Hikmah Basuhan Air Wudhu: Cahaya di Wajah Liona

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya siapa nih yang bilang mencari ketenangan di tengah kesibukan itu mustahil? Yuk, kenalan dengan Liona, gadis SMA yang gaul dan aktif tapi tetap bisa menemukan kedamaian lewat wudhu.

Dalam perjalanan penuh perjuangan sebagai ketua panitia acara sekolah, Liona membuktikan bahwa air wudhu nggak cuma membersihkan tubuh, tapi juga menenangkan hati dan pikiran. Penasaran gimana Liona menghadapi tekanan tanpa kehilangan semangatnya? Baca ceritanya sampai habis, dijamin bikin kamu terinspirasi!

 

Cahaya di Wajah Liona

Liona, Si Gaul yang Ceria

Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar Liona. Suara kicauan burung yang ceria menemani awal harinya. Liona terbangun dengan semangat, seperti biasanya. Senyumnya mengembang ketika ia melihat pesan dari Dina, sahabat karibnya sejak SMP.

“Liona, jangan lupa bawa tugas seni rupa hari ini, ya. Aku nanti bantu kamu di kantin, kalau ada yang kurang!” tulis Dina.

Liona bergegas bangun, melewati rutinitas paginya yang penuh keceriaan. Setelah mengenakan seragam putih abu-abu, ia meluangkan waktu sebentar di depan cermin. Ia tersenyum melihat pantulan dirinya gadis berambut panjang, hitam lebat, dengan mata yang berbinar penuh semangat. Liona memang dikenal gaul di sekolah, tapi bukan hanya karena penampilannya yang modis. Lebih dari itu, kepribadiannya yang hangat dan terbuka membuat semua orang nyaman berada di dekatnya.

“Hari ini pasti bakal seru!” gumamnya sambil menyisir rambutnya dengan cepat. Setelah sarapan singkat, Liona berpamitan kepada ibunya dan bergegas menuju sekolah dengan sepeda kesayangannya.

Setibanya di sekolah, suasana seperti biasa ramai dan penuh hiruk pikuk. Liona segera disambut oleh Dina di gerbang sekolah.

“Liona! Cepat ke kantin, aku sudah pesan tempat buat kita!” seru Dina sambil melambaikan tangan.

Liona mengayunkan sepedanya lebih cepat dan memarkir di tempat biasa. Ia berjalan dengan langkah cepat menuju kantin, di mana Dina sudah menunggunya dengan senyum ceria.

“Thanks, Din. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan,” kata Liona sambil tersenyum. Dina tertawa kecil dan mengangguk.

“Kamu tuh, selalu sibuk. Makanya aku bantu kamu, biar nggak kelupaan lagi.”

Mereka berdua duduk dan mulai mengerjakan tugas seni rupa yang harus dikumpulkan hari itu juga. Meski Liona termasuk orang yang aktif dan punya banyak teman, ia terkadang kewalahan dengan tugas-tugas sekolah yang terus menumpuk. Tapi untungnya, Dina selalu ada di sampingnya untuk membantu dan memberikan semangat.

Setelah selesai mengerjakan tugas, Liona menarik napas panjang. Matanya menyapu seluruh kantin, melihat siswa-siswi lain yang juga sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Beberapa teman lain menghampiri mereka, bergabung dalam obrolan ringan tentang tugas, film, dan rencana akhir pekan.

“Eh, kalian ikut outing akhir pekan ini, nggak?” tanya Reva, salah satu teman sekelas mereka.

Liona menoleh dengan mata berbinar. “Pasti ikut dong! Siapa sih yang mau ketinggalan? Apalagi kita bakal ke puncak gunung, kan?” jawabnya dengan semangat.

Teman-temannya tertawa mendengar antusiasme Liona. Ia memang selalu jadi pusat perhatian dalam kelompoknya. Meski begitu, Liona bukan tipe orang yang suka pamer atau mendominasi. Ia tahu bagaimana membuat semua orang merasa dihargai dalam obrolan.

Hari itu berjalan dengan penuh keceriaan. Liona mengikuti pelajaran dengan fokus dan semangat, meski jadwal sekolah cukup padat. Waktu istirahat ia manfaatkan untuk bercanda bersama teman-temannya. Di kelas, Liona juga aktif berdiskusi dengan guru, tak jarang membuat suasana kelas menjadi lebih hidup dengan selingan canda ringan yang selalu disambut tawa oleh teman-teman dan guru.

Namun, di balik senyum cerianya, ada satu hal yang tak pernah Liona lupakan komitmennya untuk tetap menjaga hubungan dengan Sang Pencipta. Di tengah kesibukannya yang tiada henti, Liona selalu menyempatkan diri untuk shalat di mushola sekolah. Itu adalah momen-momen di mana ia bisa sejenak beristirahat dari riuhnya dunia luar dan merenung dalam keheningan.

Siang itu, sebelum bel terakhir berbunyi, Liona dan Dina memutuskan untuk berwudhu di mushola. Liona merasakan ketenangan yang luar biasa setiap kali air wudhu membasuh wajahnya. Sejenak, semua rasa lelah seolah hilang, digantikan dengan rasa damai yang sulit dijelaskan. Bagi Liona, momen seperti ini adalah salah satu caranya untuk menyeimbangkan hidupnya yang sibuk.

Saat bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, Liona merasa lega. Meski hari itu penuh dengan aktivitas dan tugas, ia tetap merasa bahagia. Bersama Dina, mereka berjalan keluar gerbang sekolah, menikmati angin sore yang lembut.

“Li, kamu kelihatan lebih tenang akhir-akhir ini. Padahal, biasanya kamu paling ribet soal tugas,” ujar Dina sambil tersenyum penasaran.

Liona tertawa kecil. “Mungkin aku mulai belajar gimana cara santai sambil tetap fokus, Din. Dan… mungkin juga karena wudhu. Entah kenapa, setiap kali berwudhu, aku merasa lebih tenang dan lebih siap menjalani hari-hari.”

Dina mengangguk, tertarik dengan apa yang Liona katakan. “Mungkin aku juga harus lebih sering wudhu, ya. Biar nggak gampang stres.”

Liona hanya tersenyum. Mereka berdua melanjutkan obrolan sepanjang jalan, diiringi tawa yang menambah hangat suasana sore itu. Meskipun hidup Liona tampak penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan bersama teman-temannya, ia selalu mengingatkan dirinya bahwa ketenangan sejati berasal dari hubungan yang baik dengan Tuhan. Dan bagi Liona, air wudhu adalah salah satu cara untuk merasakan kedamaian di tengah segala keriuhan dunia.

Hari itu adalah awal dari perjalanan Liona menemukan keseimbangan dalam hidupnya antara menjadi anak gaul yang aktif dan tetap menjaga ketenangan batin. Setiap kali ia menatap wajahnya di cermin setelah berwudhu, ia selalu menemukan cahaya baru yang terpancar dari dalam dirinya. Cahaya yang tidak hanya datang dari keceriaan dan kebahagiaan bersama teman-temannya, tapi juga dari keikhlasannya menjaga hubungan dengan Sang Pencipta.

 

Penatnya Hari yang Panjang

Hari itu, Liona merasakan sesuatu yang berbeda. Sejak pagi, ada perasaan berat yang tak biasa menyelimuti dirinya. Setelah menjalani pagi yang ceria bersama Dina dan teman-teman di sekolah, jam-jam berikutnya terasa seperti beban yang terus bertambah. Tugas sekolah, presentasi kelompok, dan persiapan untuk acara ekstrakurikuler membuat Liona sedikit kewalahan.

Setelah pulang dari sekolah, Liona meletakkan tasnya di sofa ruang tamu dengan sedikit kasar. Biasanya, ia selalu rapi meletakkan barang-barangnya. Tapi kali ini, kelelahan fisik dan mental yang ia rasakan benar-benar membuatnya ingin segera beristirahat.

“Liona, kamu capek?” suara lembut ibunya menyapa dari dapur.

Liona hanya mengangguk tanpa menjawab, lalu melangkah menuju kamarnya. Ibunya sepertinya memahami, dan tidak melanjutkan pembicaraan. Di dalam kamar, Liona duduk di tepi tempat tidur sambil menatap sekeliling. Tugas-tugas menumpuk di meja belajar, dan pikiran tentang persiapan acara sekolah terus mengganggu pikirannya. Ada begitu banyak hal yang harus dilakukan, sementara waktu terasa begitu terbatas.

Sambil menghela napas panjang, Liona meraih ponselnya dan membuka grup chat teman-teman sekelasnya. Pesan-pesan soal tugas dan diskusi acara mengalir tanpa henti. Dina bahkan sudah menulis panjang lebar tentang pembagian tugas mereka, yang membuat Liona semakin merasa tertekan.

“Aduh, kenapa ya hari ini rasanya berat banget…” gumamnya pada diri sendiri. Ia menutup ponsel, lalu berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit. Biasanya, ia selalu bisa mengatasi tekanan sekolah dengan santai. Tapi hari ini, beban itu terasa menekan lebih keras. Mungkin karena jadwal yang terlalu padat dan tanggung jawab yang bertumpuk. Bahkan sahabat terbaiknya, Dina, sepertinya tak bisa membantunya kali ini.

Namun, Liona sadar bahwa berlarut-larut dalam perasaan ini hanya akan membuatnya semakin tenggelam dalam kelelahan. Ia teringat momen wudhu yang selalu memberikan kedamaian dalam hatinya. Dengan berat, Liona bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Di sana, ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba merasakan setiap tetes yang menyentuh kulitnya.

Setelah berwudhu, ia duduk di atas sajadah, menghadap kiblat. Shalat Ashar menjadi pelariannya, tempat di mana ia bisa sejenak melarikan diri dari segala beban duniawi. Setiap gerakan shalat, setiap doa yang ia panjatkan, terasa seperti aliran energi yang mulai mengisi kembali tubuh dan jiwanya.

“Ya Allah, beri aku kekuatan…,” bisiknya pelan di sela-sela doanya. Liona merasa, untuk pertama kalinya hari itu, ada ketenangan yang merayapi hatinya. Seperti halusnya angin yang berhembus di sore hari, air wudhu dan sujudnya membawa kedamaian yang sudah ia rindukan.

Ketika selesai, Liona duduk sejenak di atas sajadah, menutup matanya, dan merasakan tubuhnya yang mulai rileks. Rasa lelah yang tadi menekan perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh rasa syukur dan ketenangan yang mendalam.

Sore itu, setelah shalat, Liona memutuskan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya satu per satu. Meski penat masih terasa, ia kini memiliki tenaga baru untuk melanjutkan hari yang panjang ini. Sambil mendengarkan musik kesukaannya di ponsel, Liona mulai mengerjakan tugas seni rupa yang tertinggal.

Beberapa jam kemudian, ketika matahari mulai tenggelam, Liona menyelesaikan tugasnya. Perasaan lega menyelimuti dirinya, walau tubuhnya masih terasa lelah. Namun, ia tahu bahwa perjuangan hari itu tak hanya soal menyelesaikan tugas sekolah. Lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana ia belajar mengatasi rasa lelah dan stres yang sering kali datang tiba-tiba, dan menghadapinya dengan cara yang bijak.

Saat malam menjelang, Liona menerima pesan dari Dina.

“Li, kamu udah selesai tugasnya? Kalau mau aku bantu lagi, aku masih di rumah.”

Liona tersenyum kecil. Dina selalu bisa diandalkan. Tapi kali ini, Liona merasa ia sudah cukup kuat untuk menyelesaikan semuanya sendiri.

“Udah kok, Din. Thanks banget ya buat bantuannya tadi. Aku udah ngerjain sendiri, udah beres, tinggal presentasi besok.”

Dina membalas dengan emoji jempol dan hati, tanda bahwa ia senang Liona sudah lebih baik.

Malam itu, sebelum tidur, Liona merefleksikan harinya. Ya, itu memang hari yang panjang dan berat, tapi ia merasa bersyukur. Di tengah segala keramaian, tekanan, dan kesibukan, Liona menyadari bahwa perjuangannya hari ini bukan hanya soal akademis. Perjuangan terbesarnya adalah bagaimana ia bisa tetap tenang dan menjaga keseimbangan dalam hidupnya antara kewajiban sekolah dan kewajiban spiritualnya.

Air wudhu yang selalu ia gunakan untuk menyegarkan wajah tak hanya menghilangkan penat fisik, tetapi juga menjadi sumber energi batin yang membantunya melalui segala tantangan. Liona tahu, hidup akan terus menawarkan hari-hari yang berat, namun ia percaya, selama ia menjaga hubungannya dengan Allah, ia akan selalu menemukan kekuatan di tengah kelelahannya.

Sebelum memejamkan mata, Liona memikirkan esok hari yang pasti juga akan penuh dengan tantangan baru. Tapi kali ini, ia tak merasa gentar. Ia sudah belajar dari hari ini, bahwa selama ia bisa menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, berwudhu, dan mengingat Allah, ia akan selalu mampu menghadapi hari yang panjang dengan hati yang lebih damai dan kuat.

 

Di Bawah Tekanan

Pagi itu, mentari menyapa Liona dengan sinar yang lembut, menyelinap melalui celah-celah jendela kamarnya. Udara segar mengisi paru-parunya ketika ia membuka jendela. Hari yang baru dimulai, dan Liona berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia akan menghadapi segala tantangan dengan semangat yang sama seperti kemarin. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan cemas yang mulai menyusup. Hari ini, ia harus mempresentasikan proyek yang telah ia kerjakan bersama Dina dan teman-temannya. Ini bukan presentasi biasa, melainkan proyek yang menentukan nilai akhir mereka di mata pelajaran yang cukup berat: seni rupa.

Setelah mandi dan bersiap-siap, Liona mematut diri di depan cermin. “Kamu bisa, Liona,” bisiknya pada bayangannya sendiri. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Bukan hanya karena presentasi yang membuatnya gugup, tetapi juga karena harapan besar yang ia bawa untuk tidak mengecewakan teman-temannya.

Sesampainya di sekolah, Liona bertemu dengan Dina di depan gerbang.

“Siap nggak, Li?” tanya Dina dengan senyum ceria yang seolah tak mengenal rasa gugup.

Liona mencoba tersenyum, meski jantungnya terasa seperti hendak melompat keluar. “Siap, sih… tapi deg-degan juga.”

Dina tertawa kecil, menepuk bahu Liona. “Tenang aja, kita udah latihan berkali-kali. Lagipula, kalau ada apa-apa, aku bantuin.”

Mendengar itu, Liona merasa sedikit lebih tenang. Mereka berjalan bersama menuju kelas, bercanda sepanjang jalan untuk mengusir ketegangan. Namun, semakin mendekati ruang kelas, Liona kembali merasakan perutnya seperti diaduk-aduk. Ada banyak hal yang dipertaruhkan hari ini, dan Liona takut jika ia melakukan kesalahan, semuanya akan berantakan.

Begitu masuk ke dalam kelas, suasana sudah terasa tegang. Beberapa teman mereka yang lain juga terlihat gelisah. Meja-meja diatur sedemikian rupa untuk presentasi, dan di depan, guru mereka, Pak Budi, sudah duduk dengan wajah serius. Liona menelan ludah. Ia tahu betapa tegasnya Pak Budi soal penilaian. Setiap detail akan diperhatikan, dan ia tak ingin mengecewakan.

Giliran mereka pun tiba. Dina memulai presentasi dengan tenang, seperti yang mereka rencanakan. Liona berdiri di sampingnya, menunggu gilirannya berbicara. Namun, semakin Dina berbicara, semakin cemas Liona. Suaranya terasa seperti hilang, meskipun ia sudah menghafal setiap kalimat yang harus ia katakan.

Ketika giliran Liona tiba, ia mencoba menarik napas dalam-dalam. “Bismillah,” bisiknya dalam hati. Ia mulai berbicara, menjelaskan bagian proyek mereka dengan suara yang terdengar sedikit gemetar. Namun, semakin ia berbicara, semakin lancar perkataannya mengalir. Ia merasakan ketenangan perlahan-lahan menguasainya, dan ketika ia mulai menatap mata Pak Budi, ada keyakinan yang tumbuh dalam hatinya.

“Baik, Liona, Dina. Presentasi kalian sangat informatif dan hasil karya seni kalian juga menarik,” kata Pak Budi sambil menatap mereka berdua. Ada jeda yang membuat Liona dan Dina saling bertukar pandang, berharap dengan tegang.

“Tapi…” lanjut Pak Budi.

Jantung Liona kembali berdegup kencang. Ada perasaan panik yang tiba-tiba menghantamnya. “Tapi apa, Pak?” pikirnya dalam hati.

Pak Budi melanjutkan, “Bagian presentasi tentang sejarah seni rupanya kurang mendalam. Kalian bisa lebih menggali lagi dari referensi lain. Tapi secara keseluruhan, saya puas dengan usaha kalian. Kalian berhasil menghubungkan konsep seni tradisional dengan karya modern. Itu poin plus buat kelompok kalian.”

Kata-kata Pak Budi menjadi seperti aliran air dingin yang menyirami hati Liona. Ia tersenyum lega, dan Dina menepuk pundaknya dengan senang. Meski ada sedikit kekurangan, mereka berhasil melewati presentasi itu dengan baik.

Setelah kelas selesai, Liona dan Dina keluar dengan perasaan lega.

“Kita berhasil, Din!” kata Liona dengan penuh semangat, meski dalam hati ia tahu, bahwa perjalanan hari ini belum selesai.

Dina tertawa, “Aku bilang juga apa. Kita bisa kok, Li.”

Namun, belum sempat merasakan kemenangan sepenuhnya, Liona tiba-tiba teringat bahwa sore ini ia harus menghadiri rapat besar untuk persiapan acara sekolah. Bukan rapat biasa, tetapi rapat yang akan menentukan kelangsungan acara tersebut. Liona, sebagai ketua panitia, harus memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Ini bukan hanya soal tanggung jawab, tetapi juga soal reputasinya di mata teman-temannya dan sekolah.

Sore itu, setelah pulang sebentar ke rumah untuk beristirahat, Liona kembali ke sekolah. Rapat berlangsung di aula, dan suasananya jauh lebih serius dari yang ia bayangkan. Banyak yang hadir, termasuk beberapa guru yang terlibat sebagai pengawas. Liona duduk di depan, mencoba menahan perasaan tegang yang kembali menghantam dirinya.

Rapat dimulai, dan Liona harus memimpin jalannya diskusi. Ia merasa semua mata tertuju padanya, menunggu setiap keputusan yang ia buat. Setiap kali seseorang bertanya atau memberi masukan, Liona harus cepat merespons dengan bijak. Di saat-saat seperti ini, ia merasa tekanan sebagai pemimpin begitu besar. Ia tak ingin mengecewakan siapa pun, tapi ia juga sadar, tak semua orang akan setuju dengan keputusannya.

Satu jam berlalu, dan rapat berjalan cukup lancar. Tapi kemudian, salah satu anggota panitia, Rina, mengajukan keberatan soal pembagian tugas yang dinilainya tidak adil. Suasana langsung memanas, dan semua orang mulai berdebat.

Liona merasa bingung. Ia tak tahu bagaimana harus menenangkan situasi tanpa membuat Rina atau anggota panitia lainnya merasa tersinggung. Perutnya mulai terasa sakit karena stres, dan ia ingin rasanya menyerah saat itu juga.

Namun, Liona meneguhkan hatinya. Ia ingat bagaimana air wudhu bisa memberikan ketenangan dalam hati. Meski saat ini ia tak bisa berwudhu, ia mencoba mengingat kembali perasaan damai yang selalu datang setelah sujud. Dengan napas panjang, ia mencoba mengendalikan suasana.

“Rina, aku paham keberatan kamu, dan aku mengerti kenapa kamu merasa begitu. Tapi kita semua di sini punya tujuan yang sama, yaitu membuat acara ini berjalan dengan lancar. Aku akan coba cari solusi yang adil untuk semua, oke?” Liona berkata dengan suara yang lembut namun tegas.

Rina terlihat sedikit tenang, meskipun ketidakpuasan masih tergambar di wajahnya. Tapi suasana rapat kembali terkendali, dan Liona bisa melanjutkan pembahasan dengan lebih tenang. Pada akhirnya, mereka berhasil mencapai kesepakatan yang cukup memuaskan semua pihak.

Setelah rapat usai, Liona merasa seperti baru saja melewati badai. Meski lelah, ia merasa bangga pada dirinya sendiri. Hari ini penuh dengan tekanan dan tantangan, tetapi ia berhasil menghadapinya dengan kepala tegak.

Sambil berjalan pulang, Liona tersenyum kecil. Ia tahu, setiap perjuangan, setiap langkah yang ia ambil, selalu diiringi dengan doa dan usaha. Meski dunia kadang terasa menekan dari segala arah, Liona percaya bahwa ia selalu bisa menemukan kekuatan di dalam dirinya kekuatan yang datang dari wudhu dan keyakinannya pada Allah.

 

Mencari Kedamaian dalam Perjuangan

Pagi berikutnya, Liona terbangun dengan perasaan lega namun lelah. Rapat yang panjang dan presentasi proyek kemarin benar-benar menguras energinya. Tapi, hari baru telah menanti, dan meski ia tahu perjuangannya belum berakhir, ia bertekad untuk menjalani semuanya dengan penuh keyakinan.

Setelah menyelesaikan rutinitas pagi dan menunaikan shalat subuh, Liona berwudhu lagi, membiarkan air dingin membasuh wajahnya dengan kelembutan yang selalu memberi ketenangan. Setiap tetesan air seolah membawa kelegaan, membersihkan kegelisahan yang ia rasakan. Selesai berwudhu, Liona duduk sejenak di tepi tempat tidurnya, menatap ke luar jendela. Cahaya matahari mulai merangkak di langit, membawa warna keemasan yang indah. Dalam hening pagi itu, Liona memejamkan mata sejenak, merenungi perjalanannya sejauh ini. Terkadang, ia merasa dunia menuntutnya terlalu banyak, tetapi di sisi lain, ia tak bisa berhenti. Ada semangat dalam dirinya untuk terus melangkah, untuk menjadi lebih baik setiap harinya.

Di sekolah, suasana terasa berbeda. Semua orang sibuk dengan persiapan acara yang hanya tinggal hitungan hari. Liona berjalan menuju ruang OSIS, tempat ia dan teman-teman panitia berkumpul. Setiap kali memasuki ruangan itu, ia selalu merasakan campuran perasaan senang dan cemas. Sebagai ketua panitia, Liona merasa semua mata tertuju padanya, menunggu keputusan-keputusan penting yang ia buat.

Begitu masuk ke dalam, suasana rapat sudah dimulai. Anggota panitia lain tampak sibuk mendiskusikan berbagai tugas. Dina langsung menyambutnya dengan senyum ceria, meskipun Liona bisa melihat ada sedikit kelelahan di mata sahabatnya itu.

“Liona, udah siap?” tanya Dina sambil menyerahkan catatan persiapan yang harus dibahas hari ini.

Liona mengangguk sambil membaca cepat. Di dalam kepalanya, ia terus memikirkan solusi untuk masalah-masalah yang muncul kemarin. Hari ini adalah hari yang menentukan. Jika mereka bisa melewati hari ini tanpa hambatan besar, acara sekolah yang sedang mereka persiapkan akan sukses.

“Okay, ayo kita mulai,” kata Liona sambil menghela napas panjang.

Rapat berjalan lancar di awal. Semua anggota panitia sudah mengetahui peran mereka, dan meski ada beberapa masalah kecil yang harus dibahas, suasana rapat jauh lebih tenang daripada kemarin. Liona merasa sedikit lebih percaya diri, dan ia mencoba tersenyum setiap kali mata teman-temannya tertuju padanya.

Namun, di tengah-tengah diskusi tentang dekorasi panggung, Rina kembali mengajukan keberatan. Kali ini, ia merasa bahwa pembagian anggaran tidak adil. Liona tahu ini bisa menjadi masalah besar jika tidak segera diatasi. Rina adalah salah satu anggota panitia yang paling vokal, dan jika ia merasa tidak puas, suasana bisa berubah panas lagi.

Liona menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ini saatnya baginya untuk menunjukkan kepemimpinan yang baik. Kali ini, ia tidak akan membiarkan tekanan menguasainya. Ia belajar dari pengalaman kemarin, bahwa ketenangan adalah kunci untuk mengendalikan situasi.

“Rina,” kata Liona dengan suara tenang, “aku paham kekhawatiran kamu. Tapi aku yakin kita bisa menemukan solusi bersama. Mari kita diskusikan lagi anggarannya, dan kalau ada yang perlu diubah, kita ubah supaya semua orang merasa adil.”

Rina masih terlihat sedikit tegang, tetapi ia mengangguk setuju. Liona merasa lega. Ia berhasil menghindari konflik besar dan menjaga suasana tetap damai. Dina, yang duduk di sebelah Liona, memberi senyum dukungan. Liona balas tersenyum, meskipun dalam hati ia tahu, perjalanannya sebagai ketua panitia masih panjang.

Setelah rapat selesai, Liona dan Dina memutuskan untuk makan siang di kantin. Mereka duduk di meja favorit mereka, menikmati nasi goreng hangat sambil berbicara tentang segala hal, mulai dari tugas sekolah hingga rencana masa depan.

“Li, kamu keren banget tadi. Aku kagum sama cara kamu ngatasin Rina,” kata Dina sambil menyuap nasi ke mulutnya.

Liona tertawa kecil. “Makasih, Din. Jujur aja, aku juga deg-degan banget tadi. Takut kalau masalahnya bakal makin besar.”

Dina mengangguk, memahami. “Tapi kamu berhasil kok. Kadang, jadi pemimpin emang nggak gampang. Tapi kamu selalu bisa menghadapi semuanya dengan tenang.”

Ucapan Dina membuat Liona merasa sedikit lebih percaya diri. Tapi di sisi lain, ia juga merasa beban yang besar di pundaknya. Ia tak ingin mengecewakan siapa pun, baik teman-teman panitia, sekolah, maupun dirinya sendiri. Ada tanggung jawab yang harus ia pikul, dan setiap keputusan yang ia buat bisa mempengaruhi banyak orang.

Seusai makan siang, Liona kembali ke ruang OSIS untuk memeriksa persiapan terakhir. Acara besar yang mereka persiapkan adalah pentas seni tahunan, sebuah acara yang selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa di sekolah. Ada pertunjukan musik, tari, teater, dan berbagai karya seni yang akan dipamerkan. Bagi Liona, acara ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga cerminan dari kerja keras semua orang. Ia ingin memastikan bahwa semuanya berjalan sempurna.

Sore itu, Liona dan beberapa teman panitia bekerja hingga larut. Mereka memeriksa dekorasi, lampu panggung, dan sound system. Liona bahkan harus memanjat tangga untuk memastikan bahwa kain latar panggung terpasang dengan benar. Meski lelah, ia merasa senang bisa bekerja bersama teman-temannya. Ada semangat kebersamaan yang membuat semua kelelahan terasa sepadan.

Ketika hari mulai gelap, Liona merasa tubuhnya mulai lelah. Tapi ia tahu, tugasnya belum selesai. Ia masih harus memastikan semua dokumen dan catatan rapat terorganisir dengan baik untuk hari berikutnya. Dina dan beberapa teman sudah pulang, tetapi Liona memilih untuk tinggal lebih lama.

Sambil merapikan dokumen di meja OSIS, Liona merasakan hening yang tenang di sekitarnya. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar. Di momen seperti ini, ia merenung, memikirkan semua yang telah ia lewati. Perjuangan untuk memimpin, untuk menghadapi setiap tantangan, kadang terasa berat. Tapi di saat-saat sunyi ini, ia merasa bahwa semua itu adalah bagian dari perjalanan yang harus ia tempuh.

Sesaat kemudian, Liona menyadari bahwa ia sangat merindukan ketenangan yang didapatnya saat berwudhu. Teringat akan momen-momen ketika air wudhu menyentuh kulitnya, Liona merasa rindu pada kedamaian yang ia rasakan setiap kali berwudhu. Ia memutuskan untuk pulang, beristirahat, dan meresapi kembali ketenangan yang selalu ia cari dalam air wudhu.

Begitu sampai di rumah, Liona langsung menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air wudhu yang sejuk. Saat air itu menyentuh wajahnya, seluruh kelelahan dan kegelisahan perlahan hilang. Liona menutup matanya, membiarkan air mengalir, menyapu pergi rasa lelah yang menumpuk. Ia merasa lebih kuat, lebih tenang, dan lebih siap menghadapi hari-hari berikutnya.

Selesai wudhu, Liona duduk di atas sajadah, melipat tangan di atas dada, dan mulai berdoa. Ia berterima kasih pada Allah atas kekuatan yang telah diberikan kepadanya. Meskipun hari-harinya penuh tantangan, ia tahu bahwa selalu ada tempat untuk menemukan ketenangan dalam doa, dalam wudhu, dan dalam hatinya sendiri.

Perjalanan Liona sebagai ketua panitia belum selesai, tetapi ia tahu bahwa ia bisa melalui semuanya dengan keyakinan dan perjuangan. Di setiap langkah yang ia ambil, Liona merasakan kehadiran Allah yang selalu memberinya kekuatan.

Dan di saat-saat seperti ini, di tengah segala kesibukan dan tekanan, Liona merasa bahwa ia menemukan dirinya kembali. Sebagai seorang gadis yang percaya, seorang gadis yang berjuang, dan seorang gadis yang selalu mencari kedamaian dalam basuhan air wudhu.

 

Jadi gimana semua, Ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen diatas? Kisah Liona mengajarkan kita bahwa di balik setiap kesibukan dan tekanan, selalu ada cara untuk menemukan kedamaian. Melalui wudhu, Liona tidak hanya membersihkan diri, tapi juga hati dan pikirannya dari kegelisahan. Jadi, buat kamu yang lagi merasa overwhelmed atau stres, mungkin ini saatnya untuk berhenti sejenak, ambil wudhu, dan rasakan sendiri ketenangan yang akan kamu dapatkan. Siapa tahu, solusi yang kamu cari ada di dalam diri sendiri. Tetap semangat ya!

Leave a Reply