Daftar Isi
Pernah gak sih, kamu ngerasa hidup kamu tuh kayak gak ada arah, bingung mau kemana, atau kadang ngerasa kosong banget? Nah, cerita ini tentang seorang cowok yang lagi nyari jalan keluar dari semua kebingungannya, dan yang ngebimbing dia buat nemuin kedamaian itu… ya Al-Qur’an.
Gak cuma soal agama, tapi soal gimana kamu bisa nemuin ketenangan yang bener-bener ngubah hidup kamu. Kalo kamu lagi butuh inspirasi buat berubah atau cuma pengen baca cerita yang bikin kamu mikir, mungkin kamu bakal suka nih. Yuk, simak perjalanan hijrah yang gak cuma buat kamu jadi lebih baik, tapi juga lebih ngerti arti hidup.
Hijrah Bersama Al-Qur’an
Tepi Gelap yang Menggugah
Adli duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang malam itu kelabu. Hujan turun deras, tapi entah mengapa, ada rasa kosong yang menjalar dalam hatinya. Semua orang sibuk dengan urusan mereka, sementara ia hanya ada di sana, merenung. Di kota besar ini, di tengah keramaian yang tak pernah berhenti, Adli merasa sangat sendirian.
Dunia sudah memberinya segala yang ia inginkan: uang, pekerjaan, mobil, bahkan teman-teman yang tampaknya selalu hadir dalam setiap pesta. Tapi entah mengapa, setiap kali ia melihat ke cermin, wajah yang ia lihat tak terasa miliknya. Ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun. Tak ada yang mengisi jiwa ini, kecuali rasa lelah yang terus berkembang.
Tiba-tiba, suara azan Isya terdengar, menyelinap menembus kaca jendela. Suara itu terasa aneh, sangat berbeda dengan riuhnya musik di sekitarnya. Biasanya, Adli tak pernah peduli dengan suara-suara seperti itu, tapi malam ini, entah mengapa, ia merasa seolah ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Sesuatu yang ia lupakan begitu lama.
Adli menutup matanya sejenak, mencoba menangkap kembali perasaan yang samar-samar datang. “Apa ini?” gumamnya pelan. Tapi tidak ada jawaban, hanya dentingan jam dinding yang mengisi keheningan. Lalu, entah kenapa, ia teringat pada sesuatu yang sudah lama ia abaikan—Al-Qur’an. Kitab yang dulu pernah ia baca, namun kini sudah berdebu di sudut lemari.
Malam itu, ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya kembali, entah apa. Rasa itu makin kuat, sampai akhirnya Adli merasa tak bisa menunda lagi. Ia berdiri dan melangkah menuju lemari, membuka pintu dengan pelan. Di sana, di sudut yang hampir terlupakan, ada sebuah Al-Qur’an kecil yang dibungkus dengan kain warna hijau. Ia mengambilnya, merasakannya sejenak di tangan. Ada kehangatan yang tiba-tiba mengalir.
“Sudah lama kau terlupakan,” katanya pada dirinya sendiri, lalu membuka halaman pertama.
Adli duduk di atas tempat tidurnya, membuka Al-Qur’an dengan hati yang sedikit ragu. Matanya terhenti pada ayat pertama yang ia lihat: “Bismillahirrahmanirrahim…” Setiap kata terasa begitu familiar, seperti sebuah panggilan yang sudah lama ia lupakan. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah kata-kata itu tak hanya dibaca, tapi disampaikan langsung ke hati.
Ia melanjutkan membaca beberapa ayat, meskipun tidak sepenuhnya memahami maknanya. Namun ada rasa yang tiba-tiba muncul, suatu perasaan damai yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang menjawab kekosongan yang sudah lama menghantui dirinya.
Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk dengan lembut. Adli terkejut, lalu bangkit dan membuka pintu. Seorang pria tua dengan janggut putih panjang berdiri di depannya, tersenyum ramah.
“Maaf mengganggu, Nak. Saya Ustaz Khalid. Bisa bicara sebentar?” suara pria itu terdengar tenang dan dalam.
Adli mengerutkan kening. “Ustaz? Maaf, Pak, tapi saya sedang tidak ada waktu,” jawabnya ragu, merasa sedikit terganggu.
Ustaz Khalid tetap tersenyum. “Hanya sebentar saja, Nak. Ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan padamu.”
Adli menatapnya sejenak, ragu. Namun, entah mengapa, ia merasa tidak bisa menolak. Ia membuka pintu lebih lebar dan memberi jalan pada Ustaz Khalid untuk masuk.
“Terima kasih, Nak.” Ustaz Khalid duduk dengan tenang di sofa, lalu membuka tas kecil yang ia bawa. Dari dalam tas itu, ia mengeluarkan sebuah Al-Qur’an kecil, yang hampir sama dengan yang sedang dipegang Adli.
“Ini Al-Qur’an, Nak. Kitab yang membawa cahaya. Aku ingin kamu membaca satu ayat darinya. Kalau setelah itu kamu masih merasa kosong, aku tak akan memaksa lagi,” kata Ustaz Khalid dengan suara lembut namun tegas.
Adli merasa sedikit canggung. “Pak, saya… tidak tahu apa yang harus saya baca.”
Ustaz Khalid hanya tersenyum. “Tak masalah. Cobalah baca saja satu ayat, Nak. Ayat yang bisa membuka hatimu.”
Dengan sedikit enggan, Adli membuka Al-Qur’an yang diberikan oleh Ustaz Khalid. Ia membaca ayat yang tertera di halaman pertama: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Isra: 82)
Saat ia membaca ayat itu, sesuatu terjadi. Hatinya terasa seperti ditarik, seolah-olah ada sesuatu yang mengisi ruang kosong yang selama ini ia rasakan. Ada rasa ketenangan yang datang perlahan, menenangkan setiap sudut pikirannya yang berantakan.
“Ini… ini luar biasa,” gumamnya, tanpa sadar.
Ustaz Khalid menatapnya dengan penuh perhatian. “Inilah rahmat dari Al-Qur’an, Nak. Cobalah untuk terus membacanya. Setiap kata dari-Nya akan membimbingmu, selama kamu membuka hati untuk-Nya.”
Adli menutup Al-Qur’an itu perlahan dan menatap pria tua di depannya. “Tapi, Pak, hidup saya… saya sudah terlalu jauh. Tidak mudah untuk berubah.”
Ustaz Khalid tersenyum lagi, seakan sudah tahu apa yang ada di pikiran Adli. “Tidak ada kata terlambat untuk kembali, Nak. Allah selalu membuka pintu-Nya bagi siapa saja yang ingin kembali kepada-Nya. Tak ada yang terlalu jauh atau terlambat. Hanya hati yang perlu dibuka.”
Adli terdiam, merenung. Kata-kata itu seperti mengisi ruang yang selama ini kosong dalam dirinya. Di tengah malam yang basah ini, Adli merasa seolah-olah ada cahaya yang mulai menyinari jalan hidupnya, sesuatu yang ia lupakan begitu lama.
Adli menatap Al-Qur’an kecil yang ada di tangannya. Rasa ragu dan cemas masih ada, namun ada juga harapan baru yang mulai tumbuh.
“Aku akan coba, Pak,” jawab Adli akhirnya, dengan suara yang lebih tenang.
“Semoga Allah memudahkanmu, Nak,” jawab Ustaz Khalid, berdiri dan merapikan tasnya. “Ingat, perjalananmu baru saja dimulai. Semoga jalan yang kamu pilih membawa kebahagiaan dan kedamaian yang sesungguhnya.”
Setelah Ustaz Khalid pergi, Adli duduk kembali di tempat tidur, memandang Al-Qur’an kecil di tangannya. Malam itu, ia tidak merasa sendirian lagi. Sebuah perjalanan baru telah dimulai, dan kali ini, Adli merasa siap untuk menghadapinya, satu ayat pada satu waktu.
Al-Qur’an, Jalan Pulang
Pagi itu Adli bangun lebih pagi dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya muncul, namun ia sudah terjaga. Ada semacam kedamaian dalam hatinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia masih teringat jelas pada percakapan semalam dengan Ustaz Khalid. Kata-kata itu seperti jejak yang meninggalkan bekas mendalam, menuntunnya menuju sebuah jalan yang selama ini ia abaikan.
Al-Qur’an kecil yang ia pegang erat di tangan terasa lebih berat. Berat bukan karena fisiknya, tapi karena tanggung jawab yang baru saja ia rasakan. Sejak semalam, Adli merasa hatinya seperti terbelah, antara kebiasaan lamanya dan harapan baru yang kini terbuka di depan matanya. “Apakah aku siap untuk ini?” pikirnya.
Adli membuka lemari pakaian dan mengambil setelan yang biasa ia kenakan. Tapi sebelum ia sempat mengenakannya, matanya kembali tertuju pada Al-Qur’an yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Perlahan, ia mengambilnya lagi dan membuka halaman pertama. Bismillahirrahmanirrahim… Ayat pertama itu terasa lebih hidup, seperti mengalir langsung ke dalam dirinya. Ia melanjutkan membaca, membaca dengan hati yang mulai memahami.
Tiba-tiba, suara pintu diketuk dari luar. Adli terkejut, meletakkan Al-Qur’an dengan hati-hati dan berjalan menuju pintu. Kali ini, yang datang adalah teman sekamarnya, Fajar, yang kebetulan juga bekerja di tempat yang sama dengan Adli. Fajar tampak tergesa-gesa, wajahnya yang cerah itu penuh dengan senyum.
“Bro, gue denger lo kemarin nggak ikut pesta malam minggu? Kok bisa, sih?” tanya Fajar sambil melangkah masuk ke ruang tamu tanpa menunggu jawaban.
Adli hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perubahan yang mulai dirasakannya. “Iya, gue nggak ikut. Lagi butuh waktu buat diri sendiri.”
Fajar duduk di sofa, menatap Adli dengan heran. “Maksud lo? Sejak kapan lo jadi orang yang butuh waktu sendiri? Biasanya kan lo yang paling sering nyari keramaian.”
Adli merasa canggung dengan pertanyaan itu. Namun, kali ini ia merasa seperti ada suara lain yang memanggilnya untuk jujur. “Fajar, gue… lagi coba untuk berubah. Gue… mulai baca Al-Qur’an.”
Fajar terdiam beberapa detik, lalu tertawa kecil. “Al-Qur’an? Bro, lo nggak bercanda kan?”
Adli menatap Fajar dengan serius. “Nggak, gue nggak bercanda. Gue merasa ada yang hilang, dan kemarin malam, gue merasa seolah-olah Al-Qur’an itu… jawabannya.”
Fajar terkekeh, tak yakin dengan apa yang baru saja didengar. “Gue ngerti lo butuh perubahan, tapi… Al-Qur’an? Itu kan bukan hal yang biasa buat kita, bro. Lo yakin bisa gitu aja?”
Adli menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Gue nggak tahu, Faj. Tapi ada perasaan yang nggak bisa gue jelasin. Lo tahu sendiri kan, gue kayak hidup dalam kebohongan selama ini. Gue capek sama itu semua.”
Fajar terdiam, menatap Adli dengan lebih serius sekarang. “Jadi lo beneran serius? Lo bakal jauh dari dunia yang udah kita jalani, bro.”
Adli mengangguk pelan, lalu menatap Al-Qur’an di atas meja. “Iya, gue nggak bisa terus hidup seperti ini. Gue udah lama nggak merasa hidup yang sebenarnya.”
Fajar terdiam beberapa saat, lalu berdiri. “Oke, bro. Kalau lo udah yakin, gue nggak bisa ngelawan. Tapi inget, perubahannya nggak gampang. Jangan cuma ikut-ikutan tren atau sesaat. Lo harus benar-benar niat.”
Adli tersenyum dan mengangguk. “Gue tahu, Faj. Gue nggak mau main-main. Ini tentang gue dan kehidupan gue.”
Fajar menepuk pundaknya, memberi dukungan yang halus meskipun hatinya masih bimbang. “Oke, semoga lo bisa keluar dari semuanya dengan jalan yang benar, bro.”
Setelah Fajar pergi, Adli kembali duduk di meja, memandang Al-Qur’an dengan penuh perhatian. Pikirannya masih dipenuhi keraguan, tapi ada juga keteguhan yang tumbuh dalam dirinya. Ia tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan ia harus siap menghadapi segala tantangan yang datang.
Hari-hari berikutnya, Adli mulai lebih banyak membaca Al-Qur’an. Setiap ayat yang ia baca, seolah-olah membuka matanya tentang kehidupan yang lebih luas, yang lebih berarti. Setiap kali ia merasa cemas atau ragu, ia mencari ketenangan dalam setiap kata-kata-Nya. Perlahan, ia mulai merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang dulu membuatnya terjebak dalam kehampaan.
Namun, perubahan itu tidak datang dengan mudah. Ada banyak godaan yang mengintai. Suatu malam, Adli mendapat undangan dari teman-temannya untuk datang ke sebuah pesta mewah yang akan berlangsung di sebuah klub malam. Undangan itu tiba-tiba muncul di ponselnya, mengingatkan pada dunia yang sudah lama ia tinggalkan.
Pikirannya bercabang. Di satu sisi, pesta itu menggiurkan, dengan segala kemewahan dan kesenangan yang bisa ia nikmati. Namun, di sisi lain, ada suara dalam hatinya yang mengingatkan bahwa ini bukan jalan yang ingin ia tempuh lagi.
Adli berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri. “Apakah aku akan kembali ke jalan yang lama?” pikirnya.
Namun, seiring dengan suara hatinya, ia mengingat kata-kata Ustaz Khalid: “Tidak ada kata terlambat untuk kembali.” Ia menatap Al-Qur’an yang tergeletak di meja, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar yakin.
Dengan penuh keyakinan, Adli menutup ponselnya, membuang undangan itu, dan mengambil Al-Qur’an di atas meja. “Aku tak akan kembali ke sana. Aku akan kembali kepada-Nya,” bisiknya pelan.
Adli tahu bahwa setiap langkahnya kini menuju perubahan, menuju jalan pulang yang sejati.
Jalan yang Tak Terlihat
Hari-hari berjalan pelan, namun setiap langkah yang diambil Adli terasa seperti langkah yang lebih pasti. Seperti sebuah sungai yang mengalir dengan tenang namun pasti, hidupnya mulai berubah tanpa harus teriak-teriak. Ada kedamaian dalam hatinya yang semakin dalam, meski godaan dan cobaan terus datang menghampiri. Namun kali ini, ia sudah memiliki pegangan—Al-Qur’an.
Pagi itu, saat matahari baru saja muncul, Adli duduk di teras rumahnya yang kecil. Di tangannya, Al-Qur’an terbuka, dan matanya menyusuri setiap huruf dengan lebih tenang. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai rutin membaca, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada sebuah kedalaman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setiap ayat terasa begitu hidup, seperti menyentuh relung hati yang selama ini tertutup rapat.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Fajar.
“Bro, gue baru aja denger gosip. Lo nggak ikut reuni? Katanya, lo udah berubah banget sekarang. Gue nggak ngerti sih, tapi kok bisa ya?”
Adli tersenyum membaca pesan itu. Fajar, temannya yang dulu selalu ikut dalam kebiasaan lamanya, sekarang tampak bingung dengan perubahan yang terjadi pada Adli. Tak ada jawaban yang cepat untuk itu, hanya saja Adli merasa ada kedamaian dalam dirinya yang membuatnya tahu bahwa jalan yang ia pilih ini adalah yang terbaik.
Dengan hati yang mantap, Adli membalas pesan itu, **“Iya, gue nggak ikut. Gue lagi fokus sama sesuatu yang lebih penting sekarang. Ini lebih dari sekadar perubahan, Faj. Gue lagi nyari jati diri gue.”
Fajar langsung membalas. “Wah, serius banget ya lo sekarang. Gue cuma mau bilang, hati-hati, bro. Jangan sampai lo kecelakaan di tengah jalan.”
Adli tidak membalas pesan itu lagi. Ia menatap ponselnya sejenak, lalu kembali pada lembaran Al-Qur’an yang ada di tangannya. Terkadang, dalam proses perubahan, ada saja orang yang tak mengerti, bahkan menganggap kita aneh. Namun, Adli tahu bahwa ia tidak sendirian. Ada satu jalan yang telah menuntunnya ke sini, dan ia tidak akan berpaling.
Beberapa hari kemudian, saat ia sedang berjalan menuju masjid, ia bertemu dengan seorang pria yang tampak familiar. Itu adalah Rizki, salah satu teman lamanya yang dulu sering bersamanya dalam beragam kegiatan yang tak terlalu positif. Rizki melihat Adli dengan tatapan penasaran.
“Adli?” suara Rizki terdengar agak ragu. “Apa kabar, bro? Lama nggak ketemu, ya.”
Adli menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Rizki, gue baik-baik aja. Lo gimana?”
Rizki mengangkat bahu, terlihat sedikit canggung. “Ya, biasa aja. Dengar-dengar, lo udah berubah sekarang. Dulu nggak gitu, kan?”
Adli mengangguk, tidak merasa perlu menyembunyikan apapun. “Iya, gue lagi coba jadi lebih baik, Rizki. Mungkin nggak langsung keliatan, tapi ini jalan yang gue pilih sekarang.”
Rizki terdiam, mencoba mencerna apa yang Adli katakan. “Jadi lo udah mulai baca Al-Qur’an, ya? Lo serius?”
Adli tersenyum dengan penuh keyakinan. “Iya, dan ini bukan cuma sekadar baca. Gue lagi belajar memahami maknanya.”
Rizki tertawa kecil, namun ada keheranan di matanya. “Wah, bro. Lo serius banget. Gue nggak tahu lagi deh, kalau lo udah kayak gini, gimana gue bisa ngikutin perubahan lo. Tapi gue tetap aja bingung, apa yang bikin lo bisa gitu, sih?”
Adli menyandarkan tubuhnya ke dinding masjid, menatap Rizki dengan lembut. “Kadang, lo nggak akan ngerti sampai lo ngerasain sendiri. Tapi intinya, gue ngerasa lebih hidup, lebih tenang. Lo juga bisa kok, kalau mau.”
Rizki menghela napas, lalu menggulung rokok yang ada di tangannya. “Mungkin lo bener, bro. Gue juga ngerasa kayak ada yang kosong dalam hidup gue. Tapi gue nggak tahu gimana mulai.”
Adli merasa ada sedikit kekhawatiran dalam diri Rizki, yang dulu selalu terlihat penuh dengan semangat duniawi. “Gue nggak bisa maksa lo buat berubah, Rizki. Tapi kalau lo mau, gue bisa bantu lo.”
Rizki tersenyum tipis, tapi matanya menunjukkan keinginan yang samar. “Gue pikir dulu deh, bro. Tapi kalau ada waktu, gue mau dengar lebih banyak soal ini. Gimana caranya lo bisa berubah kayak gitu.”
Adli mengangguk. “Gue selalu ada buat lo, bro. Kalau lo mau mulai, kita bisa bareng-bareng. Tapi semuanya dari hati, bukan karena paksaan.”
Setelah berbicara lebih lama, mereka berpisah. Namun, Adli merasakan ada perubahan kecil dalam diri Rizki. Terkadang, perubahan datang bukan hanya pada diri kita sendiri, tapi juga memengaruhi orang-orang di sekitar kita. Adli tahu, perjalanan ini tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga bisa menjadi inspirasi bagi orang lain yang mungkin sedang mencari jalan yang sama.
Hari-hari berlalu, dan Adli semakin menemukan kedamaian dalam hidupnya. Ia lebih sering menghabiskan waktu di masjid, tidak hanya untuk sholat, tetapi juga untuk merenung, membaca, dan mencari pemahaman yang lebih dalam tentang hidup dan tujuan hidupnya. Satu demi satu, masalah yang dulu terasa besar dan berat mulai terasa ringan. Ada kekuatan yang tumbuh dalam dirinya, bukan karena kehebatan dirinya, tapi karena ikatan yang semakin kuat dengan Sang Pencipta.
Namun, cobaan masih datang, dan terkadang jalan terasa lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Adli merasakan ada banyak ujian yang menantinya. Tapi, ia mulai belajar bahwa setiap ujian adalah bagian dari proses menuju kesempurnaan.
Cahaya yang Menuntun
Waktu terus berlalu, dan hidup Adli semakin terisi dengan kedamaian yang sulit dijelaskan. Ada kalanya ia merasa seperti menapaki jalan yang tak terjamah oleh orang lain, namun ia tahu bahwa ia tidak sendiri. Ia mulai memahami, bahwa perjalanan ini bukan sekadar tentang perubahan tampak di luar, tetapi juga kedalaman yang dirasakan di dalam hati. Dengan Al-Qur’an yang menjadi pegangan utamanya, Adli merasa hidupnya tidak lagi terasa hampa.
Suatu malam yang tenang, Adli duduk di kamarnya dengan Al-Qur’an terbuka di depan matanya. Kali ini, tidak ada distraksi, hanya dirinya dan kitab yang menuntunnya. Dulu, ia sering kali merasa gelisah, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, namun kini jawabannya semakin jelas. Setiap ayat yang dibaca bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan bimbingan yang mengarahkannya ke jalan yang benar.
Ia mengingat kembali percakapan dengan Rizki beberapa minggu yang lalu. Meski temannya itu belum sepenuhnya memutuskan untuk mengikuti jejaknya, Adli merasa ada perubahan kecil dalam diri Rizki. Terkadang, perubahan besar dimulai dengan langkah kecil. Dan bagi Adli, mungkin saat itu adalah saat yang tepat untuk mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menemukan jalan yang sama.
Pagi itu, saat ia tengah bersiap untuk berangkat ke masjid, ponselnya berdering. Itu pesan dari Fajar.
“Bro, lo udah mulai tenang ya? Gue rasa gue udah ngerti, sih, apa yang lo cari. Gua bisa liat perubahan lo. Gak gampang, tapi lo berhasil.”
Adli tersenyum. Meskipun Fajar belum sepenuhnya mengerti, kata-kata itu menunjukkan bahwa perubahan yang ia jalani tidak sia-sia. Ia membalas pesan itu dengan sederhana.
“Iya, bro. Proses, perjalanan, dan yang paling penting, Al-Qur’an yang jadi penuntun. Kita semua bisa berubah, bro.”
Tapi, seperti yang ia tahu, perubahan bukanlah sesuatu yang mudah. Ia sering merasa dunia luar menggoda untuk kembali pada kebiasaan lama—godaan yang datang dengan tawaran kebahagiaan sesaat. Ada malam-malam ketika ia merasa rapuh dan ingin menyerah, namun ia tahu bahwa jalan yang dipilihnya tidak bisa mundur lagi.
Setiap kali perasaan itu datang, Adli meraih Al-Qur’an dan membacanya. Membaca, merenung, meresapi maknanya—setiap ayat yang turun seperti mengingatkannya untuk tetap teguh. Ada ketenangan dalam setiap bacaan itu. Seolah-olah Al-Qur’an bukan hanya sebuah kitab, tetapi sahabat yang selalu ada saat ia membutuhkan kekuatan.
Suatu sore, ketika Adli sedang berjalan pulang setelah sholat, ia bertemu dengan Rizki di jalan. Kali ini, wajah Rizki tampak berbeda. Ada keraguan, tetapi juga sebuah sinar harapan yang lebih jelas.
“Adli,” Rizki menyapa dengan suara yang sedikit gemetar. “Gue pengen coba, bro. Gue pengen ngerti apa yang lo rasain.”
Adli tersenyum lebar. “Gue selalu ada buat lo, Rizki. Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri, bro. Yang penting, lo mulai dari sini. Gak usah terburu-buru.”
Rizki mengangguk, seolah menerima kenyataan bahwa perjalanan ini tidak bisa dipaksakan. “Iya, gue ngerti. Gue mulai baca Al-Qur’an, tapi gue bingung harus mulai dari mana.”
Adli berhenti sejenak, menatapnya. “Lo udah di jalan yang benar, Rizki. Yang penting adalah niat lo, ikhlas lo. Baca dan renungi. Jangan cuma baca, tapi juga pahami. Karena hidup itu bukan tentang seberapa banyak yang kita tahu, tapi seberapa dalam kita mengerti.”
Mereka berdua berjalan bersama ke masjid, dan selama perjalanan itu, Adli bisa merasakan ada harapan yang tumbuh dalam diri Rizki. Tak ada yang bisa menjelaskan perubahan ini secara tiba-tiba. Namun, setiap langkah menuju kebaikan, tak peduli seberapa kecil, adalah langkah yang berarti.
Adli merasa bahwa perjalanannya semakin dekat dengan tujuannya. Ia tidak lagi merasa terbebani oleh masa lalunya, karena ia tahu bahwa hidupnya kini adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Dengan Al-Qur’an di tangannya, ia percaya bahwa apa yang ia jalani ini adalah jalan yang menuju kebahagiaan abadi.
Ketika Adli duduk kembali di masjid setelah berdoa, ia menatap langit senja yang mulai gelap. Ia merasa lebih tenang dari sebelumnya. Ia telah hijrah, bukan hanya dalam fisik, tetapi juga dalam hati dan pikirannya. Perubahan ini mungkin tidak dilihat dengan mata kasar, tetapi ia merasakannya. Cahaya yang dulunya tak terlihat kini mulai bersinar terang, membimbingnya menuju kehidupan yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna.
Adli tahu, hijrah bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi justru awal dari sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan harapan dan keindahan. Kini, ia tahu bahwa setiap langkah, setiap bacaan, dan setiap doa yang dipanjatkan akan terus membimbingnya menuju cahaya yang tak akan pernah padam.
Dan dengan itu, ia mengerti satu hal yang paling penting—hijrah bersama Al-Qur’an bukan hanya tentang mencari perubahan dalam diri, tetapi tentang menemukan kedamaian yang sejati dalam hidup.
Jadi, gitu deh cerita tentang perjalanan hijrah Adli. Gak ada yang instan, gak ada yang gampang, tapi yang pasti, hidup bakal jauh lebih bermakna kalo kita bener-bener niat buat berubah dan ikutin jalan yang benar. Al-Qur’an bukan cuma sekadar bacaan, tapi petunjuk yang bisa nuntun kita ke arah yang lebih baik.
Kalo kamu lagi nyari inspirasi buat hijrah atau cuma pengen nemuin kedamaian, semoga cerita ini bisa kasih sedikit pencerahan. Ingat, perjalanan setiap orang beda-beda, tapi yang penting adalah terus melangkah dan gak berhenti mencari cahaya. Semoga kita semua bisa selalu jadi versi terbaik dari diri kita sendiri, see you guys!!