Daftar Isi
Kadang kita lupa, hutan, gunung, dan sungai itu lebih dari sekadar tempat buat foto-foto keren. Alam punya cerita, punya suara yang enggak bisa kita dengerin dengan gampang. Tapi coba bayangin, gimana kalau suara itu hilang?
Kalau kita cuma bisa nyesel setelah semuanya hilang? Di cerpen ini, ada perjuangan para petualang yang enggak mau alam ditutup mata. Mereka siap berjuang buat nyelamatin tempat yang kita anggap biasa, padahal itu rumah bagi banyak makhluk hidup. Penasaran gimana perjuangan mereka? Yuk, baca terus ceritanya!
Hidup atas Nama Alam
Jejak Alam yang Terlupakan
Hutan itu selalu punya cara untuk berbicara. Hanya saja, tak semua orang mendengarnya. Arka, dengan langkah ringan di atas tanah yang lembap, tahu benar bagaimana mendengarkan bisikan alam. Setiap suara, setiap hembusan angin yang mengusap wajahnya, dan setiap langkah kakinya yang terinjak di tanah basah—semuanya memberinya cerita.
Di pagi yang sepi, hanya ada bunyi riang dari serangga kecil yang sibuk di antara dedaunan. Arka menghela napas panjang. Alam seperti berbicara padanya lagi. Tapi kali ini, suara itu tidak biasa. Ada keresahan, ada kesedihan yang menggantung di antara pepohonan. Dia bisa merasakannya.
Arka berhenti sejenak di bawah pohon beringin tua yang besar. Dari batangnya yang melingkar, tumbuh akar-akar kecil yang menjalar ke tanah. Ia menyentuhnya dengan lembut, seolah meminta izin untuk terus melangkah. Semakin dalam dia masuk ke dalam hutan, semakin banyak perubahan yang dia temui. Pohon-pohon yang dulu tampak segar dan hijau kini mulai layu, daunnya berjatuhan lebih cepat dari biasanya. Di kejauhan, Arka bisa melihat kawasan yang dulu menjadi tempat perkemahan para penduduk desa yang tinggal di dekat hutan—sekarang hanya sisa-sisa pohon yang sudah ditebang.
Hatinya terasa berat. Desa itu tumbuh begitu cepat, dan hutan yang melindunginya semakin berkurang. Tapi di situlah Arka merasa penting. Ia tahu, meskipun penduduk desa tidak melihatnya, hutan ini memanggilnya untuk melindungi mereka semua.
“Kenapa kamu seperti ini, Hutan Raya?” bisik Arka, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada pohon yang berdiri kokoh di depannya. “Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan ini?”
Dia berdiri lama di sana, merenung. Hutan bukan hanya tempat yang menyimpan kenangan masa kecilnya. Bagi Arka, hutan adalah bagian dari dirinya. Setiap aliran sungai yang mengalir deras di bawah akar pohon, setiap daun yang berguguran di musim kemarau—semua itu adalah jejak yang tak boleh hilang.
Namun, ada satu hal yang lebih mengganggu pikirannya. Arka ingat akan pertemuannya dengan Jonas, pria yang tinggal di desa terdekat. Jonas adalah seorang pemburu kayu. Dia telah menebang banyak pohon tanpa memikirkan akibatnya. Arka sudah mencoba berbicara dengannya beberapa kali, namun pembicaraan mereka selalu berakhir dengan argumen. Jonas tidak melihat apa yang Arka lihat—ia hanya melihat pohon sebagai sumber daya yang tak terbatas.
“Kenapa kamu tidak bisa mengerti, Jonas?” Arka menggerutu dalam hati. “Ini bukan hanya tentang kayu. Ini tentang hidup. Ini tentang keseimbangan.”
Tapi Arka tahu, untuk mengubah pandangan seseorang yang keras kepala seperti Jonas, dia harus lebih dari sekadar berbicara. Ia harus menunjukkan apa yang telah hilang dan apa yang masih bisa diselamatkan.
Dengan tekad yang menguat, Arka memutuskan untuk pergi ke desa dan berbicara langsung dengan penduduk. Ia tidak bisa membiarkan hutan yang dia cintai ini terus menderita tanpa ada yang berbuat apa-apa.
Setelah beberapa jam berjalan, Arka tiba di desa. Udara di sini terasa lebih berat, terpolusi oleh asap dari pembakaran kayu dan suara riuh penduduk yang sibuk dengan aktivitas mereka. Arka berjalan melewati rumah-rumah kecil dengan atap rumbia, di mana beberapa anak kecil bermain di halaman, sementara orang dewasa sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk kebutuhan sehari-hari.
Arka menuju ke rumah Jonas. Rumah itu terletak di ujung desa, dikelilingi oleh tumpukan kayu yang belum diproses. Beberapa batang pohon yang baru saja ditebang tergeletak di sana, menunggu untuk dibelah. Arka berdiri di depan pagar kayu yang sudah mulai lapuk, menunggu Jonas keluar.
Tak lama, pria tinggi besar itu muncul dari balik rumah, dengan keringat yang mengalir di dahinya, memegang sebuah kapak besar di tangan. Jonas melihat Arka dengan ekspresi yang sedikit terkejut, namun tidak terkejut dengan kedatangannya.
“Ada apa, Arka?” tanya Jonas dengan nada datar, seperti biasa. “Bawa apa kali ini? Pohon yang harus ditebang lagi?”
Arka menggelengkan kepala, berusaha menenangkan diri. “Aku ingin bicara, Jonas. Tentang hutan. Tentang apa yang sedang terjadi.”
Jonas tertawa kecil. “Hutan? Apa yang kamu bicarakan, Arka? Kita sudah sering bahas ini. Hutan itu luas, banyak pohon. Ada banyak lagi yang bisa ditebang, dan kita bisa terus hidup dari situ. Itu bukan masalah besar.”
Arka menatapnya dengan mata yang penuh tekad. “Ini bukan soal banyak atau sedikit, Jonas. Ini soal keseimbangan. Kamu tidak lihat, kan? Pohon-pohon yang kamu tebang itu… mereka bukan hanya sumber kayu. Mereka adalah bagian dari kehidupan ini. Tanpa mereka, alam akan kehilangan keseimbangannya.”
Jonas menatap Arka dengan tatapan kosong, lalu mengangkat bahu. “Aku tidak peduli. Aku cuma ingin hidup lebih baik. Kayu itu untuk kita.”
“Apakah kamu merasa lebih baik, Jonas?” tanya Arka, suaranya lebih lembut. “Apa yang kamu rasakan ketika melihat hutan yang dulu hijau sekarang berubah jadi tanah gundul?”
Jonas tidak menjawab. Hanya terdiam, menatap tanah yang mulai mengering di sekitar mereka. Arka tahu, pertemuan ini belum berakhir. Tetapi dia merasa sedikit lebih dekat dengan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Setiap orang punya cara masing-masing untuk melihat dunia—dan tugas Arka adalah membantu mereka melihat dunia yang lebih besar, yang bukan hanya milik manusia, tapi milik semua makhluk hidup di bumi ini.
Arka menghela napas. “Ini bukan hanya tentang kita, Jonas. Hutan ini, alam ini—semuanya punya hak untuk hidup, seperti kita.”
Dan dengan itu, dia meninggalkan Jonas yang masih terdiam, melangkah kembali ke hutan, dengan satu tujuan dalam pikiran: melindungi rumahnya.
Di Bawah Bayang Pohon-Pohon Tua
Langit mulai memerah saat senja menjelang. Arka masih berjalan menyusuri jalur setapak di hutan, langkahnya mantap meski beban di pundaknya terasa semakin berat. Setelah pertemuannya dengan Jonas, perasaan gelisah mengisi ruang kosong di hatinya. Arka tahu bahwa ia baru saja memulai sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa yang pernah ia bayangkan. Tidak cukup hanya dengan berbicara—ia harus membuat orang-orang di desa itu melihat bahwa mereka tak hanya bergantung pada alam, tetapi juga harus menjaga alam sebagai cara hidup mereka.
Langkahnya membawa Arka ke sebuah lembah yang biasa ia kunjungi ketika ingin mencari kedamaian. Di sana, ada sebuah pohon raksasa yang selalu memberikan ketenangan. Pohon beringin itu sudah berdiri selama ratusan tahun, menyaksikan semua yang terjadi di sekitarnya, menjadi saksi bisu bagi setiap perubahan yang terjadi pada hutan. Arka duduk di bawah bayang-bayang pohon itu, merasakan getaran kehidupan yang mengalir melalui batang dan akar-akarnya.
Di tempat itu, Arka sering kali merasa terkoneksi dengan alam. Ia merasa bisa mendengar setiap detak jantung bumi, suara gemerisik daun yang mengingatkannya bahwa ia bukan hanya bagian dari hutan, tetapi juga penjaganya. Saat senja mulai berubah menjadi malam, Arka memejamkan mata, mencoba mendengarkan lebih dalam. Namun, kali ini, ia tidak hanya mendengar suara alam yang biasa. Ada sesuatu yang berbeda—sebuah teriakan jauh di dalam hutan.
Tanpa ragu, Arka berdiri dan berlari menuju sumber suara itu. Ia melewati semak belukar dan pohon-pohon besar, menapaki jalur yang sudah lama tidak ia lalui. Suara itu semakin jelas—sepertinya datang dari sebuah sungai kecil di sebelah utara hutan, tempat yang jarang dikunjungi oleh siapa pun. Arka mempercepat langkahnya, merasa ada sesuatu yang sangat penting yang sedang terjadi.
Setibanya di sungai, ia terhenti. Apa yang dilihatnya membuatnya terkejut. Sebuah truk besar terjebak di dalam lumpur, berusaha mundur, namun gagal. Di sekitar truk, terlihat dua orang pria yang tampak kebingungan. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan jaket kulit, memegang sebatang besi panjang, mencoba untuk membuka jalan di sekitar kendaraan. Arka menyadari dengan cepat bahwa ini bukan sekadar kecelakaan.
Mereka bukan penduduk desa. Arka merasa jantungnya berdegup kencang. Dia tahu betul apa yang sedang mereka lakukan. Truk itu, dengan segala peralatan yang dibawanya, pasti sedang menebang pohon-pohon besar di sekitar area hutan ini. Pohon-pohon yang sudah mulai tumbuh ratusan tahun. Hutan ini—rumahnya—sedang dalam bahaya.
Tanpa pikir panjang, Arka melangkah maju, menuntun langkahnya dengan hati-hati di tengah semak-semak. Tiba-tiba, ia terdengar melangkah di atas ranting kering yang terjatuh dari pohon. Salah satu pria di dekat truk mendengar suara itu dan berbalik. Arka segera menyembunyikan dirinya di balik pohon besar, menunggu beberapa detik sebelum keluar dari tempat persembunyiannya.
Pria itu tampak bingung sejenak, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Arka memanfaatkan kesempatan itu. Ia bergerak cepat, menyusup di antara pepohonan, mendekati truk yang terjebak di lumpur. Ia harus menghentikan mereka—apapun caranya.
Namun, sebelum ia sempat melakukan apa-apa, salah satu pria, yang tampaknya lebih tua, berbalik dan melihat Arka. Wajahnya berubah serius.
“Hei, siapa kamu?” tanyanya dengan suara kasar, menatap Arka yang berdiri diam di tengah kegelapan hutan. “Apa yang kamu cari di sini?”
Arka menatapnya dengan tenang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku Arka. Hutan ini bukan tempatmu untuk merusak. Kalian harus pergi.”
Pria itu tertawa sinis. “Hutan ini? Sejak kapan pohon-pohon ini punya pemilik? Kami di sini untuk bekerja, anak muda. Jadi, lebih baik kamu pergi sebelum kami harus melakukan sesuatu yang tidak kamu suka.”
Arka bisa merasakan udara di sekitarnya semakin tegang. Pria itu jelas tidak berniat baik. Arka menarik napas panjang, menatap pria itu tanpa gentar. “Kalian bisa menebang pohon-pohon ini, tapi kalian tidak akan pernah bisa menebang semangat hidup yang ada di sini. Alam ini punya cara untuk melawan.”
“Ah, jadi kamu ingin jadi pahlawan alam, ya?” tanya pria itu dengan nada mengejek. “Coba saja kau berhenti menghalangi kami. Kami hanya bekerja untuk mendapatkan hasil.”
“Apa yang kalian lakukan bukan hanya pekerjaan. Ini perusakan,” Arka berkata dengan tegas. “Pohon-pohon itu bagian dari kehidupan, dan jika kalian terus begini, hutan ini tidak akan memberi kalian apa-apa lagi.”
Pria itu mulai mendekat dengan langkah agresif. Arka bisa merasakan ketegangan di udara, namun ia tetap berdiri teguh. Tiba-tiba, suara derap kaki terdengar semakin mendekat. Arka melirik ke belakang, dan melihat seorang wanita muda muncul dari arah yang berbeda, memegang sebuah kamera. Ia adalah Mira, seorang wartawan yang selama ini bekerja untuk beberapa organisasi lingkungan.
“Arka, jangan!” Mira berteriak. “Aku sudah menghubungi pihak berwajib. Mereka sedang dalam perjalanan.”
Pria tua itu menatap Mira dengan tatapan marah, namun sebelum ia bisa merespons, truk yang mereka kendarai tiba-tiba bergetar, dan mesin itu mati mendadak. Semua orang terdiam, mendengarkan suara yang mengerikan dari mesin yang rusak. Seperti sebuah pertanda, alam berusaha memberitahukan mereka bahwa sudah cukup.
“Ini bukan tempat kalian,” kata Arka, sambil menatap truk yang kini terhenti, seperti menantang mereka untuk berani melawan alam lebih jauh. “Alam akan selalu mengalahkan keserakahan.”
Pria itu hanya menggeram, menatap Arka dan Mira dengan marah, lalu berbalik dan pergi tanpa kata. Terkadang, kata-kata tidak cukup untuk membuat orang berubah, tetapi Arka tahu, mereka baru saja mendapat pelajaran berharga. Mungkin, perubahan yang mereka harapkan sudah dimulai.
Arka menghela napas panjang dan menoleh ke Mira. “Terima kasih sudah datang. Kamu terlambat, tapi setidaknya kamu ada.”
Mira tersenyum tipis. “Kita harus terus bergerak, Arka. Ini baru permulaan.”
Arka menatapnya dan mengangguk. Misi mereka masih panjang, dan malam ini hanya menjadi awal dari perjalanan besar yang harus mereka lakukan untuk menyelamatkan hutan ini.
Bersama-sama, mereka meninggalkan tempat itu, dengan harapan yang lebih besar dari sebelumnya.
Di Bawah Langit yang Terbelah
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Arka duduk di depan api unggun kecil yang menyala di tengah hutan, di tempat yang jauh dari pemukiman. Hanya suara desiran angin yang terdengar, menggerakkan dedaunan yang tak terhitung jumlahnya di atasnya. Sesekali, cahaya api menyinari wajahnya yang tampak lebih tegas dan penuh pemikiran.
Mira duduk di sampingnya, masih memegang kamera yang kini tertutup selimut debu hutan. Meskipun kejadian tadi sore terasa seperti kemenangan kecil, Arka tahu bahwa itu hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Mereka berdua sudah berulang kali berhadapan dengan orang-orang yang tidak mengerti betapa berartinya hutan ini bagi kehidupan. Dan Arka tahu, waktu mereka akan habis jika tidak ada perubahan nyata.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Mira, memecah keheningan. “Kamu pikir mereka akan berhenti begitu saja?”
Arka menatap api unggun, mengamati nyala api yang berkelip-kelip dengan gemericik kayu yang terbakar. Suasana ini selalu memberi ketenangan, meskipun segala masalah terasa semakin rumit. “Aku tak tahu. Tapi yang pasti, kita harus memastikan orang-orang itu tahu bahwa apa yang mereka lakukan bukan hanya merusak hutan, tapi juga merusak masa depan kita.”
Mira mengangguk, namun ada kecemasan di wajahnya. “Kau tahu kan, mereka bukan satu-satunya yang berusaha mengeksploitasi alam? Ada banyak lagi yang tak terlihat.”
Arka menghela napas. “Aku tahu. Itu yang membuat semuanya lebih sulit.” Ia memandang ke arah hutan yang gelap, seakan alam itu berbicara padanya, memberinya petunjuk tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Kita perlu lebih banyak orang. Kita perlu membangun kesadaran, bukan hanya di sini, tapi juga di tempat yang lebih jauh. Keberadaan hutan ini lebih dari sekedar kayu dan hasil bumi.”
Mira meliriknya, merasakan semangat Arka yang begitu menyala. “Tapi bagaimana kita bisa membuat orang-orang peduli? Mereka hanya peduli pada apa yang bisa mereka ambil. Kita butuh sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.”
“Sesuatu yang lebih dari kata-kata…” Arka mengulang, seperti mencerna kata-kata itu dalam pikirannya. “Ya, kita butuh aksi. Lebih banyak aksi yang bisa menunjukkan bahwa alam ini bukanlah sesuatu yang bisa kita kendalikan sewenang-wenang. Jika mereka terus begitu, kita akan berada di titik yang tak bisa dibalik lagi.”
“Tapi kita tidak bisa melawan sendirian,” Mira menambahkan, tampak lebih khawatir. “Kita butuh bantuan.”
“Aku tahu.” Arka memandang bintang-bintang di langit, merasa seolah-olah alam itu mengerti apa yang ada dalam pikirannya. “Mungkin sudah saatnya untuk bergerak ke luar. Mengajak orang-orang yang belum sadar akan ancaman ini. Mengumpulkan kekuatan lebih banyak.”
Mira terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau begitu, kita harus mulai dari sini. Kita bisa mengumpulkan data, informasi, foto, semuanya. Ini bisa jadi titik awal untuk menggugah lebih banyak orang. Aku akan terus mencari jalan untuk menyebarkan ini.”
“Tapi kita juga perlu lebih dari itu,” Arka berkata, matanya mulai bersinar dengan ide yang muncul di benaknya. “Kita harus membuat suara alam ini didengar lebih keras. Kita harus pastikan suara ini menggetarkan mereka yang hanya melihat alam sebagai sumber keuntungan.”
Mira menatap Arka, melihat bagaimana semangat dan tekadnya semakin membara. “Kamu punya rencana, kan?”
Arka tersenyum tipis. “Rencana itu perlu waktu. Aku hanya ingin kita berada di garis depan, bersama mereka yang peduli. Kita akan buat mereka menyadari bahwa tidak ada yang bisa menghentikan alam.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka. Arka menoleh, segera siap menghadapi apapun yang datang. Namun, ketika ia melihat sosok yang muncul dari balik pepohonan, ekspresinya sedikit melunak.
“Jonas,” ucap Arka dengan nada datar. “Kenapa kamu di sini?”
Jonas berjalan mendekat, wajahnya serius dan penuh tekad. “Aku tahu kalian sedang merencanakan sesuatu,” kata Jonas. “Aku ingin ikut. Kalian tidak sendirian.”
Arka terdiam sejenak, menilai apakah ini keputusan yang tepat. Namun, ia tahu bahwa Jonas adalah orang yang peduli. Seseorang yang mungkin bisa memperkuat barisan mereka. “Apa yang membuatmu berubah, Jonas?” tanya Arka.
“Aku melihat apa yang terjadi di sini,” jawab Jonas dengan tenang. “Aku juga tidak ingin menjadi bagian dari mereka yang hanya merusak. Hutan ini adalah kehidupan kita, Arka. Kita harus bertindak.”
Mira melirik Arka dan tersenyum, meski sedikit cemas. “Jadi, kita punya teman baru?”
Arka tersenyum kecil. “Sepertinya begitu.”
Dengan itu, ketiganya duduk mengelilingi api unggun, merencanakan langkah mereka berikutnya. Arka tahu, ini baru permulaan. Mereka masih harus mengatasi banyak hal—bukan hanya melawan orang-orang yang tamak, tetapi juga menghadapi ketidakpedulian dan keputusasaan yang begitu mendalam di hati sebagian besar orang. Tapi dengan semangat yang lebih besar dari sekadar melindungi hutan, mereka akan terus berjuang.
Malam itu, di bawah langit yang terbelah, mereka merencanakan masa depan hutan yang lebih hijau, lebih hidup, lebih kuat. Sebuah perjuangan yang tak akan berhenti sampai alam itu dihargai dan dilindungi, tidak hanya untuk mereka, tetapi untuk generasi yang akan datang.
Suara Alam yang Tak Terhentikan
Pagi itu, cahaya matahari pagi menembus celah-celah pepohonan dengan lembut. Arka berdiri di ujung bukit, memandang luasnya hutan yang terbentang di depan mata. Angin pagi menyapa wajahnya, membawa harum tanah basah dan dedaunan yang mulai terbangun setelah semalam diliputi kabut. Di kejauhan, burung-burung berkicau, seakan memberikan salam pagi, suara alam yang selalu terdengar seperti lagu yang tak pernah habis.
Mira dan Jonas datang mendekat, keduanya membawa ransel penuh peralatan yang mereka butuhkan untuk melanjutkan perjalanan mereka hari itu. Mereka sudah menyiapkan segala sesuatunya. Peta, kamera, alat komunikasi. Semua hal yang akan membantu mereka mewujudkan tujuan mereka. Namun, tujuan itu bukanlah hal yang mudah.
“Ada perasaan aneh,” Mira berkata sambil melihat ke arah Arka yang tampak tenggelam dalam pikirannya. “Aku merasa ada sesuatu yang akan berubah. Aku harap kali ini kita benar-benar bisa melakukan sesuatu.”
Arka tersenyum, sedikit merenung. “Terkadang, kita harus berjuang lebih keras dari yang kita kira. Alam ini tak akan pernah berhenti berbicara, dan kita harus menjadi pendengarnya.”
Jonas mengangguk setuju. “Kita akan terus berjuang. Setiap langkah kita adalah bagian dari suara alam yang tak terhentikan.”
Dengan tekad yang semakin kuat, ketiganya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka bergerak menuju desa kecil yang terletak beberapa kilometer dari hutan ini, tempat yang selama ini menjadi titik rawan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi besar-besaran oleh perusahaan yang tidak peduli. Misi mereka sederhana: memberi informasi yang benar, membuka mata hati mereka yang masih belum melihat betapa pentingnya melindungi alam.
Namun, ketika mereka mendekat ke desa itu, Arka bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan di udara. Orang-orang yang biasa mereka temui di pasar atau di jalan-jalan terlihat tergesa-gesa, seakan ada yang mengintai di balik setiap sudut desa. Arka, Mira, dan Jonas saling bertukar pandang.
“Mungkin ada yang sedang mempersiapkan sesuatu,” ujar Mira, suaranya berbisik.
“Atau sesuatu sudah dimulai,” jawab Arka, matanya menelisik setiap detail di sekitarnya. “Kita harus tetap waspada.”
Ketika mereka memasuki desa, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Arka menoleh dan melihat seorang lelaki tua yang mendekat dengan cepat. Wajahnya dikenal oleh Arka—Pak Damar, salah satu tokoh penting di desa itu yang selalu berusaha menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Tetapi hari itu, wajah Pak Damar tampak lebih serius dari biasanya.
“Arka, Mira, Jonas,” kata Pak Damar, napasnya sedikit terengah. “Kalian datang tepat waktu.”
Arka menatapnya tajam. “Ada apa, Pak Damar? Kenapa kalian terlihat begitu cemas?”
Pak Damar memandang mereka dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Perusahaan itu sudah mulai masuk ke desa ini. Mereka tidak hanya mengambil sumber daya alam, tapi juga mencoba membeli tanah. Mereka mencoba untuk memaksa warga yang masih ragu untuk menjual. Mereka tidak peduli dengan hutan ini, dengan tanah ini. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan semuanya.”
Mira menggigit bibirnya, tampak frustasi. “Kami sudah berusaha memberi tahu mereka, Pak. Tapi sepertinya mereka tidak peduli.”
Jonas mengepalkan tangan. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menang. Mereka harus tahu, kita tidak akan menyerah begitu saja.”
Arka memejamkan matanya sejenak, merasakan beban yang ada di pundaknya. “Ini bukan hanya tentang kita atau mereka. Ini tentang hutan, tentang masa depan kita. Kami sudah berusaha semampu kami, tapi kalau perlu, kita harus membuat langkah lebih besar.”
“Bagaimana?” Pak Damar bertanya, tatapannya penuh harap.
“Kami akan menunjukkan pada dunia ini betapa pentingnya tempat ini. Kami akan membuat mereka melihat bahwa mereka tidak bisa menguasai semuanya hanya karena mereka punya uang. Hutan ini bukan milik mereka, ini milik kita semua,” jawab Arka dengan keyakinan yang lebih besar dari sebelumnya.
Mira tersenyum tipis. “Kita akan mengumpulkan informasi lebih banyak. Kita akan menghubungi mereka yang bisa membantu. Ini bukan hanya perjuangan kita, ini perjuangan semua orang yang peduli.”
Ketiganya mengangguk satu sama lain. Tidak ada lagi keraguan. Mereka tahu bahwa ini adalah titik balik mereka. Pertarungan kali ini bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk memastikan bahwa alam ini tetap hidup, tetap dihargai. Mereka akan melangkah lebih jauh, berjuang lebih keras, dan memberi dunia suara alam yang tidak bisa lagi diabaikan.
Malam itu, setelah seharian berkeliling desa dan berbicara dengan beberapa warga yang masih ingin mendengarkan, mereka beristirahat di rumah Pak Damar. Mereka tahu esok akan menjadi hari yang lebih berat, namun semangat mereka tidak pernah padam.
“Apapun yang terjadi besok, kita harus siap,” kata Arka dengan suara yang mantap.
Mira dan Jonas mengangguk. “Untuk alam,” jawab mereka bersamaan.
Dan di luar sana, di antara pohon-pohon besar yang kini diam dalam kegelapan, suara alam terus bergema. Lebih keras, lebih jelas. Suara itu tak terhentikan. Selama ada mereka yang peduli, alam akan terus berbicara.
Jadi, kadang kita nggak sadar betapa pentingnya setiap helai daun, setiap tetes air, dan setiap hembusan angin yang ada di sekitar kita. Alam bukan cuma tempat kita tinggal, tapi juga tempat hidupnya segala sesuatu yang kita sayang.
Kalau kita nggak mulai peduli sekarang, mungkin nanti kita cuma bisa menyesal. Tapi perjuangan ini nggak selesai di sini. Alam masih punya suara, dan selama ada orang yang mau mendengarkan, kita akan terus berjuang. Karena hidup ini, ya, memang harus atas nama alam.