Hati Munafik yang Berbicara: Cerpen Cinta Palsu dan Pengkhianatan yang Menyakitkan

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih ngerasa cinta yang kamu jalani tuh kayaknya nggak bener-bener nyata? Kayak cuma ilusi yang dibikin-bikin aja biar kelihatan manis, padahal udah nggak ada lagi yang bisa dipertahankan. Nah, cerpen ini bakal ngebahas soal itu. Tentang hati yang ngomong, tapi ngomongnya cuma kebohongan. So, siap-siap buat ngerasain semua rasa kecewa yang nggak pernah kamu duga sebelumnya!

 

Hati Munafik yang Berbicara

Ilusi Cinta yang Dibangun

Langit malam itu dipenuhi oleh gemerlap lampu kota, seolah tak ada habisnya. Di balkon apartemen mewah yang terletak di lantai 22, aku duduk sendiri, memandang ke luar. Angin malam yang sejuk menyapu wajahku, tapi hatiku tetap terasa sesak. Aku mengangkat gelas anggur, menyesapnya pelan. Rasanya hanya seperti kebiasaan, tak lebih. Tak ada yang istimewa. Tak ada yang membuatku merasa lebih hidup.

Althea baru saja meninggalkan pesta yang kami hadiri. Dia lebih suka bergaul dengan teman-temannya, membicarakan bisnis, atau lebih tepatnya, status sosial. Semua orang memujinya—kecantikannya, cara berbicaranya, dan tentu saja, penampilannya yang selalu sempurna. Semua orang tahu, Althea adalah wanita yang diinginkan, dan aku… aku adalah pria yang beruntung memilikinya. Begitulah yang mereka katakan. Tapi aku mulai bertanya-tanya, beruntungkah aku?

Tiba-tiba, pintu balkon terbuka, dan suara langkah kaki yang ringan menyusul. Aku tahu itu Althea. Tak perlu melihat wajahnya untuk tahu siapa yang datang. Itu sudah cukup terasa di udara, seperti bau parfum yang selalu dia pakai, mewah, tapi terasa kosong.

“Kenapa kamu selalu menyendiri begini?” suaranya terdengar lembut, meskipun aku tahu dia tidak pernah benar-benar peduli dengan apa yang kurasakan.

Aku menoleh, setengah tersenyum, tapi senyumku tidak sampai ke mata. “Hanya ingin menikmati malam,” jawabku pelan.

Althea berjalan mendekat, dan duduk di sampingku, menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon. Dia tak mengucapkan apa-apa lagi, hanya menikmati keheningan, atau mungkin sedang merencanakan apa yang harus dia lakukan selanjutnya untuk mempertahankan citra dirinya.

“Kenapa kita seperti ini, Thea?” tanyaku, suara rendah, nyaris tak terdengar. Aku tidak berharap dia akan menjawab dengan jujur. Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa perlu bertanya.

Dia menoleh padaku, matanya berbinar, penuh teka-teki. “Apa maksudmu?” jawabnya dengan nada yang seolah-olah aku yang baru pertama kali bertanya hal seperti itu.

Aku memandangnya. “Kita terlihat sempurna di luar, kan? Tapi di dalam… kita hanya saling berjarak,” kataku. Kalimat itu keluar begitu saja, entah sudah berapa lama aku menyimpannya.

Althea terkekeh, meski terdengar sedikit canggung. “Aku rasa kamu terlalu berpikir,” ujarnya, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu ku. “Kita cuma sibuk, Nat. Semua orang punya kesibukannya masing-masing.”

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Terkadang, aku merasa Althea seperti sebuah puzzle yang tidak pernah bisa aku selesaikan. Setiap kali aku mencoba untuk melihat lebih dalam, hanya ada lapisan-lapisan kebohongan yang semakin menutupi. Tapi aku tahu satu hal pasti—kami berdua berpegang pada sesuatu yang palsu, dan entah kenapa, aku merasa bahwa aku tak bisa melepaskannya.

“Aku ingin semua yang kamu punya, Nat,” kata Althea, mendongak dan menatapku dengan mata yang penuh harapan, meskipun aku tahu itu bukanlah harapan untukku sebagai pribadi, tapi lebih kepada status dan kehidupan yang bisa aku berikan.

Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Aku sudah tahu, sejak awal. Itu bukan cinta yang sesungguhnya. Itu hanya keinginan untuk memiliki. Dan aku… aku sudah terlalu lama terjebak dalam permainan ini.

“Dan aku akan memberikannya padamu,” jawabku, walaupun aku tahu kata-kataku hanya untuk mengisi kekosongan yang semakin membesar di antara kami. Cinta? Mungkin itu sudah lama mati, hanya saja kami berdua tak cukup berani untuk mengakuinya.

Althea tersenyum, senyum yang terasa datar, seperti sesuatu yang terlatih. “Kita akan selalu bersama, Nat,” katanya, meletakkan tangannya di atas tanganku yang terletak di samping. “Kita sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang.”

Aku menatap tangannya, lalu mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Pemandangan kota yang sibuk itu hanya mengingatkanku betapa kosongnya dunia kami. Semakin lama, semakin aku merasa terperangkap. Mungkin Althea benar. Kami sudah terlalu jauh. Terlalu jauh untuk berhenti. Terlalu jauh untuk kembali.

Kami kembali diam, duduk bersama tanpa kata-kata yang berarti. Semuanya terasa kosong, namun kami berdua tetap berusaha untuk terlihat bahagia. Cinta kami hanyalah sebuah ilusi. Sebuah kebohongan yang kami ciptakan agar dunia melihat kami sebagai pasangan sempurna. Tapi di dalam hati, kami tahu, itu semua tidak lebih dari sandiwara.

Beberapa detik kemudian, Althea bangkit dan menyentuh bahuku. “Aku ke dalam sebentar, Nat. Ada beberapa hal yang harus aku urus,” katanya, sebelum melangkah pergi. Aku hanya mengangguk, meskipun tak ada yang berubah. Sesuatu di dalam diriku merasa hampa, dan aku tahu itu bukan hanya karena Althea meninggalkanku sebentar. Itu karena aku sudah mulai meragukan segalanya.

Aku duduk di sana sendirian, menatap langit malam yang penuh bintang. Semua orang menganggap kami pasangan yang sempurna. Tapi hanya aku dan Althea yang tahu, di balik semua itu, kami hanya dua orang yang terjebak dalam kebohongan.

Dari kejauhan, aku mendengar suara langkah kaki kembali mendekat. Althea kembali, tapi kali ini, aku tidak merasa seperti dulu. Semuanya terasa semakin jauh.

“Nat,” suaranya lembut, “kamu baik-baik saja?”

Aku mengalihkan pandangan, memaksakan senyum. “Ya, Thea. Aku baik-baik saja.”

Tapi kenyataannya, aku tahu, kami berdua sudah tidak baik-baik saja.

 

Di Balik Senyum Palsu

Hari-hari berlalu seperti biasa. Althea kembali sibuk dengan rutinitasnya yang tak pernah surut, sementara aku semakin tenggelam dalam kebisuan yang kian mencekam. Kami bertemu di acara sosial, tertawa dengan teman-teman yang merasa kagum pada kami. Namun, setiap kali aku menatap matanya, ada kekosongan yang semakin jelas terasa. Aku sudah tahu jawabannya, tapi aku enggan untuk mengungkapkan. Tidak ada yang benar-benar ingin tahu, kan?

Hari itu, aku kembali duduk di meja makan kami yang besar dan menghadap pemandangan kota yang tak pernah berhenti bergerak. Althea duduk di seberangku, mengetuk-ngetukkan jarinya di atas gelas anggur yang sudah hampir kosong. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu—sesuatu yang jauh lebih penting daripada aku atau kehidupan kami yang terlihat sempurna di luar sana.

“Nat,” kata Althea tiba-tiba, suaranya terdengar cemas. “Apa kamu merasa semuanya berjalan dengan baik? Maksudku, dengan kita.”

Aku meliriknya, masih mencoba membaca ekspresi wajahnya, yang selalu sulit kuartikan. Ada kecemasan, namun lebih kepada penampilan. Sepertinya, dia takut ada sesuatu yang mengganggu citra hubungan kami.

“Ya, tentu saja,” jawabku, mencoba terdengar meyakinkan, meski aku sendiri ragu. “Kita baik-baik saja. Semua orang bisa lihat itu.”

Althea mengangguk, tapi aku bisa melihat sedikit ketegangan di wajahnya. Dia tidak sepenuhnya percaya pada kata-kataku, dan aku tahu itu. Hanya saja, kami berdua sudah terlalu terbiasa dengan kebohongan ini, sehingga kadang-kadang kita mulai saling menipu, bahkan ketika kita tahu apa yang terjadi.

Senyumnya tak sehangat biasanya. Aku bisa melihat dia berjuang untuk mempertahankan citra yang sudah terbentuk dengan sangat sempurna di mata dunia. Cinta kami? Itu sudah terlalu lama menjadi ilusi. Kami hanya berperan dalam drama yang kami ciptakan sendiri.

“Malam ini, kita harus pergi ke acara itu, kan?” tanya Althea, suaranya mengarah pada topik yang lebih praktis. Kami sudah sepakat sebelumnya untuk menghadiri gala amal yang sangat penting bagi reputasi kami, tapi entah kenapa aku merasa berat untuk mengikutinya.

“Ya, tentu. Kamu sudah siap?” jawabku, meski hatiku tidak benar-benar berada di sana. Aku merasa terjebak dalam rutinitas yang semakin hari semakin menyesakkan. Setiap kali kami berdua berada di depan umum, aku merasa semakin jauh darinya.

Althea tersenyum, senyum yang terlatih dan dipaksakan. “Aku akan siap dalam beberapa menit. Kamu tahu aku tidak bisa datang terlambat.”

Aku mengangguk, lalu meletakkan gelas anggurku yang sudah kosong ke meja. Aku merasa seperti sedang berada di luar tubuhku sendiri, menyaksikan semuanya dari kejauhan. Ke mana arah hubungan ini? Apakah kita sedang menuju sesuatu yang lebih baik, ataukah hanya semakin tenggelam dalam kebohongan yang semakin sulit ditutupi?

Saat acara gala tiba, kami berdua muncul di tengah keramaian dengan penampilan yang tak bisa dipungkiri—sempurna. Althea mengenakan gaun hitam berkilau yang membuatnya terlihat bagaikan bintang. Semua mata tertuju padanya, dan aku hanya berdiri di sampingnya, merasa seperti patung yang tak punya arti.

Kami berpose untuk foto bersama, senyuman lebar yang sudah sangat terlatih. Orang-orang memuji penampilan kami, mengatakan betapa serasinya kami. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, tapi di dalam, hatiku terasa kosong.

Di tengah acara, Althea dipenuhi oleh tamu-tamu yang ingin berbincang dengannya. Mereka berbicara tentang bisnis, tentang proyek-proyek yang akan datang, dan tentang semua hal yang tidak ada kaitannya dengan kami. Aku berdiri di pojok ruangan, memandangi mereka. Aku merasa asing, seolah aku bukan bagian dari dunia ini. Mungkin aku sudah lama tidak merasa terhubung dengannya. Mungkin aku sudah lama merasa seperti orang luar dalam hidup kami sendiri.

Tiba-tiba, Althea datang menghampiriku, matanya penuh dengan kecemasan yang hanya bisa kubaca jika aku benar-benar memperhatikannya. “Kenapa kamu diam saja? Kamu tidak berbicara dengan siapa pun,” katanya, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.

Aku tersenyum tipis. “Aku hanya tidak merasa seperti berada di tempat yang tepat,” jawabku jujur, meskipun aku tahu itu bisa membuatnya merasa tidak nyaman.

Althea menatapku tajam, seolah mencari tanda-tanda bahwa aku sedang bermain-main. “Kamu pasti tidak mau merusak malam ini, kan?” katanya, mencoba mengingatkanku bahwa ini bukan saat yang tepat untuk menunjukkan ketidaksepahaman kami.

Aku menghela napas. “Aku tidak sedang merusaknya, Thea. Aku hanya merasa… kosong.”

Dia mendekat, menyentuh lenganku dengan lembut, dan senyum terpaksa itu kembali muncul di wajahnya. “Jangan berpikir terlalu banyak, Nat. Semua ini untuk kita,” katanya, suara yang terdengar terlalu meyakinkan, namun aku tahu dia juga tidak sepenuhnya mempercayainya.

Aku menatap wajahnya. Cantik, anggun, dan penuh dengan segala hal yang diinginkan dunia. Tapi, semakin lama aku menatapnya, semakin aku merasa semakin jauh. Kami sudah terlalu lama terjebak dalam permainan ini, dan aku mulai bertanya-tanya, apakah ini yang aku inginkan? Apakah ini cinta, atau sekadar rutinitas yang membosankan?

Aku melirik pemandangan gala yang megah, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seperti orang asing di dunia yang kami ciptakan bersama. Althea merangkul lenganku, dan aku mengikuti langkahnya, terhanyut dalam kebohongan yang semakin dalam. Kami tersenyum, berbicara dengan orang-orang, tapi di dalam hati kami, kami tahu, semuanya sudah tidak nyata lagi.

Semua ini hanya ilusi.

Dan aku tahu, suatu saat, semuanya akan jatuh berantakan.

 

Ketika Kebenaran Terungkap

Pagi datang seperti biasa, namun kali ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Suara detakan jam di meja samping tempat tidur terasa lebih keras, lebih mengganggu. Aku duduk di tepi ranjang, menatap celah-celah cahaya yang masuk melalui tirai jendela. Dingin. Ada angin yang seolah berusaha memasuki kamar dan mengusir segala bentuk kebohongan yang sudah terlalu lama kami pelihara. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba untuk menenangkan diri. Tapi tetap saja, rasa kosong itu kembali muncul. Rasa yang tidak pernah bisa kutepis, meski aku terus berusaha.

Hari itu, Althea tampak berbeda. Tidak seperti biasanya, dia terlihat lebih tertekan. Senyumnya tak lagi lebar dan penuh semangat. Mata cokelatnya yang biasanya berkilau kini tampak redup. Seperti ada sesuatu yang menggerogoti dalam dirinya, meski dia berusaha menyembunyikannya di balik topeng kesempurnaan yang selalu dipakainya.

Kami duduk di meja makan, seakan menjalani rutinitas yang biasa. Tapi ada ketegangan di udara, dan aku bisa merasakannya. Suara sendok yang menyentuh piring terdengar lebih keras dari biasanya. Althea menatapku, mencoba membuka percakapan, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa hambar.

“Kamu sudah makan?” tanyanya dengan nada yang lembut, seolah tidak ada yang berubah.

Aku mengangguk, meskipun perutku sudah terasa kosong. Bukan karena lapar, tapi karena ada kekosongan yang lebih dalam dari sekadar rasa fisik. “Iya,” jawabku singkat, tak ingin berbicara lebih banyak. Apa yang bisa kami bicarakan? Apa yang masih bisa kami percakapkan setelah sekian lama menjalani kebohongan ini?

Althea menyandarkan dagunya ke tangan, seolah berpikir keras. “Nat,” suaranya kembali terdengar lembut, “kenapa kamu terlihat seperti… tidak ada di sini? Kamu berubah, aku merasa seperti kita sudah tidak lagi saling mengenal.”

Aku menatapnya lama. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia berbicara sekarang. Seolah ada keraguan dalam dirinya yang mulai tumbuh, sesuatu yang tak bisa dia tutupi lagi. Kami sudah terlalu lama hidup dalam dunia palsu ini, dan aku bisa merasakan jika semuanya mulai retak.

“Kenapa kamu merasa begitu?” tanyaku, mencoba untuk tetap tenang meski hati ini mulai terombang-ambing. Aku sudah tahu jawabannya, tapi aku perlu mendengarnya dari mulutnya.

Dia terdiam beberapa saat. “Karena aku merasa… aku tidak bisa lagi mengandalkanmu,” katanya pelan, suaranya hampir hilang. “Kamu terlalu jauh, Nat. Aku sudah berusaha untuk mempertahankan semuanya, tapi aku tidak tahu sampai kapan aku bisa berpura-pura.”

Kata-katanya menusuk, lebih tajam daripada yang pernah kukira. Setiap kalimatnya membuatku semakin merasa terjebak dalam kebohongan yang sudah sangat dalam ini. Aku mencoba menatap matanya, mencoba mencari sedikit kehangatan atau kejujuran, tapi yang ada hanyalah bayangan dari hubungan yang sudah lama mati.

“Apa maksudmu dengan ‘berpura-pura’?” tanyaku, suaraku serak. Rasanya sulit untuk berbicara, seolah kata-kata itu akan membuat semuanya menjadi lebih nyata daripada yang aku inginkan.

Althea menarik napas panjang, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang selama ini kami abaikan. “Aku sudah tahu, Nat. Aku tahu kamu tidak pernah benar-benar ada untukku. Kamu hanya ada karena kita harus ada, karena kita terjebak dalam permainan ini. Aku… aku merasa lelah.”

Kata-katanya semakin membuat hatiku terasa sesak. Aku merasa seperti sebuah patung yang diam di tengah hujan, terbuat dari batu dan tak mampu bergerak. Aku sudah tahu sejak lama, tapi mendengarnya langsung darinya, itu sangat berbeda. Mungkin, di balik semua kebohongan ini, ada sedikit kebenaran yang tak bisa kami hindari lagi.

Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran yang mulai kacau. “Lalu, apa yang kamu inginkan, Thea?” tanyaku, merasa seperti seseorang yang terperangkap dalam kegelapan yang tidak bisa ditembus.

Dia menggeleng pelan, ekspresinya kosong. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin berhenti berpura-pura. Aku ingin merasa hidup lagi. Tapi aku… aku tidak tahu bagaimana caranya,” jawabnya, suaranya mulai bergetar.

Aku tidak bisa menjawab. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang aku rasakan sekarang. Setiap kata yang keluar dari mulut kami berdua seperti pecahan kaca yang semakin menghancurkan hubungan yang sudah rapuh ini.

Kami berdiam diri dalam keheningan, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara. Ini bukan tentang kebahagiaan lagi. Ini tentang kebenaran yang akhirnya harus dihadapi, meskipun itu menyakitkan. Tidak ada lagi senyum palsu, tidak ada lagi kebahagiaan yang kami ciptakan hanya untuk dunia luar. Semuanya telah jatuh.

Althea akhirnya berdiri, matanya masih tampak kosong, dan dia melangkah pergi. “Aku butuh waktu, Nat,” katanya, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.

Aku hanya mengangguk, tidak bisa mengatakan apapun. Dia pergi, meninggalkan aku dengan diriku sendiri, dan aku hanya bisa duduk di sana, merasakan kerapuhan hubungan ini semakin terasa. Kami berdua sudah lama terperangkap dalam kebohongan, dan sekarang saatnya untuk menghadapi kenyataan.

Namun, aku tahu, ini belum berakhir. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih buruk, atau mungkin, ini adalah kesempatan untuk kami berdua untuk menemukan diri kami yang sebenarnya. Tapi, apapun itu, yang jelas—kami sudah tidak lagi sama.

Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi aku masih tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan itu.

 

Hati yang Tak Lagi Bisa Pura-Pura

Aku terbangun keesokan harinya dengan perasaan yang hampa. Mataku terasa berat, seolah-olah aku baru saja terbangun dari mimpi yang tak pernah berakhir, dan saat aku membuka mata, kenyataan itu begitu nyata, menyakitkan, dan tak bisa dihindari. Rumah ini sepi. Hanya ada suara detakan jam yang terdengar lebih jelas, lebih menekan. Tapi suara itu tidak bisa menutupi kehampaan yang merayapi setiap sudut ruangan.

Aku berdiri, mengambil langkah yang tidak pasti, menuju ke ruang tamu. Itu seperti rutinitas yang sudah kehilangan makna, seperti aku berjalan tanpa tujuan yang jelas. Rumah ini, yang dulu penuh dengan tawa, kini terasa sunyi. Althea belum kembali semalam. Kami sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan, tapi malam itu dia meninggalkan segalanya begitu saja. Seakan tak ada yang tersisa lagi untuk dipertahankan.

Kududuk di tepi sofa, menatap kosong ke luar jendela. Pagi yang cerah, namun hatiku tetap kelabu. Aku teringat saat-saat pertama kami bertemu, saat segala sesuatu terasa baru, segar, dan penuh harapan. Kami berdua begitu yakin, begitu percaya bahwa segala hal akan berjalan dengan baik. Namun, seiring berjalannya waktu, semuanya mulai terungkap. Semua yang kami bangun ternyata hanya tumpukan pasir yang mudah hancur.

Aku menarik napas panjang. Althea memang benar. Kami sudah terlalu lama berpura-pura. Aku telah berusaha bertahan dalam kebohongan yang tidak ada habisnya, namun kenyataan itu akhirnya menggigit kami. Tidak ada lagi ruang untuk sekadar berpura-pura bahagia. Kami berdua terluka, dan luka itu tak bisa disembunyikan lagi.

Ketika pintu depan terbuka, aku tahu itu dia. Langkah kaki Althea terdengar pelan, penuh kehati-hatian. Dia masuk dengan wajah yang lebih pudar daripada sebelumnya. Dia tidak menatapku, tidak berkata apapun. Hanya ada keheningan yang menyelubungi kami, menekan, membungkam.

Aku berdiri, berjalan menghampirinya. “Althea,” panggilku dengan suara yang lebih pelan daripada yang kumaksudkan.

Dia menatapku sekilas, kemudian menundukkan kepala. “Aku… aku minta maaf, Nat,” katanya dengan suara rendah. “Aku terlalu banyak berpikir semalam. Terlalu banyak kebingungan yang berputar di dalam kepalaku.”

Aku hanya bisa menatapnya. Kata-kata itu, permintaan maafnya, terasa kosong. Seolah-olah dia sudah terlalu lelah untuk berbicara tentang semua yang kami alami. “Kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak perlu minta maaf,” jawabku, suaraku terdengar hampir hampa, tidak seperti yang kuinginkan. “Kita sudah sampai di titik ini, Thea.”

Althea tidak menjawab. Hanya ada keheningan yang semakin dalam. Dia menghela napas, kemudian beranjak menuju kamar kami. Aku mengikuti dari belakang, merasakan langkah kami yang semakin menjauh dari kebahagiaan yang dulu ada. Aku tahu, dia sudah terlalu lelah. Kami sudah berusaha terlalu keras untuk mempertahankan sesuatu yang pada akhirnya memang tak pernah ada.

Di depan kamar, Althea berhenti sejenak. “Aku rasa ini saatnya kita berhenti, Nat. Aku tidak ingin kita terus berpura-pura.”

Kata-katanya semakin membuat hatiku terasa hancur. Aku tahu itu benar. Kami sudah tidak lagi menjadi orang yang sama. Tidak ada lagi cinta yang bisa diselamatkan. Kami sudah berjuang untuk sesuatu yang sudah mati sejak lama.

“Aku tahu,” jawabku dengan suara yang sulit keluar. “Aku tahu kita sudah lama tidak lagi menjadi kita.”

Althea menatapku sekali lagi, mencoba membaca ekspresi wajahku yang kini terasa datar. Lalu, dengan langkah pelan, dia masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan. Tak ada teriakan, tak ada tangisan. Hanya keheningan yang mengisi setiap sudut rumah ini.

Aku berdiri di depan pintu itu, merasa kehilangan, namun pada saat yang sama juga ada rasa lega yang entah datang dari mana. Aku merasa seperti melepaskan beban yang selama ini mengikatku. Kami sudah saling menyakiti, dan mungkin itu yang seharusnya terjadi. Kami berdua terlalu lama terjebak dalam ilusi, dalam kebohongan yang telah kami ciptakan sendiri.

Aku berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di sana untuk beberapa lama. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa aku katakan. Tidak ada lagi alasan untuk berjuang. Ini bukan tentang kebahagiaan, bukan tentang cinta, tapi tentang melepaskan diri dari segala hal yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

Saat aku menatap keluar jendela, matahari sudah mulai tenggelam, mengubah langit menjadi warna oranye yang memudar. Aku tahu ini adalah akhir. Tapi, seperti matahari yang tenggelam, ada harapan bahwa esok mungkin akan membawa sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih nyata, lebih jujur, meski itu menyakitkan.

Aku menutup mataku sejenak, membiarkan diri tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. Tidak ada lagi kebohongan. Hanya ada kebenaran yang terungkap, meski itu mengoyak hati kami berdua.

Dan dengan itu, aku tahu, hati kami yang dulu saling mengikat kini hanya tinggal kenangan yang akan terus berbicara dalam diam.

 

Jadi, kadang kita perlu melepaskan sesuatu yang udah nggak bisa kita perbaiki lagi, meskipun itu menyakitkan. Cinta bisa jadi indah, tapi juga bisa jadi penyebab luka. Hati yang dulu penuh harapan, akhirnya harus bicara dengan cara yang berbeda. Dan mungkin, itu cara terbaik buat Nathaniel dan Althea. Karena, kadang, kebohongan yang tak terucap lebih keras daripada kata-kata apapun.

Leave a Reply