, bukan lagi tentang cinta atau harapan. Ini adalah tentang dirinya—tentang betapa ia merasa hancur, tentang betapa ia tidak pernah bisa sembuh dari luka yang terlalu lama dibiarkan menganga.
“Sampai kapan aku harus seperti ini?” bisiknya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Sampai kapan aku harus merasakan ini?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada suara. Hanya ada rasa sakit yang semakin dalam, yang terus menggerogoti hatinya, menenggelamkannya dalam kesendirian yang semakin pekat. Mungkin, inilah yang ia butuhkan—kesendirian ini, untuk akhirnya melepaskan segalanya, untuk akhirnya menerima bahwa cinta itu bukanlah jawaban, dan bahwa ia tak akan pernah bisa melupakan apa yang telah hilang.
Dalam keheningan malam itu, Dhuha merasa dirinya tenggelam dalam kegelapan. Setiap kali ia mencoba untuk menengok ke belakang, ada rasa sakit yang menyayat hati, mengingatkan dirinya pada apa yang telah dia lewatkan, dan pada apa yang tak akan pernah ia dapatkan. Cinta itu bukan untuknya. Dan mungkin, itu adalah kenyataan yang paling sulit untuk diterima.
Dia menutup jendela dengan perlahan, kembali ke tempat tidur, dan menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Hujan mungkin sudah berhenti, tapi luka itu tak pernah berhenti mengalir, seperti hujan yang selalu kembali. Seiring berjalannya waktu, Dhuha tahu satu hal—dia tak akan pernah sembuh dari rasa sakit ini. Dan mungkin, itu adalah takdir yang harus diterimanya.
Cinta yang datang dan pergi, tak pernah membawa apa-apa selain kegelapan yang semakin menebal. Dhuha menutup matanya, membiarkan air mata mengalir lebih deras, merasakan setiap tetesnya jatuh dengan penuh kesedihan. Dan pada malam itu, dalam kesendirian yang penuh dengan penyesalan, Dhuha tahu bahwa dia akan tetap terperangkap dalam bayang-bayang cinta yang tak pernah bisa menyembuhkan luka-lukanya.
Dan di akhir cerita ini, hujan pun berhenti, tapi rasa sakit itu nggak pernah bener-bener hilang. Kadang, kita cuma bisa menerima kenyataan bahwa ada luka yang nggak akan sembuh, meski kita coba sekuat tenaga untuk melupakan.
Cinta datang dan pergi, meninggalkan jejaknya yang dalam, dan mungkin itu yang harus kita pelajari—bahwa tidak semua perasaan bisa diperbaiki, dan tidak semua luka punya obat. Kita cuma bisa berdiri di tengah hujan, menatap langit yang kelabu, dan berusaha menerima bahwa ada hal-hal yang nggak akan pernah kita pahami.