Hati yang Terpendam: Kisah Cinta Sepihak yang Menghancurkan

Posted on

Masuki dunia emosi mendalam dan cinta yang tak terbalas bersama Hati yang Terpendam: Kisah Cinta Sepihak yang Menghancurkan, sebuah cerpen memukau yang menggambarkan perjalanan Tavira Lysen di desa Lurien pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap pengorbanan dan duka cinta sepihak Tavira terhadap Corwin Drayce, diwarnai oleh kehadiran misterius Jelric Moren. Cocok untuk penggemar fiksi emosional yang mencari kisah sedih yang menyentuh—jangan lewatkan petualangan hati yang mengharukan ini!

Hati yang Terpendam

Bayang di Antara Cahaya

Di sebuah desa terpencil bernama Lurien pada tahun 2024, tersembunyi sebuah lanskap yang tampak seperti lukisan yang diluputkan oleh waktu. Desa itu dikelilingi oleh ladang gandum yang bergoyang pelan di bawah angin sepoi-sepoi, dengan rumah-rumah kayu tua yang berdiri rapat di antara pepohonan rendah yang berdaun lelet. Di tengah desa, sebuah sungai kecil mengalir pelan, airnya jernih namun membawa pantulan yang gelap, seolah menyimpan rahasia yang tak pernah terucap. Langit di atasnya sering kali berwarna jingga lembut di sore hari, menciptakan ilusi seperti matahari tak pernah benar-benar tenggelam, memberikan nama “Lurien” yang berarti cahaya abadi dalam dialek kuno. Namun, di balik kehangatan itu, ada kesunyian yang terasa dalam setiap hembusan angin, seolah desa ini menyimpan duka yang tak pernah diketahui penduduknya.

Di antara rumah-rumah itu, tinggallah seorang wanita bernama Tavira Lysen, berusia dua puluh delapan tahun, dengan rambut pirang panjang yang selalu diikat dengan pita sederhana, meski sering terlepas karena angin. Kulitnya pucat, kontras dengan matanya yang biru tua, yang sering kali memancarkan kesedihan tersembunyi, seolah ada cinta yang tak pernah ia ungkapkan. Tavira tinggal di sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu dan batu, terletak di tepi sungai, ditemani oleh sebuah buku harian tua yang ia tulis setiap malam. Ia pindah ke Lurien tiga tahun lalu, meninggalkan kota yang penuh dengan ingatan menyakitkan setelah kehilangan harapan akan cinta yang tak pernah terbalas dari seorang pria bernama Corwin Drayce, seorang petani tampan yang menjadi pusat hidupnya sejak masa kecil.

Tavira hidup dengan rutinitas yang sederhana namun penuh beban emosi. Pagi hari dimulai dengan suara ayam berkokok di kejauhan, diikuti oleh aroma roti yang ia panggang dari tepung gandum liar yang dikumpulkan di ladang. Ia akan menghabiskan waktu menyiram kebun kecil di belakang rumah, menatap jendela rumah Corwin yang terlihat samar di kejauhan, berharap suatu hari ia akan melihatnya tersenyum untuknya. Buku hariannya penuh dengan catatan tentang Corwin—mata cokelatnya yang hangat, tawa yang jarang ia dengar, dan cara ia berjalan di ladang dengan penuh percaya diri. Namun, di balik rutinitas itu, ada luka yang menggerogoti hatinya. Setiap kali Corwin melewati rumahnya dengan gadis lain di sisinya, ia merasa seperti ada pisau yang menusuk dada.

Cinta Tavira untuk Corwin dimulai sejak mereka masih anak-anak, ketika mereka bermain bersama di tepi sungai, menangkap ikan kecil dengan tangan kosong. Waktu itu, Corwin selalu tersenyum kepadanya, dan Tavira mengira senyum itu adalah tanda cinta. Namun, seiring bertambahnya usia, Corwin mulai dekat dengan Lirien, gadis berambut cokelat yang ramah dan selalu berada di sisinya. Tavira mencoba mengubur perasaannya, tapi hati kecilnya terus berharap, terus menulis kata-kata manis untuk Corwin yang tak pernah ia kirimkan.

Pada suatu sore di bulan Mei 2024, ketika angin membawa aroma gandum matang, Tavira duduk di tepi sungai, memegang buku hariannya yang sudah usang. Ia menulis tentang bagaimana Corwin tertawa bersama Lirien di pasar desa pagi itu, tentang cara tangannya menyentuh bahu gadis itu dengan lembut. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah pelan di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang pria tua dengan rambut abu-abu kusut dan jubah sederhana, membawa sebuah tongkat kayu yang tampak tua. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Jelric Moren, seorang pengelana yang mengaku tersesat di desa dan mencari tempat berteduh.

Tavira, meski awalnya ragu, mengizinkan Jelric masuk ke rumahnya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu—mata hijau pucat yang penuh kebijaksanaan—yang membuatnya tak bisa menolak. Jelric duduk di dekat perapian, memanaskan tangannya yang membiru karena dingin, dan memandang buku harian Tavira yang terbuka di meja dengan rasa ingin tahu yang tulus. “Hati yang terpendam sering kali menjadi beban terberat,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tavira hanya mengangguk, tak ingin menjawab, tapi di dalam hatinya, ia merasa ada gelombang kecil yang mengguncang kesunyian yang selama ini ia jaga.

Jelric memutuskan untuk tinggal beberapa hari di rumah, dengan alasan ingin meneliti sejarah Lurien. Tavira, meski masih waspada, tak bisa menolak. Ada kehangatan dalam kehadiran Jelric yang membuatnya merasa sedikit lebih hidup, meski ia terus mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu terbuka. Malam itu, saat Jelric tidur di sudut rumah, Tavira duduk di dekat jendela, menatap cahaya redup dari rumah Corwin. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa ada harapan untuk melepaskan perasaannya, meski ia tahu itu hanya ilusi.

Hari-hari berikutnya di Lurien berlalu dengan ritme yang baru. Jelric membantu Tavira memanen gandum, membersihkan lantai kayu yang berderit, dan bahkan mencoba membaca puisi-puisi dalam buku hariannya. Ia tak banyak bertanya tentang cinta Tavira, tapi setiap gerakannya, setiap senyum kecilnya, seolah membawa cahaya ke dalam kegelapan yang selama ini menyelimuti hatinya. Tavira mulai merasa nyaman dengan kehadiran Jelric, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayang-bayang yang semakin pekat. Setiap kali Corwin melewati rumahnya dengan Lirien, Tavira merasa hatinya hancur sedikit demi sedikit. Ia tahu bahwa cintanya tak akan pernah terbalas, tapi ia tak bisa berhenti berharap. Dan Jelric, dengan intuisinya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Tavira menatap jendela, cara ia menulis di buku hariannya dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika angin membawa tawa Corwin.

Pada suatu malam, ketika bulan purnama muncul di langit, Tavira mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ia membukanya, berpikir itu Jelric yang kembali dari perjalanannya ke ladang untuk mencari kayu bakar. Tapi yang berdiri di sana bukan Jelric. Itu adalah seorang wanita tua dengan wajah pucat dan rambut putih yang menjuntai, memegang sebuah amplop lusuh yang tampak tua. Wanita itu memandangnya dengan mata kosong dan berkata dengan suara serak, “Aku tahu apa yang kau sembunyikan di hati ini, Tavira. Dan aku tahu siapa yang tak pernah memandangmu.” Tavira merasa dunia di sekitarnya berputar. Wanita itu meletakkan amplop itu di tangannya dan menghilang ke dalam kegelapan, seolah ditelan oleh malam.

Tavira berdiri di ambang pintu, memegang amplop yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah rumah Corwin yang terlihat samar di kejauhan, dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia merasa takut—bukan pada cinta, tapi pada kenyataan bahwa hatinya mungkin akan hancur selamanya.

Jejak di Antara Nada

Angin bertiup pelan sepanjang malam di Lurien, membawa suara dedaunan yang bergoyang dan aroma gandum yang masih segar. Tavira duduk di lantai kayu ruang tamu, memegang amplop lusuh yang diberikan wanita tua misterius itu. Kertas itu terasa rapuh di tangannya, dan bau tua yang menyengat keluar dari dalamnya, bercampur dengan aroma tinta yang memudar. Di luar, bulan purnama memantulkan cahaya lembut ke sungai, menciptakan pantulan yang seolah berbisik tentang rahasia yang tersembunyi. Buku hariannya terbuka di sampingnya, halaman-halaman yang penuh tulisan tentang Corwin tampak seperti cerminan hati yang rapuh.

Amplop itu terasa berat, bukan karena isinya, tapi karena beban emosi yang ia tahu akan terbuka begitu segelnya disobek. Tavira memandangnya selama berjam-jam, tangannya gemetar setiap kali hendak menyentuh kertas yang menguning. Ia tahu, di dalamnya ada sesuatu yang berhubungan dengan Corwin, dengan cinta yang tak pernah terbalas yang selama ini ia simpan. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika ia dan Corwin masih bermain di ladang, ketika ia masih percaya bahwa senyumnya adalah tanda cinta.

Pagi itu, ketika matahari mulai naik di ufuk timur dan kabut tipis masih menyelimuti Lurien, Jelric kembali dari ladang. Ia membawa sekantong gandum kering dan sebuah kotak kayu kecil yang ia temukan di antara rumput liar di tepi sungai. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya bersinar dengan semangat yang sulit dijelaskan. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin kau suka,” katanya sambil meletakkan kotak itu di meja kayu yang sudah usang. Itu adalah kotak kecil, dengan ukiran sederhana dan aroma kayu yang sudah lapuk. Di dalamnya, ia menemukan selembar surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan sebuah kalung perak berbentuk hati yang tampak tua.

Tavira merasa jantungannya berhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Corwin, dengan tinta yang masih samar terbaca. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Tavira, jika kau membaca ini, maafkan aku karena tak pernah melihatmu seperti yang kau inginkan,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang perasaan Corwin terhadap Lirien, tentang bagaimana ia tak pernah menyadari cinta Tavira, dan tentang rasa bersalah yang ia pendam karena tak bisa membalasnya.

Tavira merasa dadanya sesak. Ia ingat Corwin, yang selalu tersenyum kepada Lirien di pasar, yang selalu memandangnya dengan kelembutan yang tak pernah ditujukan padanya. Surat itu mengungkap bahwa Corwin tahu tentang perasaannya, tapi ia memilih untuk diam, tak ingin menyakitinya lebih dalam. Tavira menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah akhir dari harapannya.

Jelric memperhatikan reaksi Tavira, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut rumah, membaca buku hariannya dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Tavira untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Jelric, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Tavira untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap amplop di tangannya, lalu ke kalung perak di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Tavira mulai merasa bahwa kehadiran Jelric bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Corwin, yang membuat Tavira curiga bahwa pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di dekat perapian sambil menikmati teh herbal, Jelric tiba-tiba berkata, “Cinta yang tak terbalas sering kali menjadi penjara, Tavira.” Tavira menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir pria itu dari rumah, tapi ada sesuatu dalam nada suara Jelric yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus melepaskan,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan menuju jendela, meninggalkan Jelric sendirian di dekat api.

Malam itu, Tavira akhirnya memberanikan diri untuk membuka amplop itu. Di dalamnya, ia menemukan sebuah puisi yang ditulis dengan tangan yang gemetar, bersama dengan sehelai rambut cokelat yang tampak seperti milik Lirien. Puisi itu ditulis oleh Corwin, penuh dengan kata-kata tentang cinta yang ia rasakan untuk Lirien, dan permintaan maaf yang ditujukan untuk Tavira. Setiap baris puisi itu seperti pisau yang menusuk hatinya, membuktikan bahwa cintanya selama ini hanyalah bayangan yang tak pernah diakui.

Dengan tangan yang masih gemetar, Tavira berjalan menuju tepi sungai dan membawa buku hariannya bersamanya. Di tepi sungai, di bawah cahaya bulan, ia membaca catatan-catatan lain di buku itu, tentang harapan yang ia tulis setiap malam, tentang tawa Corwin yang tak pernah ditujukan padanya, dan tentang rambut Lirien yang selalu ia lihat di sisinya. Tavira merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Lurien dan semua kenangan yang tersimpan di desa ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Desa itu, cintanya, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Jelric menemukan Tavira duduk di tepi sungai, dikelilingi oleh surat, puisi, dan rambut dari amplop itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh. Tapi di matanya, Tavira melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Jelric tahu lebih banyak tentang cinta Tavira daripada yang ia katakan. “Kau pernah mencintai seseorang yang tak melihatmu?” tanya Tavira tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Jelric menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sakitnya itu.”

Hari itu, untuk pertama kalinya, Tavira mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Corwin, tentang harapan yang ia pendam, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di Lurien. Jelric mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Tavira merasa bahwa pria ini bukan hanya seorang pengelana. Ada hubungan antara Jelric dan cinta yang ia temukan di amplop dan buku hariannya, dan Tavira tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.

Lurien, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap tawa Corwin yang ia dengar, setiap bayangan Lirien yang ia lihat, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Jelric, pria yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Tavira bayangkan akan ia jalani lagi.

Cahaya yang Memudar

Langit di atas Lurien pada pagi di pertengahan Agustus 2024 terasa lebih suram dari biasanya, seolah menyelimuti desa dalam lapisan duka yang tak tersentuh. Kabut tipis menyelimuti ladang gandum dan sungai kecil, menciptakan siluet samar dari rumah-rumah kayu dan pepohonan rendah yang berdaun lelet. Tavira Lysen duduk di dalam rumahnya, memegang buku harian yang telah usang, jari-jarinya menelusuri tulisan-tulisan yang mulai memudar. Setiap kata di buku itu seperti membuka luka lama yang ia coba sembunyikan, membawa kembali kenangan tentang Corwin, tentang harapan yang pernah ia genggam, dan tentang tawa yang kini terdengar lebih jauh di kejauhan. Kalung perak berbentuk hati di sudut meja tampak menatapnya dengan diam, seolah menyimpan emosi yang tak pernah ia ungkapkan.

Jelric Moren, pria yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-hari Tavira, sedang menggambar sketsa sungai di sudut rumah. Tangan-tangannya yang kasar bergerak dengan penuh konsentrasi, tapi pikiran Tavira tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Jelric malam sebelumnya, ketika ia mengaku pernah mendengar cerita tentang Lurien. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap puisi Corwin, yang membuat Tavira yakin bahwa Jelric bukan sekadar pengelana yang tersesat. Ia menyimpan rahasia, dan Tavira merasa bahwa rahasia itu entah bagaimana terhubung dengan amplop lusuh, buku hariannya, dan cinta yang tak pernah terbalas.

Hari itu, Tavira memutuskan untuk menghadapi Jelric. Ia menunggu hingga pria itu selesai menggambar, lalu mengajaknya duduk di dekat perapian yang menyala redup. Cahaya api menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding rumah, seolah ladang di luar ikut bergerak dalam kesunyian. Tavira meletakkan buku hariannya di atas meja, di samping amplop yang masih mengeluarkan aroma tinta tua. “Jelric,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu siapa kau sebenarnya. Dan apa yang kau tahu tentang desa ini.”

Jelric menatapnya lama, matanya yang hijau pucat seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari tas lusuhnya. Kotak itu penuh dengan surat-surat tua, foto-foto samar, dan catatan tentang Lurien. “Aku bukan hanya pengelana, Tavira,” katanya pelan. “Aku seorang penjaga kenangan, dan aku datang ke sini karena cerita tentang hati yang terpendam di desa ini. Tentang cinta yang tak pernah sampai pada Corwin Drayce.”

Tavira merasa jantungannya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Jelric karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami perasaannya. Jelric menceritakan bahwa ia telah menelusuri cerita tentang Lurien selama puluhan tahun, sebuah kisah yang berbicara tentang jiwa-jiwa yang terjebak dalam cinta sepihak, terutama dalam keluarga seperti Tavira yang memiliki sejarah panjang dengan emosi tak terucap. Menurut cerita yang ia dengar dari tetua desa, setiap generasi di Lurien ditakdirkan untuk menghadapi cinta yang tak terbalas, dan kehadiran Corwin dalam hidup Tavira adalah bagian dari nasib yang tak bisa dihindari.

Tavira mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Jelric seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Corwin, yang selalu tersenyum untuk Lirien, dan hari-hari ketika ia menulis harapan di buku hariannya dengan tangan gemetar. Dalam catatan-catatan itu, ia membaca tentang perasaannya yang tumbuh seiring waktu, tentang bayangan Corwin yang ia anggap sebagai tanda cinta, dan tentang kalung perak yang ia temukan di kotak. Tavira tak pernah tahu detail tentang perasaan Corwin, tapi suratnya menyebutkan bahwa ia tahu tentang cinta Tavira, namun memilih untuk tetap diam demi menjaga kedamaian hati mereka berdua.

Malam itu, setelah percakapan mereka, Tavira dan Jelric duduk di dekat perapian, ditemani suara angin yang bertiup pelan melalui celah-celah rumah. Tavira memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Jelric—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa kecilnya di Lurien, tentang Corwin yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa cintanya tak akan pernah terbalas. Ia menceritakan tentang malam ketika ia melihat Corwin dan Lirien berjalan bersama di ladang, tentang rasa sakit yang mengisi hidupnya sejak saat itu.

Jelric mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Tavira selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari kotak kayunya. Foto itu menunjukkan seorang pria muda, dengan rambut cokelat dan senyum yang familiar. “Ini dia,” kata Jelric pelan. “Corwin.” Tavira merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di tepi sungai, dengan latar belakang ladang yang mirip dengan yang ia lihat setiap hari. Corwin berdiri di antara gandum, memegang tangan Lirien, dengan ekspresi yang penuh kebahagiaan namun juga sedikit ragu.

Jelric menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara kenangan-kenangan tua yang ia beli dari pedagang desa. Foto itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Corwin, yang berbunyi: “Tavira, maafkan aku karena tak bisa melihatmu seperti yang kau inginkan.” Tavira tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Jelric bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.

Hari-hari berikutnya di Lurien dipenuhi dengan pencarian jawaban. Tavira dan Jelric mulai menjelajahi tepi sungai, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Corwin atau jiwa-jiwa desa. Mereka menemukan sebuah batu besar yang tersembunyi di antara rumput liar, di balik semak-semak yang lebat. Di batu itu, ada ukiran hati yang tampak retak, dengan garis-garis yang terlihat seperti air mata. Tavira merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari cinta yang tak terbalas yang mengikatnya.

Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah, Tavira menemukan sebuah catatan lain di dalam buku hariannya, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Cinta ini bukan hanya tentang harapan, tapi tentang pengorbanan. Seseorang harus melepaskan hati untuk memutusnya, dan harga itu adalah kebahagiaan.” Tavira merasa jantungannya berhenti. Ia menatap Jelric, yang sedang membaca catatannya sendiri di sudut rumah, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Jelric bukan hanya penjaga kenangan yang kebetulan datang ke Lurien. Ia memiliki hubungan dengan Corwin, dengan cinta ini, dan mungkin dengan dirinya.

Angin kembali bertiup malam itu, dan suara dedaunan bergoyang terdengar lebih keras. Tavira duduk di lantai, dikelilingi oleh buku harian, foto-foto, dan puisi dari amplop itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Jelric, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau terluka, Tavira. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk menjaga kenangan. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kedamaian.”

Kata-kata itu seperti angin yang menyapu hati Tavira. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Corwin. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika ia dan Corwin bermain di ladang, mendengarkan suara angin. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di Lurien, berharap bisa melupakan segalanya.

Pagi berikutnya, Tavira dan Jelric kembali ke batu besar di tepi sungai, membawa buku harian dan kalung perak. Di batu itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan batu, dengan kalung sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Tavira tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Corwin, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah di ladang. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Tavira merasa jantungannya berdegup kencang. Ia menoleh ke Jelric, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Tavira melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Sungai, yang selama ini menjadi bagian dari kehidupannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.

Akhir di Tepi Sunyi

Angin bertiup kencang di Lurien, membawa hujan ringan yang membasahi ladang gandum dan sungai kecil. Tavira dan Jelric berdiri di depan batu besar di tepi sungai, memegang buku harian dan kalung perak. Cahaya lilin di tangan Jelric berkedip-kedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di permukaan air, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh bisikan yang kini terdengar jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Tavira merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di sungai, apa pun yang telah memburu hatinya selama bertahun-tahun.

Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara ladang. Itu adalah pria muda yang pernah muncul di bayangannya, yang menyerupai Corwin. Wajahnya yang pucat tampak lebih menyeramkan di bawah cahaya bulan, dan matanya yang kosong seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang bisa dibayangkan Tavira. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata pria itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku itu, kalung itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Tavira Lysen.”

Tavira ingin bertanya siapa pria itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Jelric melangkah maju. “Corwin,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Tavira merasa dunia di sekitarnya berputar. Corwin, pria yang ia cintai, yang konon hidup bahagia dengan Lirien, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan pria ini. Auranya terasa hampa, seolah ia adalah bagian dari sungai itu sendiri, bagian dari cinta yang tak terbalas yang mengikat Tavira.

Corwin tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan hati ini berhenti terpendam, Jelric. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Tavira menatap Jelric, mencari jawaban di wajahnya, tapi pria itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Tavira, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”

Corwin menjelaskan bahwa cinta sepihak keluarga Lysen hanya bisa diputus dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Corwin, itu adalah kebahagiaannya dengan Lirien, yang ia lepaskan demi menjaga hati Tavira dari luka yang lebih dalam. Dan kini, giliran Tavira untuk memilih. Kalung perak yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.

Tavira merasa dadanya sesak. Ia teringat Corwin, teringat hari-hari ketika mereka bermain di ladang, teringat senyumnya yang hangat untuk Lirien. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Corwin, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Tavira dan Jelric kembali ke rumah. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh buku harian, foto-foto, dan puisi dari amplop itu. Jelric akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah paman jauh Tavira, bagian dari keluarga besar Lysen, yang datang ke Lurien untuk memenuhi janji Corwin—janji untuk memutus ikatan cinta sepihak yang telah menghancurkan generasi. Corwin, menurut Jelric, tahu tentang cinta Tavira sebelum ia menikah dengan Lirien, tapi ia memilih diam, dan kematian hatinya untuk Tavira adalah upaya terakhir untuk menyelamatkannya.

Tavira merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki paman, tak pernah tahu bahwa Corwin telah mengorbankan perasaannya untuknya. Jelric memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Tavira,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Tavira. Ia tahu bahwa Jelric bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, cinta, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.

Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara awan, Tavira dan Jelric kembali ke batu besar di tepi sungai. Mereka membawa buku harian, kalung perak, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di batu itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan batu, dengan kalung sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Tavira tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Corwin, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Dengan tangan gemetar, Tavira berdiri di depan batu, memegang kalung itu. Ia mengucapkan puisi yang ditulis dalam buku harian, setiap kata terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Corwin, senyumnya untuk Lirien, suara tawanya. Ketika kata terakhir puisi itu diucapkan, kalung di tangannya bersinar terang, dan sungai itu bergolak dengan air yang naik tinggi, menciptakan gelombang yang menyapu batu. Cahaya itu meredup, dan Tavira merasa sesuatu telah berubah. Kalung itu kini tenggelam ke dasar sungai, dan air menjadi tenang kembali, seolah ikatan itu telah terputus.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Tavira merasa kenangan tentang Corwin mulai memudar, seperti tinta yang terhapus perlahan dari buku hariannya. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai seseorang, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di tepi sungai, menangis tanpa suara, sementara air di sekitarnya mencerminkan langit kelabu yang tak lagi bersinar untuknya.

Jelric memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Tavira,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Tavira tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong. Hari-hari berikutnya di Lurien terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Angin tetap bertiup, tapi tawa Corwin tak lagi terdengar. Tavira duduk di depan meja, menatap buku harian yang kini kosong, tanpa kata-kata yang menyertainya.

Pada suatu malam, ketika hujan turun lagi, Tavira berjalan menuju sungai, membawa buku hariannya yang telah kosong. Ia berdiri di tepi air, menatap pantulan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama cinta yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia melangkah ke dalam sungai, membiarkan air dingin menyelimuti tubuhnya. Gelombang kecil menelan tubuhnya, dan Lurien kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan hati yang terpendam dalam kesedihan yang abadi.

Sungai itu kini diam, dan buku harian Tavira tetap terbuka di tepi, halaman-halaman kosongnya ditiup angin. Lurien menjadi saksi bisu dari akhir tragis Tavira Lysen, di mana cinta sepihak dan pengorbanan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.

Hati yang Terpendam: Kisah Cinta Sepihak yang Menghancurkan adalah karya yang memadukan cinta tak terbalas, pengorbanan, dan kesedihan dalam setiap lembar, meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca. Dengan alur yang penuh emosi dan akhir yang tragis, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang kekuatan hati yang terpendam. Segera temukan kisah Tavira dan rasakan sentuhan duka yang abadi dalam cerita ini!

Terima kasih telah menyelami ulasan Hati yang Terpendam: Kisah Cinta Sepihak yang Menghancurkan. Semoga Anda terbawa oleh emosi mendalam cerita ini dan menemukan makna di balik kesedihannya. Sampai bertemu lagi di petualangan literatur berikutnya, dan jangan lupa bagikan kesan Anda dengan kami!

Leave a Reply