Harta Karun di Hutan Lotus: Pencarian, Pengkhianatan, dan Kehancuran

Posted on

Jadi gini ceritanya, ada sekelompok teman yang nyari harta karun di hutan lotus, tempat yang katanya penuh misteri dan keajaiban. Tapi siapa sangka, yang mereka temuin malah lebih gelap dari yang mereka bayangin.

Dari niatnya yang cuma pengen kaya, malah jadi terjebak dalam permainan ego, pengkhianatan, dan kehilangan. Gak ada yang bisa lepas dari hutan itu, termasuk diri mereka sendiri. Sikat, deh, simak ceritanya!

 

Harta Karun di Hutan Lotus

Jejak di Hutan Lotus

Hutan Lotus itu lebih gelap dari yang aku bayangkan. Matahari yang baru terbit masih belum bisa menembus rapatnya dedaunan yang hampir hitam. Langkah kaki kami menginjak tanah yang lembap, dan suara gemerisik dari binatang hutan yang tak tampak membuat perasaan sedikit tidak nyaman. Tapi, aku menahan diri. Ini semua demi petualangan. Demi harta karun yang katanya bisa mengubah hidup kita.

Aku berjalan paling depan, menatap lurus ke depan, berusaha agar tak terlalu terpikirkan oleh suara berisik di sekeliling. Kael di belakangku, selalu menyuarakan optimisme yang lebih meyakinkan, tapi aku tahu, di balik kata-katanya, ada ketegangan yang sama.

“Ini akan jadi perjalanan yang luar biasa,” kata Kael dengan suara penuh semangat, hampir berteriak supaya suaranya bisa mengalahkan hutan yang sunyi.

Elyra, yang berjalan di sampingku, tidak terlalu bersemangat. Matanya tajam, menilai setiap detail di sekitar kita. Aku tahu, dia tipe orang yang lebih suka merencanakan segalanya dengan teliti. Itu juga alasan mengapa dia yang memegang peta.

“Jangan terlalu terburu-buru, Kael,” Elyra mengingatkan, matanya tertuju pada peta yang dia pegang erat. “Peta ini menunjukkan bahwa kita harus hati-hati di sini. Ada banyak jebakan yang bisa menyesatkan kita.”

“Apa maksudnya ‘jebakan’?” tanya Morren, yang sebelumnya terdiam. “Kamu cuma bercanda, kan?”

Elyra tidak menjawab langsung. Sebagai gantinya, dia menoleh ke belakang, matanya bertemu dengan mata Morren, lalu mengangguk perlahan. “Aku tidak bercanda. Di dalam hutan ini, tidak ada yang bisa dipercaya.”

Aku bisa merasakan atmosfer yang mulai berubah. Keempat kami sudah tahu bahwa ini bukan hanya soal menemukan harta karun. Ada sesuatu yang lebih gelap di hutan ini, sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar jebakan atau ilusi.

Kami melanjutkan perjalanan, melewati semak-semak lebat yang memaksa kami saling bergelut dengan dedaunan. Keheningan semakin mencengkeram. Aku tidak tahu apakah itu karena ketegangan atau hawa aneh yang datang dari dalam hutan, tapi yang jelas, aku mulai merasakan kegelisahan di dada.

“Apa kita yakin ini tempat yang benar?” tanya Morren. Tiba-tiba, dia berhenti, menatap sekitar seakan-akan mendengar sesuatu.

“Jangan berhenti,” Elyra cepat-cepat mengingatkan, suaranya sedikit cemas. “Kita tidak bisa mundur. Peta ini jelas menunjukkan kita menuju ke arah sana.” Dia menunjuk ke depan, di mana puncak pohon lotus terlihat sedikit lebih terang. Kami semua mengikutinya tanpa banyak bicara.

Tetapi, saat kami terus berjalan, aku merasakan ada yang salah. Satu persatu dari kami, kami mulai saling memerhatikan dengan cemas. Terlalu banyak keheningan, terlalu sedikit yang bisa diandalkan. Semua mata menatap ke Elyra, yang masih memegang peta itu, namun tanpa mengungkapkan sepatah kata pun.

Aku merasa ada sesuatu yang dipendam oleh Elyra. Sepertinya, peta itu lebih dari sekadar petunjuk. Mungkin ada rahasia di dalamnya yang belum ia bagikan pada kami.

Tiba-tiba, langkahku terhenti. Aku menatap tanah yang baru saja kutapaki. Tanah itu bergerak, atau tepatnya—aku terpeleset. Sebuah akar pohon yang terlalu besar, yang selama ini tersembunyi, menarikku jatuh ke depan.

“Berhenti!” teriak Kael. Tangan kuatnya menarik lenganku, mengangkatku kembali.

“Itu hampir membuatmu jatuh!” Morren berkomentar, suaranya cemas, meskipun lebih karena takut terkena jebakan daripada khawatir padaku.

Aku hanya mengangguk, masih terengah-engah. “Ada sesuatu yang aneh di sini.”

Elyra berhenti berjalan, menatap kami dengan pandangan yang tajam. “Itu bukan sekadar akar,” katanya. “Hati-hati di mana kalian melangkah. Setiap langkah bisa menjadi langkah terakhir.”

Ada ketegangan di dalam kata-katanya. Kecemasan. Atau mungkin lebih dari itu. Aku tidak tahu pasti, tapi sesuatu tentang sikapnya membuatku merasa ragu.

Namun, aku tidak sempat merenung lebih lama karena tiba-tiba Kael melompat, seolah tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi. “Aku sudah tidak sabar lagi! Ayo, kita teruskan!”

Dengan keputusan itu, kami melanjutkan perjalanan. Tetapi, di dalam hati, aku merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang lebih gelap, yang tak terlihat oleh peta atau mata kami.

Kami terus berjalan, melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Semakin dalam, semakin terasa ada yang mengawasi. Angin berhembus kencang, membelai dedaunan lotus dengan lembut, namun dalam hati kami, angin itu terasa penuh dengan ancaman.

Kami tiba di sebuah persimpangan. Di depan kami, sebuah jalan setapak yang lebih rimbun dengan tanaman lotus. Elyra berhenti sejenak, memeriksa peta lagi, matanya berkedip bingung.

“Ini… tidak sesuai dengan yang aku lihat di peta.” Suaranya bergetar.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Morren, mendekat.

“Ada sesuatu yang hilang,” jawab Elyra, lebih pada dirinya sendiri. “Peta ini… tidak lengkap.”

Tiba-tiba, aku merasa ada sesuatu yang mengancam. Aku melihat ke belakang, ke arah Kael dan Morren yang tampaknya tidak terlalu khawatir. Namun, sesuatu di mata Elyra memberi perasaan bahwa kami sedang berada di persimpangan yang lebih besar daripada yang kami kira.

Kita berada di ujung jurang, tanpa menyadarinya.

 

Bunga-bunga Pengkhianatan

Hutan semakin sesak. Kabut tebal mulai turun perlahan, mengaburkan pandangan. Aku hampir tidak bisa melihat lebih dari beberapa langkah di depan mata. Suara angin yang menggerakkan daun-daun lotus kini terdengar seperti bisikan, seolah ada yang memperhatikan setiap gerakan kami. Kalian pasti tahu perasaan itu—perasaan ketika ada sesuatu yang mengintai, tetapi tidak terlihat. Aku merasakannya, dan aku yakin kalian juga merasakannya.

Elyra terus memandangi peta itu, matanya berkedip-kedip tidak percaya. “Ada yang aneh,” katanya, suaranya mulai terdengar cemas.

“Apa yang aneh, Elyra?” tanya Kael, melangkah lebih dekat, mencoba untuk melihat peta itu dengan seksama.

“Peta ini…” jawab Elyra, lalu terdiam sejenak, memandangi simbol-simbol yang ada. “Semua jalur yang sudah aku tandai tiba-tiba hilang. Kita sudah melangkah ke wilayah yang tidak tercatat di sini.”

Aku menggigit bibir. Kalau Elyra, yang selalu percaya pada perencanaan dan keakuratan, mulai ragu, berarti masalahnya lebih besar dari yang kami duga.

Morren yang selalu tenang, meskipun sepertinya cemas, berbicara dengan nada sedikit lebih tegas, “Jadi apa yang kita lakukan sekarang? Terus berjalan atau kembali?”

Elyra tidak langsung menjawab. Dia melirik ke sekitar, matanya bergerak cepat, berusaha mencari tanda-tanda. Aku bisa merasakan ketegangan itu semakin menebal. Suasana hutan yang semula terasa eksotis, kini terasa menekan. Aku mulai merasa terjebak.

Tiba-tiba, Kael melangkah maju tanpa banyak bicara, seolah-olah memutuskan untuk tidak menunggu lagi. “Aku sudah bilang, kita harus terus maju. Jika kita mundur sekarang, kita nggak akan pernah tahu jawabannya.”

Aku ingin mengatakan sesuatu, memberi peringatan, tetapi aku hanya diam. Kadang, ada saatnya kalian harus merasakan keputusan kalian sendiri. Kael, dengan semangatnya yang besar, terus maju, dan kami hanya bisa mengikutinya.

Kami berjalan lebih dalam, jauh dari jalur yang sudah dikenal. Tanah mulai berubah menjadi lebih berlumpur, dan aroma bunga lotus yang semula harum kini berubah menjadi bau busuk yang tidak sedap. Ketika kami melangkah, tanah di bawah kaki kami terkadang bergema, seolah ada sesuatu yang terpendam jauh di dalamnya.

“Tunggu,” Elyra mendadak berhenti dan menatap ke depan. “Aku mendengar sesuatu.”

Semua berhenti. Aku menoleh, mencoba mendengar apa yang dia dengar. Tetapi hanya ada keheningan yang terasa semakin menakutkan. Tak ada suara binatang, tak ada gemerisik daun. Hanya angin yang membawa aroma busuk itu.

“Tidak ada apa-apa, Elyra,” aku berkata, mencoba menenangkan dirinya, meskipun aku sendiri tidak merasa yakin.

Namun, Elyra tampaknya tidak bisa dibohongi. “Ada sesuatu di depan. Aku rasa kita semakin dekat. Tapi aku juga merasa…” Suaranya tercekat, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ada yang menghalangi, dan aku bisa merasakannya.

Kael mengangkat tangannya, mencoba membungkam keheningan yang semakin membebani. “Jangan takut. Kita sudah hampir sampai. Harta karun itu tidak akan hilang begitu saja.”

Namun, saat dia berkata seperti itu, aku tahu dia sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Itu bukan semangat murni. Itu hanya ketakutan yang disembunyikan di balik kebohongan.

Saat kami melanjutkan perjalanan, langkah kami semakin berat. Hutan lotus semakin gelap. Aku merasa setiap langkah kami menambah ketegangan yang meluas. Akhirnya, kami tiba di sebuah lapangan terbuka yang sangat besar. Di tengahnya, sebuah pohon lotus yang sangat besar berdiri menjulang, tangkainya melingkar seperti pelukan raksasa, dengan bunga-bunga berwarna ungu tua yang terkulai dengan anggun.

Di bawah pohon itu, terlihat sebuah peti kayu yang tertutup rapat. Pintu peti itu terkunci dengan rantai berkarat, dan di sekitarnya terlihat beberapa batu besar yang terserak, seolah melindungi harta itu. Namun, ada sesuatu yang lebih aneh. Sebuah simbol yang tidak aku kenal terukir di permukaan peti, berbentuk lingkaran dengan garis-garis halus melingkarnya.

“Apa itu?” tanya Morren, matanya tertuju pada simbol itu dengan rasa penasaran.

Elyra mendekat, tangannya gemetar ketika menyentuh simbol itu. “Ini… ini bukan sembarangan simbol. Ini… mungkin kunci untuk membuka peti ini.”

Aku memeriksa sekeliling, mencurigai segala sesuatu yang berada di dekat kami. Hutan yang sepi dan misterius ini terasa semakin tidak ramah. Saat Elyra bergerak lebih dekat ke peti, aku merasa ada yang tidak beres. Rasa cemas semakin menumpuk di dadaku.

Dan saat itulah, Kael berbicara dengan nada lebih tegas, “Kita harus membuka peti itu. Tidak peduli apa pun yang ada di sana. Harta itu sudah dekat. Kita tak bisa berhenti sekarang.”

Mata Kael berkilat penuh tekad, tetapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapannya. Keinginannya untuk mendapatkan harta karun ini melebihi segalanya. Aku bisa melihatnya. Egoisme itu, seperti benih yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

“Tidak ada yang bisa menghentikan kita,” kata Kael lagi, suaranya lebih tajam dari sebelumnya.

Aku merasa cemas. Ada sesuatu yang mulai retak dalam kelompok ini. Apa yang sudah kita cari? Apakah kita hanya mengejar harta, atau apakah ada hal lain yang sedang mempengaruhi kita? Aku tak bisa berkata-kata. Hanya ada rasa tidak nyaman yang terus mencekam, dan sebelum aku bisa mengucapkan sesuatu, Elyra sudah memutuskan untuk membuka peti itu.

Dia menarik rantai itu, dengan tangan gemetar, mencoba membukanya. Seketika, aku mendengar suara keras dari dalam hutan—sesuatu bergerak sangat cepat menuju kami.

Aku tidak tahu apakah itu hanya angin, atau apakah ini tanda dari sesuatu yang lebih besar yang sedang datang. Tapi aku tahu satu hal: persahabatan kami sudah terancam.

 

Di Ambang Kejatuhan

Suara gemuruh yang tiba-tiba muncul dari dalam hutan membuat seluruh tubuhku terhenti. Tidak ada angin, tidak ada gerakan lain selain suara itu yang semakin keras, semakin mendekat. Ranting-ranting pohon lotus bergoyang kencang, seolah-olah ada kekuatan yang lebih besar yang menggerakkannya. Namun, yang paling menakutkan bukanlah suara itu, tetapi bagaimana semua anggota kami—termasuk aku—berdiam seolah terperangkap dalam waktu yang menakutkan.

Elyra, yang baru saja membuka rantai peti, terhenti. Tangannya menggigil, dan matanya yang semula penuh harapan kini dipenuhi kecemasan. “Apa itu?” tanyanya, berusaha menelan rasa takut yang mulai menguasainya.

Aku menatap hutan, mencoba melihat dengan jelas apa yang datang. Tetapi kabut semakin tebal, dan hanya bayangan hitam yang bergerak dengan cepat, seakan mengelilingi kami. Ketika aku hendak berteriak untuk memberi peringatan, Kael sudah bergerak lebih dulu.

“Ayo, kita harus segera ke peti itu!” katanya dengan nada yang keras, tidak peduli dengan suara yang semakin mendekat. Dia langsung berlari ke arah peti, seakan tidak mendengar apa-apa selain suara hatinya yang dipenuhi oleh obsesi.

Aku ingin melarangnya, tapi mulutku terkunci. Ada sesuatu yang terasa semakin aneh. Kenapa Kael bisa begitu tergila-gila dengan peti itu, sementara semua perasaan lainnya mengingatkan kita akan bahaya yang semakin mendekat? Elyra yang awalnya ragu, kini terlihat semakin cemas. Dia tidak berani mendekat terlalu jauh, tetapi entah kenapa, kami juga tidak bisa mundur.

Hutan ini… hutan ini mulai memiliki pengaruhnya sendiri terhadap kami. Aku bisa merasakannya.

“Kael, jangan!” teriak Morren, matanya penuh kekhawatiran. Tapi Kael sudah terlalu jauh. Dia menyentuh peti itu dengan tangannya, dan begitu dia melakukannya, suara itu… berhenti. Keheningan yang menakutkan menyelimuti kami, dan untuk sesaat, aku merasa dunia ini berhenti berputar.

“Kael!” teriak Elyra, suaranya penuh kebingungan dan kecemasan.

Kael menatap kami dengan senyum lebar, seolah-olah dia telah mendapatkan apa yang dia inginkan. “Kalian masih takut? Semua ini sudah hampir berakhir, hanya satu langkah lagi.”

Elyra mundur beberapa langkah, tangan masih terulur ke depan, seolah mencoba menjaga jarak dari Kael yang kini terlihat sangat berbeda. “Apa yang terjadi pada kamu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.

Kael tidak menjawab, hanya tertawa pelan, seperti seseorang yang sedang menghadap ke arah sesuatu yang hanya dia pahami. Aku merasa ada yang sangat salah dengan Kael. Perubahan ini begitu cepat, dan aku tak tahu apakah itu hanya obsesi terhadap harta, atau ada hal lain yang jauh lebih gelap.

Aku berjalan mendekat, berusaha untuk berbicara dengan Kael, tetapi tiba-tiba Morren menarik lenganku. “Jangan dekati dia,” katanya dengan suara gemetar. “Ini bukan Kael yang kita kenal.”

Aku menatap Morren, bingung. “Apa maksudmu?”

“Dia sudah terperangkap,” jawabnya dengan suara rendah. “Keinginan untuk harta itu… itu yang menguasainya. Lihat matanya. Dia sudah hilang.”

Mendengar kata-kata itu, hatiku terasa semakin berat. Aku tidak ingin mempercayainya, tetapi saat aku melihat Kael lebih dekat, matanya yang biasanya tajam dan penuh percaya diri kini kosong. Tidak ada lagi rasa teman di sana, tidak ada lagi kesadaran. Dia hanya ingin menguasai, menguasai semuanya.

Tiba-tiba, peti itu bergetar, mengeluarkan cahaya terang yang menyilaukan. Semua orang terkejut dan mundur, tapi Kael tidak bergerak. Dia bahkan tersenyum lebih lebar, seolah-olah ini adalah kemenangan yang dia tunggu-tunggu.

“Aku akan mendapatkan semuanya,” katanya pelan, hampir seperti sebuah mantra.

Tapi cahaya itu, yang semula terfokus pada peti, mulai membesar. Setiap langkah yang kami ambil terasa semakin berat, semakin dipenuhi oleh ketidakpastian. Aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mengendalikan kami, sesuatu yang lebih gelap daripada yang bisa kami bayangkan.

Lalu, tanpa peringatan, peti itu terbuka dengan keras. Semua cahaya itu meluap keluar, menerangi hutan lotus yang gelap dengan cahaya putih. Di dalamnya, bukan harta karun yang kami bayangkan, bukan emas atau permata, melainkan sebuah bola kristal yang bersinar tajam. Dan di dalam bola kristal itu… ada bayangan seseorang, seorang wanita, yang sepertinya terperangkap di dalamnya.

Aku menelan ludah. “Apa… itu?” tanyaku dengan suara bergetar.

Elyra menatap bola kristal itu dengan ekspresi bingung, hampir takut. “Itu bukan harta. Itu… dia… siapa?”

Kael tidak peduli dengan pertanyaan kami. Dia hanya menatap bola kristal itu dengan tatapan penuh keinginan. “Ini yang sebenarnya. Harta yang lebih dari sekadar emas dan permata. Ini adalah kekuatan, kebebasan. Dan aku yang akan memilikinya.”

Saat dia hendak meraih bola kristal itu, aku merasa dunia seolah runtuh di sekelilingku. Hutan ini, yang tadinya tampak indah, kini terasa seperti perangkap. Semua rasa persahabatan yang kami miliki seakan hilang seketika, tergantikan oleh nafsu dan ego yang tidak terkendali.

“Kamu gila, Kael!” teriak Elyra, mencoba mendorongnya menjauh. Tapi Kael tidak peduli. Tangan itu tetap meraih bola kristal, dan begitu dia menyentuhnya, bola itu meledak dengan kekuatan yang dahsyat.

Semuanya gelap. Aku merasa dunia ini runtuh, menguburku dalam kegelapan yang tidak bisa aku pahami.

 

Kegelapan yang Abadi

Aku terbangun dengan tubuh yang lemah. Pandanganku kabur, kepalaku terasa berat, dan seluruh tubuhku sakit seperti baru saja dihantam badai. Berulang kali aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tetapi kenyataan yang ada di sekitarku tetap tak bisa hilang.

Hutan lotus—atau apa pun yang tersisa dari itu—tidak ada lagi. Yang ada hanya tanah gelap, retakan tanah yang melingkar, dan udara yang dingin seperti malam yang tak pernah berakhir. Tidak ada suara, hanya kesunyian yang menekan hingga ke dalam jiwa.

Aku berusaha untuk berdiri, tetapi tubuhku tampak menolak. Elyra dan Morren terbaring tak bergerak di dekatku. Aku melirik mereka, mencoba mencari tanda kehidupan dalam diri mereka. Elyra menggeliat sedikit, kemudian membuka matanya dengan lambat, tampak bingung, seolah-olah baru saja terjaga dari mimpi buruk yang panjang.

“Apa… apa yang terjadi?” katanya, suaranya serak. Matanya yang lelah mencari-cari sesuatu di sekelilingnya.

Morren, yang juga mulai bergerak, tampak sama bingungnya. “Kita… kita berhasil keluar dari sana, bukan? Itu bukan mimpi?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku ingin mengatakan bahwa semua itu hanya khayalan buruk, tapi kenyataan yang kami hadapi adalah lebih dari sekadar ketakutan. Hutan lotus—petualangan yang kami anggap sebagai pencarian harta—telah mengubah kami menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih terperangkap dari yang kami bayangkan. Dan Kael, yang kami anggap teman, kini menjadi kenangan yang pahit, tergantikan oleh obsesi yang mengerikan.

“Kael…” suara Elyra terhenti, lalu ia menatapku dengan wajah penuh rasa bingung. “Dia… dia tidak ada lagi, kan?”

Aku hanya bisa mengangguk. Tidak ada yang lebih membuatku ngeri selain kenyataan bahwa Kael, teman yang dulu kami percayai, telah hilang, mungkin terkubur dalam kehancuran yang dia sendiri ciptakan. Bola kristal yang dia sentuh, yang seharusnya menjadi simbol kekuasaan, malah memakan dirinya sendiri—dan kami bersamanya.

Tapi yang lebih mengerikan, aku mulai merasa bahwa kami—kami semua—telah berubah. Bukan hanya karena apa yang terjadi pada Kael, tapi karena apa yang telah kami lakukan, bagaimana kami membiarkan ambisi, nafsu, dan ego menguasai kami, merusak segala ikatan yang pernah kami miliki.

Elyra berdiri dengan tubuh yang masih gemetar. “Kita harus pergi dari sini,” katanya, nadanya terdengar putus asa. “Ini bukan tempat untuk kita.”

Aku menatapnya, dan meskipun aku tahu dia benar, aku juga merasakan sesuatu yang lebih dalam. Tempat ini, meskipun sepi dan kosong, terasa seperti bagian dari kami yang telah hilang. Seperti sebuah jejak yang tidak bisa dihapus, sesuatu yang menempel dan tak bisa terlepas. Kami tidak hanya kehilangan Kael, tetapi kami juga kehilangan bagian dari diri kami sendiri.

Morren mengangguk pelan, melangkah ke arahku. “Apa yang kita lakukan sekarang?”

Aku terdiam. Tidak ada jawaban yang mudah, tidak ada jalan keluar yang jelas. Kami datang ke sini untuk mencari harta, tetapi yang kami temui hanyalah kegelapan dan kehancuran. Keinginan kami untuk meraih sesuatu yang lebih besar dari kehidupan ini telah membawa kami ke titik ini, di mana tidak ada lagi yang tersisa selain rasa penyesalan yang semakin dalam.

Aku melihat kembali ke arah hutan yang dulu dipenuhi dengan bunga lotus yang indah. Semua itu kini hilang. Bahkan pohon-pohon lotus itu tak lagi ada. Yang ada hanya puing-puing dari sesuatu yang pernah sangat indah, sebuah ilusi yang sekarang sudah punah.

“Kita sudah tidak bisa kembali,” gumamku. “Dan kita tidak bisa lagi memperbaiki apa yang telah terjadi.”

Elyra menunduk, dan aku bisa melihat kilatan kesedihan di matanya. “Apa yang terjadi pada kita?” tanyanya, suaranya penuh kebingungan dan air mata yang tertahan. “Kita… kita benar-benar kehilangan semuanya.”

Kami berdiam dalam hening. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Setiap kata yang keluar dari mulut kami terasa hampa, seperti angin yang berbisik di tengah malam. Kami sudah terperangkap dalam dunia yang bukan milik kami, dan tidak ada jalan kembali.

“Aku… aku tidak bisa melupakan semua ini,” ujar Morren akhirnya, suaranya penuh keputusasaan. “Semua yang kita alami di sini, semua yang kita perbuat…”

Aku menatapnya, dan dalam keheningan yang mendalam, aku tahu bahwa tidak ada yang bisa menghapus semuanya. Kami telah mengorbankan terlalu banyak, mengejar sesuatu yang tidak bisa kami capai tanpa kehilangan diri kami sendiri.

Semua yang kami harapkan—harta, kekuasaan, kemenangan—ternyata hanya ilusi. Hutan lotus yang dulu memikat kami dengan keindahannya sekarang hanya meninggalkan kenangan pahit dan kehancuran. Dan Kael, yang dulu menjadi bagian dari kami, kini hanya menjadi bayangan dalam kegelapan yang tak akan pernah hilang.

“Kita… kita harus terus berjalan,” aku berkata, meskipun aku sendiri tidak tahu kemana kami akan pergi. “Mungkin… mungkin ini adalah akhir dari semuanya.”

Dengan langkah yang berat dan hati yang penuh penyesalan, kami berjalan menjauh dari tempat yang pernah menjadi tujuan kami. Hutan lotus, dengan segala misterinya, telah mengubah kami—dan kami akan tetap membawa luka itu, selamanya.

Harta karun yang kami cari ternyata bukan emas atau permata. Itu adalah sesuatu yang jauh lebih berbahaya: keinginan yang tak terkendali, obsesi yang membutakan, dan harga yang harus dibayar untuk semua itu.

Dan mungkin, hanya mungkin, kami baru benar-benar menyadari bahwa yang hilang bukan hanya harta, tapi juga diri kami sendiri.

 

Dan begitulah, mereka yang dulu berjuang bersama demi harta karun, akhirnya hanya meninggalkan bayangan diri mereka yang hilang di hutan lotus. Keinginan untuk menang, untuk mendapatkan segalanya, malah membawa mereka ke titik di mana semuanya runtuh.

Harta yang mereka cari ternyata bukan hanya milik mereka—tapi juga harga yang harus dibayar untuk setiap ambisi yang terlalu besar. Hutan lotus mungkin sudah hilang, tapi pelajaran dari sana tetap tertanam dalam ingatan. Kadang, pencarian terbesar dalam hidup adalah mencari diri kita yang sesungguhnya.

Leave a Reply