Hari Pertama di Sekolah: Kisah Sedu Hati di Bangku SD

Posted on

Masuki dunia penuh emosi dalam “Hari Pertama di Sekolah: Kisah Sedu Hati di Bangku SD”, sebuah cerpen yang menggambarkan perjalanan Zivran Lestari menghadapi ketakutan dan kehilangan di hari pertamanya di Sekolah Dasar Bukit Senja. Cerita ini mengajak Anda merasakan getirnya duka, kehangatan persahabatan, dan keberanian kecil yang lahir dari hati seorang anak. Hawkins di tengah detail yang memikat. Siapkah Anda untuk terhanyut dalam kisah penuh makna ini?

Hari Pertama di Sekolah

Langkah Kecil di Ambang Pintu

Di sebuah desa kecil bernama Bukit Senja, yang dikelilingi oleh sawah hijau dan udara sejuk pagi, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Zivran Lestari. Zivran bukan nama yang biasa terdengar di desa itu; ia dinamai begitu oleh ibunya, Salsabila, yang percaya bahwa nama itu membawa makna kekuatan dan cahaya, sesuatu yang ia harapkan bisa menjadi pelindung anaknya. Rambut Zivran berwarna cokelat tua, sedikit berantakan seperti rumput liar, dan matanya yang besar selalu menyimpan rasa ingin tahu yang tak pernah habis. Namun, di balik tatapan polosnya, ada ketakutan yang perlahan tumbuh, terutama saat ia mendengar tentang hari pertamanya di Sekolah Dasar Bukit Senja, yang hanya berjarak sepuluh menit berjalan kaki dari rumahnya.

Pagi itu, udara masih dingin, membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di tepi jalan. Zivran berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, memandangi seragam barunya yang agak longgar di tubuhnya yang kurus. Baju putih bersih dengan kerah yang sedikit kaku dan celana pendek biru tua terasa asing di kulitnya. Di tangannya, ia memegang sebuah tas ransel kecil warna cokelat yang diberikan oleh ayahnya, Tavio, sebelum ia meninggal dua tahun lalu akibat sakit yang tak kunjung sembuh. Tas itu sederhana, dengan jahitan tangan yang sedikit kasar, tapi bagi Zivran, tas itu adalah kenangan terakhir dari ayahnya, yang selalu bercerita tentang petualangan sekolahnya dulu.

“Ziv, hari ini hari besar,” kata Salsabila dari dapur, suaranya lembut namun penuh harapan. Ia mengenakan daster tua berwarna kuning, rambutnya yang panjang diikat sembarangan, dan matanya menatap Zivran dengan campuran bangga dan sedih. “Ayahmu pasti bangga lihat kamu pakai seragam itu.”

Zivran mengangguk pelan, tapi hatinya bergetar. Ia tak pernah mengenal ayahnya dengan baik—kenangannya tentang Tavio hanyalah bayangan samar seorang pria yang sering menggendongnya di pundak dan menyanyikan lagu-lagu sederhana. Kematian ayahnya meninggalkan lubang di keluarganya, dan sejak itu, Zivran sering melihat ibunya menangis diam-diam di sudut rumah, terutama saat malam tiba. Sekolah, baginya, bukan hanya tentang belajar membaca dan menulis, tetapi juga tentang langkah pertama menjauh dari ibunya, satu-satunya orang yang tersisa baginya.

Ia melangkah keluar rumah, mengikuti Salsabila yang membawakan sebotol air dan sebuah kotak bekal berisi nasi dan telur rebus. Jalan menuju sekolah dipenuhi debu halus, dengan jejak kaki anak-anak lain yang juga menuju bangunan bata merah yang berdiri megah di ujung desa. Suara tawa dan jeritan riang terdengar dari kejauhan, tapi bagi Zivran, suara itu terasa seperti gema yang asing. Ia memandang gedung sekolah dengan atap genteng merah dan jendela-jendela besar yang tampak seperti mata yang mengawasinya. Di halaman, bendera merah-putih berkibar perlahan, dan papan nama bertuliskan “SD Bukit Senja” terlihat baru, seolah baru saja dicat.

Salsabila berlutut di depan Zivran, merapikan rambutnya yang berantakan dan menyeka debu di pipinya. “Jangan takut, ya, Ziv,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu akan tunggu kamu pulang. Kalau ada apa-apa, bilang ke Bu Guru, ya?” Zivran mengangguk lagi, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia memeluk ibunya erat, mencium aroma sabun colek yang biasa digunakan Salsabila, dan untuk sesaat, ia ingin berbalik pulang, kembali ke kenyamanan rumah kecil mereka.

Namun, bel sekolah berbunyi, memecah keheningan pagi. Suara itu keras, seperti gong yang memaksa Zivran melangkah maju. Salsabila melepaskan pelukannya, tersenyum tipis, dan mendorong Zivran perlahan ke arah gerbang sekolah. Zivran berjalan dengan kaki yang terasa berat, tasnya bergoyang di punggungnya, dan ia merasa seperti meninggalkan sebagian dirinya bersama ibunya di luar gerbang. Di halaman, anak-anak lain berlarian, berteriak memanggil teman, dan beberapa di antaranya menatap Zivran dengan rasa ingin tahu. Ada seorang anak perempuan berambut pendek bernama Lirien yang tersenyum padanya, tapi Zivran hanya menunduk, takut untuk membalas.

Ia masuk ke kelas yang ditunjukkan oleh seorang guru tua bernama Bu Ratih, seorang wanita berusia lima puluhan dengan kacamata bulat dan suara yang lembut namun tegas. Kelas itu penuh dengan bangku kayu yang sudah usang, dindingnya dihiasi gambar-gambar sederhana yang digambar anak-anak tahun sebelumnya, dan papan tulis hitam yang penuh coretan kapur. Zivran duduk di sudut, dekat jendela, tempat ia bisa melihat padi-padi yang bergoyang di kejauhan. Tasnya ia letakkan di lantai, dan ia memainkan jari-jarinya di tepi meja, mencoba mengalihkan rasa takut yang semakin membesar.

Bu Ratih berdiri di depan kelas, memperkenalkan diri dengan senyum hangat, tapi Zivran tak benar-benar mendengarkan. Pikirannya melayang ke ibunya, yang mungkin masih berdiri di luar gerbang, menatapnya dengan mata penuh harapan dan duka. Ia teringat malam sebelumnya, ketika Salsabila duduk di sampingnya, bercerita tentang bagaimana ayahnya dulu senang sekolah, tentang bagaimana ia selalu pulang dengan cerita lucu tentang teman-temannya. “Kamu akan punya cerita sendiri, Ziv,” kata ibunya saat itu, tapi Zivran tak yakin ia ingin cerita itu dimulai hari ini.

Bel istirahat berbunyi, dan anak-anak berhamburan keluar kelas, tertawa dan berlomba menuju halaman. Zivran tetap di tempat duduknya, memandangi kotak bekal yang ia bawa. Ia membukanya perlahan, melihat nasi putih yang dipadatkan dengan hati-hati dan telur rebus yang sudah dikupas setengah oleh ibunya. Aroma nasi hangat membawa kenangan rumah, dan untuk pertama kalinya sejak tiba, air mata Zivran jatuh, menetes di atas telur itu. Ia menyeka wajahnya dengan lengan baju, tak ingin ada yang melihatnya menangis, tapi di sudut matanya, ia melihat Lirien berdiri di dekat pintu, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran rasa ingin tahu dan empati.

“Lapar?” tanya Lirien, suaranya kecil tapi ramah. Ia membawa sebuah roti kecil yang dibungkus daun pisang, dan menawarkannya pada Zivran. Zivran menggeleng, tapi Lirien duduk di sebelahnya, membuka kotak bekalnya sendiri yang berisi pisang rebus. “Aku juga takut tadi,” katanya, mengunyah pisangnya perlahan. “Tapi Bu Ratih baik. Kamu nggak usah takut.”

Zivran menatap Lirien, merasa sedikit lega, tapi hatinya masih berat. Ia mengangguk pelan, mengambil sejumput nasi dari kotaknya, dan memakannya dengan tangan yang gemetar. Di luar jendela, angin bertiup, menggerakkan padi-padi seperti ombak, dan untuk sesaat, Zivran merasa seperti ayahnya ada di sana, tersenyum padanya, mendorongnya untuk melangkah lebih jauh. Tapi langkah itu terasa begitu berat, dan hari pertamanya di sekolah baru saja dimulai.

Bayang di Balik Jendela

Pagi yang cerah di Bukit Senja berubah menjadi siang yang hangat, dengan sinar matahari menyelinap melalui celah-celah jendela kelas SD Bukit Senja. Zivran Lestari masih duduk di sudut ruangan, dekat jendela yang menghadap ke hamparan sawah hijau yang bergoyang lembut ditiup angin. Tas cokelat milik ayahnya kini tergeletak di lantai, sedikit berdebu setelah ia membukanya untuk mengambil kotak bekal yang sudah hampir kosong. Rasa takut yang ia bawa sejak pagi mulai mereda, digantikan oleh rasa ingin tahu yang perlahan muncul, meski hatinya masih terasa berat seperti batu yang terendam di sungai. Di sebelahnya, Lirien masih duduk, memainkan pensil kecilnya di atas kertas bergaris yang penuh dengan coretan acak.

Kelas kembali ramai setelah istirahat, dengan suara anak-anak yang berbisik dan tawa kecil yang sesekali terdengar. Bu Ratih berdiri di depan papan tulis, menulis huruf A dengan kapur putih yang meninggalkan debu halus di udara. Suaranya lembut namun tegas, menjelaskan bagaimana huruf itu adalah awal dari segalanya, seperti langkah pertama yang harus diambil Zivran di sekolah ini. Zivran mencoba mengikuti, menggenggam pensil dengan jari-jari yang sedikit berkeringat, tapi pikirannya terus melayang ke ibunya, Salsabila, yang mungkin sedang bekerja di ladang atau menunggunya di rumah dengan hati-hati.

“Lirien, tolong ajak Zivran ke depan, ya,” kata Bu Ratih, memecah lamunan Zivran. Lirien menoleh ke Zivran, tersenyum kecil, lalu mengangguk pada gurunya. “Ayo, Ziv,” bisiknya, menarik tangan Zivran dengan lembut. Zivran ragu, kakinya terasa kaku, tapi ia tak ingin menolak. Ia berdiri, mengikuti Lirien ke depan kelas, di mana sebuah papan kecil berisi huruf-huruf besar menanti. Anak-anak lain menatapnya, beberapa dengan rasa ingin tahu, beberapa dengan senyum kecil yang membuatnya semakin gugup.

Bu Ratih memberikan sepotong kapur kepadanya. “Coba tulis huruf A, Zivran,” katanya, suaranya penuh dorongan. Zivran memandang kapur di tangannya, lalu papan di depannya. Tangan kanannya bergetar saat ia mulai menggambar, garis-garis yang tak rapi dan sedikit miring. Tawa kecil terdengar dari belakang, dan wajah Zivran memerah. Ia menunduk, ingin menghilang, tapi Bu Ratih segera menepuk pundaknya dengan lembut. “Bagus untuk pertama kali,” katanya, tersenyum. “Latihan saja, ya. Semua mulai dari nol.”

Zivran kembali ke tempat duduknya, hatinya bercampur aduk antara malu dan lega. Lirien menyodorkan selembar kertas baru, di atasnya sudah ada huruf A yang rapi digambarnya. “Ini buat kamu latihan,” katanya, suaranya hangat. Zivran mengangguk, mengambil kertas itu dengan hati-hati, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang di sekolah ini yang peduli padanya.

Siang itu, pelajaran berlanjut dengan menghitung angka sederhana. Bu Ratih membagikan buku kecil berwarna kuning, penuh dengan gambar apel dan jeruk yang harus dihitung. Zivran membuka bukunya perlahan, mencium aroma kertas baru yang sedikit manis, dan ia teringat saat ayahnya pernah mengajarinya menghitung biji durian di meja makan. “Satu, dua, tiga,” gumam Zivran pelan, jari-jarinya mengikuti gambar di buku. Tapi tiba-tiba, bayangan ayahnya muncul di pikirannya—wajah Tavio yang tersenyum, suara dalamnya yang mengucap angka-angka dengan sabar. Air mata menggenang di matanya, dan ia buru-buru menyeka wajahnya dengan lengan baju sebelum ada yang melihat.

Istirahat kedua tiba, dan Zivran memutuskan untuk keluar kelas, membawa botol air yang diberikan ibunya. Ia berjalan ke halaman sekolah, tempat pohon beringin tua berdiri dengan akar-akarnya yang menjuntai seperti rambut panjang. Di bawah pohon itu, ia duduk di rumput yang sedikit basah, memandangi anak-anak lain yang bermain lompat tali dan petak umpet. Di kejauhan, ia melihat Lirien berlari bersama dua teman perempuannya, rambut pendeknya berkibar di angin. Zivran merasa sendiri, seperti pohon beringin yang berdiri tegak namun tak pernah benar-benar bergabung dengan tawa di sekitarnya.

Tiba-tiba, sebuah bola plastik bergulir ke arahnya, berhenti di samping kakinya. Zivran menatap bola itu, ragu untuk mengambilnya, tapi sebuah suara memanggilnya. “Eh, ambil dong!” teriak seorang anak laki-laki bernama Jaran, yang bertubuh lebih besar dari Zivran dengan rambut yang dipotong pendek. Zivran mengambil bola itu dengan tangan gemetar, lalu melemparkannya kembali, tapi lemparannya lemah dan bola hanya berguling beberapa meter. Jaran tertawa keras, diikuti oleh teman-temannya, dan Zivran merasa perutnya mengeras. Ia berdiri, ingin kembali ke kelas, tapi Jaran mendekat, menatapnya dengan mata yang penuh tantangan.

“Kamu baru, ya? Takut, ya?” ejek Jaran, suaranya kasar. Zivran menunduk, tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa ingin lari, kembali ke ibunya, tapi kakinya seperti membeku. Untungnya, Lirien muncul, berdiri di samping Zivran dengan tangan di pinggang. “Jaran, udah, dia nggak ngapa-ngapain,” katanya tegas. Jaran mengerutkan kening, tapi akhirnya pergi bersama teman-temannya, meninggalkan Zivran yang masih terdiam.

“Maaf tadi,” kata Lirien, duduk di samping Zivran di bawah pohon. “Jaran suka gitu, tapi dia nggak jahat kok.” Zivran mengangguk pelan, memainkan rumput di tangannya. “Terima kasih,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Lirien tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah permen dari saku bajunya, menawarkannya pada Zivran. “Ini buat kamu. Biar seneng.”

Zivran mengambil permen itu, membukanya perlahan, dan memasukkan ke mulutnya. Rasa manis mengalir di lidahnya, dan untuk sesaat, ia merasa sedikit lebih ringan. Di kejauhan, bel sekolah berbunyi lagi, memanggil mereka kembali ke kelas. Zivran berdiri, mengikuti Lirien dengan langkah yang sedikit lebih percaya diri, tapi di dalam hatinya, ia masih membawa bayangan ayahnya, ibunya, dan rasa takut yang belum sepenuhnya hilang. Di balik jendela kelas, ia memandang sawah yang bergoyang, mencoba menemukan kekuatan untuk melangkah lebih jauh di hari pertamanya yang penuh liku.

Cahaya di Tengah Kabut

Pagi di Bukit Senja berubah menjadi sore yang tenang, dengan angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering dan bunga liar yang mulai layu. Jam menunjukkan pukul 09:01 WIB, dan sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui jendela kelas SD Bukit Senja, menciptakan pola-pola cahaya di lantai kayu yang sudah usang. Zivran Lestari duduk di sudut kelasnya, dekat jendela yang menjadi tempat favoritnya, dengan tas cokelat milik ayahnya tergeletak di samping bangku. Perasaannya masih bercampur aduk setelah pertemuan singkat dengan Jaran di halaman tadi, tapi kehadiran Lirien seperti sinar kecil yang mulai menerangi hari pertamanya yang kelam. Di tangannya, ia memegang permen yang diberikan Lirien, bungkusnya sudah kusut, tapi rasa manisnya masih tersisa di lidahnya.

Kelas kembali berlangsung setelah istirahat, dengan Bu Ratih mengajarkan cara membaca kalimat sederhana dari buku teks yang berwarna kuning pucat. Halaman-halaman buku itu penuh dengan gambar anak-anak yang tersenyum, memegang buku dan pensil, sesuatu yang terasa jauh dari perasaan Zivran saat ini. Ia mencoba mengikuti, menggerakkan bibirnya perlahan mengucap, “A-ku be-lajar,” tapi suaranya terdengar pelan dan ragu. Di sebelahnya, Lirien membaca dengan lantang, suaranya jernih seperti air sungai, dan Zivran tak bisa tidak kagum padanya. Ia menatap teman barunya itu sekilas, merasa ada kehangatan yang perlahan tumbuh di dadanya, meski luka dari kehilangan ayahnya masih terasa nyeri.

Bu Ratih mendekat, membawa selembar kertas dan pensil tambahan. “Zivran, coba tulis kalimat ini,” katanya, menunjukkan kalimat sederhana: “Saya suka sekolah.” Zivran mengambil pensil itu, jari-jarinya bergetar lagi, tapi ia mencoba fokus. Huruf-huruf yang ia tulis masih miring dan tak rapi, tapi Bu Ratih mengangguk penuh pengertian. “Bagus, Zivran. Latihan lagi nanti, ya,” katanya, tersenyum hangat. Zivran mengangguk, merasa sedikit lega, tapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ia benar-benar akan menyukai sekolah ini seperti yang tertulis di kertas.

Saat pelajaran selesai, Bu Ratih mengumumkan bahwa mereka akan membuat kerajinan sederhana—membuat bunga dari kertas warna-warni. Anak-anak bersorak kecil, dan meja-meja segera dipenuhi lem, gunting, dan kertas berwarna merah, kuning, dan hijau. Zivran mengambil selembar kertas merah, mencoba melipatnya seperti yang ditunjukkan Bu Ratih, tapi tangannya terasa kaku. Ia menatap hasilnya—sebuah bunga yang tampak compang-camping, dengan kelopak yang tak simetris. Lirien, yang duduk di sampingnya, tertawa kecil. “Aku bantu, ya?” tawarnya, lalu mengambil kertas lain dan menunjukkan langkah-langkah dengan sabar. Bersama-sama, mereka membuat bunga yang lebih rapi, dan Zivran merasa senyum kecil muncul di wajahnya untuk pertama kalinya hari itu.

Namun, kebahagiaan singkat itu segera sirna ketika Jaran mendekat, membawa bola plastiknya. Ia berdiri di dekat meja Zivran, menatap bunga kertas itu dengan ekspresi sinis. “Itu bunga apa, sih? Kayak daun kering aja,” ejeknya, diikuti tawa teman-temannya yang mengelilinginya. Zivran menunduk, merasa wajahnya panas, dan ia menggenggam tepi meja dengan erat. Lirien segera berdiri, menghadang Jaran dengan tatapan tegas. “Jaran, udah, jangan ganggu dia!” bentaknya. Jaran mengerutkan kening, tapi kali ini ia mundur, meninggalkan Zivran yang masih terdiam.

Setelah kejadian itu, Zivran merasa semakin terisolasi. Ia memandangi bunga kertas di tangannya, merasa itu bukan hanya kerajinan, tapi simbol dari dirinya—rapuh dan tak sempurna. Ia menyimpan bunga itu di dalam tasnya, tak ingin membuangnya, dan memutuskan untuk keluar kelas lagi saat istirahat berikutnya. Di bawah pohon beringin tua, ia duduk sendirian, memainkan rumput di tangannya. Angin bertiup, membawa suara tawa anak-anak yang bermain, tapi bagi Zivran, suara itu terasa jauh, seperti datang dari dunia lain.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki di rumput. Lirien muncul lagi, kali ini membawa dua gelas air dari dispenser sekolah. “Minum,” katanya, menyerahkan satu gelas kepada Zivran. Zivran mengambilnya dengan ragu, lalu meminum air itu perlahan, merasakan dinginnya yang menenangkan tenggorokannya. “Kenapa kamu baik sama aku?” tanya Zivran, suaranya pelan, hampir tak terdengar.

Lirien duduk di sampingnya, memandangi sawah di kejauhan. “Karena aku tahu rasanya takut,” jawabnya, suaranya lembut. “Waktu aku masuk SD tahun lalu, aku juga takut. Tapi ada temen yang bantu aku, jadi aku mau bantu kamu.” Zivran menatapnya, merasa ada ikatan tak terucapkan di antara mereka. Ia mengangguk pelan, merasa sedikit lebih kuat, meski luka di hatinya masih terbuka.

Saat bel berbunyi lagi, Zivran kembali ke kelas dengan Lirien di sisinya. Di dalam tasnya, bunga kertas itu terasa seperti harapan kecil, sesuatu yang ia ingin pelihara. Namun, di sudut pikirannya, bayangan ayahnya muncul lagi—wajah Tavio yang tersenyum, mengajarinya melipat kertas sederhana di meja makan dulu. Zivran merasa air mata menggenang, tapi ia menahannya, memandangi Lirien yang tersenyum padanya. Di tengah kabut ketakutan dan duka, ia mulai melihat cahaya, kecil namun nyata, seperti sinar matahari yang menembus awan di atas Bukit Senja.

Langkah Baru di Bawah Matahari

Sore mulai menyelimuti Bukit Senja dengan warna jingga lembut yang melukis langit di atas SD Bukit Senja. Jam menunjukkan pukul 12:30 WIB, dan udara terasa lebih sejuk, membawa aroma tanah yang sedikit basah setelah gerimis singkat yang turun tadi. Zivran Lestari berdiri di halaman sekolah, tas cokelat peninggalan ayahnya tergantung di pundaknya, dan tangannya memegang bunga kertas merah yang ia buat bersama Lirien. Hari pertamanya di sekolah hampir usai, tapi perasaan di dadanya masih bercampur aduk—antara lega karena akan segera pulang, dan harapan kecil yang mulai tumbuh setelah kehangatan yang ia terima dari Lirien.

Kelas terakhir tadi diakhiri dengan Bu Ratih membacakan sebuah cerita pendek tentang seekor kelinci yang belajar berani. Suara Bu Ratih yang lembut dan penuh emosi membuat Zivran terpaku, membayangkan dirinya sebagai kelinci kecil yang takut melangkah keluar dari sarang. Di dalam cerita, kelinci itu akhirnya menemukan keberanian setelah bertemu seekor burung kecil yang menjadi temannya, dan Zivran tak bisa tidak memikirkan Lirien. Ia melirik ke arah teman barunya itu, yang sedang merapikan buku-bukunya di meja sebelah, rambut pendeknya sedikit berantakan setelah bermain di halaman tadi. Lirien menoleh, menangkap tatapan Zivran, dan tersenyum lebar. “Ziv, ayo ke halaman! Kita tunggu ibumu bareng,” ajaknya, suaranya penuh semangat.

Zivran mengangguk, mengikuti Lirien keluar kelas. Halaman sekolah kini lebih sepi, dengan beberapa anak masih berlarian sementara yang lain sudah dijemput oleh orang tua mereka. Di bawah pohon beringin tua, Zivran dan Lirien duduk berdampingan, memandangi jalan setapak yang menuju gerbang sekolah. Zivran memainkan bunga kertas di tangannya, kelopaknya yang tak sempurna terasa begitu berharga baginya. “Makasih, Lirien,” katanya tiba-tiba, suaranya pelan tapi tulus. “Buat tadi… buat semua.”

Lirien memandangnya, matanya berbinar. “Sama-sama, Ziv. Aku seneng kita temenan,” jawabnya, lalu mengeluarkan sebuah permen lagi dari saku bajunya. “Ini yang terakhir, kita bagi, ya?” Zivran tersenyum kecil, mengangguk, dan mereka membagi permen itu menjadi dua, menikmati rasa manis yang sederhana namun terasa begitu hangat di tengah sore yang sejuk.

Tiba-tiba, Zivran melihat sosok yang dikenalnya di kejauhan. Salsabila, ibunya, berjalan perlahan menuju gerbang sekolah, mengenakan daster kuning yang sama seperti pagi tadi, dengan sebuah payung kain sederhana di tangannya untuk melindungi diri dari sisa gerimis. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, dan wajahnya tampak lelah namun penuh harapan. Zivran bangkit, hatinya bergetar, dan ia berlari kecil menyambut ibunya, meninggalkan Lirien yang tersenyum di belakangnya.

“Ibu!” seru Zivran, suaranya penuh rindu meski mereka hanya berpisah beberapa jam. Salsabila tersenyum lebar, berlutut, dan memeluk Zivran erat, mencium keningnya yang sedikit berkeringat. “Ziv, gimana sekolahnya? Takut, nggak?” tanya Salsabila, suaranya penuh perhatian. Zivran mengangguk, lalu menggeleng, bingung dengan perasaannya sendiri. “Awalnya takut, Bu. Tapi… aku punya temen,” katanya, menoleh ke arah Lirien yang kini berjalan mendekat.

Salsabila menatap Lirien, lalu tersenyum hangat. “Terima kasih, ya, sudah temenin Zivran,” katanya, dan Lirien mengangguk sambil tersenyum malu. “Sama-sama, Tante. Zivran baik,” jawabnya, lalu melambai pada Zivran. “Sampai besok, ya, Ziv!” serunya, sebelum berlari ke arah ibunya yang juga sudah menjemput di gerbang.

Zivran dan Salsabila berjalan pulang bersama, langkah mereka perlahan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi debu halus. Zivran memegang tangan ibunya erat, merasa kehangatan yang selama ini ia rindukan sepanjang hari. Di tangan lainnya, ia memegang bunga kertas itu, dan ia mulai bercerita—tentang Bu Ratih yang baik, tentang huruf A yang ia tulis, tentang Jaran yang mengejeknya, dan tentang Lirien yang membuatnya merasa tak sendirian. Salsabila mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tersenyum atau mengangguk, tapi matanya berkaca-kaca saat Zivran menyebut ayahnya.

“Bu, tadi aku inget Ayah pas bikin bunga ini,” kata Zivran, menunjukkan bunga kertas di tangannya. “Ayah dulu ajarin aku lipat kertas, Bu. Aku kangen.” Suaranya gemetar, dan air mata yang ia tahan sepanjang hari akhirnya jatuh, menetes di debu jalan. Salsabila berhenti berjalan, berlutut lagi, dan memeluk Zivran lebih erat, membiarkan air matanya sendiri jatuh ke pundak anaknya. “Ibu juga kangen, Ziv,” bisiknya, suaranya penuh duka. “Tapi Ayah pasti seneng lihat kamu hari ini. Kamu hebat, Ziv.”

Mereka melanjutkan perjalanan pulang, langkah mereka lebih ringan meski hati mereka masih menyimpan luka. Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, menyisakan cahaya emas yang memantul di genangan air kecil di tepi jalan. Zivran memandang tas cokelat di pundaknya, bunga kertas di tangannya, dan tangan ibunya yang menggenggamnya erat. Ia teringat cerita kelinci yang dibacakan Bu Ratih tadi, dan untuk pertama kalinya, ia merasa seperti kelinci itu—takut, tapi mulai menemukan keberanian untuk melangkah keluar dari sarang.

Saat mereka sampai di depan rumah kecil mereka, Zivran berbalik, memandang jalan yang membawanya ke sekolah tadi pagi. Ia tahu, besok ia akan kembali ke sana, dengan rasa takut yang mungkin masih ada, tapi juga dengan harapan baru yang telah ia temukan. “Bu, besok aku mau bikin bunga lagi,” katanya, suaranya kecil tapi penuh tekad. Salsabila tersenyum, mengusap rambut Zivran yang berantakan. “Bikin yang lebih bagus, ya. Ibu tunggu ceritamu besok,” jawabnya, dan mereka masuk ke rumah, ditemani cahaya matahari terbenam yang hangat.

Di bawah langit Bukit Senja yang kini berwarna ungu tua, Zivran merasa bahwa hari pertamanya di sekolah bukan hanya tentang belajar huruf atau angka, tapi tentang menemukan keberanian, persahabatan, dan cara untuk membawa kenangan ayahnya dalam setiap langkah kecilnya. Dan di tangannya, bunga kertas itu menjadi simbol dari langkah baru yang ia mulai, di bawah matahari yang tak pernah berhenti bersinar.

“Hari Pertama di Sekolah” adalah lebih dari sekadar cerita tentang seorang anak di bangku SD; ini adalah cerminan perjuangan batin, kehilangan, dan harapan yang membumi. Kisah Zivran Lestari mengingatkan kita bahwa di balik setiap langkah kecil, ada keberanian besar yang menanti untuk ditemukan. Jangan lewatkan cerpen ini yang akan menggetarkan hati Anda dan membawa Anda kembali ke kenangan masa kecil yang penuh makna.

Terima kasih telah mengikuti perjalanan Zivran dalam Hari Pertama di Sekolah bersama kami. Semoga kisah ini menginspirasi dan menghangatkan hati Anda. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan jangan lupa bagikan kesan Anda di kolom komentar!

Leave a Reply