Daftar Isi
Pernah kepikiran gak sih kalau dunia ini sebenarnya gak cuma tentang yang baik atau yang jahat, tapi tentang keseimbangan? Apa jadinya kalau ada satu benda yang bisa mengatur semuanya—cahaya, bayangan, bahkan takdir itu sendiri?
Hati Dunia”adalah kisah epik tentang dua orang yang terseret dalam konflik besar antara cahaya dan bayangan, di mana keputusan mereka bakal nentuin nasib seluruh dunia. Petualangan penuh aksi, ketegangan, dan pilihan sulit ini bakal bikin kamu susah berhenti baca!
Hati Dunia
Bayangan di Balik Cahaya
Malam di Aurelia selalu terang. Lampu-lampu kristal yang menggantung di setiap sudut kota bercahaya seperti bintang yang jatuh ke bumi. Jalanan dipenuhi oleh manusia-manusia berwajah bersih dengan pakaian mewah yang berjalan anggun di bawah langit tanpa awan. Udara terasa sejuk, bunga-bunga bermekaran sepanjang tahun, dan musik lembut mengalun dari rumah-rumah besar di distrik kerajaan.
Namun, di balik keindahan itu, ada hal yang tidak terlihat oleh mata biasa. Ada bayangan yang bersembunyi di balik cahaya, rahasia yang tidak pernah diceritakan kepada penduduknya. Dan di salah satu sudut perpustakaan kerajaan yang luas, seorang gadis bernama Elitha baru saja menemukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Elitha menyusuri rak-rak kayu tua dengan jemarinya yang ramping. Rambut peraknya yang terurai panjang berkilauan tertimpa cahaya lentera. Ia bukan bangsawan, tapi kepintarannya membuatnya diizinkan mengakses perpustakaan yang hanya terbuka bagi para cendekiawan terpilih. Hari itu, ia sedang mencari teks kuno tentang sejarah awal Aurelia, namun justru menemukan sesuatu yang lain.
Sebuah gulungan tua yang terselip di balik rak paling atas.
Gulungan itu berdebu, seolah sudah lama tidak tersentuh. Ketika ia membukanya, tinta emas yang memudar mengukir kata-kata dalam bahasa kuno yang hampir tidak bisa dibaca.
“Siapa pun yang ingin menguasai Hati Dunia harus memahami bahwa cahaya tanpa bayangan adalah kebutaan, dan bayangan tanpa cahaya adalah kehancuran.”
Elitha mengerutkan kening. “Hati Dunia?” Ia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di lorong perpustakaan yang sepi. Elitha buru-buru menyembunyikan gulungan itu di balik jubahnya dan berpura-pura membaca buku lain.
Seorang pria dengan jubah putih keemasan muncul dari balik rak buku. Ordo Seraphim.
“Elitha,” suara pria itu terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang dingin di baliknya. “Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?”
Elitha tersenyum kecil. “Aku hanya membaca. Bukankah itu tujuan dari perpustakaan?”
Pria itu tidak segera menjawab. Matanya mengamati Elitha dengan tatapan meneliti, seolah bisa melihat lebih dari yang terlihat. “Jangan membaca sesuatu yang tidak perlu, Elitha. Tidak semua pengetahuan baik untuk diketahui.”
Setelah pria itu pergi, Elitha menggigit bibirnya. Ia tahu, ia sudah menarik perhatian orang yang salah.
Dan itu berarti ia harus segera pergi dari sini.
Di sisi lain dunia, di tanah kelam yang disebut Nocthurn, seorang pemuda bernama Kaelar sedang berkelahi.
Tidak ada cahaya di langit Nocthurn. Kota-kotanya kusam, penuh asap dan debu. Jalanan sempit dipenuhi dengan suara benturan besi, teriakan kasar, dan langkah-langkah berat para prajurit bayaran.
Di tengah arena pertarungan bawah tanah, Kaelar berdiri dengan napas berat. Punggungnya basah oleh keringat, dan darah mengalir dari sudut bibirnya. Lawannya, pria berbadan besar dengan tato ular di lengan, sudah tergeletak di tanah, tidak bergerak.
“Kemenangan untuk Kaelar Sang Serigala!” suara seseorang mengumumkan di antara sorak-sorai penonton.
Kaelar tidak peduli dengan sorakan itu. Ia mengambil uang taruhannya, lalu berjalan keluar dari arena dengan langkah cepat.
Namun, saat ia melangkah melewati gang sempit, seseorang menahannya.
“Kaelar,” suara itu berat dan dalam.
Kaelar menghela napas. “Apa lagi?”
Seorang lelaki tua berdiri di hadapannya. Rambutnya seputih tulang, matanya berwarna perak yang tidak wajar. Kaelar mengenal lelaki ini. Ia sering melihatnya di sudut kota, berbicara sendiri seolah sedang meramal sesuatu.
“Aku melihat sesuatu dalam mimpiku,” kata lelaki itu. “Dua dunia akan bertemu, dan kunci yang hilang akan ditemukan.”
Kaelar mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Pergilah ke Celestial Rift,” kata lelaki itu. “Di sanalah segalanya akan dimulai.”
Kaelar hampir tertawa. Celestial Rift? Jurang raksasa yang memisahkan dunia terang dan gelap? Itu tempat yang tidak mungkin dikunjungi.
Tapi sebelum Kaelar bisa mengatakan sesuatu, lelaki itu sudah menghilang seperti kabut.
Kaelar berdiri di tempatnya, merasa ada sesuatu yang berbeda di udara malam ini.
Dan jauh di Aurelia, Elitha sedang mempersiapkan perjalanannya sendiri, tanpa menyadari bahwa seseorang dari dunia lain sedang berjalan ke arahnya.
Takdir mereka baru saja mulai bergerak.
Di Ambang Keseimbangan
Langit di atas Celestial Rift tidak seperti langit di tempat lain. Awan kelam berputar-putar, seolah menari dalam tarian tak berujung dengan cahaya-cahaya keemasan yang berpendar samar di antara kegelapan. Angin bertiup dingin, membawa bisikan-bisikan dari dunia yang sudah lama terkubur.
Elitha berdiri di tepi jurang itu, jubahnya berkibar tertiup angin. Tangannya erat menggenggam gulungan tua yang ia temukan di perpustakaan kerajaan. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Ia tidak tahu apa yang menunggunya di sini. Satu hal yang pasti—Ordo Seraphim sudah mulai mencurigainya. Jika mereka tahu bahwa ia berada di Celestial Rift, mereka tidak akan tinggal diam.
Elitha menarik napas panjang. Jika Hati Dunia benar-benar ada, maka kebenaran yang ia cari pasti tersembunyi di tempat ini.
Langkah kaki terdengar di belakangnya.
Elitha spontan berbalik, tangannya sudah terangkat siap bertarung. Namun, yang berdiri di hadapannya bukanlah seorang kesatria kerajaan.
Itu seorang pemuda dengan rambut hitam kusut dan mata abu-abu tajam, berpakaian lusuh dengan mantel panjang yang tampak usang. Ia terlihat seolah baru saja berjalan melewati gurun, hutan, dan neraka sekaligus.
Kaelar.
Mereka saling menatap tanpa suara. Elitha tidak mengenalnya, begitu pula sebaliknya. Namun, ada sesuatu dalam tatapan mereka—sebuah rasa familiar yang tidak bisa dijelaskan.
Kaelar adalah orang pertama yang membuka suara. “Kamu siapa?”
Elitha masih menimbang-nimbang apakah ia harus menjawab. Namun, akhirnya ia berkata, “Aku Elitha.”
Kaelar mengamati sekelilingnya. “Tempat macam apa ini?”
Elitha menatapnya curiga. “Kamu tidak tahu Celestial Rift?”
Kaelar menyeringai miring. “Tentu saja aku tahu. Tapi aku tidak pernah berpikir aku akan sampai di sini.”
Elitha memperhatikan caranya berbicara—santai, seakan tidak peduli pada dunia. Namun, mata pria ini menceritakan hal lain. Mata seseorang yang telah melihat kegelapan lebih dari yang seharusnya.
“Apa alasanmu datang ke sini?” tanya Elitha akhirnya.
Kaelar memasukkan tangannya ke dalam saku mantel. “Seseorang mengatakan padaku kalau aku harus datang ke tempat ini. Katanya aku akan menemukan jawaban di sini.”
Elitha mengernyit. “Jawaban tentang apa?”
Kaelar mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin tentang dunia, mungkin tentang hidupku. Atau mungkin aku hanya dimanfaatkan untuk sesuatu yang aku tidak pahami.”
Elitha terdiam. Ia tidak tahu apakah pria ini jujur atau hanya berpura-pura bodoh. Tapi di dunia ini, tidak ada yang terjadi karena kebetulan. Jika pria ini datang ke Celestial Rift di waktu yang sama dengannya, pasti ada alasan di baliknya.
Sebelum Elitha sempat berbicara lagi, suara geraman terdengar dari kejauhan.
Kaelar langsung menoleh. “Apa itu?”
Elitha merasakan bulu kuduknya berdiri. “Kita harus pergi dari sini.”
Terlambat.
Dari dalam kabut, muncul makhluk berkulit hitam dengan mata bersinar merah, tinggi seperti manusia tapi dengan cakar yang lebih panjang dan tubuh yang lebih bengkok.
Kaelar mencabut pedang pendeknya dari pinggang. “Temanmu?” tanyanya santai.
Elitha menyiapkan sihir di telapak tangannya. “Kalau kamu berpikir aku berteman dengan iblis, kamu jelas datang ke tempat yang salah.”
Makhluk-makhluk itu tidak menunggu. Mereka melompat ke arah mereka, mencakar udara dengan kecepatan yang mustahil.
Kaelar menghindar dengan lompatan cepat, pedangnya berkilat saat menebas salah satu dari mereka. Namun, saat tubuh makhluk itu terbelah, ia melihat sesuatu yang aneh—tidak ada darah. Hanya bayangan kosong.
Elitha mengangkat tangannya, mengeluarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Begitu terkena sinarnya, makhluk-makhluk itu mengerang kesakitan, tubuh mereka seolah meleleh ke tanah sebelum akhirnya menghilang.
Kaelar menyipitkan mata. “Cahaya bisa membunuh mereka?”
Elitha menurunkan tangannya, napasnya sedikit memburu. “Bukan cahaya biasa. Ini adalah sihir kuno.”
Kaelar memandangnya dengan lebih waspada. “Kamu sebenarnya siapa?”
Elitha tidak menjawab. Bagaimana mungkin ia mempercayai orang yang baru saja ia temui?
Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih lanjut, angin bertiup lebih kencang. Dari dalam kabut, seseorang muncul.
Ia mengenakan jubah abu-abu panjang, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Namun, begitu ia berbicara, suaranya terdengar berat dan menggema.
“Kalian berdua akhirnya datang.”
Elitha langsung siaga. “Siapa kamu?”
Orang itu tertawa kecil. “Aku? Aku adalah seseorang yang sudah menunggu kalian sejak lama.”
Kaelar mencengkeram gagang pedangnya lebih erat. “Tunggu, jangan bilang—”
Orang itu menurunkan tudungnya. Seorang pria tua dengan mata perak bersinar.
Pria yang muncul dalam mimpi Kaelar.
Elitha dan Kaelar saling bertukar pandang. Tidak perlu kata-kata untuk mengetahui bahwa hidup mereka baru saja berubah selamanya.
Jejak Menuju Hati Dunia
Elitha dan Kaelar berdiri di hadapan pria tua itu, tubuh mereka masih tegang setelah pertempuran melawan makhluk bayangan. Angin di Celestial Rift berputar semakin liar, seolah menandakan bahwa pertemuan mereka bukan sekadar kebetulan.
Pria tua itu tersenyum tipis. “Kalian berdua adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari yang kalian bayangkan.”
Kaelar menyipitkan mata. “Aku tidak suka permainan kata-kata. Kalau kamu tahu sesuatu, katakan saja.”
Elitha diam, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia juga ingin tahu lebih banyak.
Pria itu mengangkat tangannya. Cahaya keemasan dan bayangan pekat berputar mengelilinginya, seperti dua kekuatan yang bertolak belakang namun menyatu dalam harmoni.
“Ada sesuatu yang harus kalian lihat,” katanya pelan.
Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka berubah. Celestial Rift menghilang, digantikan oleh ruangan luas yang dipenuhi cahaya dan bayangan. Dinding-dindingnya terbuat dari kristal yang berpendar samar, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah pilar raksasa dengan simbol kuno yang bersinar dalam dua warna—emas dan hitam.
Elitha menahan napas. “Apa ini?”
Pria itu menatap mereka dengan mata tajam. “Ini adalah gambaran dari apa yang kalian cari—“Hati Dunia.” Sebuah kekuatan yang telah lama tersembunyi, sebuah keseimbangan yang selama ini dijaga agar tidak jatuh ke tangan yang salah.”
Kaelar mendengus. “Lalu kenapa kita harus mencarinya?”
Pria itu tersenyum tipis. “Karena dunia tidak seimbang. Cahaya terlalu terang di satu sisi, dan bayangan terlalu pekat di sisi lain. Jika keseimbangan ini runtuh… maka dunia ini akan hancur.”
Elitha dan Kaelar bertukar pandang.
Elitha melangkah maju. “Apa yang harus kami lakukan?”
Pria itu mengulurkan tangannya, dan dua cahaya kecil melayang ke arah mereka. Begitu menyentuh telapak tangan mereka, cahaya itu berubah menjadi peta kuno.
“Kalian harus menemukan jalan menuju tempat tersembunyinya Hati Dunia. Tapi ingat, tidak hanya kalian yang mencarinya.”
Kaelar mengangkat alis. “Maksudmu?”
Suara pria itu menjadi lebih serius. “Ada dua kekuatan yang juga menginginkannya. Ordo Seraphim, yang ingin menjadikan cahaya sebagai satu-satunya penguasa, dan Cult of the Abyss, yang ingin membiarkan bayangan menguasai segalanya. Jika salah satu dari mereka berhasil mendapatkan Hati Dunia, dunia akan hancur.”
Elitha menggigit bibirnya. “Dan jika kami menemukannya lebih dulu?”
Pria itu menatap mereka dengan dalam. “Kalian harus membuat pilihan. Menghancurkannya… atau menggunakannya untuk sesuatu yang lebih besar.”
Kaelar menatap peta di tangannya, lalu menghela napas panjang. “Kalau begitu, kita harus bergerak sebelum mereka lebih dulu menemukannya.”
Pria tua itu tersenyum tipis. “Perjalanan kalian tidak akan mudah. Tapi takdir telah memilih kalian berdua.”
Dalam sekejap, cahaya kembali berputar di sekitar mereka. Dunia Celestial Rift kembali muncul, dan pria tua itu telah menghilang, meninggalkan mereka berdua dengan peta yang kini bersinar samar di tangan mereka.
Kaelar mendengus. “Aku tidak percaya aku benar-benar akan melakukan ini.”
Elitha menatapnya. “Kalau kamu tidak ingin ikut, aku bisa pergi sendiri.”
Kaelar menatap gadis itu beberapa detik sebelum tertawa kecil. “Percaya atau tidak, aku juga ingin tahu akhir dari semua ini.”
Elitha tersenyum tipis. “Kalau begitu, kita harus berangkat sekarang.”
Tanpa membuang waktu, mereka berdua mulai melangkah—menuju perjalanan yang akan mengubah takdir dunia.
Pilihan yang Menentukan Segalanya
Langkah kaki Elitha dan Kaelar menggema di dalam Kuil Keseimbangan, tempat di mana Hati Dunia tersembunyi. Udara di dalam ruangan itu terasa berat, seperti menahan napas, menunggu keputusan yang akan mengubah takdir dunia.
Di hadapan mereka, berdiri sebuah altar raksasa yang terbuat dari batu hitam dan putih, di atasnya melayang bola cahaya berwarna emas dan hitam, berputar perlahan, seakan hidup. Itulah Hati Dunia—sumber keseimbangan antara cahaya dan bayangan, kekuatan yang bisa menciptakan atau menghancurkan segalanya.
Namun mereka tidak sendirian.
Di sisi kanan, para kesatria Ordo Seraphim berdiri tegak dalam jubah putih bersulam emas, pedang mereka bersinar terang. Pemimpin mereka, seorang pria berambut perak dengan mata keemasan bernama Elyon, menatap Elitha dengan penuh keyakinan.
Di sisi kiri, Cult of the Abyss telah tiba, dengan jubah hitam mereka yang berkibar seperti kabut malam. Pemimpin mereka, seorang wanita bermata hitam legam bernama Nyx, tersenyum dingin pada Kaelar.
“Akhirnya, kita sampai di sini,” kata Elyon, suaranya penuh keyakinan. “Elitha, kamu tahu apa yang harus dilakukan. Hati Dunia harus berada di tangan kami, agar cahaya memimpin dunia selamanya.”
Nyx tertawa pelan, melirik Kaelar. “Atau… kita bisa membiarkan bayangan mengambil alih, menghancurkan dunia lama dan membangun yang baru dari kehancuran.”
Kaelar mendengus. “Kalian berdua sama saja. Sama-sama haus kekuasaan.”
Elitha melangkah maju, tatapannya tajam. “Aku tidak akan memberikan Hati Dunia kepada salah satu dari kalian.”
Elyon mengerutkan kening. “Cahaya harus menguasai dunia. Jika tidak, kegelapan akan menguasainya dan segalanya akan hancur!”
Nyx menyeringai. “Dan jika cahaya terus menguasai, dunia akan menjadi tempat tanpa kebebasan. Apa bedanya itu dengan kehancuran?”
Elitha menatap bola cahaya yang melayang di hadapannya. Hati Dunia berdenyut lembut, seakan menunggu seseorang membuat keputusan.
Kaelar melirik gadis itu. “Apa pun yang kamu pilih, aku akan mengikutimu.”
Elitha menarik napas panjang. Ia bisa merasakan kekuatan yang luar biasa dari Hati Dunia.
Ia bisa menghancurkannya, menghapus keseimbangan itu selamanya.
Atau ia bisa menggunakannya, untuk sesuatu yang lebih besar.
Saat tangannya menyentuh bola cahaya itu, dunia di sekelilingnya bergetar.
Keputusannya akan menentukan nasib dunia.
Elitha menutup matanya, lalu…
Matahari bersinar di langit baru.
Di puncak sebuah bukit, Kaelar berdiri, memandangi dunia yang telah berubah. Tidak ada lagi pertempuran antara cahaya dan bayangan. Kini dunia berada di antara keduanya, hidup dalam keseimbangan yang telah lama hilang.
Elitha muncul di sampingnya, jubahnya berkibar tertiup angin.
“Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Kaelar pelan.
Elitha tersenyum tipis. “Aku tidak memilih cahaya, dan aku tidak memilih bayangan. Aku memilih keseimbangan. Dan dunia akan menyesuaikan diri dengannya.”
Kaelar menatapnya sejenak sebelum tertawa kecil. “Kamu gila.”
Elitha tersenyum lebih lebar. “Mungkin. Tapi dunia ini akhirnya bebas.”
Kaelar menghela napas, lalu menatap cakrawala. Perjalanan mereka telah berakhir, tapi cerita dunia baru saja dimulai.
Gak semua cerita punya akhir yang hitam atau putih. Kadang, jawaban yang benar ada di tengah-tengah. Elitha dan Kaelar bukan pahlawan yang sempurna, tapi mereka memilih untuk tidak dikendalikan oleh cahaya atau bayangan.
Mereka memilih keseimbangan. Dunia yang mereka tinggalkan gak akan pernah sama lagi, tapi justru di situlah letak keindahannya. Dunia baru dimulai… dan mungkin, cerita mereka juga belum benar-benar selesai.


