Hari Pahlawan: Cerita Inspiratif Tentang Semangat yang Tak Pernah Padam

Posted on

Pernahkah kamu merasa terinspirasi oleh semangat juang pahlawan, tapi bingung bagaimana cara menghidupkan semangat itu dalam kehidupan sehari-hari? Di artikel ini, kita bakal bahas sebuah cerita seru yang nggak cuma tentang peringatan Hari Pahlawan, tapi juga tentang bagaimana semangat itu tetap hidup di antara kita.

Dari acara seru yang penuh tawa hingga pertemuan dengan seseorang yang jadi teladan dalam mengingatkan kita akan nilai-nilai perjuangan, cerita ini bakal bikin kamu sadar bahwa pahlawan itu nggak cuma ada di buku sejarah. Mereka bisa jadi siapa saja, bahkan kamu! Yuk, simak selengkapnya dan temukan inspirasi dari kisah yang nggak biasa ini!

Hari Pahlawan

Langkah Awal Menuju Pahlawan Sejati

Pagi itu terasa berbeda. Angin yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma segar yang menandakan bahwa hari peringatan Hari Pahlawan akhirnya tiba. Di lapangan utama kota, kerumunan mulai tampak, dengan wajah-wajah ceria penuh semangat. Bendera merah putih berkibar tinggi di atas tiang, seolah menyambut setiap orang yang datang untuk merayakan.

Di sisi lapangan, Alika berdiri tegak. Rambut panjangnya yang terikat rapi bergoyang pelan diterpa angin. Ia mengenakan jaket hitam dengan tulisan “Panitia Hari Pahlawan” di belakangnya. Wajahnya sedikit tegang, namun matanya penuh keyakinan. Semua persiapan sudah selesai, tapi ada satu hal yang belum ia atasi: perasaannya yang campur aduk antara gugup dan antusias.

“Alika!” Suara seseorang memanggil dari belakang, membuat Alika menoleh. Itu Dira, sahabatnya sekaligus teman se-tim panitia yang selalu jadi tempatnya berbagi.

“Hei, Dira!” Alika menyapa dengan senyum tipis. “Kamu nggak capek bantuin ini semua?”

Dira tertawa kecil. “Capek sih capek, tapi seru juga, kan? Kayaknya tahun ini beda dari tahun-tahun sebelumnya. Ada yang spesial.”

Alika mengangguk, menyadari hal itu juga. Tahun ini, mereka memutuskan untuk membawa sesuatu yang lebih dari sekadar pidato dan upacara bendera. Mereka ingin memberi makna yang lebih dalam tentang arti menjadi pahlawan—bukan hanya mengenang mereka yang telah pergi, tetapi juga merayakan semangat kepahlawanan yang masih hidup di antara mereka.

“Susah ya, ngerencanainnya. Tapi semoga ini bisa nyentuh hati orang-orang,” ujar Alika sambil menatap panggung yang sudah siap untuk acara utama.

Dira menepuk pundaknya, seolah memberikan dukungan. “Percaya deh, kamu udah ngelakuin yang terbaik. Semua ini bakal berkesan.”

Alika tersenyum sedikit. “Iya, semoga aja. Aku cuma takut kalau nanti acara ini jadi biasa aja, kayak tahun lalu.”

“Nggak bakal! Kali ini beda. Kita bawa angklung, tari-tarian, dan banyak hal seru. Anak-anak pasti seneng banget.”

Alika menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Kamu yakin anak-anak bakal terhubung sama tema tahun ini? Pahlawan sejati itu bukan hanya orang besar, kan?”

Dira memandangnya dengan serius. “Iya, pahlawan itu bisa ada di mana-mana. Orang-orang yang bangkit setelah jatuh, yang bekerja keras demi orang lain. Mereka itu pahlawan. Pahlawan nggak harus dikenang di batu nisan.”

Mata Alika berbinar mendengar kata-kata Dira. Itulah alasan mengapa ia memilih tema ini tahun ini. Dia ingin menunjukkan bahwa pahlawan sejati ada dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya para pejuang yang mengangkat senjata, tetapi juga mereka yang melawan tantangan dalam hidup mereka dengan keteguhan hati.

“Hmm… aku berharap kamu benar,” ujar Alika, masih sedikit ragu. “Karena aku nggak mau orang cuma datang untuk dengerin pidato dan pulang. Aku ingin mereka merasa sesuatu.”

Dira mengangguk setuju. “Dan aku rasa kita udah bikin acara yang tepat. Sekarang tinggal nunggu waktunya aja.”

Tak lama setelah itu, suara dari pengeras suara terdengar, mengumumkan bahwa acara segera dimulai. Di belakang panggung, para peserta sudah bersiap, dan semua panitia mulai bergerak menuju posisi mereka. Alika bisa merasakan adrenalin mulai mengalir dalam tubuhnya, mengingatkan bahwa ia harus siap menghadapi hari besar ini.

Sebelum masuk ke dalam kerumunan, Dira memberi satu saran terakhir. “Ingat, kita bukan cuma buat acara, tapi buat pengalaman. Orang-orang akan pulang dengan perasaan yang berbeda hari ini.”

Alika menatap Dira dengan penuh keyakinan. “Aku tahu. Kita buat ini berbeda, Dira. Terima kasih sudah ada di sini.”

Dira tersenyum lebar. “Selalu ada buat kamu, Alika. Ayo, mari kita buat hari ini jadi kenangan yang nggak terlupakan.”

Dengan langkah yang lebih ringan, Alika mengikuti Dira menuju panggung utama. Semua orang sudah menunggu, dan inilah saatnya untuk memulai. Ia menatap bendera merah putih yang berkibar, teringat akan setiap pahlawan yang telah berjuang untuk tanah air ini, dan merasa lebih siap untuk membagikan semangat itu ke generasi muda.

Hari ini bukan hanya tentang mengenang pahlawan yang telah tiada, tetapi tentang bagaimana kita terus menghidupkan semangat kepahlawanan dalam langkah kita sehari-hari. Alika tahu, acara ini baru akan dimulai, dan perjalanan panjang untuk membuat semua orang memahami makna sesungguhnya dari Hari Pahlawan masih panjang. Namun, ia merasa yakin, jika hari ini bisa menginspirasi sedikit saja, itu sudah cukup.

Suara Merdu di Pagi Hari

Langit masih biru saat suara angklung pertama kali mengalun dari panggung utama. Dentingannya lembut, mengisi udara pagi dengan harmoni yang menenangkan. Penonton mulai terdiam, tersihir oleh nada-nada yang tak biasa mereka dengar di acara resmi seperti ini. Beberapa orang tua yang awalnya hanya duduk santai di pinggir lapangan pun mulai menoleh serius, seolah baru sadar ada sesuatu yang berbeda sedang terjadi.

Di tengah panggung, puluhan siswa dari SMP Bintang Sore mengenakan baju adat dari berbagai daerah. Mereka memegang angklung dengan hati-hati, memainkan nada demi nada dengan penuh konsentrasi. Tak satu pun dari mereka yang bicara. Bahkan suara langkah pun nyaris tak terdengar. Semuanya terfokus pada suara musik yang mereka ciptakan bersama.

Alika berdiri di samping panggung, memandangi mereka dengan jantung berdegup cepat. Saat suara angklung menyatu sempurna, matanya sedikit berkaca. Ia tak menyangka, penampilan ini bisa seindah ini. Dari sudut matanya, ia bisa melihat beberapa guru dan warga menahan napas, ikut terbawa suasana.

“Gila… merinding, ya,” bisik Dira yang berdiri di sebelahnya.

Alika mengangguk pelan. “Kayak… suara dari masa lalu, ya? Tapi bukan yang suram. Kayak suara yang ngajak kita buat inget siapa kita.”

Suara angklung berhenti perlahan, mengakhiri penampilan itu dengan nada rendah yang begitu syahdu. Hening sejenak menyelimuti lapangan. Lalu, tepuk tangan bergemuruh. Anak-anak itu membungkuk hormat, lalu mundur pelan-pelan ke belakang panggung. Sebagian dari mereka tersenyum lega, sebagian lagi terlihat terharu.

Setelah itu, panggung kembali tenang, bersiap untuk penampilan berikutnya: paduan suara dari SMA Pelita Timur. Mereka naik dengan langkah serempak, mengenakan setelan putih dan merah sederhana, namun rapi. Tidak ada instrumen musik kali ini, hanya suara-suara mereka yang akan mengisi langit.

Ketika lagu “Syukur” mulai dinyanyikan, suasana berubah. Lembut, dalam, dan begitu jujur. Nada-nada itu mengalir seperti air, membasahi hati siapa pun yang mendengarnya. Bahkan anak-anak kecil yang tadi berlarian kini duduk diam, mendengarkan tanpa berkata apa-apa.

Di tengah penampilan itu, seorang wanita paruh baya di bangku barisan depan mulai menangis. Ia mengenakan kerudung cokelat tua, duduk di sebelah seorang pria berambut putih. Tangisnya bukan keras, tapi jelas. Beberapa orang yang melihatnya ikut terdiam.

“Bu Retno itu ya?” gumam Dira sambil melirik. “Dia dulu istri salah satu pejuang kemerdekaan, katanya.”

Alika mengangguk pelan, menatap wanita itu dengan perasaan campur aduk. Ia tak mengenal Bu Retno secara pribadi, tapi tahu kisahnya. Suaminya adalah guru yang pernah ikut dalam aksi pemberontakan zaman penjajahan, lalu meninggal muda tanpa sempat diakui negara. Bu Retno membesarkan anak-anaknya sendirian, menjadi pahlawan dalam senyap.

“Dia yang bikin aku percaya, bahwa pahlawan itu bisa siapa aja,” kata Alika pelan.

Dira menatap sahabatnya. “Dan kamu yang bikin semua orang di sini bisa liat itu.”

Tepuk tangan kembali pecah setelah lagu terakhir selesai. Kali ini lebih keras, lebih lama. Beberapa dari anggota paduan suara terlihat menangis kecil, tapi bukan karena sedih—mereka merasa dihargai. Di sisi lain panggung, Alika menyuruh satu panitia lainnya bersiap untuk menyalakan video dokumenter singkat yang akan diputar sebelum sesi pidato.

Layar besar di tengah lapangan perlahan menyala. Video itu menampilkan cuplikan kehidupan sehari-hari orang-orang di kota itu—petugas kebersihan yang membersihkan jalan sejak subuh, guru yang mengajar di sekolah desa, sopir angkot yang tetap sabar meski jalanan macet. Di akhir video, muncul tulisan: “Pahlawan tak selalu membawa senjata. Kadang mereka hanya membawa harapan.”

Penonton kembali diam. Bahkan suara anak kecil pun tak terdengar. Seseorang di barisan belakang terlihat memegang tangan anaknya lebih erat. Wajah-wajah itu berubah—dari penasaran menjadi tersentuh.

Alika menghela napas lega. Reaksi itu yang ia harapkan. Ia tidak butuh tepuk tangan panjang, cukup satu tatapan penuh makna seperti itu, dan semua kerja kerasnya terasa sepadan.

“Lanjut ke pidato kamu, kan?” tanya Dira pelan.

Alika mengangguk, mencoba menyembunyikan gugupnya. “Iya. Tapi tenang aja, aku nggak bakal ceramah panjang-panjang kok.”

Dira tertawa kecil. “Tapi kamu bisa ngomong jujur, itu yang bikin beda.”

Saat Alika mulai berjalan ke tangga panggung, langkahnya tidak lagi berat. Ia tahu, bagian penting dari acara ini bukan hanya pertunjukan, tapi bagaimana semuanya bisa menggerakkan hati orang-orang. Dan hari itu, suara-suara dari panggung bukan hanya menghibur, tapi menyadarkan. Menyentuh. Membuka mata mereka bahwa pahlawan bisa hadir dalam bentuk apa pun—dan sering kali, mereka ada lebih dekat dari yang kita kira.

Di ujung langkahnya, Alika menatap kerumunan. Wajah-wajah yang dulu biasa kini tampak bercahaya. Ia berdiri di depan mikrofon, mengambil napas dalam-dalam, lalu memulai.

Namun kisahnya belum selesai—karena setelah pidato itu, peringatan Hari Pahlawan ini akan semakin membara, saat semangat para generasi muda benar-benar ditantang. Dan itulah yang akan terjadi, tak lama lagi.

Semangat yang Hidup di Setiap Langkah

Suaranya mantap, jernih, dan tak bergetar sedikit pun saat Alika mengucap kalimat pembuka pidatonya. Tapi jauh di dalam dadanya, degup jantung tak bisa dibohongi. Ia bukan orator ulung, bukan juga pemimpin karismatik yang biasa bicara di depan banyak orang. Tapi pagi itu, semua mata menatapnya dengan harapan. Dan itu cukup untuk membuat langkahnya tak mundur.

“Selamat pagi,” ucapnya sederhana. “Hari ini… bukan cuma hari mengenang. Tapi hari menghidupkan.”

Kalimat itu membuat suasana kembali tenang. Tak ada suara berbisik, tak ada gerakan gelisah. Semua telinga mendengarkan.

“Dulu, para pahlawan kita melangkah dengan satu tujuan: membuat kita bisa berdiri di tanah ini tanpa takut. Tapi hari ini, kita punya tugas berbeda. Kita bukan harus angkat senjata, tapi kita harus angkat hati dan semangat untuk jadi manusia yang lebih baik.”

Di barisan tengah, seorang anak laki-laki SMP mencatat sesuatu di buku kecil. Alika melihat sekilas, lalu tersenyum dalam hati.

“Aku tahu, nggak semua dari kita bisa jadi seperti mereka yang namanya ditulis di buku sejarah. Tapi bukan berarti kita nggak bisa jadi pahlawan. Setiap kali kamu bangun pagi, bantu orangtuamu, belajar sungguh-sungguh, atau bantu temanmu yang kesusahan… itu juga bentuk kepahlawanan.”

Tepuk tangan tak langsung terdengar. Tapi sorot mata penonton menguat. Seolah pidato itu bukan sekadar kata-kata, tapi cermin yang memperlihatkan bahwa setiap orang punya potensi.

Setelah Alika menutup pidatonya, suasana berubah. Bukan menjadi riuh, tapi hangat. Beberapa anak remaja terlihat berbicara pelan di antara mereka, saling bertukar pandang dan senyum kecil. Guru-guru menepuk bahu satu sama lain, dan beberapa orang tua mulai berdiri untuk bertepuk tangan.

Namun, acara belum selesai. Justru bagian paling seru baru akan dimulai.

Dira berlari kecil mendekati Alika yang baru turun dari panggung. “Udah kayak tokoh film kamu tadi. Sumpah.”

Alika nyengir sambil memijit lehernya. “Aku kira suara aku bakal gemetar. Tapi malah tenang banget.”

“Mungkin karena kamu ngomong dari hati,” jawab Dira sambil mengedipkan mata. “Oke, siap ke sesi lomba?”

“Gas,” balas Alika. “Acaranya kita bikin fun tapi tetap ada maknanya. Kamu udah siapin tim relawan untuk sesi permainan?”

“Udah. Semua siap. Anak-anak dari Karang Taruna udah standby buat jadi fasilitator.”

Lapangan berubah wajah dalam waktu singkat. Meja-meja dilapisi kain merah putih, papan-papan kayu berdiri berjejer, dan alat-alat permainan tradisional mulai dikeluarkan. Ada bakiak panjang untuk lomba berjalan bersama, ada juga permainan egrang, dan bahkan pojok khusus untuk tebak tokoh pahlawan lewat clue visual.

Peserta dibagi dalam kelompok kecil yang campur usia—ada yang terdiri dari siswa SD, mahasiswa, ibu rumah tangga, bahkan satpam perumahan. Tawa dan suara riuh mulai mendominasi udara. Semua berbaur, tanpa sekat usia atau status.

Salah satu sesi paling seru adalah saat lomba “Jalan Jejak Pahlawan”, di mana peserta harus menyelesaikan berbagai tantangan simbolik, mulai dari menjawab pertanyaan sejarah, memainkan alat musik tradisional, sampai menyusun potongan puzzle gambar pahlawan.

Seorang anak kecil bernama Gema, siswa kelas 5 SD, berlari-lari membawa potongan puzzle sambil berteriak, “Ini Bung Tomo, aku yakin banget!” Teman-temannya bersorak, bahkan seorang bapak yang ikut dalam timnya memberi jempol tinggi-tinggi.

Di sudut lain lapangan, Alika memperhatikan semuanya dengan mata berbinar. Bukan hanya karena acaranya berjalan lancar, tapi karena ia menyaksikan sendiri apa yang selama ini ia bayangkan: sebuah ruang di mana semangat gotong royong, keberanian, dan rasa hormat pada nilai-nilai lama tumbuh di tengah keseruan.

“Liat mereka,” kata Dira yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya. “Nggak ada yang pegang HP. Nggak ada yang sibuk sendiri. Semua bener-bener hadir.”

“Iya,” jawab Alika, tersenyum. “Kayak pahlawan-pahlawan kecil dalam versi mereka sendiri.”

Beberapa panitia mendekat untuk melaporkan perkembangan. Salah satu lomba akan segera selesai, dan sesi pemberian apresiasi akan dilakukan setelahnya. Tapi di balik semua itu, ada satu ide yang masih menggantung di kepala Alika—satu hal yang ingin ia lakukan sendiri, bukan sebagai panitia, tapi sebagai seseorang yang juga ingin belajar jadi pahlawan dengan caranya.

Ia menatap langit yang mulai cerah sepenuhnya, lalu berkata lirih, “Besok… aku mau ke rumah Bu Retno.”

Dira menoleh cepat. “Buat apa?”

“Cuma… pengen ngobrol. Aku mau tahu gimana rasanya jadi seseorang yang kehilangan pahlawan, tapi tetap bisa berdiri.”

Dira menatapnya dengan kagum, lalu mengangguk. “Kamu hebat, Lik.”

Alika tertawa kecil. “Aku belum hebat. Tapi aku pengen belajar dari orang yang pernah berdiri sendirian dan tetap kuat.”

Sementara matahari makin tinggi, suara tawa anak-anak makin riuh, dan langkah-langkah di lapangan itu bukan sekadar untuk permainan. Setiap tawa, setiap kerja sama, setiap tepukan tangan adalah bentuk lain dari kepahlawanan yang hidup—bukan di buku sejarah, tapi di tengah kehidupan nyata.

Dan esok hari, semangat itu akan dibawa lebih jauh lagi. Ke tempat yang lebih sunyi, namun justru menyimpan nyala semangat paling jujur.

Yang Tak Pernah Padam

Pagi hari berikutnya tidak seceria kemarin. Langit tampak mendung, dan angin bertiup lembut membawa aroma tanah basah. Jalanan kota terasa lebih tenang dari biasanya, seolah ikut memberi ruang bagi langkah-langkah kecil yang menyimpan niat besar. Di tangannya, Alika membawa sebungkus makanan kecil dan seikat bunga kenanga yang masih segar dari halaman sekolah.

Ia berhenti di depan rumah tua bercat hijau pudar. Halamannya bersih, beberapa pot bunga berjajar rapi, dan ada suara burung kecil berkicau dari kandang di pojok beranda. Alika menarik napas dalam, lalu mengetuk pelan pintu kayu yang mulai lapuk dimakan usia.

Butuh beberapa detik sebelum pintu terbuka, memperlihatkan sosok wanita paruh baya dengan senyum hangat yang langsung mengenali siapa tamunya.

“Alika, ya? Masuk, nak…”

Suara Bu Retno lembut dan bersahaja, seperti alunan tembang jawa yang menenangkan. Alika tersenyum sopan, lalu menyerahkan bungkusan dan bunga di tangannya.

“Ini… aku bawain sedikit makanan dari panitia, sama bunga. Waktu aku lihat ibu kemarin, aku ngerasa aku pengen ngobrol. Kalau ibu nggak keberatan.”

Bu Retno menatap bunga itu sejenak, lalu tersenyum tipis. “Bunganya kenanga… suamiku dulu suka banget bunga ini. Terima kasih, ya.”

Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana. Dindingnya dihiasi foto-foto lama, kebanyakan hitam putih. Salah satu bingkai besar menampilkan sosok lelaki muda berseragam, berdiri tegak dengan pandangan tajam. Di bawahnya tertulis: Surodarmo – Guru dan Pejuang.

Alika memandangi foto itu dengan diam. Lalu bertanya pelan, “Ibu… boleh aku tahu cerita tentang beliau?”

Bu Retno menatap foto itu dalam-dalam, lalu mulai bercerita. Tanpa naskah, tanpa ragu.

Dulu, Surodarmo adalah guru muda yang mengajar matematika dan sejarah. Saat penjajah datang, ia bukan orang yang mengangkat senjata pertama kali. Tapi ia menolak diam. Ia mengajar anak-anak untuk mengenali tanah airnya, membacakan puisi kemerdekaan di balik tembok sekolah, dan menyelundupkan surat-surat rahasia untuk kelompok perjuangan di desa.

“Aku masih ingat, malam terakhir sebelum dia pergi…” suara Bu Retno mulai bergetar. “Dia nggak bilang banyak. Cuma peluk aku, dan bilang… ‘kalau aku nggak pulang, jangan tangisi aku. Doain aja, semangatku tetap hidup di setiap murid yang belajar jujur dan berani.’”

Alika menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai naik ke tenggorokan. Ia tak bisa membayangkan kehilangan seperti itu. Tapi lebih dari itu, ia tak bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa terus kuat setelahnya.

“Ibu tetap di sini… sendirian, terus ngajar… sampai sekarang orang-orang hormat banget sama ibu. Itu juga bentuk kepahlawanan, Bu.”

Bu Retno tersenyum kecil. “Aku cuma terus jalan. Karena aku percaya, kalau seseorang berhenti di tengah jalan, semangat yang ditinggalkan akan ikut padam.”

Alika mengangguk. “Makanya aku ke sini. Karena aku nggak mau semangat itu padam. Aku pengen tahu, dan aku pengen lanjutkan.”

Mereka duduk dalam diam untuk sesaat. Di luar, gerimis mulai turun. Tapi tak satupun dari mereka bergeming. Di ruang itu, ada percakapan yang tak perlu diterjemahkan, tak perlu dibesarkan. Hanya ada satu benang merah yang tak terlihat, menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Semangat yang diwariskan, bukan dengan pidato panjang, tapi dengan hidup yang terus dijalani dengan hati teguh.

Sebelum pulang, Alika berdiri di depan foto Surodarmo. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya menatap dalam-dalam. Tapi dalam tatapannya, ada janji. Janji untuk tak membiarkan nama seperti itu hanya tinggal dalam bingkai. Janji untuk terus menghidupkan nilai-nilai yang telah ditinggalkan, dalam bentuk yang mungkin kecil, tapi nyata.

Sesampainya di sekolah, langit kembali cerah. Panitia sedang membereskan sisa perlengkapan acara, dan beberapa siswa membantu dengan riang. Alika bergabung, kali ini dengan langkah yang lebih ringan. Dira menyambutnya dengan tatapan penasaran.

“Gimana?” tanyanya.

Alika hanya tersenyum, lalu menjawab pelan. “Aku ngerti sekarang… kenapa Hari Pahlawan nggak boleh cuma jadi seremoni.”

Dira menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Karena semangatnya masih hidup, ya?”

Alika menoleh pada sahabatnya itu, matanya bersinar. “Iya. Dan kita yang harus terus jagain nyalanya.”

Hari itu, saat matahari kembali menyapa bumi dan langit biru menggantikan kelabu pagi, cerita tentang pahlawan tak berhenti di museum atau buku sejarah. Ia hidup di tangan anak-anak yang bermain jujur, di pikiran guru-guru yang tak lelah mengajar, di hati siapa pun yang memilih untuk peduli.

Dan di dalam diri Alika, cerita itu tidak lagi sekadar kenangan. Ia telah menjadi bagian dari langkahnya, pilihannya, dan hidupnya yang akan terus berjalan dengan semangat yang tak pernah padam.

Nah, setelah membaca cerita seru tentang peringatan Hari Pahlawan ini, semoga kamu bisa merasa terinspirasi dan menemukan cara untuk menjadi pahlawan dalam hidupmu sendiri, meskipun mungkin dengan langkah kecil.

Ingat, semangat para pahlawan nggak hanya tinggal di masa lalu, tapi hidup dalam setiap tindakan baik yang kita lakukan. Jadi, yuk, terus semangat, dan bagikan kebaikan di sekitar kita! Jangan lupa, pahlawan sejati ada di dalam hati kita, dan hari ini, kamu bisa jadi bagian dari cerita itu.

Leave a Reply