Daftar Isi [hide]
Kalau kamu lagi nyari cerita tentang hijrah yang nggak cuma soal perubahan luar, tapi juga perjalanan hati yang penuh kedamaian, cerpen ini cocok banget buat kamu baca.
Kisah Zayna yang awalnya terjebak dalam keramaian dunia, akhirnya mulai menemukan jalan yang lebih tenang dan penuh arti melalui Al-Qur’an. Baca deh, siapa tahu kamu bisa dapet pelajaran berharga tentang hijrah dan kedamaian dalam hidupmu!
Hijrah Sejati
Cahaya yang Tersembunyi
Zayna melangkah lesu di trotoar yang basah, langkahnya berat meski malam semakin larut. Jalanan di pusat kota itu seperti biasa, dipenuhi suara kendaraan yang tak pernah berhenti, gemuruh kehidupan yang tak pernah tidur. Namun, hatinya kosong. Bahkan hiruk-pikuk yang mengelilinginya seakan mengabaikan keberadaannya, seolah dunia ini tak mengundangnya untuk ikut serta.
Pekerjaannya di kantor tadi terasa sangat jauh dari dirinya. Semua yang ia lakukan, meski terlihat sempurna, terasa hampa. Rapat demi rapat, presentasi yang selalu berjalan mulus, uang yang masuk ke rekening, semuanya tak memberi arti lebih dari sekadar rutinitas yang harus dijalani. Zayna merasa terjebak dalam hidup yang terfokus pada pencapaian yang tidak pernah berakhir. Apa yang lebih penting dari itu?
Ia melirik ke langit, mencoba mencari sesuatu yang bisa memberinya jawaban. Namun, langit malam yang penuh dengan awan gelap membuatnya hanya semakin merasa kecil. Kembali ke jalanan yang sibuk, kembali pada langkahnya yang terasa berat. Ia bahkan tidak tahu arah langkahnya, hanya mengikuti kebiasaan saja.
Saat itu, dari kejauhan, ia mendengar suara. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang lembut, menyusup melalui keramaian suara kendaraan, seolah mengingatkan dirinya akan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih bermakna. Zayna berhenti, menarik napas dalam-dalam, dan tanpa sadar menoleh ke arah sumber suara itu.
Di ujung jalan, ada sebuah masjid kecil yang tak terlalu mencolok. Hanya ada beberapa orang yang tampak di dalam, dan pintunya terbuka lebar. Lantunan suara itu datang dari sana. Ada sesuatu dalam suara itu yang menggetarkan hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada ketenangan, ada kedamaian yang tidak bisa ia jelaskan.
Tanpa berpikir panjang, Zayna melangkah mendekat. Rasanya seperti ada kekuatan yang menariknya ke dalam, meski tidak tahu apa yang akan ia temui di dalam sana. Langkah kaki Zayna terdengar di lorong masjid yang sunyi. Suasana di dalam begitu tenang, dan wangi minyak atar memenuhi udara, menenangkan hati yang gelisah. Ia duduk di salah satu sudut, jauh dari pusat kegiatan, tidak ingin mengganggu.
Di depannya, seorang pria paruh baya sedang mengajarkan beberapa anak kecil. Zayna mengamati pria itu dari jauh, merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Wajahnya penuh ketenangan, matanya penuh kebijaksanaan. Tidak seperti orang-orang yang ia temui dalam kehidupan sehari-hari, yang selalu sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Pria ini seolah membawa sesuatu yang lebih dari dunia ini.
“Jangan hanya baca, Nak,” suara pria itu terdengar lembut, namun jelas. “Al-Qur’an itu bukan sekadar untuk dibaca, tapi untuk dipahami. Setiap hurufnya mengandung cahaya, setiap kata-katanya adalah petunjuk yang mengarah pada kebahagiaan yang sejati.”
Zayna terdiam. Kata-kata itu menghentikan pikirannya sejenak. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang menyentuh, yang membuat hatinya bergetar. Ini bukan kalimat biasa, ini seperti sebuah panggilan yang ia tunggu-tunggu tanpa sadar.
Anak-anak yang sedang diajar tampak serius mendengarkan. Mereka mungkin tidak sepenuhnya mengerti, tetapi ada kedamaian dalam cara mereka duduk dan menyimak. Zayna merasa asing dengan ketenangan ini. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Hidupnya selalu dipenuhi dengan kesibukan, dengan kekhawatiran yang datang bergantian. Namun di sini, dalam masjid kecil ini, segala kecemasan itu terasa menghilang.
Tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, Zayna hanya merasa waktu seperti berhenti sejenak. Tanpa sadar, ia mulai mendekat, melangkah perlahan menuju tempat pria itu mengajar. Begitu dekat, ia bisa mendengar dengan jelas setiap kata yang keluar dari mulut pria itu.
“Ketika kita benar-benar memahami Al-Qur’an, kita tidak hanya tahu tentang Allah, kita juga belajar tentang diri kita sendiri,” lanjut pria itu, seolah tahu ada seseorang yang sedang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Zayna terkejut. Seperti ada suara yang berbicara langsung padanya. Seperti apa yang ia cari-cari selama ini, tetapi tidak tahu apa itu. Al-Qur’an, hidup, kedamaian—semuanya seolah mulai menyatu dalam benaknya.
Pria itu menghentikan sejenak pengajarannya dan menatap Zayna. Ada tatapan lembut, penuh pengertian, namun tidak memaksa. “Kamu datang untuk sesuatu, Nak,” katanya, suaranya penuh dengan kehangatan. “Apa yang kamu cari?”
Zayna terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dijawab. Hanya ada rasa bingung yang mendalam, tetapi juga rasa nyaman yang tak bisa ia jelaskan. “Saya… saya merasa kosong. Semua yang saya lakukan rasanya tak ada artinya.”
Pria itu tersenyum bijak. “Kosong itu bukan berarti hidupmu tanpa arah. Itu berarti ada sesuatu yang lebih besar yang harus kamu temukan. Cahaya yang tersembunyi, yang hanya bisa ditemukan ketika hati kita membuka diri untuk-Nya.”
Zayna merasa ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadanya. Kalimat itu, kata-kata sederhana yang penuh makna, membuat hatinya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti menemukan sesuatu yang hilang, meskipun ia tidak sepenuhnya memahaminya.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Zayna, suara pelan namun penuh harapan.
Pria itu hanya tersenyum. “Jangan terburu-buru. Semua akan datang pada waktunya. Belajarlah, pahami, dan rasakan setiap ayat yang Allah turunkan. Itu adalah petunjuk untuk hidupmu yang lebih baik, lebih penuh makna.”
Zayna merasa seolah-olah ia baru saja diberi petunjuk untuk menemukan jalan hidupnya yang sebenarnya. Ia tahu, meski langkahnya baru saja dimulai, ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah seluruh dirinya.
Dan malam itu, di masjid kecil yang penuh kedamaian, Zayna merasa hatinya mulai terbuka. Langkah pertamanya menuju cahaya yang tersembunyi baru saja dimulai.
Langkah Pertama Menuju Kedamaian
Pagi itu, Zayna terbangun dengan perasaan yang berbeda. Matanya terasa lebih ringan, dan hatinya lebih tenang. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi ada perasaan yang mengalir dalam dirinya, seakan ia sudah mengambil langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar. Ketika ia membuka jendela kamarnya, sinar matahari pagi masuk dan menyentuh wajahnya, memberikan rasa hangat yang belum pernah ia rasakan dalam beberapa waktu. Pagi itu, dunia terasa lebih indah, lebih penuh makna.
Zayna memutuskan untuk kembali ke masjid kecil itu setelah shalat subuh. Langkah kakinya terasa lebih pasti, seakan ada kekuatan yang membimbingnya menuju tempat yang belum sepenuhnya ia pahami. Begitu sampai di sana, suasana yang sama menyambutnya—tenang, damai, dan penuh dengan wangi harum yang menenangkan.
Pria paruh baya yang mengajarkan anak-anak kemarin masih di sana, duduk di salah satu sudut, memegang Al-Qur’an dengan penuh perhatian. Zayna mendekat, sedikit ragu, namun tetap berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ia merasa sedikit canggung, seperti berada di tempat yang asing meski ia tahu bahwa ini adalah tempat yang harus ia tuju.
Pria itu menatapnya, lalu mengangguk dengan lembut. “Kembali lagi, ya?” katanya dengan senyum yang tak pernah pudar.
Zayna mengangguk pelan, sedikit terkejut karena pria itu mengingatnya. “Iya,” jawabnya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. “Aku merasa ada yang hilang, dan aku ingin mencari tahu apa itu.”
“Bagus,” pria itu berkata dengan suara yang penuh ketenangan. “Cahaya itu selalu ada, kita hanya perlu membuka hati kita untuk melihatnya.”
Zayna duduk di sebelahnya, merasa semakin nyaman dengan kehadiran pria itu. Ia belum tahu nama pria tersebut, namun rasanya tidak penting. Yang penting baginya adalah apa yang ia pelajari dari pertemuan ini, dari setiap kata yang keluar darinya.
Pria itu membuka Al-Qur’an dan menunjuk ke salah satu ayat. “Lihatlah ini,” katanya, “Surah Al-Furqan, ayat 47. ‘Dan Dia-lah yang menjadikan untukmu cahaya dari api.'”
Zayna menatap ayat yang ditunjuknya dengan seksama, mencoba mencerna maknanya. “Cahaya dari api?” tanyanya, suara penasaran terdengar di dalam kata-katanya.
“Iya,” jawab pria itu, “Cahaya yang kita cari bukanlah cahaya fisik yang bisa kita lihat dengan mata, melainkan cahaya yang hadir dalam hati. Cahaya ini hanya bisa ditemukan melalui pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an. Ketika hati kita penuh dengan pemahaman, cahaya itu akan menerangi jalan kita.”
Zayna terdiam, memikirkan kata-kata itu. Terkadang, ia merasa hidupnya begitu gelap, tak jelas arah dan tujuannya. Namun, semakin ia mendengarkan pria itu, semakin ia merasa ada sesuatu yang membimbingnya, seakan ada kekuatan yang menjelaskan semua kegelisahan di hatinya.
“Jadi, maksudnya,” Zayna mulai berbicara, “kita harus belajar memahami Al-Qur’an lebih dalam? Tidak hanya membacanya, tapi juga mengamalkannya?”
Pria itu tersenyum, dan matanya tampak penuh dengan kebijaksanaan. “Betul. Al-Qur’an bukan hanya sebuah kitab yang dibaca, tetapi sebuah petunjuk hidup. Allah tidak hanya memberi kita wahyu untuk dibaca, tetapi untuk diterapkan dalam hidup sehari-hari. Dan itu tidak mudah, karena untuk benar-benar memahami Al-Qur’an, kita harus membersihkan hati kita dari segala keraguan dan duniawi.”
Zayna memandang Al-Qur’an di tangan pria itu. Rasanya, ini lebih dari sekadar buku. Ini adalah kunci untuk memahami hidup, untuk mengetahui arah yang harus ia tuju. Ia merasa semakin tertarik untuk menggali lebih dalam, untuk menemukan cahaya yang ia cari selama ini.
“Aku ingin mulai,” kata Zayna dengan tekad yang baru. “Aku ingin belajar lebih banyak.”
Pria itu menatapnya dengan pandangan penuh penghargaan. “Itu adalah langkah pertama yang benar, Nak. Ketika kamu bertekad untuk benar-benar memahami Al-Qur’an, kamu akan menemukan kedamaian yang sejati. Bukan hanya di dalam buku itu, tetapi dalam setiap langkah hidupmu.”
Hari-hari setelah itu berlalu dengan cepat. Zayna mulai menghabiskan lebih banyak waktu di masjid, mempelajari Al-Qur’an, dan mengikuti kelas pengajian yang diadakan oleh pria paruh baya itu. Ia belajar tentang makna setiap ayat, tentang betapa dalamnya petunjuk hidup yang ada dalam setiap kata yang Allah turunkan. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang dilihat oleh mata, tetapi tentang apa yang ada di dalam hati.
Suatu sore, saat Zayna sedang duduk di teras masjid, merenung sejenak, pria itu mendekatinya. “Ada apa, Nak? Tampak berpikir keras,” tanyanya dengan lembut.
Zayna mengangkat kepala, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. “Aku merasa banyak hal yang harus aku ubah dalam hidupku,” jawabnya pelan. “Terkadang aku merasa seperti aku tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya.”
Pria itu tersenyum, lalu duduk di sampingnya. “Itulah kenapa Al-Qur’an disebut sebagai petunjuk hidup. Ketika kamu merasa bingung, buka Al-Qur’an. Dia akan menunjukkan jalanmu. Allah sudah memberi petunjuk yang sempurna, tinggal bagaimana kita mengikuti-Nya.”
Zayna mengangguk. Ia merasa ada kedamaian yang semakin mengisi hatinya. Tidak lagi ada kegelisahan yang menghantuinya. Ia mulai memahami bahwa hijrah itu bukan hanya tentang berpindah tempat, tetapi tentang berpindah hati. Setiap ayat yang ia baca, setiap pengajaran yang ia dengar, semakin mendekatkannya pada kedamaian yang selama ini ia cari.
Di hari yang sama, setelah pengajian selesai, Zayna berdiri di depan masjid, menatap langit senja yang semakin gelap. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada cahaya yang mulai menyinari langkahnya. Langkah pertama menuju kedamaian sejati baru saja dimulai, dan ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja akan mengungkap lebih banyak lagi rahasia hidup yang belum ia pahami.
Menghidupkan Makna
Hari demi hari, Zayna semakin terbenam dalam dunia baru yang ia pilih. Belajar Al-Qur’an tidak hanya mengajarkannya memahami ayat-ayat, tetapi juga bagaimana menjalani hidup dengan hati yang bersih. Ia mulai merasakan perbedaan dalam dirinya. Keangkuhan dan kebiasaan lamanya perlahan terkikis, digantikan oleh ketenangan dan rasa syukur yang terus tumbuh.
Suatu pagi setelah shalat dhuha di masjid, Zayna duduk bersama beberapa wanita yang juga mengikuti pengajian. Salah satunya, seorang wanita bernama Ummu Salma, tampak memimpin obrolan hangat tentang keutamaan surah-surah tertentu. Ummu Salma adalah wanita yang lembut, dengan senyum yang selalu membuat orang di sekitarnya merasa nyaman.
“Zayna,” panggil Ummu Salma, sambil menyodorkan mushaf kecil ke arah Zayna. “Coba bacakan Surah Al-Baqarah ayat 2-3 ini. Kita diskusikan bersama nanti.”
Zayna membuka mushaf itu dengan hati-hati, menatap ayat-ayat yang ditunjukkan padanya. Suaranya sedikit gemetar saat membaca:
“Itulah kitab yang tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Setelah membaca, ia terdiam. Ayat itu terasa menyentuh sesuatu yang dalam di hatinya. Ia menatap Ummu Salma dengan mata bertanya. “Apa yang dimaksud ‘beriman kepada yang gaib’ di sini? Aku ingin tahu lebih banyak.”
Ummu Salma tersenyum lembut. “Beriman kepada yang gaib adalah percaya pada hal-hal yang tidak bisa kita lihat atau rasakan dengan panca indera, tapi kita yakini keberadaannya. Seperti Allah, malaikat, takdir, atau bahkan surga dan neraka. Itu adalah bagian dari keimanan seorang Muslim. Dan itu juga menjadi fondasi bagaimana kita menjalani hidup.”
Zayna mengangguk pelan, mencoba memahami. Tapi di dalam dirinya, pertanyaan-pertanyaan baru mulai muncul. Bagaimana caranya menguatkan iman pada hal-hal yang tak terlihat? Bagaimana ia bisa menjalani hidup dengan sepenuh keyakinan?
Sore harinya, setelah pengajian selesai, Zayna berjalan pelan menuju taman kecil di dekat masjid. Ia membawa mushafnya, berniat membaca beberapa ayat dalam suasana yang tenang. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat pria paruh baya yang biasa mengajarnya duduk di salah satu bangku taman, membaca sesuatu.
“Assalamu’alaikum, Ustaz,” sapa Zayna sambil mendekat.
“Wa’alaikumussalam, Zayna,” balas pria itu sambil menutup bukunya. “Bagaimana hari ini? Apa yang kamu pelajari?”
Zayna duduk di sebelahnya, menatap mushaf di tangannya. “Aku membaca Surah Al-Baqarah tadi pagi. Ada sesuatu yang membuatku penasaran. Bagaimana caranya benar-benar beriman kepada yang gaib? Kadang-kadang, aku merasa sulit meyakini sesuatu yang tidak bisa kulihat.”
Pria itu terdiam sejenak, seolah mencari cara terbaik untuk menjawab pertanyaan itu. “Zayna,” ia memulai, “iman adalah sesuatu yang tumbuh dari hati, bukan dari mata. Ketika kita memikirkan keindahan dunia ini—langit yang luas, gunung yang kokoh, lautan yang tak berujung—semua itu adalah tanda-tanda keberadaan Allah. Dan tanda-tanda ini cukup untuk membuka hati kita kepada iman.”
Ia melanjutkan, “Namun, iman juga membutuhkan penguatan. Membaca Al-Qur’an, berdoa, dan terus mendekatkan diri pada Allah adalah cara untuk menguatkan iman kepada yang gaib. Ketika kamu menjalani semua itu dengan ikhlas, kamu akan merasakan keyakinan yang tak tergoyahkan dalam hatimu.”
Kata-kata itu menggema dalam pikiran Zayna sepanjang sore. Ia mulai menyadari bahwa perjalanan hijrahnya bukan sekadar memahami ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga membangun hubungan yang lebih dalam dengan Allah. Ia harus menghidupkan setiap ayat dalam kehidupannya, menjadikannya bagian dari dirinya.
Hari berikutnya, Zayna menghadiri kelas tahsin yang diajarkan langsung oleh Ustaz tersebut. Kelas ini membantu para peserta memperbaiki bacaan Al-Qur’an mereka, memastikan tajwid dan makhrajnya benar. Awalnya, Zayna merasa kesulitan. Lidahnya sering tergelincir saat mengucapkan huruf-huruf tertentu. Namun, ia tidak menyerah. Setiap kesalahan yang ia buat, ia perbaiki dengan sabar.
Saat sesi selesai, Ustaz itu berkata kepada seluruh peserta, “Ingatlah, belajar membaca Al-Qur’an adalah ibadah yang besar. Jangan pernah merasa malu atau lelah. Allah melihat setiap usaha kalian, sekecil apa pun itu.”
Zayna merasa termotivasi oleh kata-kata itu. Ia tahu, perjalanannya masih panjang. Tapi ia juga tahu, setiap langkah yang ia ambil mendekatkannya pada kedamaian yang ia dambakan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa yakin bahwa ia berada di jalan yang benar.
Pada malam harinya, Zayna menutup hari dengan membuka mushafnya kembali. Ia membaca surah pendek dengan suara pelan, menikmati setiap kata yang ia ucapkan. Di dalam hatinya, ada rasa syukur yang melimpah. Ia tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Dan ia siap untuk melanjutkan perjalanannya, tak peduli seberapa sulit jalannya nanti.
Penyerahan yang Sempurna
Malam itu, Zayna duduk di atas sejadahnya dengan hati yang penuh, menghadap kiblat. Suasana sunyi di sekitar masjid hanya dihiasi oleh desiran angin malam yang lembut. Ia baru saja selesai melakukan shalat tahajud, merenungkan setiap gerakan dan doa yang ia lafalkan. Wajahnya yang sebelumnya tampak gelisah kini dipenuhi ketenangan yang luar biasa. Setiap ayat Al-Qur’an yang ia baca dan setiap kata yang ia ucapkan terasa begitu hidup, seolah berbicara langsung ke dalam hatinya.
Setelah mengucapkan doa terakhir, Zayna menundukkan kepala, membiarkan segala beban yang selama ini ia bawa terlepas begitu saja.
“Ya Allah, aku ingin berjalan di jalan-Mu dengan sepenuh hati. Aku ingin hidup untuk-Mu, menghidupkan sunnah-Nya, dan mengamalkan setiap ayat-Mu dalam kehidupanku.” Doa itu keluar dengan penuh keyakinan, seolah semuanya sudah siap diserahkan kepada-Nya.
Seiring berjalannya waktu, Zayna mulai melihat perubahan besar dalam dirinya. Dia tidak lagi merasa cemas tentang masa depan, tidak lagi dihantui oleh masa lalu. Ia mulai memaknai hidup dengan cara yang berbeda. Al-Qur’an bukan hanya kitab yang ia baca, tetapi juga pedoman yang ia jalani setiap hari. Ia tahu bahwa hidup ini bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memberi manfaat bagi orang lain dan untuk Allah semata.
Pagi-pagi sekali, Zayna pergi ke pasar bersama seorang ibu tua yang tinggal di dekat masjid. Ibu itu telah lama kesulitan mencari nafkah setelah suaminya meninggal. Zayna merasa tergerak untuk membantu, bukan karena merasa lebih baik, tapi karena ia tahu bahwa itulah yang harus ia lakukan sebagai seorang hamba. Di pasar, mereka membeli beberapa bahan makanan yang sederhana, tetapi Zayna merasa kebahagiaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Tangan yang ia ulurkan untuk membantu, hatinya yang semakin lembut, adalah wujud nyata dari hijrah yang ia jalani.
Di tengah perjalanan pulang, ibu itu berkata dengan suara lembut, “Zayna, kamu anak yang baik. Saya selalu mendoakan kamu agar Allah memberkahi hidupmu.”
Zayna tersenyum, mata mereka bertemu. “Tidak, Bu. Saya hanya mencoba menjadi lebih baik, sedikit demi sedikit. Semua ini karena Allah. Semoga Allah memudahkan hidup kita semua.”
Ketika Zayna kembali ke rumah, ia duduk sebentar di teras, menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia membuka kembali mushafnya, memperhatikan setiap huruf, setiap kata, dan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an telah menjadi bagian dari dirinya, lebih dari sekadar bacaan. Itu adalah sumber cahaya yang menerangi jalannya.
Tak lama kemudian, Zayna mendapat pesan dari Ummu Salma yang mengajaknya untuk hadir pada pengajian rutin di masjid. Zayna tak perlu berpikir panjang, karena ia tahu bahwa setiap pertemuan, setiap pembelajaran, adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan Allah.
Malam itu, pengajian dimulai dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang penuh makna. Salah satu ayat yang dibacakan adalah Surah At-Tawbah, ayat 51: “Katakanlah: ‘Tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditentukan Allah untuk kami; Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakkal.'”
Zayna merasa seperti ayat itu ditujukan langsung untuknya. Tawakkal, penyerahan diri yang sepenuhnya kepada Allah, adalah kunci untuk menjalani kehidupan dengan damai. Ia tidak lagi merasa takut, tidak lagi merasa kehilangan. Semua yang terjadi dalam hidup ini adalah bagian dari takdir-Nya, dan Zayna belajar untuk menerima semuanya dengan lapang dada.
Dalam perjalanan pulang dari masjid, Zayna berhenti sejenak di depan sebuah pohon besar di tengah jalan. Ia memandang langit yang penuh bintang, merasa kecil namun sangat berarti. Setiap langkahnya kini dipenuhi dengan keyakinan bahwa ia berada di jalan yang benar. Hijrah yang ia pilih bukanlah hanya tentang mengubah kebiasaan atau memperbaiki diri dari hal-hal yang salah. Hijrah itu adalah perjalanan menuju Allah, untuk hidup dengan penuh makna, untuk menjadi lebih baik, lebih dekat dengan-Nya.
Zayna menatap langit dengan penuh harapan, berdoa dalam hati, “Ya Allah, jadikan aku hamba-Mu yang selalu bersyukur, yang selalu mencintai-Mu dengan sepenuh hati. Jadikan hidupku sebagai ladang amal, agar setiap langkahku selalu mendapatkan keridhaan-Mu.”
Dan di malam yang tenang itu, Zayna merasa seperti telah menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Hijrah yang ia jalani bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan hati yang tak pernah berhenti untuk belajar, tumbuh, dan mengabdi. Dalam Al-Qur’an, ia menemukan segala jawabannya. Dan dalam perjalanan hidupnya, ia tahu bahwa Allah selalu ada, memberi petunjuk dalam setiap langkahnya.
Jadi, hijrah itu bukan cuma soal ganti gaya hidup atau perbaiki perilaku. Hijrah itu perjalanan hati, untuk lebih dekat dengan Allah, menemukan kedamaian, dan hidup dengan penuh makna.
Seperti Zayna, kita semua punya kesempatan untuk berubah, belajar, dan menjadi lebih baik. Semoga cerita ini bisa menginspirasi kamu buat terus berusaha menuju versi terbaik dari diri kita, dengan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup.