Hijrah di Balik Cinta: Perjalanan Menuju Kebaikan dan Cinta Sejati

Posted on

Kadang, hidup itu nggak cuma soal memilih antara yang baik atau yang buruk, tapi lebih ke bagaimana kita bisa jadi versi terbaik dari diri kita sendiri, kan? Nah, cerpen ini tentang dua orang yang lagi mencari jalan terbaik dalam hidup mereka, dengan cinta sebagai salah satu motivator utamanya.

Tapi bukan cuma soal kisah romantis, lho! Ini juga tentang perjalanan hijrah, tentang usaha buat jadi lebih baik, dan tentunya, tentang bagaimana mereka berdua berjuang dalam cinta dan kebaikan. Penasaran gimana ceritanya? Yuk, simak terus!

 

Hijrah di Balik Cinta

Langkah Pertama di Tangga Masjid

Hari itu terasa biasa saja, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi aku tahu, entah kenapa, ada yang berbeda. Aku melangkah pelan menaiki anak tangga masjid, menyesap udara sore yang agak sejuk. Masjid ini selalu jadi tempat yang menenangkan, dengan langit biru yang membentang luas di atasnya. Mungkin karena suara adzan, mungkin juga karena suasana yang selalu terasa damai di sini.

Aku baru saja memeriksa handphone ketika mataku menangkap sosok yang sedang berdiri di depan pintu masjid. Dia sedikit ragu, memandang sekeliling seakan mencari seseorang. Aku mengernyitkan dahi. Hah, siapa itu?

Dia mengenakan jaket hitam dan sepatu sneakers putih yang terlihat baru. Bukan tipe orang yang biasanya datang ke sini. Aku tidak bisa menahan rasa penasaran, lalu mendekat.

“Mas, pintunya di situ,” ucapku sambil menunjuk pintu masuk masjid yang besar dan megah itu.

Pria itu menoleh ke arahku. Seperti tersadar dari kebingungannya, dia mengangguk cepat. “Oh, iya. Terima kasih, Mbak.”

Aku hanya mengangguk singkat, merasa sedikit canggung. Rasanya aneh melihat dia yang kelihatan sedikit “out of place” di sini. Sebagai orang yang sudah beberapa tahun bergabung di komunitas ini, aku sangat familiar dengan para jamaah, tapi pria ini? Aku rasa aku tidak pernah melihatnya sebelumnya.

Namun, di luar dugaan, pria itu melangkah masuk ke masjid dengan langkah mantap, meski wajahnya masih terlihat ragu. Aku hanya bisa memperhatikan dari jauh. Apa yang membuatnya datang ke sini? Apa yang dia cari?

Aku tidak tahu, tapi hari itu aku merasa, entah kenapa, aku ingin tahu lebih banyak.

Sejak saat itu, Naufal—pria yang aku temui pertama kali di masjid—mulai datang lebih sering. Tidak hanya sekadar datang, tapi dia mulai aktif bertanya. Kadang dia menanyakan hal-hal yang aku anggap sepele, seperti mengapa kita harus berwudhu dengan cara tertentu atau kenapa shalat harus dilakukan dengan rukun yang begitu banyak.

Tapi seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa dia benar-benar serius ingin belajar. Bukan hanya mencoba-coba. Ada sesuatu yang tulus di balik matanya, meski aku tidak bisa menyebutnya dengan pasti.

Satu per satu, ia mulai menanggalkan kebiasaannya yang dulu. Dulu, aku sering melihatnya mengenakan pakaian kasual dan sneakers keren. Kini, ia mengenakan pakaian yang lebih sederhana, bahkan kadang hanya kaos dan celana panjang panjang dengan sandal jepit. Tampaknya, ada yang berubah dalam dirinya.

Tapi itu bukan hanya soal penampilan. Yang lebih mencolok adalah bagaimana cara dia berbicara. Ada kesopanan yang dulu tak pernah kuperhatikan. Aku yang dulu sering mendengar dia bercanda tanpa batas, kini melihatnya lebih sering duduk di pojokan, menatap buku-buku agama yang dipinjam dari perpustakaan masjid.

Aku terkadang melihatnya duduk sendirian, membaca, lalu menyelipkan beberapa pertanyaan dalam sesi diskusi. Pertanyaan-pertanyaan yang, jujur saja, tidak pernah aku duga sebelumnya.

“Mbak Qanita,” katanya suatu hari setelah kajian selesai. “Kenapa kita harus menjaga pandangan?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Naufal biasanya tidak pernah menanyakan hal-hal semacam itu sebelumnya. Dia lebih sering tertawa dan tidak terlalu serius dengan semua ini. Tapi sekarang, aku bisa merasakan ada ketulusan dalam dirinya.

“Karena pandangan itu bisa jadi awal dari hal yang tidak baik, Mas,” jawabku dengan hati-hati. “Islam mengajarkan kita untuk menjaga diri dari segala yang bisa membawa kita pada perbuatan dosa.”

Dia mengangguk pelan, seperti mencerna setiap kata-kataku. Aku tahu, mungkin aku tak bisa memberi jawaban sempurna, tapi setidaknya aku merasa bahwa jawabanku membuatnya berpikir.

Di tengah-tengah perubahan yang terjadi pada Naufal, aku mulai merasakan sesuatu yang tak terduga. Ada rasa kagum yang tumbuh, meskipun aku tidak tahu sejak kapan perasaan itu mulai muncul. Aku hanya tahu, Naufal kini bukan lagi pria yang sama seperti yang aku temui pertama kali. Dia lebih matang, lebih dewasa. Lebih mengerti apa itu kehidupan dan perjuangan untuk menjadi lebih baik.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku mulai merasa semakin dekat dengan Naufal. Tapi aku juga merasa bingung. Aku tahu perubahan dirinya bukan karena aku. Tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa aku ikut merasa bahagia melihatnya berjuang untuk menjadi lebih baik.

Suatu malam, setelah kajian, Naufal mengirimkan sebuah pesan suara. Aku tahu, pesan ini berbeda dari yang lain. Aku membuka pesan itu dengan perasaan yang sedikit cemas.

“Aku cuma mau bilang… terima kasih, Nita. Karena kamu, aku belajar mengenal Allah lebih dalam. Semoga ini bukan akhir obrolan kita, tapi kalau kamu mau aku berhenti mengganggu hidupmu, bilang aja.”

Pesan itu membuat hatiku berdebar. Aku tidak tahu harus merespons apa. Apakah aku harus merasa tersentuh atau justru bingung?

Aku menatap layar ponselku lama. Apakah ini berarti dia sudah merasa lebih baik karena aku? Tapi aku tidak bisa memaksakan diri untuk menjawab dengan tegas. Aku tahu, ini bukan hanya tentang aku dan Naufal. Ini lebih besar dari itu. Ini soal hubungan Naufal dengan Allah, perjuangannya untuk terus hijrah.

Aku menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk menunda menjawab pesan itu.

Aku berjalan kembali ke masjid keesokan harinya, langkahku agak berat. Aku tahu, akan ada banyak pertanyaan yang perlu aku jawab dalam diriku sendiri. Aku merasa terjebak antara kebingunganku dan perasaan yang mulai tumbuh dalam hati.

Yang jelas, aku tahu satu hal: perjalanan hijrah Naufal baru saja dimulai, dan aku ingin mendampinginya. Bukan untuk alasan apa pun selain ingin melihatnya tetap istiqamah, tetap berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Entah bagaimana perasaan kita nanti, yang terpenting adalah niat kita. Niat untuk selalu mendekatkan diri pada Allah.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Pertanyaan di Tengah Kajian

Malam itu, langit tampak lebih gelap dari biasanya. Aku sedang duduk di salah satu sudut masjid, menatap papan pengumuman yang terpasang dengan rapi. Kajian malam ini agak berbeda, lebih mendalam, dan sedikit lebih panjang dari biasanya. Aku sebenarnya sedang menunggu, berharap bisa melihat Naufal datang—tapi setelah dua bulan, aku merasa sedikit cemas kalau-kalau dia tidak muncul lagi.

Sekarang, meski aku sudah terbiasa dengan ketidakhadirannya yang tak terduga, ada bagian dalam diriku yang tetap merasa cemas. Aku tidak bisa mengelak, Naufal sudah menjadi bagian dari rutinitasku, bahkan jika itu hanya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan singkat yang kadang tak terjawab.

Tapi, di luar dugaan, dia datang tepat saat kajian dimulai. Matanya yang penuh semangat berkeliling mencari tempat duduk, lalu ia melihatku dan langsung melangkah menuju ke arahku.

“Aku bisa duduk sini?” tanyanya, sambil tersenyum tipis, seakan malu. Aku yang tidak suka kalau ada yang merasa canggung, langsung menyarankan agar dia duduk di sebelahku.

“Silakan, Mas.” Aku membalas senyumnya. “Ada yang baru dipelajari hari ini?”

Dia duduk dengan tenang, matanya berbinar penuh antusias. “Banyak, Nita. Banyak banget.” Dia mengeluarkan buku kecil dari tasnya, lalu membuka beberapa halaman yang telah ia beri tanda dengan spidol warna-warni. “Tapi ada satu yang bikin aku bingung.”

Aku mengangguk pelan, menunggu dia melanjutkan. Sudah sering dia seperti ini—membawa masalah atau pertanyaan yang bikin kepala pusing, tapi dengan cara yang selalu membuatku merasa tertantang untuk mencari jawaban.

“Kenapa ya, kita harus tetap sabar di saat ujian datang?” katanya dengan nada serius. “Aku baca di sini, sabar itu bukan cuma bertahan, tapi juga berusaha memahami hikmahnya. Tapi… kenapa harus sabar? Kenapa nggak bisa langsung lari aja dari masalah?”

Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi setiap kata-katanya. Ini bukan pertanyaan yang sederhana. Masalah sabar adalah hal yang seringkali kita dengar, tapi benar-benar memahami esensinya itu berbeda.

“Naufal,” jawabku pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Sabar itu bukan tentang menunggu tanpa melakukan apa-apa. Sabar itu tentang menghadapi cobaan dengan ketenangan hati, bukan karena kita takut atau malas, tapi karena kita tahu bahwa Allah punya rencana terbaik untuk kita.”

“Dan itu nggak gampang?”

“Ya, benar. Sabar itu berat. Kadang kita merasa seperti dunia ini menekan, tapi Allah selalu memberikan jalan keluar.” Aku menatapnya dalam-dalam, ingin dia merasakan betapa seriusnya aku menjawab. “Kalau kita lari dari ujian, kita nggak akan belajar. Dan kalau kita nggak belajar, kita nggak akan berkembang.”

Naufal terdiam sejenak, mengingat kata-kataku. “Hmm… Jadi ujian itu sebenarnya buat bikin kita lebih kuat?”

“Ya, dan lebih bijak. Setiap masalah yang kita hadapi, kalau kita sabar, akan membawa kita lebih dekat ke Allah. Itu bukan hanya soal kesulitan, tapi tentang bagaimana kita belajar untuk bersyukur di tengah kesulitan itu.”

Dia menatapku, wajahnya penuh pemikiran. “Aku baru benar-benar merasa… ujian itu harus dihadapi dengan ikhlas. Tapi kenapa rasanya kadang susah banget buat ikhlas, ya?”

Aku tahu, dia sedang berjuang dengan perasaan-perasaan yang sulit diungkapkan. Seperti semua orang yang sedang berusaha hijrah, ada banyak hal yang masih mengganjal, banyak kebiasaan lama yang sulit ditinggalkan.

“Naufal,” ucapku lembut, “Ikhlas itu bukan sesuatu yang datang begitu saja. Itu proses. Seperti halnya hijrah yang kamu lakukan, itu nggak akan instan. Kamu pasti masih merasa kebingungan, karena perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Tetapi kamu sudah di jalan yang benar.”

Naufal menarik napas panjang, seolah sedang mengatur pikirannya. “Aku merasa banyak hal yang harus kuperbaiki, Nita. Dan kadang aku merasa… aku nggak cukup baik.”

Aku menatapnya dengan hati yang ringan. “Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Mas. Perubahan itu memang butuh waktu. Yang penting kamu terus berusaha. Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha yang ikhlas.”

Wajah Naufal sedikit lebih tenang setelah mendengarkan jawabanku, namun aku tahu dia masih punya banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Kajian malam itu berjalan seperti biasa. Namun, entah kenapa, perasaan di hatiku semakin kuat. Aku merasa kami tidak hanya sekadar berbagi ilmu. Kami sedang berbagi perjalanan. Perjalanan menuju Allah, menuju perubahan. Naufal semakin tumbuh, dan aku… aku merasa ingin selalu ada untuk mendukung setiap langkahnya.

Setelah kajian selesai, Naufal masih duduk di tempatnya, tampaknya masih terhanyut dalam pemikirannya sendiri. Aku merapikan buku catatanku, lalu bangkit untuk pergi, namun langkahku terhenti ketika mendengar suaranya memanggil.

“Nita…”

Aku menoleh, dan melihatnya menatapku dengan mata penuh rasa terima kasih. “Aku nggak tahu kalau hijrah itu bisa seindah ini. Terima kasih sudah mau ngajarin aku, walaupun aku tahu banyak yang belum bisa aku paham.”

Aku tersenyum, sedikit malu. “Kamu yang sudah berusaha, Mas. Jangan merasa terima kasih cuma karena aku. Ini semua karena kamu yang memilih untuk berubah.”

Dia mengangguk, matanya berbinar. “Aku janji akan terus belajar, terus memperbaiki diri. Dan… kalau aku salah, aku harap kamu bilang.”

Aku tertawa kecil, merasa hangat dalam hati. “Tentu. Kita kan sama-sama belajar, Mas.”

Dan saat itu, aku menyadari sesuatu yang lebih besar. Mungkin, hijrah itu bukan hanya tentang seberapa cepat kita berubah, tapi tentang seberapa kuat niat kita untuk tetap berjuang meski banyak rintangan. Begitu juga dengan cinta—bukan soal perasaan semata, tapi soal bagaimana kita menjaga niat untuk selalu mendekatkan diri pada Allah.

Kami tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi yang pasti, perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Langkah Kecil Menuju Kebaikan

Minggu-minggu berlalu begitu cepat, dan Naufal mulai terlihat semakin sering hadir di kajian-kajian malam. Ada perubahan yang bisa kurasakan dalam dirinya. Mungkin masih sedikit, tapi aku bisa melihat bahwa dia berusaha, dan itu lebih dari cukup. Dulu, dia akan duduk jauh dari orang lain, enggan berbicara, dan cenderung lebih banyak diam. Namun sekarang, ada sesuatu yang berbeda. Naufal mulai membuka dirinya, berani bertanya, dan berbagi pemikiran yang ia simpan selama ini.

Hari itu, kami bertemu di luar masjid setelah kajian selesai. Udara malam terasa sedikit dingin, angin berhembus pelan, membawa harum dari taman dekat masjid. Kami berdua berhenti sejenak, menikmati ketenangan malam yang datang setelah kajian.

“Nita,” suara Naufal memecah keheningan. “Aku merasa lebih tenang sekarang. Masih ada banyak hal yang harus aku pelajari, tapi… aku mulai merasa bahwa hijrah itu bukan sekadar perasaan, tapi tentang terus-menerus berusaha memperbaiki diri.”

Aku tersenyum, mendengarnya seperti itu membuat hatiku hangat. “Kamu benar, Mas. Hijrah itu bukan tujuan akhir. Itu perjalanan, dan perjalanan itu bisa panjang, tapi yang penting adalah kamu terus melangkah. Setiap langkah yang kamu ambil, meski kecil, itu berarti.”

Dia mengangguk, lalu mengambil napas panjang. “Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal. Aku merasa, meski aku mulai berubah, aku nggak ingin membuat orang lain berpikir aku cuma pura-pura hijrah. Kadang aku merasa… mereka cuma melihat aku dari masa laluku.”

Aku memahami perasaannya. Menghadapi pandangan orang lain memang tidak mudah, apalagi ketika kita sedang berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Mereka mungkin tidak tahu proses yang kita jalani, atau perjuangan yang kita rasakan.

“Naufal, perubahan itu bukan untuk orang lain,” kataku dengan lembut. “Perubahan itu untuk diri kamu sendiri dan untuk Allah. Jangan biarkan pendapat orang lain menghentikan langkahmu. Biarkan tindakanmu yang berbicara. Jika kamu benar-benar berusaha, mereka akan melihat perubahan itu, meski mungkin butuh waktu.”

Naufal terdiam, merenung. Lalu dia tersenyum, dan untuk pertama kalinya, aku bisa melihat ketenangan sejati di matanya. “Makasih, Nita. Aku nggak tahu kenapa kamu selalu bisa bikin aku merasa lebih baik.”

Aku terkekeh, merasa sedikit canggung. “Aku nggak tahu juga, Mas. Mungkin karena kita saling belajar, ya.”

Senyumnya semakin lebar, dan aku bisa merasakan bahwa hatinya memang lebih ringan sekarang. Tapi, di balik senyumnya, aku bisa melihat dia masih menyimpan banyak pertanyaan. Tentang dirinya, tentang hijrah, dan tentang masa depan yang mungkin belum jelas.

“Masih ada banyak hal yang harus aku pikirkan, Nita,” kata Naufal, suaranya terdengar lebih serius. “Aku merasa aku harus lebih banyak belajar, bukan cuma tentang agama, tapi juga tentang diriku sendiri. Aku nggak mau jadi orang yang hanya ikut-ikutan, aku mau jadi orang yang bener-bener sadar akan setiap langkah yang aku ambil.”

“Dan itu bagus, Mas. Justru dengan bertanya dan berpikir, kamu sudah di jalur yang benar.” Aku memandangnya, melihat keinginannya yang kuat untuk menjadi lebih baik. “Kita nggak akan tahu apa yang terbaik kalau kita nggak bertanya dan terus mencari.”

Kami berdiri di sana beberapa saat, menikmati suasana malam yang tenang. Namun, dalam diamnya itu, aku merasakan perubahan besar dalam diri Naufal. Perubahan yang bukan hanya dilihat dari luar, tapi dari dalam hatinya yang semakin dekat dengan kebaikan.

Kemudian, dia melangkah maju, mendekati jalan keluar masjid, dan aku mengikuti di belakangnya. Kami berjalan berdampingan, meskipun dalam diam, tapi ada perasaan hangat yang mengisi udara malam itu. Sesekali, kami berbicara tentang hal-hal sederhana—tentang kehidupan, tentang mimpi, tentang hal-hal yang kadang kita anggap sepele tapi sebenarnya sangat berarti.

Namun, malam itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih. Ada perasaan yang berkembang, meskipun aku tak bisa menafsirkannya dengan pasti. Cinta, apakah itu? Atau sekadar perasaan yang datang seiring perjalanan hijrah ini? Aku tak tahu. Tetapi, satu hal yang pasti—aku merasa lebih dekat dengannya, lebih memahami perasaan dan pergulatan hatinya.

Seminggu setelahnya, aku mendapatkan pesan singkat dari Naufal. Pesan yang datang tiba-tiba setelah hampir seminggu kami tidak bertemu di kajian.

“Nita, ada waktu nggak? Aku pengen ngobrol, ada sesuatu yang perlu aku sampaikan.”

Aku merasa sedikit bingung dan terkejut. Biasanya, Naufal tidak terlalu terbuka tentang perasaan atau pikiran mendalamnya. Aku membalasnya dengan cepat.

“Tentu, Mas. Mau ketemu di mana?”

Tak lama, dia membalas dengan lokasi yang cukup jauh dari masjid, di sebuah kafe yang jaraknya cukup jauh dari tempat biasa kami bertemu. Aku sedikit curiga, tapi juga penasaran. Apakah ini akan menjadi percakapan yang berbeda dari sebelumnya? Percakapan tentang hijrah atau… mungkin tentang hal lain?

Sesampainya di kafe, aku melihat Naufal duduk di pojok dengan secangkir kopi di depannya. Wajahnya tampak serius, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara.

Aku duduk di hadapannya, menatap matanya yang penuh dengan berbagai emosi yang sulit diungkapkan. “Ada apa, Mas?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang mengisi ruang di antara kami.

Dia menarik napas panjang, lalu perlahan membuka mulutnya, menyuarakan kata-kata yang sudah lama terpendam di dalam hatinya. “Nita, aku…”

Tiba-tiba, aku merasa jantungku berdebar lebih cepat. Ada sesuatu yang penting yang akan dia sampaikan. Tapi apa itu?

 

Cinta dan Hijrah, Menemukan Jalan Bersama

Naufal terdiam sejenak, matanya menatap cangkir kopi yang sudah mulai dingin, seolah mencari kata-kata yang tepat. Aku duduk diam, menunggu, namun entah kenapa hatiku terasa gelisah. Sepertinya, percakapan ini akan berbeda dari yang sebelumnya.

“Nita,” akhirnya dia mulai lagi, suaranya pelan namun penuh dengan kesungguhan, “Aku sadar, perjalanan hijrah itu bukan hanya soal mendekatkan diri pada Allah. Tapi juga tentang bagaimana kita menemukan diri kita yang sebenarnya. Aku… Aku rasa aku mulai menemukan hal yang lebih penting dari sekadar diri aku sendiri.”

Aku menatapnya, berusaha membaca maksud di balik kata-katanya. “Lebih penting dari diri sendiri? Apa maksudmu?”

Dia mengangkat pandangannya, dan kali ini aku melihat ketulusan yang berbeda. “Aku merasa… aku menemukan kamu dalam perjalanan ini, Nita. Tidak hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu.”

Hatiku berdegup kencang. Seperti ada rasa yang tumbuh begitu tiba-tiba, meski aku tidak bisa menahan senyum yang mulai merekah di wajahku. Tapi aku tetap berusaha tenang, menunggu dia melanjutkan kalimatnya.

“Aku tahu, hijrah itu bukan hanya tentang kita mencari cinta. Tapi aku percaya, dalam setiap langkah yang kita ambil, ada kesempatan untuk memperbaiki diri bersama seseorang yang sama-sama berusaha menjadi lebih baik. Aku ingin berjalan bersama kamu, Nita. Membangun sesuatu yang lebih kuat, lebih baik, lebih dekat dengan Allah.”

Kata-kata itu seperti angin yang menyentuh hatiku dengan lembut. Ada sesuatu yang berubah di dalam diriku saat itu. Aku merasa harapan yang selama ini aku pendam, perlahan mulai mekar. Naufal, yang dulu hanyalah seseorang yang mencari jalan hidupnya, kini seolah menemukan jalannya bersama aku.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Mas, aku juga merasa hal yang sama. Aku nggak tahu bagaimana bisa menjelaskannya, tapi aku juga mulai merasa bahwa hijrah kita ini adalah tentang berjalan bersama. Tentang saling mendukung dalam kebaikan.”

Naufal tersenyum, senyum yang penuh makna, yang bisa aku rasakan kedalamannya. “Kalau begitu, kita berdua berjanji, ya? Untuk terus berjalan bersama, saling mengingatkan, saling mendukung, dan yang paling penting, selalu menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam hidup kita.”

Aku mengangguk dengan mantap. “Aku janji, Mas. Aku ingin belajar bersama, tumbuh bersama, dan tentu saja memperbaiki diri bersama. Hijrah ini lebih dari sekadar perjalanan, tapi juga pilihan kita untuk menjadi lebih baik.”

Ada momen hening di antara kami. Kami saling menatap, namun kali ini bukan dengan rasa canggung, melainkan dengan keyakinan yang sama. Kami tahu, perjalanan kami masih panjang, dan tidak akan selalu mudah. Namun, yang terpenting adalah kami memilih untuk terus maju, meski dengan segala kekurangan dan keterbatasan.

Tiba-tiba, Naufal berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. “Nita, aku nggak bisa janji semuanya akan sempurna. Tapi aku janji akan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Untukmu, untuk kita, dan untuk Allah.”

Aku tersenyum dan menggenggam tangannya. “Aku juga, Mas. Aku juga.”

Kami berdua berdiri, dan meski malam itu terasa begitu sederhana, ada kehangatan yang luar biasa dalam hatiku. Terkadang, hijrah tidak hanya soal meninggalkan yang buruk, tetapi juga menemukan yang lebih baik, dan bisa menjadi lebih baik bersama seseorang yang kita cintai.

Kami berjalan keluar dari kafe, bersama-sama, di bawah langit malam yang penuh bintang. Langit yang sama, namun dengan harapan baru yang kini ada di dalam hati kami. Cinta dan hijrah, ternyata bisa berjalan beriringan. Dan dengan niat yang tulus, keduanya bisa membawa kita menuju jalan yang lebih indah, lebih baik, dan lebih bermakna.

“Ayo, Mas. Kita masih punya banyak hal untuk dipelajari dan diperbaiki. Tapi, yang terpenting, kita sudah berada di jalan yang benar.” Aku berkata, sambil berjalan berdampingan dengannya.

Naufal tersenyum, dan kami melanjutkan perjalanan itu, dengan penuh keyakinan. Begitu banyak hal yang masih kami jalani, tetapi aku tahu satu hal pasti—kami akan terus bersama dalam perjalanan ini. Perjalanan hijrah, perjalanan cinta, perjalanan untuk menjadi lebih baik.

 

Jadi, perjalanan ini nggak cuma soal jatuh cinta atau berubah, tapi tentang bagaimana kita terus berusaha untuk jadi lebih baik setiap harinya. Karena hijrah bukan cuma soal meninggalkan yang buruk, tapi juga tentang menemukan diri kita yang lebih baik di setiap langkah.

Dan siapa sangka, dalam perjalanan itu, kita bisa menemukan cinta yang sejati—cinta yang nggak cuma hadir di hati, tapi juga menguatkan langkah kita menuju kebaikan. Semoga cerita ini jadi pengingat, kalau setiap perubahan itu berharga, dan setiap usaha pasti ada hasilnya. Teruslah berjuang, dan biarkan cinta dan hijrah mengarahkan kita ke jalan yang lebih baik!

Leave a Reply