Daftar Isi
Kadang, cinta itu gak selalu tentang bahagia bersama, kan? Ada kalanya, kita harus melepaskan seseorang yang kita cintai, meskipun itu sakit banget. Begitu juga dengan kisah Farel dan Alena—dua orang dengan hati yang saling terikat, tapi terhalang oleh perbedaan yang nggak bisa disatukan.
Mereka menjalani perjalanan cinta yang nggak mudah, penuh dengan kebingungannya, kesedihannya, dan akhirnya… melepaskan. Tapi, melepaskan bukan berarti melupakan, kan? Di sinilah mereka belajar bahwa ada cinta yang bisa tetap hidup meski tak pernah bisa bersama.
Hijrah Cinta Beda Agama
Persimpangan di Bukit Semesta
Pagi itu langit di atas Bukit Semesta cerah, warna birunya begitu tajam, hampir seperti lukisan cat minyak yang baru saja selesai. Farel berjalan dengan langkah tenang di antara pepohonan, menyusuri jalan setapak yang masih sedikit basah dari semalam. Bukan kali pertama ia datang ke sini, tapi entah kenapa hari itu terasa berbeda. Mungkin karena perasaan yang sedang mengganjal di dadanya, sebuah perasaan yang sulit ia ungkapkan, tapi selalu ada.
Acara lintas agama yang diadakan komunitas sosial ini seharusnya menjadi kesempatan untuk mempererat tali persaudaraan, kata panitia. Farel yang cukup taat pada agama Islam, selalu merasa nyaman dengan kegiatan seperti ini, meski ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya: perbedaan. Perbedaan yang sering kali tak bisa diabaikan, meskipun banyak yang berusaha memadamkannya.
Farel menatap sekeliling. Banyak orang yang sedang duduk berbincang dengan sesama, tapi pandangannya tertuju pada seorang wanita yang duduk sendiri di sudut dekat pohon. Wanita itu tampak tidak terganggu dengan keramaian di sekitarnya. Wajahnya serius, matanya fokus pada buku yang ada di tangan, namun senyum tipis yang menghiasi bibirnya cukup membuat Farel tertarik.
“Alena?” Farel mendekat dengan sedikit ragu.
Wanita itu menoleh pelan, matanya yang coklat gelap memandang Farel dengan tatapan sedikit terkejut. Tapi, senyumnya tetap ada.
“Oh, kamu Farel, kan? Baru datang?” suaranya lembut, seakan tidak ingin mengganggu ketenangan yang sudah terbangun di antara mereka.
“Ya. Baru datang,” jawab Farel, tersenyum kecil. “Aku lihat kamu lagi baca buku. Buku apa?”
Alena mengangkat buku di tangannya, memperlihatkan judulnya. “Ini buku tentang seni. Salah satu topik yang aku suka. Kamu sendiri, apa yang biasanya kamu baca?”
Farel mengerutkan dahi. “Buku-buku tentang agama, sih. Lebih ke filosofi Islam. Cuma aku jarang baca buku lain.”
Alena tertawa kecil, seperti memandang Farel dengan penuh rasa ingin tahu. “Buku agama? Wah, pasti seru, ya. Aku nggak pernah baca buku agama. Tapi aku suka berdiskusi soal itu, kamu nggak merasa kaku kalau bicara soal agama?”
“Enggak sih,” jawab Farel dengan santai. “Aku nyaman saja. Bagaimana dengan kamu? Kamu nyaman kalau ngomong soal agama?”
Alena terdiam sejenak. “Aku… agak susah kalau ngomongin soal agama, sebenarnya.”
Farel menatapnya, sepertinya ada sesuatu yang tak ia ungkapkan. “Kenapa? Kamu Kristen, kan?”
“Iya.” Alena mengangguk pelan. “Tapi, aku nggak terlalu paham. Kadang aku merasa canggung kalau ngobrolin agama.”
Farel mengamati Alena dengan sedikit rasa penasaran. “Kenapa canggung?”
Alena tersenyum pahit, kemudian menatap buku di tangannya. “Karena, kadang, orang-orang punya banyak ekspektasi tentang apa yang seharusnya aku percaya atau lakukan. Tapi aku cuma… cuma ingin memahami apa yang aku percaya dengan caraku sendiri.”
Farel mengangguk, merasa ada kedalaman dalam kata-katanya. “Aku mengerti. Agama itu… kadang bisa menjadi beban kalau kita nggak bisa menjalankannya dengan tulus.”
Alena melirik Farel, seolah memeriksa setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Tapi kalau kamu, Farel, agama itu nggak pernah jadi beban, kan?”
Farel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ia menjawab dengan tenang. “Bukan beban sih. Tapi aku merasa, agama memberiku arah hidup. Jadi, aku selalu mencoba memahaminya lebih dalam.”
Mereka terdiam sejenak, suara riuh dari sekeliling mereka seperti memudar. Farel dan Alena duduk dalam diam, seakan ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
Lama-kelamaan, perbincangan mereka berlanjut, bergerak dari topik agama ke berbagai hal lain yang jauh lebih ringan. Mereka bercerita tentang hobi masing-masing, makanan favorit, bahkan pengalaman lucu saat pertama kali bergabung dalam kegiatan lintas agama ini. Ternyata, meskipun mereka datang dari dua dunia yang berbeda, mereka merasa nyaman berbicara satu sama lain.
Namun, ada satu perasaan yang tidak bisa Farel hindari—semakin lama berbicara dengannya, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekedar pertemanan. Sesuatu yang sulit ia jelaskan, tetapi sangat jelas ia rasakan. Alena juga tampak tidak biasa, ada kilau tertentu di matanya yang membuat Farel merasa ia juga merasakan hal yang sama.
“Farel, aku… senang bisa ngobrol sama kamu hari ini,” kata Alena pelan, saat matahari mulai tenggelam di balik bukit.
“Aku juga. Kayaknya… kita harus sering ngobrol lagi, ya?” jawab Farel dengan senyum tipis.
Alena tertawa kecil, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Boleh. Tapi, jangan sampai kita jadi terlalu dekat. Nanti kita jadi seperti… teman yang nggak bisa lepas, kan?”
Farel merasa dadanya serasa tertarik sedikit. Ada ketegangan aneh yang mulai terbentuk di antara mereka. Ia hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya sepertinya sedang berdebar lebih keras dari biasanya.
Tapi, mereka tahu satu hal yang tak bisa diubah: mereka berada pada titik yang berbeda dalam hidup. Agama, keyakinan, semuanya membatasi mereka, namun perasaan ini—perasaan yang mulai tumbuh—seperti sesuatu yang tak bisa mereka kontrol.
Malam itu, mereka berpisah dengan janji tidak akan ada perubahan apa pun, hanya percakapan biasa, persahabatan yang tidak lebih. Tapi di dalam hati masing-masing, keduanya tahu, perasaan ini mungkin akan tumbuh lebih besar dari yang bisa mereka harapkan.
Langit yang Sama, Doa yang Berbeda
Sudah beberapa minggu sejak pertemuan pertama mereka di Bukit Semesta. Farel dan Alena tetap berteman, meskipun perasaan yang mulai tumbuh antara mereka tak lagi bisa disembunyikan. Setiap pertemuan terasa semakin intens, seolah-olah waktu berjalan lebih cepat setiap kali mereka berbicara. Namun, di balik semua itu, ada kesadaran yang semakin mendalam bahwa mereka tidak bisa terus seperti ini.
Hari itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi setelah kegiatan sosial bersama. Alena datang lebih dulu, duduk di pojok dengan secangkir kopi panas di tangannya, menunggu Farel dengan tatapan kosong ke luar jendela. Ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya hari itu—wajahnya lebih serius, matanya lebih lelah, seolah ada pergulatan dalam dirinya yang belum ia ungkapkan.
Farel duduk di hadapannya, meletakkan cangkir kopinya, dan memandang Alena dengan ragu. “Alena, ada yang nggak beres, ya?”
Alena menatapnya dengan senyum yang tak sepenuhnya tulus. “Nggak apa-apa, Farel. Cuma capek aja, banyak yang dipikirin belakangan ini.”
Farel tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia memilih untuk diam sejenak. Mereka berdua sudah cukup lama berteman untuk mengetahui kalau ada yang sedang mengganjal dalam hati masing-masing. Dan meskipun Alena berusaha menyembunyikannya, Farel bisa merasakannya.
“Aku tahu kamu nggak akan cerita, tapi aku tetap bisa merasainya, Alena,” kata Farel, suara serius namun lembut.
Alena terdiam, matanya menatap Farel sejenak. Lalu, ia menarik napas dalam-dalam. “Farel, kamu tahu nggak, aku mulai merasa… ini nggak bisa terus begini.”
Farel mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
“Perasaan kita… Aku nggak bisa terus-terusan mengabaikan kenyataan. Kita punya banyak perbedaan yang nggak akan pernah bisa kita atasi.” Suara Alena mulai bergetar, dan Farel bisa merasakan ada air mata yang hampir jatuh dari matanya.
Farel merasa jantungnya berdebar kencang. “Alena, kita nggak bisa cuma diam, kan? Kita bisa terus berusaha… Kita bisa cari cara.”
Tapi Alena menggelengkan kepala, menatap Farel dengan tatapan yang berat. “Farel, aku nggak bisa lagi pura-pura. Aku tahu kamu berusaha keras untuk menjaga perasaan kita, tapi kita… kita nggak akan pernah bisa bersama. Kamu punya keyakinan yang sangat kuat, begitu juga aku. Kita nggak bisa mengubah itu.”
Farel terdiam. Kata-kata itu menusuk jantungnya lebih tajam dari yang ia duga. Ia menatap Alena dengan rasa sakit yang mendalam. “Jadi, kamu… mau kita berhenti? Semudah itu?”
Alena menundukkan kepala, seolah tak bisa menahan rasa sesak di dadanya. “Aku nggak ingin berhenti, Farel. Aku ingin kita tetap berteman, aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam kebohongan. Perasaan kita ini nggak akan pernah bisa jadi kenyataan. Perbedaan kita terlalu besar.”
Farel merasakan perasaan yang berat di dadanya, seperti ada sesuatu yang terlepas dari dirinya, sebuah ikatan yang dulu begitu erat. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata itu seperti terkunci di tenggorokannya. Semua yang ia rasakan—perasaan yang mendalam terhadap Alena, keinginan untuk melawan takdir, semuanya mulai terasa sia-sia.
“Farel, aku…” suara Alena terputus, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu ini sulit. Tapi kita harus melepaskan, demi kebaikan kita berdua. Aku nggak mau kita terus berjalan di jalan yang salah.”
Farel menatapnya, jantungnya berdebar sangat cepat. Ia ingin memeluknya, meyakinkan Alena bahwa segala sesuatu bisa berubah, bahwa mereka bisa melawan dunia. Tapi saat ia memandang wajah Alena yang penuh dengan kesedihan itu, ia tahu betul bahwa ini bukan hanya soal mereka berdua. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak bisa mereka lawan.
“Kalau begitu, aku nggak bisa bilang apa-apa lagi,” ujar Farel akhirnya, suaranya serak. “Kita memang berbeda, Alena. Tapi… aku nggak bisa berhenti peduli sama kamu.”
Alena menatapnya dengan tatapan yang penuh air mata. “Aku tahu, Farel. Aku juga nggak bisa berhenti peduli sama kamu. Tapi, kita harus mulai belajar untuk melepaskan, kan? Walaupun itu sangat berat.”
Keheningan kembali merayapi meja itu, keduanya tenggelam dalam perasaan masing-masing. Perasaan yang seharusnya membahagiakan, tapi malah terasa begitu menyesakkan. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah saat yang sulit—waktu untuk berpisah, meski tidak ada yang ingin mengatakannya.
“Aku harap kita bisa tetap jadi teman, Alena,” kata Farel, meskipun hatinya hampir hancur. “Tapi aku nggak tahu bagaimana nanti. Aku hanya… aku nggak bisa kehilangan kamu, meskipun aku tahu aku harus melepasmu.”
Alena mengangguk perlahan, merasakan kesedihan yang sama. “Aku juga berharap begitu, Farel. Kita memang nggak bisa bersama, tapi… semoga kita bisa tetap jadi bagian dari hidup masing-masing, meski nggak seperti yang kita harapkan.”
Mereka berdua diam sejenak, mencoba menerima kenyataan yang sudah begitu jelas, namun tetap terasa begitu pahit. Seiring dengan berlalunya waktu, mereka tahu mereka harus berpisah—bukan karena mereka tidak cinta, tapi karena cinta itu sendiri yang harus mereka lepaskan.
Cinta yang Dipendam dalam Doa
Sudah dua bulan sejak percakapan itu. Dua bulan yang terasa seperti dua tahun bagi Farel dan Alena. Meskipun mereka sepakat untuk tetap berteman, ada jarak yang tak terucapkan antara mereka. Jarak itu bukan hanya dalam hal fisik, tetapi juga dalam hati. Mereka berdua masih sering berkomunikasi, namun percakapan mereka kini terasa lebih singkat dan penuh kehati-hatian. Mereka tidak lagi berbicara tentang perasaan, tentang impian yang dulu mereka bagi. Semua itu terkubur di bawah lapisan kata-kata yang aman dan biasa.
Hari itu, Farel duduk di sebuah taman kecil yang biasa ia kunjungi untuk merenung. Langit cerah, dan angin pagi menyapu wajahnya dengan lembut. Namun, hatinya tetap terasa berat. Setiap kali ia menatap langit, pikirannya kembali terbang kepada Alena. Ia tahu, meskipun mereka berdua berusaha untuk menjaga jarak, cinta yang tumbuh di hati mereka tidak bisa dimatikan begitu saja.
Farel meraih ponselnya dan membuka pesan dari Alena yang baru saja masuk. Hanya sebuah kalimat singkat, “Farel, bisa ketemu?”
Tanpa berpikir panjang, ia membalas, “Aku akan ke kafe yang biasa kita datangi.”
Setengah jam kemudian, Farel tiba di kafe itu. Di sana, Alena sudah duduk di pojok, seperti biasa. Wajahnya terlihat lebih serius daripada biasanya, namun matanya tetap memancarkan kehangatan yang tidak bisa disembunyikan.
Farel duduk di hadapannya, tanpa kata-kata. Mereka saling menatap beberapa detik, seperti ada yang ingin mereka ungkapkan, namun tak mampu mengucapkannya. Alena menundukkan kepalanya, kemudian menghela napas panjang.
“Apa kamu sudah memikirkannya, Farel?” Alena memulai, suaranya hampir tidak terdengar.
Farel mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku selalu memikirkannya, Alena. Setiap detik, setiap hari.”
Alena menatapnya dengan mata yang mulai memerah. “Aku juga. Tapi semakin aku pikirkan, semakin aku merasa kita nggak bisa melawan kenyataan. Cinta kita ini… perbedaan kita lebih besar dari sekadar agama, Farel. Ini tentang apa yang kita yakini, tentang hidup kita masing-masing.”
Farel menunduk, tangan yang menggenggam cangkir kopi terasa dingin. “Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kamu, Alena. Tapi aku juga nggak bisa memaksakan sesuatu yang sudah jelas tak mungkin.”
Alena mengeluh pelan, kemudian mengangkat wajahnya, mencoba menahan air mata. “Aku juga, Farel. Aku mencintaimu lebih dari apapun, tapi aku tahu aku nggak bisa terus seperti ini. Aku harus mulai melepaskanmu, meskipun itu sangat sulit.”
Farel merasakan ada yang menyayat hatinya. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Alena, rasanya seperti kehilangan sebagian dari dirinya. Namun, ia tahu, mereka berdua sudah mencoba yang terbaik, berjuang dengan cara mereka masing-masing. Tetapi perbedaan itu… lebih besar dari apa yang bisa mereka atasi.
“Alena,” Farel berkata dengan suara serak, “Aku tahu kita nggak bisa bersama. Tapi… bisakah kamu memberiku sedikit waktu lagi? Waktu untuk menerima semua ini. Aku nggak siap melepaskanmu begitu saja.”
Alena terdiam, wajahnya memerah. “Aku juga nggak siap, Farel. Tapi kadang, cinta itu nggak bisa hanya dituruti. Kita harus menerima kenyataan bahwa kita nggak bisa bersama seperti yang kita impikan.”
Keheningan menyelimuti mereka berdua, hanya terdengar suara angin yang berdesir di luar jendela. Semua yang ingin mereka katakan sudah terucap, namun tidak ada yang bisa mengubah kenyataan. Mereka saling memandang, mencoba menerima perasaan masing-masing yang begitu berat untuk diterima.
“Aku… aku berharap kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari, Farel,” Alena akhirnya berkata, suara bergetar. “Kebahagiaan yang sejati. Bahkan kalau itu bukan dengan aku.”
Farel merasakan hatinya pecah mendengar itu. “Aku berharap hal yang sama untukmu, Alena. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, meskipun kita tidak bisa bersama.”
Alena tersenyum tipis, mencoba menahan air matanya. “Kita memang nggak bisa bersama, tapi aku akan selalu ingat semua kenangan kita, Farel. Semua kebahagiaan yang pernah kita bagi.”
Farel menatapnya dalam-dalam, mencoba untuk menguatkan dirinya, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. “Aku juga. Aku nggak akan melupakanmu, Alena. Cinta ini, meskipun kita harus berpisah, akan tetap ada di hatiku selamanya.”
Alena mengangguk pelan, kemudian berdiri, mengambil tasnya. “Aku harus pergi sekarang, Farel. Terima kasih untuk semuanya.”
Farel berdiri, menatap Alena dengan mata yang hampir tak terlihat lagi. “Semoga Tuhan memberi kita kekuatan untuk melewati ini. Aku akan selalu ada untuk kamu, walaupun kita nggak bisa bersama.”
Alena mengangguk sekali lagi sebelum pergi meninggalkan kafe itu, meninggalkan Farel dalam kesendirian yang lebih dalam daripada sebelumnya.
Saat ia berjalan pergi, Farel merasa seperti ada yang hilang dari hidupnya. Namun, di saat yang sama, ada kedamaian yang mulai tumbuh di hatinya. Ia tahu, meskipun perasaan mereka harus berakhir, cinta itu tetap akan hidup dalam doa dan harapan. Dan mungkin, suatu hari nanti, di kehidupan yang lain, mereka akan menemukan jalan yang benar-benar membawa mereka pada kebahagiaan yang sejati.
Tapi untuk sekarang, Farel tahu satu hal: cinta itu adalah sesuatu yang harus dipelajari, diterima, dan kadang kala, dilepaskan.
Mengikhlaskan Cinta dalam Doa
Seiring berjalannya waktu, Farel dan Alena menjalani hidup mereka masing-masing. Tidak ada lagi pertemuan di kafe, tidak ada lagi pesan-pesan malam yang panjang, tidak ada lagi tawa mereka yang saling mengisi. Mereka menjalani hidup seperti dua orang yang tidak pernah saling mengenal, meskipun hati mereka masih terikat oleh kenangan yang tak bisa hilang begitu saja.
Farel kembali fokus pada pekerjaannya. Ia memilih untuk menyibukkan diri, berusaha untuk melepaskan perasaan yang dulu mengisi hatinya dengan rasa cinta yang begitu dalam. Ia mulai menerima kenyataan bahwa kadang, cinta bukanlah segalanya. Cinta bukan selalu tentang bersama, tetapi juga tentang memberi ruang bagi masing-masing untuk tumbuh dan menemukan jalan hidup mereka.
Alena, di sisi lain, mulai mengisi waktunya dengan lebih banyak berkegiatan di komunitas, mengasah minat dan bakat yang dulu sempat tertunda. Ia tahu, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa mereka berasal dari dunia yang berbeda, dan tidak ada cara untuk mengubah takdir mereka. Tetapi itu tidak berarti ia harus berhenti mencintai. Ia belajar untuk mencintai dengan cara yang berbeda, yang lebih ikhlas, yang tidak mengharapkan balasan. Cinta yang bebas, yang tidak terikat oleh dunia yang sementara.
Suatu hari, Farel mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara amal. Ia tidak terlalu bersemangat, tetapi memutuskan untuk hadir karena ia tahu acara ini bisa membuka peluang kerja baru. Ketika ia memasuki ruang acara, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang berbicara di depan panggung. Alena.
Rasanya, dunia berhenti sejenak saat matanya bertemu dengan mata Alena. Wajah Alena lebih dewasa, lebih tenang, lebih berkilau dari sebelumnya. Farel bisa melihat betapa banyak yang telah berubah dalam dirinya. Namun, di dalam hati Farel, tidak ada lagi perasaan sakit atau penyesalan. Hanya ada rasa syukur bahwa mereka berdua telah sampai pada titik ini, titik di mana mereka bisa berdiri terpisah dengan damai.
Alena juga melihat Farel, dan senyuman yang ia berikan begitu tulus. Mereka saling mendekat setelah acara selesai, tanpa kata-kata yang rumit, hanya sebuah tatapan yang penuh pengertian.
“Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini,” ujar Alena, suaranya tenang.
Farel tersenyum, sedikit canggung, namun nyaman. “Aku juga. Keren banget acara ini. Kamu hebat banget, Alena.”
Alena tertawa pelan. “Terima kasih, Farel. Aku… aku hanya berusaha untuk menjalani hidup dengan cara yang benar.”
Farel mengangguk, merasakan kedamaian yang mulai memenuhi dadanya. “Aku paham. Aku juga… berusaha untuk menemukan jalan hidupku sendiri. Kadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai agar kita bisa tumbuh jadi versi terbaik dari diri kita.”
Alena menatapnya, matanya berkilau. “Kamu benar. Cinta itu nggak harus selalu berakhir dengan kebersamaan. Kita bisa tetap mencintai dengan cara yang berbeda.”
Farel merasa ada kelegaan di hatinya. Mereka berdua sudah melewati perjalanan yang panjang. Mereka telah mencoba, berjuang, dan akhirnya melepaskan. Sekarang, mereka bisa saling menghormati satu sama lain, tanpa ada rasa sakit atau penyesalan.
“Aku mendoakan yang terbaik untuk kamu, Alena,” Farel berkata dengan tulus. “Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari dalam hidup ini.”
Alena tersenyum, dan mengangguk. “Aku juga, Farel. Aku yakin kita akan baik-baik saja. Cinta itu tetap ada, meski kita nggak bisa bersama.”
Mereka berdua berdiri dalam diam, berbicara tanpa kata-kata. Tidak ada lagi harapan untuk bersama, tetapi ada perasaan saling mendukung dan menghargai. Sebuah kedamaian yang hadir setelah perjalanan panjang yang penuh dengan perasaan yang terpendam.
Farel merasa hatinya lebih ringan, seolah ada beban yang terangkat dari dirinya. Mungkin inilah yang disebut dengan ikhlas. Mungkin inilah arti sebenarnya dari cinta yang sejati—cinta yang tidak terikat oleh apa pun, kecuali doa dan harapan yang baik.
Setelah beberapa menit, Alena melambaikan tangan dengan senyuman terakhir sebelum ia berjalan pergi. Farel berdiri sejenak, menatap punggungnya yang semakin jauh. Di dalam hatinya, ada rasa lega yang mendalam. Cinta mereka telah menjadi bagian dari kisah hidup mereka, dan itu cukup.
Farel kembali berjalan menuju pintu keluar, langkahnya lebih ringan dari sebelumnya. Ia tahu, hidupnya akan terus berlanjut. Cinta itu tidak harus selalu bersama, tetapi ia percaya bahwa dalam doa dan ikhlas, segala sesuatu akan menemukan jalan terbaiknya.
Dan saat itu, di bawah langit yang sama, Farel dan Alena menyadari bahwa cinta mereka, meskipun harus berakhir, telah membawa mereka menuju kedewasaan dan pemahaman yang lebih dalam tentang hidup, tentang takdir, dan tentang kebahagiaan yang datang setelah melepaskan.
Dan akhirnya, Farel dan Alena menyadari satu hal—cinta mereka, meskipun tak berujung bahagia seperti yang mereka impikan, telah mengajarkan mereka tentang kekuatan melepaskan dan menerima takdir.
Mungkin takdir mereka tak berjalan bersama, tapi kenangan itu tetap hidup, sebagai bukti bahwa kadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang paling tulus. Mereka mungkin tak akan pernah bersama, tapi doa mereka akan selalu saling melingkupi, seperti dua bintang yang tak pernah bisa saling meraih, namun tetap bersinar di langit yang sama.