Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Dalam kehidupan remaja, kadang ada momen yang penuh haru dan tak terduga. Salah satunya adalah ketika mantan yang pernah pergi, tiba-tiba kembali hadir. Cerpen ini mengisahkan perjalanan emosional Hanif, seorang anak SMA yang gaul dan punya banyak teman, yang bertemu kembali dengan mantannya, Kina.
Penuh dengan perjuangan, kebingungannya, dan perasaan yang belum sepenuhnya sembuh, kisah ini menawarkan gambaran bagaimana rasanya membuka lembaran lama yang penuh dengan kenangan, dan menghadapi pilihan sulit di masa remaja. Simak cerita lengkapnya dan rasakan betapa emosionalnya perjalanan cinta di usia muda yang penuh lika-liku!
Hanif dan Mantan yang Kembali
Kenangan yang Tertinggal
Hari itu, langit masih menyisakan awan kelabu di atas sekolah. Angin yang sedikit berhembus terasa dingin, dan matahari yang terlambat muncul seolah ingin ikut menyesali sesuatu. Aku duduk di bangku panjang yang terletak di depan kantin sekolah, sendirian, seperti biasa. Teman-teman sekelasku sedang asyik bercanda, tapi aku, Hanif, lebih memilih merenung. Aku tak tahu kenapa, tetapi perasaan sepi ini semakin sulit untuk dihindari.
Lima bulan terakhir hidupku terasa seperti sebuah perjalanan tanpa tujuan. Aku selalu sibuk dengan kegiatan sekolah, teman-teman, dan segala hal yang menyibukkan, tapi hatiku masih kosong. Itu karena dia Kina mantan pacarku. Ya, perempuan yang pernah begitu berarti dalam hidupku, kini hanya tinggal kenangan yang mengganggu.
Kenangan bersamanya tak pernah benar-benar hilang. Setiap kali aku melihat foto-foto lama kami, atau mendengar lagu yang dulu sering kami dengar bersama, hati ini terasa sesak. Dulu, kami sering menghabiskan waktu di taman belakang sekolah, berbicara tentang impian masa depan yang penuh warna. Satu-satunya yang kami tahu waktu itu adalah kami ingin selalu bersama. Tapi, seperti yang sering terjadi, semuanya berubah.
Perpisahan kami tak seperti yang kuinginkan. Tak ada tangisan, tak ada kata-kata keras, hanya diam yang semakin menebal di antara kami. Aku ingat jelas bagaimana Kina berkata dengan suara pelan, “Hanif, aku rasa kita sudah tidak cocok lagi.” Aku ingin membantah, ingin berjuang, tapi aku tahu, dia sudah memutuskan. Aku hanya bisa terdiam dan menyaksikan dia berjalan pergi.
Kina bukan hanya mantan pacarku, dia adalah teman terbaikku. Kami tumbuh bersama di sekolah ini, berbagi cerita, tawa, bahkan kesedihan. Tanpa dia, rasanya aku kehilangan sebagian dari diriku. Aku mencoba melupakan, berusaha untuk sibuk dengan kehidupan sekolah dan teman-teman, tapi tak ada yang bisa menggantikan posisi yang pernah dia isi dalam hidupku.
Banyak teman-teman di sekitarku yang menyarankan agar aku move on, katanya masih banyak perempuan di luar sana yang lebih baik. Tapi mereka tidak tahu, karena mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan. Kini, aku hanya bisa melanjutkan hidup tanpa tahu harus kemana. Dalam hatiku, ada semacam kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun, bahkan dengan semua kegiatan yang aku lakukan.
Saat aku sedang tenggelam dalam pikiranku, tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku, “Hanif!” Aku menoleh, dan di sana di depan kantin ada dia Kina. Dengan senyuman yang tak pernah benar-benar hilang dari wajahnya, dia berdiri memandangku. Seperti angin yang datang begitu tiba-tiba, kehadirannya mengusik ketenanganku.
Jantungku langsung berdegup kencang, dan seolah-olah dunia berhenti berputar sesaat. Meskipun sudah beberapa bulan sejak perpisahan kami, perasaan ini datang begitu kuat, seperti angin yang membawa kenangan lama. Apakah ini tanda? Tanda bahwa aku harus memperbaiki segalanya? Atau ini justru akan membuka luka lama yang belum benar-benar sembuh?
“Kina?” suaraku terdengar lebih rendah dari yang kuinginkan. Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku terasa kaku.
Kina berjalan mendekat, matanya penuh dengan keraguan. “Hanif, aku… aku ingin bicara,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan angin.
Aku mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang menggelayuti hatiku. Kami berdua duduk di bangku yang panjang itu, tempat kami dulu sering menghabiskan waktu bersama. Kini, semuanya terasa berbeda. Dia sudah bukan lagi kekasihku. Kami hanya dua orang yang tak pernah benar-benar bisa saling melupakan, tapi tak bisa menemukan jalan kembali.
“Kau baik-baik saja?” tanya Kina, matanya menyelidik, seolah mencoba membaca ekspresiku.
Aku mengangguk lagi, meskipun sejujurnya hatiku berantakan. “Aku baik-baik saja,” jawabku, meski dalam hati aku tahu itu tidak sepenuhnya benar.
Kina menarik napas panjang. “Aku tahu kita sudah lama sekali tidak berbicara, dan aku tahu aku salah… perpisahan kita mungkin tidak terlalu mendalam, tapi aku ingin kamu tahu, itu bukan hanya cuma karena aku tidak peduli. Aku… aku hanya cuma merasa kita sudah tidak sejalan lagi.”
Aku menunduk, menahan perasaan yang mulai meluap. Kata-kata itu mengingatkanku pada perasaan yang selama ini kupendam. “Kina, kau tidak perlu menjelaskan apapun. Aku mengerti. Kita memang tidak bisa bersama lagi. Mungkin itu yang terbaik,” jawabku, berusaha keras untuk terlihat tegar, meskipun hati ini terasa seperti dihantam keras.
Tetapi kenapa dia tiba-tiba muncul? Apa yang dia inginkan sekarang? Aku merasa kebingunganku semakin bertambah.
Kina menatapku dalam-dalam. “Aku hanya cuma ingin… aku hanya ingin bisa memastikan kamu akan baik-baik saja. Aku tahu aku mungkin bukan orang yang tepat untukmu, tapi aku tidak ingin kehilanganmu sebagai teman.”
Kata-katanya itu membuat hatiku semakin berat. Aku ingin berkata sesuatu, ingin mengatakan bahwa aku masih mengharapkannya, bahwa aku masih ingin kita bersama, tapi apa gunanya? Jika itu hanya akan membuat luka lama kembali terbuka.
“Terima kasih, Kina. Aku juga bisa berharap kita bisa tetap jadi teman,” jawabku pelan, sambil mencoba mengendalikan emosiku.
Namun, meskipun aku mengucapkannya dengan penuh pengertian, dalam hatiku ada satu pertanyaan yang tak bisa terjawab: Apakah mungkin kita bisa menjadi teman setelah semua yang terjadi?
Luka yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu dengan lambat setelah pertemuan itu. Rasanya, waktu berjalan tanpa arah, seolah hidupku berjalan di jalur yang tak pernah aku pilih. Mungkin banyak orang di luar sana yang berpikir, “Hanif ini anak yang gaul, pasti bisa move on dengan cepat.” Tapi mereka salah. Mungkin mereka tidak tahu, bahwa dibalik senyumku yang lebar, ada luka yang masih terpendam dalam-dalam. Luka yang tak pernah benar-benar sembuh, meski aku sudah berusaha sekuat tenaga.
Setelah bertemu dengan Kina beberapa hari lalu, perasaan itu kembali hadir. Meskipun kami berbicara sebagai teman, ada sesuatu yang berbeda di dalam diriku. Aku tahu aku seharusnya merasa bahagia, karena kami berdua bisa berbicara tanpa canggung, tetapi mengapa hatiku malah terasa berat? Bukankah aku yang dulu meminta perpisahan? Aku yang dulu bilang bahwa kami tidak cocok lagi. Tapi kenapa pertemuan itu seperti membuka kembali pintu kenangan yang telah lama tertutup?
Kina. Satu nama yang selalu terngiang dalam pikiranku. Satu nama yang aku coba lupakan, namun selalu hadir saat aku tak menginginkannya. Setiap kali aku berjalan ke kelas, aku sering melihatnya, berbicara dengan teman-temannya, tertawa, dan rasanya hatiku serasa diremas. Kenapa aku harus merasakan ini? Bukankah aku sudah menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi milikku?
Teman-temanku mungkin sudah mulai bosan dengan kelakuanku yang tiba-tiba jadi pendiam. “Bro, lo kenapa? Kayak gak ada semangat lagi gitu,” kata Reza, sahabatku yang sudah mengenalku sejak lama. Dia adalah teman yang selalu ada untukku, baik di saat senang maupun susah. Aku tahu, dia hanya ingin membantu, tapi bagaimana bisa aku ceritakan semuanya kepadanya? Bagaimana bisa aku bilang bahwa meski aku terlihat seperti orang yang baik-baik saja, tapi hatiku hancur?
Aku hanya menggelengkan kepala dan memberi senyuman kaku. “Gak apa-apa, Reza. Gue cuma capek aja,” jawabku, meskipun dalam hati, aku tahu itu bukan masalahnya.
Reza tidak pernah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi padaku. Dia mungkin berpikir aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan diri, tapi kenyataannya, luka ini lebih dalam dari yang dia kira.
Malam itu, aku duduk di tepi jendela kamar, memandang langit yang gelap. Angin malam berhembus pelan, menyapu kulitku yang terasa dingin. Aku melamun, memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan. Ada banyak hal yang ingin aku katakan kepada Kina, tapi entah kenapa, aku merasa takut. Takut kalau apa yang aku katakan akan merusak segalanya lebih jauh. Takut kalau apa yang ada di dalam hatiku tidak akan pernah diterima.
Kina, wajahnya muncul dalam bayanganku. Senyumnya yang dulu selalu membuatku merasa nyaman kini terasa seperti pisau yang menorehkan luka. Seharusnya aku tidak merasa seperti ini. Seharusnya aku sudah bisa melepaskannya dengan ikhlas. Tapi kenyataannya, aku masih mencintainya, meski dia sudah bukan milikku lagi.
Aku menarik napas panjang. “Hanif, lo gak bisa terus-terusan kayak gini. Lo harus bangkit,” kataku pada diri sendiri. Aku sudah sering mengingatkan diriku seperti ini, tapi kenyataannya, tidak mudah. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap kali aku melihat Kina, setiap kali aku mengingat masa-masa indah kami, hati ini selalu terguncang.
Keesokan harinya, aku kembali berangkat ke sekolah dengan perasaan yang sama. Semua tampak seperti biasa, tetapi perasaanku masih kacau. Saat aku masuk ke kelas, aku melihat Kina di pojok ruang kelas, berbicara dengan teman-temannya. Dia terlihat baik-baik saja, senyum di wajahnya tidak hilang. Namun entah kenapa, hatiku terasa kosong. Aku merasa ada jarak yang semakin besar antara kami. Mungkin dia sudah benar-benar melupakan aku, dan aku hanya menjadi bagian dari masa lalu yang terlupakan.
Aku mencoba fokus pada pelajaran, tetapi mataku sering melirik ke arah Kina. Aku ingin berbicara dengannya, ingin bertanya apa yang sebenarnya dia rasakan, tapi aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Saat bel masuk berbunyi, aku segera beranjak keluar dari kelas dan berjalan menuju kantin. Mungkin jika aku makan, aku bisa sedikit melupakan semuanya.
Tapi saat aku berjalan melewati lorong, aku melihatnya lagi. Kina sedang berjalan ke arahku. Entah mengapa, perasaan itu datang lagi. Jantungku berdebar-debar, perutku terasa mual, dan tiba-tiba kata-kata itu seperti tertahan di tenggorokan. Dia menghentikan langkahnya saat melihatku.
“Hai, Hanif,” katanya dengan senyum tipis, tapi ada kesedihan yang samar terlihat di matanya.
Aku hanya tersenyum kecil. “Hai, Kina. Lagi sibuk?”
Kina mengangguk. “Iya, ada tugas yang harus diselesaikan.” Suaranya terdengar datar, seolah dia ingin menghindari pembicaraan lebih dalam.
Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin bertanya tentang apa yang terjadi di antara kami, tetapi aku takut. Aku takut dia hanya akan menjawab dengan kata-kata yang akan membuatku semakin terluka. Jadi, aku hanya berdiri di sana, menatapnya dengan perasaan yang campur aduk.
“Aku… aku harus pergi,” kata Kina pelan, seolah dia merasa tidak nyaman berdiri di hadapanku.
“Ya, gak apa-apa,” jawabku cepat. “Sampai jumpa.”
Saat Kina berbalik dan berjalan menjauh, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Aku tahu dia mencoba untuk menghindariku. Mungkin dia merasa canggung, atau mungkin dia sudah benar-benar memutuskan untuk tidak peduli lagi.
Aku kembali ke bangkuku, duduk diam, dan mencoba menenangkan pikiranku. Kenapa semuanya harus sesulit ini? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini? Kenapa cinta, yang seharusnya menjadi kebahagiaan, malah membawa luka yang semakin dalam?
Mungkin memang benar, bahwa cinta itu tak selalu indah. Terkadang, cinta adalah tentang memilih untuk melepaskan, meski itu menyakitkan. Tapi apakah aku sudah siap untuk melakukannya?
Menghadapi Kenangan yang Tak Pernah Pergi
Hari itu, seperti kebanyakan hari-hari lainnya, aku berjalan menuju sekolah dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Semua tampak normal di luar sana teman-teman yang tertawa, suara guru yang menjelaskan pelajaran, dan bahkan angin yang sejuk menyapa kulitku tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam diri ini. Sesuatu yang membuatku tak bisa fokus. Sesuatu yang membuat hatiku terasa sesak.
Semalam, aku tak bisa tidur. Kenangan tentang Kina datang begitu saja, seperti gelombang yang tak pernah bisa kubendung. Aku terjaga hampir sepanjang malam, memikirkan setiap detil tentang kami, tentang masa-masa indah yang dulu pernah kami jalani bersama. Tapi sekarang, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang berulang kenangan yang tak bisa aku buang, meskipun aku sudah berusaha dengan segenap hati.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak memperlihatkan betapa hancurnya hatiku. Kalau ada yang tahu aku masih terjebak dalam perasaan ini, aku pasti dianggap lemah. Dan aku tidak mau dianggap lemah. Aku tidak mau menjadi sosok yang terus-menerus terpuruk dalam kenangan yang sudah berlalu. Tapi kenyataannya, aku merasa seperti tak punya kekuatan untuk bangkit.
Sampai suatu pagi, setelah aku melewati lorong kelas dengan langkah lesu, aku melihatnya lagi. Kina. Dia berdiri di dekat pintu kelas, berbicara dengan beberapa teman perempuannya. Ketika matanya menangkap pandanganku, aku melihat sesuatu yang berbeda. Ada tatapan yang lebih dalam, lebih serius, seolah dia ingin mengatakan sesuatu. Dan jantungku berdegup lebih cepat.
Aku mengalihkan pandangan, mencoba berpura-pura tidak melihatnya. Tapi aku tahu, entah kenapa, aku ingin sekali berbicara dengannya. Aku ingin tahu bagaimana perasaannya, apa yang ada dalam pikirannya. Apa dia masih memikirkan aku? Atau, apakah aku hanya menjadi kenangan yang terlupakan baginya?
Tapi, seperti biasa, aku terlalu takut untuk membuka pembicaraan. Aku tak bisa melakukannya. Aku merasa ada dinding yang terlalu tinggi antara kami, dinding yang dibangun oleh kebisuan dan ketakutan. Aku hanya bisa menatapnya dari jauh, sementara waktu terus berlalu.
Hari-hari itu berjalan begitu saja, seperti sebuah rutinitas tanpa akhir. Aku pergi ke sekolah, bertemu teman-teman, belajar, tetapi hatiku tetap kosong. Aku sering melamun, berusaha menenangkan diri, tapi seakan-akan bayangan Kina selalu mengikuti. Setiap kali aku berpikir aku bisa melepaskan diri, kenangan itu kembali menguasai.
Malam-malam pun tak banyak berbeda. Aku masih terjaga, memikirkan semua yang terjadi antara kami. Kenapa semuanya berakhir begitu cepat? Apa yang salah dengan hubungan kami? Dan kenapa aku tidak bisa melupakan semuanya dengan mudah seperti yang seharusnya kulakukan? Aku merasa seperti terjebak dalam kekosongan yang tak berujung.
Suatu malam, aku keluar untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Udara malam yang sejuk sedikit banyak menenangkan pikiranku yang kacau. Aku berhenti di sebuah taman dekat rumah, tempat yang selalu kami kunjungi dulu. Taman itu sekarang terasa sunyi, jauh berbeda dari dulu yang selalu penuh dengan tawa kami. Aku duduk di bangku taman, menyandarkan punggung, dan menatap langit malam yang penuh bintang.
Kenapa harus ada kenangan yang begitu menyakitkan? Kenapa harus ada seseorang yang pernah begitu berarti, namun pada akhirnya justru menjadi penyebab luka yang tak kunjung sembuh? Aku merasa aku sudah cukup dewasa untuk menghadapinya, untuk menerima kenyataan bahwa kami memang tak lagi bersama. Tapi kenapa perasaan ini tak kunjung hilang? Kenapa aku merasa masih ada harapan yang tersisa, meskipun aku tahu itu hanyalah ilusi?
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketika aku menoleh, aku melihatnya. Kina. Dia berdiri di depan aku, mengenakan jaket hitam yang selalu dia pakai, dengan ekspresi wajah yang sulit terbaca.
Aku terkejut. “Kina? Kenapa kamu ada di sini?”
Dia tersenyum tipis, namun ada keheningan dalam senyum itu. “Aku… aku cuma mau bilang… kalau aku masih peduli.”
Kata-kata itu mengguncangku. Sejenak, aku tak bisa berkata apa-apa. Kenapa tiba-tiba dia muncul di sini, dengan kata-kata itu? Aku menundukkan kepala, berusaha menenangkan diriku, sebelum akhirnya aku mengangkat wajahku lagi.
“Kina, aku gak tahu apa yang harus aku bilang. Aku masih… aku masih bingung dengan semuanya. Aku rasa kita udah selesai, dan aku gak tahu kalau bisa melanjutkan dari sini.”
Kina mengangguk pelan. “Aku tahu, Hanif. Aku tahu kita sudah salah jalan. Aku tahu aku salah. Tapi aku… aku ingin kita bisa ngobrol. Mungkin, bisa mulai dari awal lagi, atau setidaknya menyelesaikan apa yang belum selesai.”
Aku terdiam. Perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku merasa senang mendengar kata-kata itu. Tapi di sisi lain, aku tahu bahwa mencoba kembali berarti membuka luka yang sudah hampir sembuh. Aku takut kalau itu akan menghancurkanku lebih dalam.
“Aku gak bisa langsung ngomong kayak gitu, Kina,” jawabku akhirnya, mencoba menahan perasaan yang semakin menggelora. “Aku gak tahu apa yang harus kita lakukan.”
Kina menatapku, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, namun kemudian dia diam. Beberapa detik berlalu, dan akhirnya dia berkata, “Aku… aku cuma pengen lo tahu kalau aku masih ada, kalau lo butuh aku.”
Aku terkejut. Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa begitu berarti. Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari jawaban dalam matanya. Tapi aku tahu satu hal. Ini bukan hanya soal dia, ini soal aku juga. Aku harus siap menghadapi kenyataan, menghadapi perasaan yang sudah lama terpendam, dan memutuskan apakah aku siap untuk membuka pintu itu lagi. Pintu yang mungkin akan membawa kebahagiaan, tapi juga bisa kembali menghancurkan segalanya.
Malam itu, kami berdua hanya diam, berdiri di bawah langit yang tak berbintang. Aku merasa bingung, terluka, dan berharap suatu saat bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggangguku.
Menyusun Kembali Rasa yang Retak
Hari-hari berlalu, dan perasaan itu tetap menghantui. Setiap kali aku mencoba mengalihkan pikiranku dari Kina, bayangannya selalu datang seperti angin yang tidak bisa ditahan. Aku mencoba berusaha menjalani hidup seperti biasa seperti yang aku lakukan sebelum kami bertemu lagi di taman itu tetapi ada sesuatu yang terasa tidak lengkap. Seperti ada ruang kosong dalam hatiku yang seharusnya diisi, tapi tidak bisa.
Aku kembali ke rutinitas sekolah, bertemu teman-teman, ikut kegiatan, dan berusaha untuk tetap terlihat aktif. Semua orang mengira aku baik-baik saja, karena aku tidak pernah menunjukkan sisi rapuhku. Mereka tahu aku gaul, ceria, dan selalu punya cara untuk menghibur diri. Tapi yang mereka tidak tahu adalah bahwa aku sedang berjuang untuk menjaga hatiku tetap utuh.
Pagi itu, seperti biasanya, aku berjalan menuju sekolah dengan langkah cepat. Ketika sampai di gerbang sekolah, aku melihatnya lagi. Kina. Dia sedang berdiri di dekat kantin, berbicara dengan teman-temannya. Aku bisa melihatnya dari kejauhan, dan rasanya dada ini kembali sesak. Aku ingat betul senyumnya, cara dia tertawa, dan cara dia melihatku dengan tatapan yang penuh arti.
Aku menahan napas, mencoba untuk tidak terlihat cemas. Tapi sepertinya, hatiku tak bisa bohong. Aku berusaha mengalihkan pandanganku, terus berjalan menuju kelas dengan cepat. Namun, perasaan itu muncul lagi. Aku tahu aku harus menghadapinya, tapi aku merasa takut. Takut jika aku terjatuh lagi dalam hubungan yang mungkin hanya akan berakhir seperti sebelumnya. Aku tidak ingin merasakan lagi sakit yang sama.
Tapi, kenapa aku merasa seolah-olah aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara dengannya? Setiap kali aku melihat Kina, rasanya ada kekuatan tak terlihat yang menarikku untuk mendekat. Aku tahu, mungkin itu adalah perasaan yang tidak bisa aku hindari. Perasaan yang mengajakku untuk membuka lembaran baru, meskipun aku tahu itu penuh dengan risiko.
Hari itu, setelah bel pulang berbunyi, aku menemukan diriku di tempat yang sama lagi di taman yang dulu kami sering kunjungi. Tempat yang penuh kenangan, namun kini terasa begitu sepi dan sunyi. Aku duduk di bangku yang sama, menatap kosong ke depan, berusaha mencari ketenangan di tengah kekacauan perasaanku.
Tidak lama setelah itu, aku mendengar suara langkah kaki. Aku menoleh, dan di sana dia berdiri, dengan wajah yang masih penuh dengan ekspresi yang sulit kubaca. Kina.
“Hanif,” katanya, suaranya sedikit bergetar, “kita perlu bicara.”
Hatiku berdebar. Aku mencoba untuk tetap tenang, meskipun seluruh tubuhku terasa tegang. “Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
Kina duduk di sebelahku, tanpa berkata apa-apa untuk beberapa detik. Hanya ada keheningan yang menggelayuti udara. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami, seolah-olah ada sesuatu yang besar yang harus dibicarakan, namun sulit untuk diungkapkan.
“Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku tahu kita udah jauh, Hanif. Aku tahu semuanya udah berubah, tapi… aku cuma pengen lo tahu kalau aku menyesal. Menyesal karena aku nggak pernah bisa memperbaiki hubungan kita, menyesal karena aku nggak pernah benar-benar peduli dengan perasaanmu.”
Kata-kata itu, meskipun terlambat, terasa seperti pisau yang menorehkan luka di hatiku. Aku terdiam, merasa campur aduk. Apakah ini benar-benar apa yang aku tunggu-tunggu? Atau hanya kata-kata kosong yang datang terlambat?
“Aku udah lama berusaha untuk move on, Hanif,” lanjutnya, “tapi aku nggak bisa. Setiap kali aku mikirin kamu, aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan. Tapi aku nggak tahu gimana caranya untuk kembali ke kita yang dulu.”
Aku menatap Kina, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seolah-olah aku melihat dia dengan cara yang berbeda. Bukan hanya sebagai mantan yang pernah membuatku terluka, tapi sebagai seseorang yang benar-benar merasa kehilangan. Aku bisa melihat kesedihan di matanya, dan itu membuat hatiku terasa berat.
“Kenapa sekarang, Kina?” tanyaku dengan suara yang serak. “Kenapa baru sekarang kamu datang dan mengatakan semua ini?”
Kina menunduk, menarik napas panjang. “Karena aku nggak mau menyesal selamanya. Aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semuanya, walaupun aku tahu itu nggak akan mudah. Aku cuma… aku cuma pengen kamu tahu kalau aku masih peduli.”
Aku terdiam lama, mencoba mencerna semuanya. Perasaan yang campur aduk antara kebahagiaan dan rasa sakit, antara harapan dan ketakutan menghantui pikiranku. Aku tak tahu apakah aku siap membuka pintu itu lagi, pintu yang sudah lama terkunci rapat-rapat oleh waktu dan luka. Tapi ada sesuatu dalam hatiku yang berkata bahwa mungkin, hanya mungkin, aku harus memberikan kesempatan itu.
“Kina,” akhirnya aku berkata, “Aku nggak bisa langsung memutuskan semuanya. Tapi aku nggak bisa terus-terusan begini. Aku juga masih punya perasaan, dan aku juga merasa kita punya kesempatan untuk memperbaikinya. Mungkin kita butuh waktu.”
Kina menatapku dengan mata yang penuh harapan. “Aku siap, Hanif. Aku siap kalau itu yang kamu butuhkan.”
Aku mengangguk pelan, menyadari bahwa ini adalah langkah pertama menuju perbaikan. Mungkin tidak mudah, mungkin penuh perjuangan, tetapi aku tahu satu hal perasaan ini, yang sudah terlalu lama terpendam, akhirnya akan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh kembali. Dan mungkin, hanya mungkin, kami bisa merangkai cerita yang lebih baik kali ini.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Hanif dan Kina mengajarkan kita bahwa cinta di masa remaja tak selalu berjalan mulus. Terkadang, perasaan yang hilang kembali datang, meninggalkan tanda tanya dan kenangan yang sulit dilupakan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita memilih untuk melanjutkan hidup, meski kadang masa lalu mengusik. Cerpen ini tidak hanya mengungkapkan tentang cinta, tetapi juga tentang perjuangan dan menerima kenyataan. Jadi, buat kamu yang sedang melalui fase serupa, ingatlah bahwa tiap cerita punya akhir yang berbeda, dan mungkin saja, akhir yang terbaik baru akan datang. Terus ikuti perjalanan Hanif, dan biarkan kisah ini memberikan sedikit penghiburan dan pelajaran tentang cinta sejati.