Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa hidup yang dulu penuh warna dan harapan, sekarang malah terasa hampa? Semua yang dulu ada, sekarang cuma jadi kenangan yang sulit banget dilupakan. Cerita ini ngomongin perjalanan seseorang yang lagi ngerasain itu—kehilangan segalanya dan berusaha bangkit lagi meski penuh rasa sakit dan frustasi. Gimana caranya untuk terus maju? Simak cerita ini.
Hidup Tak Seindah Dulu Lagi
Jejak yang Hilang
Langit sudah memudar menjadi gelap, diiringi rintik hujan yang perlahan semakin deras. Azhari duduk sendirian di sebuah kafe yang hampir sepi, memandangi hujan yang turun di luar. Kafe ini dulu selalu ramai dengan tawa, dengan perbincangan ringan antara dia dan Indira. Mereka biasa datang ke sini setelah kerja, menikmati secangkir kopi hangat dan berbicara tentang hari mereka, tentang impian mereka. Tapi kini, semua itu hanya tinggal kenangan.
Suasana di dalam kafe itu terasa berbeda. Bahkan aroma kopi yang semula menenangkan kini terasa asing. Semua hal di tempat ini terasa seperti sesuatu yang hilang—mereka yang dulu duduk berdua, menikmati waktu bersama, kini telah menghilang begitu saja, tanpa bisa kembali.
“Aku gak pernah merasa sepi seperti ini,” pikir Azhari, mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Sudah berbulan-bulan sejak Indira pergi, namun rasa kosong itu tidak pernah benar-benar hilang. Bahkan di tempat yang dulu penuh kenangan indah ini, rasa itu semakin mendalam.
Ia memandang sekeliling, mencoba mencari jawaban dari segala yang terjadi. Bagaimana bisa semuanya berubah begitu cepat? Dulu, hidupnya penuh dengan rencana, penuh dengan mimpi yang ia buat bersama Indira. Mereka berjanji akan saling mendukung, akan terus bersama hingga waktu memisahkan mereka. Tapi kenyataannya, tidak ada janji yang bertahan selamanya. Tidak ada yang pernah bisa tahu bagaimana akhir sebuah kisah, bahkan kisah yang tampaknya sempurna sekalipun.
Tangan Azhari menggenggam cangkir kopi yang kini sudah dingin, namun tidak ada lagi kehangatan yang bisa ia rasakan. Hujan di luar semakin deras, memantul di kaca jendela dan menggema dalam keheningan. Seperti halnya perasaannya—terus terperangkap dalam kenangan yang tak bisa lagi ia sentuh, hanya bisa ia rasakan dalam hati yang terasa tercekik.
“Kenapa kamu pergi, Indira?” suara Azhari terdengar lirih, seakan ia berbicara pada dirinya sendiri. Mengingat nama itu saja masih mampu membuat hatinya bergetar. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang rasanya sudah terlalu lama tertahan.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dan seorang pengunjung baru masuk. Langkah kaki itu mengganggu lamunan Azhari, namun ia tidak langsung mengangkat wajahnya. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya. Pengunjung itu duduk di meja dekat jendela, memesan kopi, dan membuka laptopnya. Azhari sempat melirik sekilas, namun sepertinya ia tak berniat untuk mengganggu orang asing itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, Azhari merasa seakan ada yang familiar dengan sosok itu. Meski orang tersebut bukan Indira, ada sesuatu dalam sikapnya yang mengingatkannya pada sesuatu yang sudah lama hilang—sesuatu yang ia rasa sulit untuk ditemui lagi. Ia mencoba menepis perasaan itu, tetapi kenyataannya, kenangan tentang Indira selalu datang tiba-tiba, seperti halnya hujan yang jatuh tanpa pemberitahuan.
Saat cangkirnya hampir habis, Azhari menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Ia tidak tahu apa yang sedang ia harapkan—apakah ia mengharapkan keajaiban yang dapat mengubah keadaan? Atau ia hanya menunggu sesuatu yang tak pernah datang?
Di luar, hujan semakin lebat, menyapu jalanan yang kosong. Azhari melirik ke arah luar jendela, memperhatikan tetesan air yang mengalir tanpa henti. Seolah hidup pun mengikuti arus waktu yang tak bisa dihentikan. Dulu, ia selalu berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah pada hidup, bahwa ia akan terus maju bersama Indira. Namun sekarang, semua itu terasa sia-sia. Apakah ada yang lebih sulit dari kehilangan segalanya?
“Aku masih ingin kamu di sini,” gumamnya, hampir tidak terdengar, seperti bisikan yang hilang dalam raungan hujan. Tetapi, sepertinya Indira tidak akan pernah kembali. Tak ada jawaban yang bisa ia harapkan. Hanya keheningan dan kesendirian yang semakin menekannya.
Suara pintu terbuka lagi. Kali ini, Azhari tidak menoleh. Ia tahu siapa yang masuk—seseorang yang tidak akan pernah bisa menggantikan siapa-siapa. Sebuah suara familiar memecah kesunyian, dan meski ia berusaha keras untuk tidak mendengarnya, Azhari merasa hatinya kembali bergetar.
“Azhari,” suara itu memanggil namanya, dan Azhari menoleh. Wajah itu tidak asing, tapi rasanya jauh berbeda. Ia bisa melihat sepasang mata yang dulu penuh dengan cinta, kini hanya menyisakan luka.
“Aku tidak bisa melupakanmu, Indira,” bisiknya dalam hati. Tetapi ia tahu, jauh di dalam dirinya, bahwa ia sudah terlalu terlambat.
Waktu terus berputar, dan meski Azhari berusaha untuk tetap berdiri di atas kakinya, dunia terasa begitu berat. Segala kenangan, segala janji yang pernah mereka buat, kini seakan membebani hidupnya. Hujan di luar terus turun, tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Begitu juga dengan perasaan yang terus mengalir dalam dirinya—tak bisa dihentikan, tak bisa dipahami.
Di balik jendela yang masih basah, Azhari melihat dunia yang tampak semakin jauh. Dunia yang dulu ia kenal, dunia yang penuh dengan harapan dan impian. Tetapi kini, hanya ada hujan, kesendirian, dan bayangan masa lalu yang tak pernah bisa ia lupakan.
Patah Hati yang Mendalam
Hari-hari berlalu dengan lambat, seperti langkah kaki yang enggan meninggalkan jejaknya di tanah basah. Azhari masih belum bisa menata dirinya, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk berjalan maju. Setiap langkah terasa berat, setiap detik diisi dengan pertanyaan yang tak terjawab. Kenapa semuanya harus berubah begitu cepat? Apa yang sebenarnya hilang dari hidupnya?
Pagi itu, langit cerah, seakan dunia ingin menipu dirinya dengan harapan palsu. Azhari berdiri di depan cermin, menatap sosoknya yang kini terasa asing. Tak ada lagi senyuman yang dulu sering menghiasi wajahnya. Wajahnya lebih kusut, matanya sayu, penuh kelelahan. Cermin itu seakan memantulkan kenyataan yang ia coba hindari. Segalanya telah berbeda. Kehidupannya tak lagi seindah dulu.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumamnya, meraba dada yang terasa begitu kosong.
Ia mengenakan pakaian yang sederhana, mencoba menutupi ketidakpastian dalam dirinya. Setiap langkahnya menuju tempat kerja terasa seperti beban yang harus ia pikul. Hatinya masih terus dihantui oleh kenangan tentang Indira, kenangan tentang segalanya yang telah hilang. Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi impian yang mereka rajut bersama. Semua itu seolah disapu bersih oleh waktu yang kejam.
Di kantor, Azhari mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Ia duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan mata yang kosong. Berapa lama lagi ia harus bertahan dalam kebisuan ini? Berapa lama lagi ia bisa menyembunyikan rasa sakitnya dari dunia?
Teman-teman kantornya mulai memperhatikan perubahan dalam dirinya. Mereka yang dulu melihat Azhari sebagai pria yang penuh semangat kini hanya melihat sosok yang letih. Mereka tahu ada sesuatu yang salah, tapi tidak ada yang berani bertanya. Azhari menyembunyikan perasaan itu dengan rapat, membiarkan setiap luka mengalir tanpa suara.
Pagi itu, seperti biasa, ia menerima pesan dari Indira, tetapi kali ini tidak ada lagi kata-kata manis yang menyertai pesan itu. Hanya sebuah kalimat singkat yang membuatnya terperangkap dalam kebingungannya. “Aku ingin kita berhenti.” Itu saja. Tidak ada alasan lebih lanjut. Tidak ada penjelasan yang bisa membuatnya mengerti. Hanya kalimat yang merobek hati, meninggalkan lubang kosong yang semakin menganga.
Azhari menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Dulu, ia akan menunggu balasan Indira dengan penuh antusias, berharap bisa mendengar suaranya. Tapi kali ini, hatinya terasa begitu berat. Setiap kata, setiap kalimat dari Indira, seperti racun yang meracuni perasaannya. Ia tak bisa lagi melihat Indira dengan cara yang sama. Mereka telah berubah. Semua telah berubah.
Siang itu, Azhari memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Angin berhembus perlahan, mengusir sedikit kelelahan di tubuhnya. Namun, tidak ada yang bisa mengusir rasa sakit yang menempel di hatinya. Setiap langkahnya mengingatkannya pada jalan yang pernah mereka lewati bersama—jalan yang dulu penuh dengan tawa, kini hanya dipenuhi dengan bayangan masa lalu.
Di trotoar yang basah, Azhari berhenti sejenak. Ia melihat ke sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Tetapi dunia tampak begitu jauh. Segala yang ada di sekitarnya seperti hanya latar belakang, tidak ada yang benar-benar bisa ia rasakan. Semua terasa hampa.
Hujan yang datang beberapa hari lalu masih meninggalkan jejak di jalanan, dan sepertinya itu juga yang terjadi dalam hidupnya—segala yang hilang masih meninggalkan bekas yang tak akan hilang dengan mudah. Ia berjalan lebih lambat, seakan tak ingin kembali ke rumah. Namun akhirnya, langkahnya membawa dirinya kembali ke apartemennya yang kini terasa semakin kosong. Tidak ada lagi Indira di sana. Tidak ada lagi tawa yang mengisi setiap sudut ruangan.
Azhari duduk di sofa, memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menghangatkan diri di tengah kedinginan yang menyelimutinya. Tangannya menggenggam ponsel yang masih memancarkan cahaya. Ia tahu, jika ia melihatnya lagi, hatinya akan semakin hancur. Tetapi, keinginan itu datang begitu saja—untuk melihat sekilas pesan terakhir Indira, untuk mencari sedikit penjelasan, sedikit pengertian yang mungkin akan memberi ketenangan.
Dengan jari yang gemetar, Azhari membuka pesan itu sekali lagi. “Aku ingin kita berhenti.” Hanya itu, tanpa penjelasan lebih lanjut. Tidak ada kalimat yang bisa menjelaskan kenapa Indira memilih untuk pergi. Hanya kebisuan yang semakin mengisi kekosongan hati Azhari.
“Apa yang salah, Indira?” bisiknya pada diri sendiri. “Kenapa kita harus berakhir seperti ini?”
Waktu terus berlalu, dan Azhari merasa semakin kehilangan kendali. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan dalam kebisuan ini, dalam hidup yang terasa semakin hampa. Kehilangan Indira adalah pukulan terberat dalam hidupnya, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup setelah kehilangan segalanya.
Di luar sana, hujan kembali turun, seakan dunia tahu betapa ia merindukan sesuatu yang tak mungkin kembali.
Kebenaran yang Tak Terucapkan
Pagi itu, Azhari tidak merasa ada yang istimewa. Seperti hari-hari sebelumnya, ia bangun dengan perasaan kosong dan melangkah ke rutinitas yang terasa seperti sebuah siklus yang tak pernah berakhir. Langit di luar terlihat lebih cerah, tetapi tidak ada yang bisa menghapus mendalamnya rasa kehilangan yang merasuki hatinya. Setiap langkahnya menuju kantor terasa lebih berat dari hari sebelumnya. Seperti kaki yang tertanam di dalam tanah, tidak ingin bergerak.
Dunia di sekitarnya berjalan seperti biasa. Orang-orang di jalan terlihat terburu-buru menuju tempat kerja mereka, berbicara tentang hal-hal kecil yang mereka anggap penting, sementara Azhari hanya bisa melihat mereka dari kejauhan. Begitu banyak suara, begitu banyak perasaan yang terlibat dalam kehidupan mereka, tetapi Azhari merasa terasing dari semuanya. Ia merasa seperti seorang penonton yang tidak pernah dijemput untuk ikut dalam cerita kehidupan ini.
Di kantor, Azhari duduk di mejanya tanpa semangat, membiarkan pekerjaan mengalir begitu saja. Tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya. Ketika layar komputer menampilkan laporan yang harus ia selesaikan, tangannya otomatis bergerak, namun pikirannya masih terperangkap dalam ruang kosong yang tak bisa ia keluar darinya. Ia ingin melanjutkan hidup, tetapi setiap kali ia berusaha untuk melangkah, bayangan Indira datang lagi—menyakitkan, membekas, tak bisa hilang.
Sesekali ia memeriksa ponselnya, berharap mungkin akan ada pesan baru dari Indira, meskipun ia tahu betul bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Rasa kecewa yang menumpuk membuatnya semakin sulit untuk menghadapinya. Indira sudah membuat keputusan, dan Azhari tahu bahwa ia harus menerima kenyataan pahit itu.
Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Seseorang datang ke mejanya. Seorang wanita dengan senyum ramah, membawa beberapa dokumen yang harus diserahkan ke Azhari. Matanya yang cerah menunjukkan kepercayaan diri, seolah hidup tidak pernah memberi mereka rintangan. Azhari memandangnya tanpa ekspresi, tetapi entah kenapa, sesuatu dalam diri wanita itu mengingatkan Azhari pada dirinya yang dulu—dulu, sebelum semuanya berubah.
“Azhari, ini dokumen yang kamu minta. Harus segera diserahkan ke atasan,” kata wanita itu dengan suara yang ceria, membuat Azhari tersadar dari lamunannya.
“Oh, terima kasih, Lila,” jawabnya datar, mencoba tersenyum meski rasanya sangat berat. Ia memandang Lila sekilas, menyadari bahwa wanita itu selalu penuh semangat, tidak seperti dirinya yang tenggelam dalam kesedihan.
Lila terlihat tidak terbiasa dengan sikap Azhari yang cenderung pendiam belakangan ini. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal dalam hidup Azhari, tetapi ia tidak tahu apa. Azhari sering menghindar, mengurung dirinya dalam kesunyian yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tidak seperti dulu, ketika ia selalu ceria, penuh semangat, dan siap menghadapi dunia.
“Aku bisa bantu kalau kamu butuh apa-apa, Azhari. Aku tahu ini berat, tapi jangan biarkan dirimu terus tenggelam dalam kesedihan,” kata Lila dengan lembut, seolah ia bisa merasakan apa yang sedang Azhari alami.
Azhari menatap Lila sejenak, matanya kosong. Kata-kata itu datang begitu saja, dan meskipun ia ingin menjawab, ia merasa semua yang ia rasakan terlalu rumit untuk dijelaskan. Ia ingin sekali melupakan semuanya—melupakan Indira, melupakan kenangan yang terus menghantuinya, melupakan hidup yang terasa hampa. Namun, perasaan itu tidak pernah bisa ia atasi.
Lila duduk di sebelah Azhari, membuka percakapan tanpa memaksa. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang hal-hal kecil yang tidak ada kaitannya dengan apa yang ada di dalam hati Azhari. Meski percakapan itu ringan, Azhari merasa sedikit tenang. Mungkin inilah yang ia butuhkan—sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya, meskipun sementara.
“Aku… aku enggak tahu harus gimana lagi, Lila,” Azhari akhirnya membuka diri. Suaranya hampir tak terdengar, namun Lila bisa merasakannya. “Rasanya semuanya sudah berakhir. Segala yang aku harapkan, segala yang aku impikan, semuanya hancur begitu saja.”
Lila mengangguk pelan, matanya penuh pengertian. “Kadang hidup memang seperti itu, Azhari. Kita nggak bisa mengontrol segalanya, dan beberapa hal memang nggak bisa kita ubah. Tapi bukan berarti hidupmu selesai, kan? Kamu masih punya banyak hal yang bisa kamu jalani.”
“Aku nggak yakin,” jawab Azhari dengan suara yang penuh keraguan. “Semua terasa seperti… seperti aku hilang. Indira, semuanya… pergi begitu saja tanpa peringatan. Aku nggak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup setelah ini.”
Lila menghela napas, lalu menatap Azhari dengan lembut. “Kamu bisa mulai dari hal kecil, Azhari. Perlahan. Mungkin kamu belum siap sekarang, tapi itu tidak berarti kamu tidak akan siap di masa depan.”
Azhari menatap wajah Lila, mencoba menyerap kata-katanya. Ia ingin percaya, ingin merasakan bahwa ada sesuatu yang bisa memberinya harapan. Namun, hatinya sudah terlalu terluka. Kepercayaan diri yang dulu ia miliki telah terkubur dalam bayangan kesedihan dan kegagalan.
Azhari menyandarkan kepalanya di meja, menatap layar komputer yang kosong. Semua informasi, semua angka, semuanya terasa kabur. Ia tidak bisa lagi fokus. Bahkan pekerjaan, yang dulu bisa ia tangani dengan mudah, kini terasa sia-sia. Apa artinya bekerja keras jika hidupnya sendiri sudah hancur?
Namun, meski begitu, di suatu sudut hati Azhari, ada secercah harapan yang sangat kecil. Mungkin tidak semuanya benar-benar hilang. Mungkin, perlahan-lahan, ia bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan ini.
Sesampainya di rumah malam itu, Azhari duduk di balkon, menatap langit yang gelap. Hujan sudah berhenti, namun udara masih terasa dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih tenang. Mungkin apa yang dikatakan Lila ada benarnya—mungkin ia bisa mulai lagi, meski dengan langkah yang sangat kecil.
Tetapi kenangan tentang Indira tetap ada, mengendap dalam pikirannya. Mereka berdua telah menjalin banyak mimpi bersama, namun sekarang hanya ada sepi yang menyelubungi hidupnya. Tak ada yang bisa menggantikan Indira, tak ada yang bisa mengembalikan waktu yang telah hilang.
Azhari menatap bintang yang mulai tampak di langit malam, berharap agar waktu bisa memberi jawaban atas segala yang hilang. Tetapi, untuk saat ini, ia hanya bisa berharap—menunggu—dan melangkah perlahan menuju kehidupan yang belum jelas arahnya.
Keputusan yang Tak Terelakkan
Hari-hari berlalu tanpa terasa, membawa Azhari semakin jauh dari dirinya yang dulu. Meski ada percikan harapan yang masih bertahan dalam dirinya, rasa kehilangan yang terus menghantui terasa lebih kuat. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, bayangan Indira selalu datang, menutupi pandangannya, mengaburkan segala niat baik yang hendak ia coba capai. Dunia sepertinya tak pernah kembali seperti dulu—seperti dunia yang penuh dengan warna, penuh dengan kemungkinan.
Azhari duduk di tepi jendela apartemennya, menatap keramaian kota yang tak pernah berhenti. Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma hujan yang masih terasa di udara. Namun, meskipun kota di luar terasa hidup, Azhari merasa terperangkap dalam kehampaan yang tidak kunjung pergi. Wajah Indira, senyumannya, semuanya terasa semakin jauh, seperti sebuah bayangan yang perlahan menghilang.
Ponsel yang tergeletak di meja berdenting. Azhari tahu siapa yang menghubunginya. Lila. Beberapa kali sebelumnya, Lila sudah mencoba menghubungi, mengajak Azhari untuk berbicara, untuk keluar sejenak dari dunia kesendiriannya. Tapi malam ini, Azhari merasa, mungkin sudah waktunya untuk mendengarkan. Mungkin, inilah kesempatan terakhir untuk mulai melepaskan beban yang selama ini ia pendam.
Ia meraih ponsel itu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu menerima panggilan dari Lila. Suara Lila di ujung telepon terdengar ceria, seperti biasa, meski Azhari tahu bahwa Lila selalu bisa melihat kesedihan yang ada di balik suaranya.
“Azhari, gimana? Kamu baik-baik aja kan?” tanya Lila, dengan nada penuh perhatian.
Azhari terdiam sejenak. Sebuah tanya yang sudah berulang kali ditanyakan Lila, dan Azhari hanya bisa menjawab dengan keheningan. Tidak ada yang bisa ia katakan, karena sejatinya ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Apa yang baik-baik saja di dalam dirinya jika hatinya terus saja terperosok dalam kesedihan?
“Sebenarnya… nggak baik, Lila. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Setiap hari terasa semakin berat,” jawab Azhari dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Lila terdiam sejenak, seperti meresapi setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Azhari. “Aku tahu kamu merasa hilang, Azhari. Tapi aku ingin kamu tahu, kamu nggak sendiri. Semua yang terjadi itu bagian dari perjalanan, meskipun sekarang semuanya terasa kacau dan sulit. Kamu punya aku, kamu punya orang-orang yang peduli sama kamu.”
“Ya… tapi… itu nggak cukup, Lila. Aku masih… aku masih merasa kehilangan segalanya,” jawab Azhari, matanya memandang keluar jendela, melihat dunia yang terus berputar, sementara hatinya tetap terhenti di satu tempat yang sama.
Lila menghela napas panjang, mencoba menyusun kata-kata yang bisa sedikit meringankan beban di hati Azhari. “Azhari, hidup nggak akan selalu seperti yang kita mau. Terkadang kita harus menerima kenyataan pahit, dan belajar untuk terus maju meski dengan segala luka yang ada. Itu nggak mudah, aku tahu. Tapi kamu harus mulai berani untuk hidup lagi.”
“Aku nggak tahu bisa atau nggak, Lila,” jawab Azhari, suaranya penuh keraguan.
Lila menatap kosong ke layar ponselnya, lalu melanjutkan dengan suara lebih lembut. “Aku nggak bilang kamu harus melupakan semuanya dalam sekejap. Tapi kamu harus mulai membuka dirimu untuk hal-hal baru. Kalau terus terjebak di masa lalu, kamu nggak akan pernah bisa keluar dari bayangan itu.”
Azhari terdiam. Kata-kata Lila seperti sebuah secercah cahaya yang menembus kegelapan hatinya. Mungkin ia benar. Mungkin ia terlalu lama terperangkap dalam kenangan yang tak bisa ia ubah. Mungkin sudah saatnya ia berhenti memaksakan diri untuk kembali ke masa lalu yang tidak akan pernah bisa ia jangkau lagi.
Lila melanjutkan, “Tapi, kalau kamu merasa butuh waktu lebih lama, nggak apa-apa juga. Aku akan selalu ada di sini untuk kamu, Azhari. Cuma jangan sampai kamu terlambat menyadari bahwa hidupmu masih punya banyak kesempatan.”
Azhari menatap ke luar jendela, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang baru terbuka di depannya—sesuatu yang jauh lebih baik dari segala yang ia bayangkan. Mungkin ini bukan akhir dari segalanya, meskipun ia merasa begitu kehilangan. Mungkin ia bisa menemukan jalan kembali, meskipun penuh dengan rintangan dan kesedihan.
“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, Lila. Tapi… mungkin kamu benar. Aku harus mencoba untuk hidup lagi,” kata Azhari, dengan suara pelan, tetapi kali ini ada sedikit keyakinan yang bisa ia rasakan dalam dirinya.
Lila tersenyum di ujung telepon. “Itu yang aku harapkan, Azhari. Jangan biarkan satu kegagalan menghalangi semua kesempatanmu. Kamu berhak untuk bahagia.”
Azhari meletakkan ponselnya di atas meja, lalu kembali duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap bintang-bintang yang berkilau di langit malam, seolah mereka memberikan harapan yang sama sekali tidak ia sangka bisa ia temukan. Mungkin, suatu saat nanti, ia akan bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Mungkin ia akan bisa bangkit lagi dari rasa kehilangan ini, meskipun tak mudah.
Namun, untuk saat ini, Azhari tahu bahwa ia harus memulai perjalanan itu sendiri. Tidak ada yang bisa membantunya selain dirinya sendiri. Kehilangan akan selalu ada, tetapi ia harus belajar untuk menerima bahwa hidup terus berjalan. Meski dunia terasa sepi dan gelap, Azhari tahu bahwa ia masih bisa menemukan cahaya yang tersembunyi, jika ia cukup berani untuk mencarinya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Azhari merasa sedikit lebih ringan. Sebuah keputusan yang tak terelakkan: untuk terus melangkah, meski dengan hati yang penuh luka.
Mungkin hidup nggak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Ada kalanya kita harus menerima kenyataan pahit dan belajar untuk melanjutkan langkah meskipun hati masih terasa hancur.
Namun, terkadang justru di saat-saat tergelap itulah, kita menemukan kekuatan yang tak terduga. Begitu pun dengan cerita ini—tentang kehilangan, harapan, dan keberanian untuk terus hidup, meski tak lagi seindah dulu.