Harapan Pertama di Pesantren: Kisah Zahrain di Tengah Lembah Derita

Posted on

Selamat datang di ulasan inspiratif tentang cerpen “Harapan Pertama di Pesantren: Kisah Zahrain di Tengah Lembah Derita”, sebuah kisah yang menggugah hati tentang perjuangan seorang remaja bernama Zahrain Alfarizi di lingkungan pesantren yang penuh tantangan. Cerita ini mengajak Anda menyelami pengalaman pertama Zahrain—mulai dari kesepian, tekanan, hingga harapan kecil yang membawanya bangkit, ditemani sahabat setia dan cinta keluarga yang tak pernah padam. Siapkah Anda terhanyut dalam perjalanan emosional yang penuh makna ini?

Harapan Pertama di Pesantren

Langkah Pertama di Bawah Bayang Derita

Hari itu, matahari pagi di Desa Cikahuripan terasa berbeda bagi Zahrain Alfarizi. Udara segar yang biasanya membawa aroma tanah basah dan bunga melati dari kebun belakang rumahnya kini bercampur dengan aroma asap rokok yang mengepul dari mulut ayahnya, Pak Harun, yang duduk lesu di teras rumah bambu. Zahrain, anak laki-laki berusia 14 tahun dengan rambut ikal hitam yang sedikit berantakan dan mata cokelat yang penuh keraguan, berdiri di ambang pintu dengan tas kain lusuh di pundaknya. Tas itu penuh sesak dengan pakaian sederhana, sebuah mushaf kecil yang sudah usang, dan sebotol air yang ibunya, Bu Laili, isi dengan air kelapa dari pohon di halaman. Hari ini adalah hari pertamanya meninggalkan rumah untuk memulai hidup di Pesantren Al-Hikmah, sebuah tempat yang selama ini hanya ia dengar dari cerita tetangga—tempat yang konon penuh dengan ilmu, tapi juga penuh dengan ujian.

“Zah, jaga diri ya. Jangan bikin malu keluarga,” ujar Pak Harun dengan suara parau, matanya tidak menatap Zahrain, tapi ke arah jalan setapak yang berdebu menuju desa. Suara ayahnya terdengar dingin, tapi Zahrain tahu ada kekhawatiran tersembunyi di balik kata-kata itu. Pak Harun adalah seorang petani yang baru saja kehilangan sebagian besar sawahnya akibat banjir beberapa bulan lalu, dan keputusan mengirim Zahrain ke pesantren bukan semata-mata karena keinginan belajar, melainkan karena kebutuhan ekonomi. Bu Laili, dengan wajah pucat dan tangan yang masih basah karena mencuci pakaian, memeluk Zahrain erat, air mata menetes di pipinya yang keriput. “Ibu doakan kamu kuat, Nak. Jangan lupa ibu sama ayah di sini,” bisiknya, suaranya bergetar.

Zahrain mengangguk pelan, tapi hatinya bergetar. Ia tidak ingin pergi. Ia tahu pesantren itu jauh, terletak di lembah terpencil yang butuh perjalanan dua jam dengan ojek motor tua milik Pak Joko, tetangga mereka. Ia juga mendengar cerita tentang disiplin ketat, tidur di asrama yang dingin, dan makanan yang kadang hanya nasi dengan garam. Tapi yang paling membuatnya takut adalah ketiadaan keluarganya. Zahrain adalah anak tunggal, dan meski ia sering bertengkar kecil dengan ayahnya, kehadiran Bu Laili selalu menjadi penutup luka di hatinya. Kini, ia harus meninggalkan mereka demi harapan baru—harapan yang ia sendiri tidak yakin bisa ia wujudkan.

Perjalanan menuju pesantren dimulai dengan bunyi klakson motor Pak Joko yang usang. Zahrain duduk di belakang, memeluk tasnya erat, merasakan getaran mesin yang membuat tulang punggungnya sakit. Angin menerpa wajahnya, membawa debu jalan tanah yang membuat matanya perih. Sepanjang perjalanan, ia memandang padi-padi yang bergoyang di sisi jalan, mencoba mengingat setiap detail desanya—sungai kecil tempat ia bermain, warung Bu Siti yang menjual es campur murah, dan suara adzan dari masjid yang selalu mengingatkannya pada ibunya. Setiap kilometer yang ditempuh terasa seperti pisau yang perlahan menyayat hatinya.

Setelah dua jam yang terasa seperti selamanya, motor berhenti di depan gerbang besar dari kayu tua yang sudah lapuk, ditempeli papan bertuliskan “Pesantren Al-Hikmah” dengan cat yang mulai mengelupas. Di balik gerbang, Zahrain melihat bangunan-bangunan sederhana dari beton dan kayu, dikelilingi oleh pepohonan pinus yang tinggi menjulang. Suasana sepi hanya dipecah oleh suara ayam berkokok dan langkah kaki santri yang berjalan menuju masjid kecil di tengah kompleks. Pak Joko menepuk bahunya, “Ini dia, Zah. Semoga sukses ya, nak,” ucapnya sebelum membalik motor dan pergi, meninggalkan Zahrain sendirian di depan gerbang.

Zahrain menghela napas dalam, melangkah masuk dengan hati-hati. Ia disambut oleh seorang ustaz tua berjenggot putih, Ustaz Qamari, yang memandangnya dengan mata tajam tapi penuh kelembutan. “Selamat datang, Zahrain. Kamu datang tepat waktu untuk pembukaan tahun ajaran baru. Ikut saya,” kata Ustaz Qamari dengan suara dalam yang menenangkan. Zahrain mengangguk, tapi kakinya terasa berat seperti ditarik ke belakang oleh bayangan ibunya yang menangis tadi pagi.

Ustaz Qamari membawanya ke asrama laki-laki, sebuah bangunan panjang dengan dinding abu-abu yang sudah retak di beberapa tempat. Di dalam, ia melihat barisan ranjang kayu sederhana yang dipenuhi tikar tipis dan bantal kecil. Santri-santri lain sudah berkumpul, sebagian duduk membaca kitab, sebagian lagi berbisik tentang kehidupan baru mereka. Zahrain diberi ranjang di ujung ruangan, dekat jendela yang menghadap ke lembah hijau. Ia meletakkan tasnya, membukanya perlahan, dan mengeluarkan mushaf kecilnya. Saat ia membukanya, aroma kertas tua yang familiar membawanya kembali ke pelukan ibunya, dan air mata pertama menetes di halaman pertama Al-Fatihah.

Malam itu, setelah sholat maghrib bersama, Zahrain duduk di sudut asrama, memandang ke luar jendela. Angin malam membawa suara jangkrik dan daun pinus yang bergoyang, tapi juga membawa kesepian yang menusuk. Ia bertemu dengan Firzhan, seorang santri kurus dengan mata sipit dan senyum malu-malu, yang duduk di ranjang sebelahnya. “Kamu baru, ya? Aku Firzhan. Dari desa sebelah. Jangan takut, lama-lama biasa kok,” kata Firzhan dengan nada ceria, mencoba menghibur. Zahrain hanya mengangguk, tapi hatinya masih terasa kosong.

Pukul sembilan malam, lampu asrama dimatikan, dan Zahrain berbaring di tikar tipisnya. Dingin menyelinap melalui celah-celah dinding, membuatnya menggigil. Ia menutup mata, mencoba tidur, tapi bayangan wajah ibunya yang menangis terus muncul, bercampur dengan suara ayahnya yang dingin. Air matanya jatuh lagi, membasahi bantal kecilnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendirian. Di tengah kegelapan, ia berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk menghadapi hari-hari berikutnya, sambil berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan membuat keluarganya bangga, meski hati kecilnya masih ragu apakah ia mampu.

Hari Pertama di Antara Aturan dan Kesepian

Pagi di Pesantren Al-Hikmah dimulai jauh sebelum matahari muncul di ufuk timur. Suara adzan subuh berkumandang dari masjid kecil di tengah kompleks pada pukul 04:30 pagi, menggema di lembah yang masih diselimuti kabut tipis. Zahrain Alfarizi terbangun dengan kaget, tubuhnya terasa kaku setelah malam yang penuh gelisah di atas tikar tipis. Matanya terasa perih akibat air mata yang mengering semalaman, dan dinginnya udara pagi menyelinap melalui celah-celah dinding asrama, membuatnya menggigil. Ia duduk perlahan di ranjang kayunya, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Santri-santri lain sudah mulai bergerak, beberapa melipat tikar mereka dengan rapi, sementara yang lain berjalan menuju kamar mandi dengan handuk kecil di bahu.

“Zah, ayo cepet! Jangan telat buat sholat subuh, nanti kena hukuman,” bisik Firzhan dari ranjang sebelah, suaranya masih serak karena baru bangun. Santri kurus dengan mata sipit itu sudah berdiri, mengenakan sarung biru tua yang sedikit kusut dan peci hitam yang agak miring di kepalanya. Zahrain mengangguk pelan, tapi tubuhnya terasa berat, seolah setiap langkah membutuhkan tenaga yang tidak ia miliki. Ia mengambil wudu dengan air yang terasa seperti es di bak mandi bersama, tangannya gemetar saat membasuh wajahnya. Air itu membawa kesegaran, tapi juga membawa kenangan akan pagi-pagi di rumah, ketika ibunya selalu menyediakan air hangat di ember kecil untuknya. Rasa rindu itu kembali menusuk, membuat dadanya sesak.

Setelah sholat subuh berjamaah di masjid, Zahrain mengikuti barisan santri menuju lapangan kecil di depan asrama untuk apel pagi. Udara masih dingin, dan kabut tipis menyelimuti lembah, membuat pemandangan di sekitar pesantren terasa seperti lukisan yang suram. Ustaz Qamari berdiri di depan barisan, jenggot putihnya berkilau di bawah sinar lampu neon yang redup. “Selamat pagi, anak-anakku. Hari ini adalah hari pertama kalian memulai perjalanan menuntut ilmu di Pesantren Al-Hikmah. Ingat, di sini kalian bukan hanya belajar agama, tapi juga belajar menjadi manusia yang tangguh. Aturan harus dipatuhi, dan kebersamaan harus dijaga,” ujarnya dengan suara yang tegas tapi penuh kebijaksanaan. Zahrain mendengarkan dengan setengah hati, pikirannya masih terpecah antara keinginan untuk lari pulang dan keharusan untuk bertahan.

Setelah apel, para santri dibagi menjadi beberapa kelompok untuk kegiatan pagi: ada yang membersihkan asrama, ada yang menyapu halaman, dan ada yang membantu di dapur. Zahrain dan Firzhan masuk kelompok yang bertugas menyapu halaman masjid. Mereka diberi sapu lidi yang sudah tua, gagangnya sedikit bengkok, dan daun-daun pinus yang berguguran di halaman terasa tak ada habisnya. “Ini kerjaan tiap hari, Zah. Sabar aja, nanti juga biasa,” kata Firzhan sambil menyapu dengan gerakan cepat, senyum kecil di wajahnya seolah mencoba menghibur. Zahrain hanya mengangguk, tangannya bergerak mekanis menyapu daun-daun itu, tapi pikirannya melayang ke sawah di desanya, tempat ia sering membantu ayahnya mencabut rumput liar. Di sini, semuanya terasa asing—bau pinus yang tajam, suara santri yang berbisik dalam bahasa yang kadang ia tak pahami, dan aturan ketat yang membuatnya merasa seperti burung yang dikurung.

Saat matahari mulai terbit, cahaya keemasan menyelinap melalui celah-celah pohon pinus, menerangi halaman masjid yang kini sudah bersih. Zahrain duduk di tepi tangga masjid untuk beristirahat, tangannya penuh lecet kecil akibat gagang sapu yang kasar. Firzhan duduk di sampingnya, mengeluarkan sepotong roti tawar dari saku celananya. “Mau? Aku bawa dari rumah, ini sisa terakhir,” tawar Firzhan sambil membelah roti itu menjadi dua. Zahrain menggeleng pelan, “Nggak usah, Fir. Makasih ya,” jawabnya, suaranya pelan. Ia tidak lapar, tapi hatinya terasa kosong. Ia memandang ke arah lembah, mencoba membayangkan desanya yang kini terasa begitu jauh.

Setelah kegiatan pagi selesai, para santri berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Ruang makan itu sederhana, dengan meja-meja kayu panjang dan bangku yang sudah usang. Menu pagi itu adalah nasi putih dengan sayur kol rebus dan sepotong tempe goreng yang kecil. Zahrain mengambil porsi kecil, duduk di sudut meja bersama Firzhan. Ia memandang piringnya, teringat masakan ibunya—sayur daun singkong dengan ikan asin yang selalu disajikan dengan cinta. Nasi di depannya terasa hambar, tapi ia memaksakan diri untuk makan, karena Firzhan terus mengajaknya mengobrol tentang desanya. “Aku dulu juga kangen rumah, Zah. Tapi di sini kita bisa dapet ilmu. Nanti kalau udah pintar, kita bisa bantu keluarga,” kata Firzhan sambil tersenyum, tapi Zahrain hanya bisa mengangguk, menahan air mata yang kembali menggenang.

Setelah sarapan, kegiatan belajar dimulai. Zahrain masuk ke kelas tahfiz, di mana para santri diajari menghafal Al-Qur’an. Guru mereka, Ustaz Rifqi, adalah seorang pria muda dengan suara lembut tapi tegas. Ia membagikan jadwal harian yang padat: pagi untuk hafalan, siang untuk pelajaran fiqih dan akhlak, dan malam untuk tadarus bersama. Zahrain duduk di barisan belakang, mencoba fokus pada ayat-ayat yang dibacakan, tapi pikirannya terus melayang. Ia merasa tertinggal, karena sebagian besar santri lain sudah hafal beberapa surah pendek, sedangkan ia baru mulai dengan Al-Fatihah yang sudah ia baca berkali-kali sejak kecil, tapi belum lancar.

Saat gilirannya membaca, suara Zahrani bergetar, beberapa kata terbata-bata. Ustaz Rifqi menatapnya dengan sabar, tapi santri di sebelahnya, seorang anak laki-laki bernama Ghazlan, terkekeh kecil. “Dasar anak desa, baca Fatihah aja gitu,” bisik Ghazlan pada temannya, suaranya cukup keras untuk didengar Zahrain. Wajah Zahrain memerah, tangannya mencengkeram mushaf dengan erat, rasa malu dan kemarahan bercampur menjadi satu. Ustaz Rifqi menegur Ghazlan dengan lembut, “Setiap orang punya langkah awalnya masing-masing. Jangan menjatuhkan teman.” Tapi teguran itu tidak cukup untuk menghapus rasa malu yang sudah terlanjur mengakar di hati Zahrain.

Siang itu, setelah pelajaran selesai, Zahrain memilih untuk menyendiri di belakang masjid, duduk di bawah pohon pinus yang rindang. Ia membuka mushafnya, mencoba menghafal lagi, tapi kata-kata itu seolah menolak di tenggorokannya. Air matanya jatuh lagi, menetes di halaman mushaf yang terbuka. “Bu, aku nggak kuat…” bisiknya, suaranya parau, memandang ke langit yang kini mulai mendung. Hujan mulai turun perlahan, membasahi wajahnya, tapi Zahrain tidak bergerak, membiarkan air hujan bercampur dengan air matanya. Di kejauhan, ia mendengar suara Firzhan memanggilnya, “Zah, masuk! Nanti sakit!” Tapi Zahrain hanya diam, merasa hujan itu adalah satu-satunya yang memahami kesepiannya.

Malam hari, setelah tadarus bersama, Zahrain kembali ke asrama. Ia melihat Firzhan sedang menulis sesuatu di buku kecilnya, ternyata sebuah surat untuk keluarga di desa. “Aku tulis tiap minggu, biar mereka tahu aku baik-baik aja,” kata Firzhan sambil tersenyum. Zahrain tersenyum kecil, pertama kalinya sepanjang hari itu, terinspirasi oleh semangat Firzhan. Ia mengambil selembar kertas dari tasnya, dan dengan tangan gemetar, ia menulis: “Bu, Ibu, Ayah… aku kangen. Tapi aku akan coba kuat di sini. Doain aku ya.” Surat itu belum selesai, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah harapan kecil di hatinya—harapan untuk bertahan, meski langkahnya masih tertatih.

Bayang-bayang Harapan di Tengah Hujan

Hari kedua Zahrain di Pesantren Al-Hikmah dimulai dengan suara adzan subuh yang kembali menggema di lembah, kali ini terasa lebih familiar di telinganya, meski dingin pagi masih menusuk hingga ke tulang. Pukul 04:30 pagi, Rabu, 04 Juni 2024, Zahrain terbangun dengan tubuh yang masih lelet, tapi matanya tidak lagi seberat kemarin. Hujan semalam yang membasahi wajahnya di bawah pohon pinus telah meninggalkan jejak—pilek kecil yang membuat hidungnya mampet, tapi juga perasaan lega yang samar di hatinya setelah menulis surat untuk ibunya. Ia duduk di ranjang kayunya, memandang Firzhan yang sudah bangun dan sedang melipat tikar dengan rapi, senyum kecil di wajah sahabat barunya itu terasa seperti sinar matahari pagi yang menyelinap melalui celah-celah dinding asrama.

“Zah, kamu pilek ya? Aku punya minyak kayu putih kalau mau,” tawar Firzhan sambil mengeluarkan botol kecil dari tasnya, aroma menyengat dari minyak itu langsung memenuhi udara di sekitar mereka. Zahrain mengangguk pelan, menerima botol itu dengan tangan yang masih sedikit gemetar akibat dingin. “Makasih, Fir,” katanya, suaranya serak, tapi ada kehangatan di nadanya. Ia mengoleskan minyak itu di dada dan lehernya, merasakan sensasi hangat yang perlahan menyebar, seolah mengingatkannya pada tangan ibunya yang selalu menggosokkan minyak saat ia sakit di rumah. Rasa rindu itu kembali muncul, tapi kali ini ia mencoba menahannya, mengingat janji kecil yang ia buat semalam—untuk bertahan.

Setelah sholat subuh berjamaah, para santri kembali ke lapangan untuk apel pagi. Kabut masih menyelimuti lembah, tapi sinar matahari pagi mulai menembus, menciptakan kilauan lembut di dedaunan pinus yang basah. Ustaz Qamari berdiri di depan barisan, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius. “Hari ini kita akan mulai dengan ujian kecil untuk mengukur kemampuan kalian dalam hafalan. Siapkan diri, dan jangan lupa berdoa,” katanya, suaranya menggema di udara pagi yang sepi. Zahrain merasa jantungnya berdetak lebih cepat, rasa takut kembali muncul. Ia belum lancar membaca Al-Fatihah kemarin, dan ejekan Ghazlan masih terngiang di telinganya, membuatnya merasa kecil dan tidak berdaya.

Setelah apel, para santri kembali ke kelas tahfiz. Ruangan itu sederhana, dengan dinding kayu yang sudah usang dan papan tulis kecil di depan. Ustaz Rifqi, guru mereka, duduk di kursi kayu dengan kitab di tangannya, matanya menyapu para santri satu per satu. “Kita mulai dari barisan belakang. Zahrain, ke depan,” panggilnya dengan suara lembut tapi tegas. Zahrain membeku sejenak, tangannya mencengkeram mushaf kecilnya dengan erat, keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Ia melangkah perlahan ke depan, merasakan tatapan puluhan pasang mata yang tertuju padanya, termasuk tatapan sinis dari Ghazlan yang duduk di barisan tengah.

“Silakan baca Al-Fatihah, lalu kita lanjutkan dengan tiga ayat pertama dari Al-Baqarah,” kata Ustaz Rifqi, matanya penuh harap tapi juga penuh perhatian. Zahrain menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi suaranya bergetar saat mulai membaca: “Bismillahirrahmanirrahim… Alhamdulillahi rabbil ‘alamin…” Ia berhenti di tengah ayat, lupa kata berikutnya, dan wajahnya memerah. Tawa kecil dari Ghazlan kembali terdengar, disusul bisikan teman di sebelahnya, “Udah bilang kan, anak desa gitu.” Zahrain menunduk, rasa malu dan kemarahan bercampur menjadi satu, membuat matanya berkaca-kaca.

Ustaz Rifqi mengangkat tangan, meminta kelas untuk diam. “Zahrain, tidak apa-apa. Ini baru awal. Duduk dulu, kita lanjutkan besok,” katanya dengan nada yang menenangkan, tapi Zahrain merasa seperti gagal total. Ia kembali ke tempat duduknya dengan langkah gontai, tangannya mencengkeram mushaf lebih erat, seolah ingin menghilang dari ruangan itu. Firzhan menepuk bahunya pelan, “Sabar ya, Zah. Aku dulu juga gitu. Kita belajar bareng nanti malam, ya,” bisiknya, suaranya penuh dukungan. Zahrain hanya mengangguk, tapi hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk oleh kata-kata Ghazlan.

Setelah pelajaran tahfiz selesai, para santri berpindah ke kelas fiqih di ruang sebelah. Zahrain duduk di barisan belakang lagi, mencoba menyembunyikan diri dari perhatian. Tapi Ghazlan, yang duduk tidak jauh darinya, terus melontarkan komentar kecil yang menyakitkan. “Eh, Zahrain, nanti kalau sholat jangan lupa baca nanya samaan, ya,” katanya sambil terkekeh, membuat beberapa santri lain ikut tertawa. Zahrain menunduk, tangannya mengepal di bawah meja, tapi ia tidak membalas. Ia tidak tahu caranya melawan, dan ia takut situasi akan semakin buruk jika ia membuka mulut. Firzhan menatap Ghazlan dengan kesal, tapi ia juga tidak berani berkata banyak, hanya tahu bahwa sahabatnya sedang menderita.

Siang itu, setelah sholat dzhuhur dan makan siang dengan menu nasi dengan sayur kangkung dan telur ceplok yang sama hambarnya seperti kemarin, Zahrain memilih untuk menyendiri lagi. Kali ini, ia pergi ke tepi lembah, tempat yang lebih sepi, di mana ia bisa mendengar suara gemericik air kecil dari sungai di bawah. Ia duduk di atas batu besar yang dingin, memandang ke kejauhan, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. “Bu, aku gak tau apa aku bisa bertahan…” bisiknya, suaranya parau, memandang langit yang kini kembali mendung. Hujan mulai turun lagi, tapi kali ini ia tidak membiarkan dirinya basah. Ia berlindung di bawah pohon pinus, memeluk mushafnya erat, dan mencoba menghafal lagi, meski kata-kata itu masih terasa asing di lidahnya.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki mendekat. Firzhan muncul dari balik semak, membawa sebotol air dan sepotong kue kecil yang ia simpan dari makan siang. “Aku tahu kamu di sini,” katanya sambil tersenyum, duduk di samping Zahrain. “Jangan biarin Ghazlan bikin kamu down, Zah. Dia emang gitu, suka cari masalah. Tapi aku tahu, kamu bisa lebih baik dari dia.” Firzhan membuka botol air dan menyodorkannya, “Minum dulu. Nanti malam kita hafal bareng, aku bantu kamu.”

Zahrain menerima botol itu, air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ada kehangatan di hatinya. “Makasih, Fir… aku nggak tahu apa yang aku lakuin tanpa kamu,” katanya, suaranya serak tapi penuh rasa terima kasih. Mereka duduk bersama di bawah pohon, berbagi kue kecil itu sambil menghafal ayat demi ayat, dengan hujan sebagai saksi bisu dari persahabatan yang mulai tumbuh di antara mereka.

Malam itu, setelah tadarus bersama, Zahrain dan Firzhan duduk di sudut asrama, membaca Al-Qur’an dengan suara pelan. Zahrain merasa lebih percaya diri, meskipun masih terbata-bata, tapi Firzhan selalu sabar membantunya, mengoreksi setiap kesalahan dengan lembut. Di tengah malam yang dingin, Zahrain merasa ada seberkas harapan kecil yang mulai menyala—harapan bahwa ia bisa bertahan, bahwa ia bisa membuat ibunya bangga.

Tapi di sudut lain asrama, Ghazlan memandang mereka dengan tatapan penuh dendam. Ia tidak suka melihat Zahrain yang mulai bangkit, dan di hatinya, ia merencanakan sesuatu untuk membuat Zahrain jatuh lebih dalam lagi. “Kita lihat berapa lama kamu bisa bertahan, anak desa,” gumamnya dalam hati, sebelum mematikan lampu dan berbaring di ranjangnya, meninggalkan malam yang penuh ketegangan yang belum terselesaikan.

Cahaya di Ujung Lembah

Pagi hari keempat Zahrain di Pesantren Al-Hikmah terasa berbeda, meski langit masih diselimuti awan tebal yang mengisyaratkan hujan. Pukul 04:30 pagi, Rabu, 04 Juni 2024, suara adzan subuh kembali membangunkannya, tapi kali ini Zahrain bangun dengan sedikit lebih ringan. Tiga hari terakhir telah mengajarinya banyak hal—kesepian yang menusuk, tekanan dari Ghazlan, dan dukungan tulus dari Firzhan. Pileknya sudah membaik berkat minyak kayu putih Firzhan, dan hatinya mulai terbiasa dengan ritme pesantren, meski rasa rindu pada ibunya, Bu Laili, masih menghantui setiap sudut pikirannya. Ia melipat tikar dengan rapi, mengikuti gerakan Firzhan yang sudah lincah, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit keberanian di dalam dirinya.

Setelah sholat subuh dan apel pagi, Ustaz Qamari mengumumkan bahwa hari itu akan diadakan ujian hafalan tahunan untuk santri baru. “Ini kesempatan kalian untuk menunjukkan usaha kalian. Jangan takut gagal, karena kegagalan adalah guru terbaik,” kata Ustaz Qamari dengan suara yang penuh semangat, tapi bagi Zahrain, kata-kata itu terasa seperti beban baru. Ia hanya bisa menghafal Al-Fatihah dan beberapa ayat awal Al-Baqarah, berkat bantuan Firzhan malam-malam ini, tapi ia tahu itu belum cukup dibandingkan santri lain yang sudah hafal puluhan ayat. Ghazlan, yang berdiri tidak jauh darinya, memandangnya dengan senyum sinis, seolah sudah memastikan kemenangannya.

Ujian dimulai setelah sholat dzhuhur, di ruang tahfiz yang kini terasa lebih penuh tekanan. Ustaz Rifqi duduk di depan dengan daftar nama, sementara para santri duduk dalam barisan rapat, mushaf mereka terbuka di hadapan. Zahrain duduk di barisan belakang bersama Firzhan, tangannya berkeringat, jantungnya berdegup kencang. “Kamu bisa, Zah. Aku percaya sama kamu,” bisik Firzhan, matanya penuh dukungan. Zahrain mengangguk, tapi rasa takut masih menguasai dirinya.

Saat gilirannya tiba, Zahrain berdiri dengan kaki gemetar, melangkah ke depan di bawah tatapan puluhan pasang mata. Ustaz Rifqi tersenyum kecil, “Zahrain, silakan hafalkan apa yang kamu bisa.” Zahrain menarik napas dalam, menutup matanya sejenak, dan mulai membaca: “Bismillahirrahmanirrahim… Alhamdulillahi rabbil ‘alamin… Arrahmanirrahim…” Suaranya masih bergetar di awal, tapi perlahan menjadi lebih mantap saat ia melanjutkan hingga ayat ketiga Al-Baqarah. Ia berhenti, menunduk, menanti penilaian. Ruangan hening, lalu Ustaz Rifqi mengangguk, “Bagus, Zahrain. Ada kemajuan. Lanjutkan usahamu.” Teriakan kecil kemenangan terdengar dari Firzhan, tapi Zahrain hanya tersenyum tipis, merasa lega sekaligus malu.

Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama. Saat ia kembali ke tempat duduknya, Ghazlan berdiri, siap untuk ujiannya. Dengan percaya diri, Ghazlan menghafal hingga sepuluh ayat Al-Baqarah dengan lancar, mendapatkan pujian dari Ustaz Rifqi. Setelah selesai, Ghazlan berbalik ke arah Zahrain, “Lihat, anak desa. Ini baru hafalan beneran,” katanya keras, membuat beberapa santri tertawa. Zahrain menunduk lagi, rasa malu dan kemarahan kembali membakar dadanya. Ia ingin membalas, tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokan.

Sore itu, setelah kegiatan selesai, Zahrain duduk di tepi lembah lagi, memandang sungai kecil yang mengalir di bawah. Hujan mulai turun, tapi ia tidak bergerak, membiarkan air membasahi wajahnya. Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki cepat mendekat. Ghazlan muncul, wajahnya penuh dendam, diikuti dua temannya. “Kamu pikir kamu bisa bersaing sama aku, ya?” bentak Ghazlan, mendorong Zahrain hingga terjatuh ke tanah basah. “Kamu cuma sampah desa yang nggak pantas di sini!” tambahnya, menendang tas Zahrain hingga mushafnya terjatuh dan basah kuyup.

Zahrain terdiam, air matanya bercampur hujan, tapi ia tidak menangis. Dalam hati, ia merasa ada kekuatan baru yang bangkit. Ia berdiri perlahan, menatap Ghazlan dengan mata yang penuh tekad. “Aku mungkin lambat, tapi aku nggak akan nyerah. Kamu bisa ejek aku, tapi aku akan buktikan aku bisa,” katanya, suaranya tegas meski bergetar. Ghazlan terkejut, tapi ia hanya terkekeh, “Kita lihat nanti!” katanya sebelum pergi bersama temannya, meninggalkan Zahrain sendirian.

Firzhan datang beberapa menit kemudian, membawa payung kecil dan kain untuk mengelap mushaf Zahrain. “Zah, kamu hebat tadi. Aku denger semua,” katanya, matanya penuh kekaguman. Zahrain tersenyum tipis, mengambil mushafnya yang basah, dan bersama Firzhan, mereka kembali ke asrama. Malam itu, setelah tadarus, Zahrain duduk di ranjangnya, membuka mushaf yang sudah dikeringkan, dan membaca lagi dengan suara pelan. Firzhan duduk di sampingnya, membantu mengoreksi, dan untuk pertama kalinya, Zahrain merasa ada harapan yang nyata.

Keesokan harinya, saat Ustaz Qamari mengumumkan hasil ujian, nama Zahrain disebut sebagai salah satu yang menunjukkan kemajuan paling signifikan, meski belum sempurna. Ghazlan hanya bisa diam, tatapannya penuh kekesalan, tapi Zahrain tidak peduli. Setelah pengumuman, ia menerima surat dari ibunya, yang dikirim melalui petugas desa. “Nak, Ibu bangga sama kamu. Terus belajar, ya. Ibu doa buat kamu setiap hari,” tulis Bu Laili dengan tulisan tangan yang sedikit gemetar. Air mata Zahrain jatuh lagi, tapi kali ini air mata haru, bukan kesedihan. Ia memeluk surat itu, merasa kekuatan cinta keluarganya mengalir dalam dirinya.

Hari itu, saat matahari mulai tenggelam, Zahrain berdiri di tepi lembah, memandang lembah hijau yang kini terlihat indah di matanya. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap menghadapi semua ujian. Di sampingnya, Firzhan tersenyum, dan di kejauhan, suara adzan maghrib berkumandang, membawa harapan baru di tengah lembah derita yang pernah ia takuti.

Cerpen “Harapan Pertama di Pesantren: Kisah Zahrain di Tengah Lembah Derita” bukan hanya sekadar cerita tentang kehidupan pesantren, tetapi juga sebuah cerminan tentang kekuatan cinta keluarga dan persahabatan yang mampu mengubah derita menjadi harapan. Kisah Zahrain mengajarkan kita bahwa di balik setiap tantangan, selalu ada cahaya yang menanti—sebuah pelajaran berharga bagi siapa saja yang sedang berjuang menjalani hidup.

Terima kasih telah menyimak ulasan “Harapan Pertama di Pesantren: Kisah Zahrain di Tengah Lembah Derita”, semoga kisah ini membawa inspirasi dan kehangatan di hati Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk terus mencari cerita-cerita penuh makna yang dapat mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan!

Leave a Reply