Hafalan Quran untuk Ibu: Cerita Inspiratif tentang Cinta, Doa, dan Keberkahan

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa kalau doa ibu itu jadi kekuatan terbesar dalam hidup? Kalau belum, coba deh baca cerita ini. Ini tentang Maryam, seorang gadis yang berjuang untuk menghafal Quran dengan segala rintangan hidup, tapi ada satu yang selalu jadi motivasi utamanya—ibu tercinta.

Cerita ini nggak cuma tentang hafalan Quran, tapi juga tentang cinta, doa, dan pengorbanan yang nggak pernah kelihatan, tapi selalu terasa. Siap-siap baper, ya!

 

Hafalan Quran untuk Ibu

Fajar Awal Perjalanan

Pagi itu seperti biasanya. Cahaya matahari yang lembut menyusup lewat jendela kecil di dapur yang belum sempat dibersihkan. Hawa, dengan rambut yang sudah sedikit beruban, duduk di samping mesin jahit tua. Ia menyulam sebuah gaun sederhana untuk salah satu pelanggan di desa mereka. Tangannya yang lincah bergerak cepat meski lelah. Setiap jahitan baginya adalah langkah dalam perjuangan untuk menyekolahkan Maryam, anak semata wayangnya, agar kelak bisa hidup lebih baik dari dirinya.

Di sisi lain ruangan, Maryam duduk di meja kecil, menatap buku-buku yang tersebar di hadapannya. Buku-buku itu bukanlah buku cerita atau buku pelajaran seperti kebanyakan anak-anak di usianya, melainkan mushaf kecil yang sudah mulai dikenalnya. Dengan tekad yang kuat, Maryam memutuskan untuk memulai perjalanan besar dalam hidupnya—menjadi penghafal Quran.

“Bu, aku mau ngomong sesuatu,” ujar Maryam, suaranya nyaris tertutup suara mesin jahit yang terus berputar.

Hawa berhenti sejenak, memandang Maryam dengan senyuman lelah. “Apa, Nak?”

Maryam menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini bukan hal kecil yang akan dia bicarakan. Semua yang akan dia ucapkan adalah bagian dari cita-cita besar yang ada di hatinya, sesuatu yang mungkin tak mudah bagi ibunya untuk mengerti.

“Aku mau ikut tahfidz Quran di masjid Al-Hikmah,” kata Maryam, menatap ibu dengan penuh harapan.

Hawa terdiam beberapa saat. Pikirannya melayang. Dia tahu benar apa itu tahfidz Quran. Sebuah lembaga pendidikan agama yang memerlukan biaya. Biaya yang tentu saja tidak sedikit, mengingat kehidupan mereka yang serba sederhana. Hawa menggigit bibirnya, merasa cemas.

“Aku tahu itu bukan hal yang mudah, Bu,” lanjut Maryam, memecah keheningan. “Tapi aku ingin belajar. Aku ingin menjadi penghafal Quran. Aku ingin membuat ibu bangga.”

Hawa menatap putrinya dalam diam, lalu menundukkan kepala. Sesaat, ada rasa campur aduk di hatinya—bangga, cemas, dan terharu.

“Kamu yakin, Nak?” tanya Hawa, suaranya lirih. “Kita tidak punya banyak uang. Ibu khawatir kamu tidak bisa melanjutkan nanti.”

Maryam menggenggam tangan Hawa, matanya berbinar. “Ibu, aku nggak butuh uang banyak. Aku hanya butuh doa ibu. Doa ibu yang selalu menguatkan aku. Insya Allah, aku bisa.”

Hawa merasa hangat, namun juga terasa berat di dadanya. Terkadang, keinginan anak yang begitu besar bisa membuat seorang ibu terperangkap dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Bagaimana cara menjelaskan kepada anaknya bahwa perjuangan hidup kadang tak semudah yang dibayangkan? Namun, dia tahu ini bukan saatnya untuk meragukan tekad Maryam.

“Kalau begitu, ibu akan berusaha. Aku akan cari cara. Tapi kamu harus berjanji, jangan pernah menyerah, ya.” Hawa mengusap rambut Maryam yang sedikit panjang, senyumannya tipis namun penuh cinta.

Maryam mengangguk penuh semangat. “Aku janji, Bu. Aku nggak akan menyerah.”

Hari itu, Maryam mulai mempersiapkan segalanya. Setiap hari, setelah membantu ibunya di rumah, ia pergi ke masjid Al-Hikmah. Di sana, para ustaz dan ustazah akan mengajarinya untuk menghafal Quran.

Namun, perjalanan tidak berjalan mulus. Maryam, yang awalnya penuh semangat, merasa kesulitan mengingat setiap ayat yang diajarkan. Setiap malam, di bawah cahaya lampu minyak, Maryam berusaha mengulang hafalannya, namun banyak ayat yang masih sulit untuk diingat.

Suatu malam, ketika udara mulai dingin, Maryam duduk di sudut ruangan, memegang mushaf dengan tangan gemetar. Ia mengulang-ulang surah Al-Fatihah, namun sepertinya ayat-ayat tersebut tidak mau tertanam dalam ingatannya.

“Kenapa aku nggak bisa ingat?” gumam Maryam, terduduk lemas. Ia merasa lelah, jiwanya kosong.

Tiba-tiba, pintu terbuka, dan Hawa masuk ke dalam ruangan. “Maryam, sudah waktunya tidur. Jangan terlalu dipaksakan.”

Maryam menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Bu, aku merasa aku gagal. Aku nggak bisa hafal. Semua orang cepat, tapi aku…”

Hawa duduk di samping Maryam, menariknya untuk duduk di pangkuannya. “Nak, kamu tidak gagal. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Apa yang kamu pelajari ini bukan tentang cepat atau lambat, tapi tentang ketulusan hati. Ibu tahu kamu bisa.”

Maryam menatap wajah ibu yang penuh kasih. “Ibu selalu percaya padaku. Aku akan berusaha lebih keras, Bu.”

Hawa tersenyum, meskipun matanya juga mulai berkaca-kaca. “Ibu tidak akan pernah berhenti mendukungmu. Kamu akan jadi anak yang luar biasa, Maryam.”

Maryam menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hatinya. Ia tahu, jalan ini tidak mudah. Namun, selama ibu ada di sisinya, ia yakin bisa melewatinya.

Begitulah, hari demi hari Maryam terus berusaha. Setiap kali ia merasa lelah, ia ingat kata-kata ibunya. Ketika ia merasa ingin menyerah, ia mengingatkan dirinya bahwa ini adalah jalan yang ia pilih—jalan untuk menjadi penghafal Quran dan membuat ibunya bangga.

Namun, Maryam tidak tahu, jalan yang ia pilih ini akan segera dihadapkan pada ujian yang lebih besar. Dan ujian itu akan datang begitu tiba-tiba, membuat semua impian yang telah dirancangnya terasa goyah.

Tapi, untuk saat ini, Maryam hanya ingin melangkah satu langkah lagi. Dan langkah itu adalah untuk ibunya.

 

Cahaya di Tengah Lelah

Hari-hari berlalu begitu cepat. Pagi dan malam datang silih berganti. Maryam kini telah memasuki tahun kedua belajar di masjid Al-Hikmah. Walaupun banyak yang masih sulit, ia terus berjuang. Di masjid, ia melihat teman-temannya yang sudah melaju jauh, hafalan mereka mengalir lancar. Sementara itu, dirinya harus mengulang-ulang beberapa ayat berkali-kali sebelum akhirnya bisa mengingatnya dengan sempurna.

Pulang dari masjid, tubuhnya lelah sekali. Di bawah langit yang hampir gelap, ia melewati jalanan yang berdebu, kaki kecilnya yang telah letih tetap melangkah. Setiap langkahnya membawa perasaan yang campur aduk—bangga dan penuh harapan, tetapi juga lelah dan sedikit cemas. Ia ingin sekali segera menghafal lebih banyak, tetapi tubuh dan pikirannya seringkali berkata lain.

Sesampainya di rumah, Hawa sudah menunggunya. Di meja makan, ada sepiring nasi sederhana dengan lauk sayur dan ikan asin. Maryam duduk di samping ibunya, lalu menatap wajahnya. Ada kecemasan yang tak bisa Maryam sembunyikan.

“Bu, aku merasa semakin jauh dari target. Kenapa mereka bisa hafal lebih cepat?” tanya Maryam, suara itu terkesan lirih, mengandung keraguan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Hawa menatapnya penuh pengertian, dengan mata yang lembut. “Nak, tidak ada yang bisa mengukur perjalanan orang lain. Kamu punya caramu sendiri. Yang penting adalah ketulusan hatimu dalam belajar.”

Maryam menggigit bibirnya. “Tapi, Bu… aku sudah berusaha, kenapa rasanya tak secepat mereka?”

Hawa menepuk tangan Maryam dengan lembut, mengingatkan putrinya untuk tetap tenang. “Ingatlah, Maryam. Setiap ayat yang kamu hafalkan, itu adalah rezeki dari Allah. Jangan terburu-buru. Fokuskan hatimu, dan percayalah bahwa Allah selalu memberimu yang terbaik.”

Kata-kata Hawa terasa menenangkan. Maryam menarik napas panjang dan tersenyum kecil. Ibu selalu tahu apa yang perlu dikatakan. Meskipun terkadang dirinya merasa tak mampu, kata-kata ibunya selalu bisa memberi kekuatan untuk terus melangkah.

Namun, ujian yang lebih berat datang begitu cepat. Satu malam, Hawa terjatuh di rumah. Maryam yang sedang mengulang hafalan, mendengar suara benda jatuh. Dengan cepat, ia berlari keluar dan melihat ibunya tergeletak di lantai. Wajah Hawa pucat, tubuhnya lemah. Panik menghantui Maryam, jantungnya berdebar keras, dan ia segera mengangkat ibunya untuk dudukkan di kursi.

“Ibu… ibu kenapa?!” serunya panik, matanya berkaca-kaca.

Hawa mencoba tersenyum, meskipun nampak sangat lemah. “Ibu hanya sedikit pusing, Nak. Mungkin terlalu lelah.”

Maryam merasa tidak tenang. Tanpa berkata banyak, ia segera membawa ibunya ke klinik terdekat. Dokter memeriksa dengan teliti, lalu berkata dengan nada yang cukup serius.

“Bu Hawa harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Ada kemungkinan penyakitnya lebih parah dari yang kita kira. Biayanya tidak sedikit, tetapi kita akan melakukan yang terbaik.”

Maryam terdiam, hatinya sesak mendengar kata-kata dokter. Ia merasa seperti dunia tiba-tiba runtuh. Tidak pernah terbayangkan bahwa ibunya yang selalu kuat akan jatuh sakit. Ketika sampai di rumah, Maryam duduk termenung di samping ibunya, memegang tangan ibunya yang dingin.

“Ibu, kenapa kamu harus sakit? Kenapa semuanya terjadi begitu cepat?” gumam Maryam dalam hati, tak mampu mengungkapkan kekhawatirannya dengan kata-kata.

Sejak saat itu, semuanya berubah. Maryam harus membagi waktunya lebih banyak. Setelah sekolah, ia kembali menghafal Quran, namun sebagian besar waktu ia habiskan untuk merawat Hawa. Setiap kali Hawa merasa mual atau lemah, Maryam akan berada di sampingnya, menemani, memberi obat, dan mencoba membuatnya merasa nyaman.

Pagi-pagi, Maryam akan pergi ke masjid, memulai hafalan meski hatinya terbelah antara cinta untuk ibunya dan tekad untuk terus belajar. Malamnya, ia akan membaca mushaf di samping Hawa, yang meskipun terbaring lemah, tetap memberikan senyum yang penuh harapan. Hawa selalu mengingatkan, meski sakit, ia tidak boleh menyerah pada cita-citanya.

“Jangan biarkan ibu menghentikan langkahmu, Nak. Ini jalan yang kamu pilih. Teruskan apa yang telah kamu mulai, demi Allah,” pesan Hawa dengan suara lemah.

Maryam merasa sesak mendengar kata-kata itu. Begitu besar cinta ibunya, namun begitu besar pula ujian yang harus mereka hadapi. Maryam tahu, tidak ada jalan lain. Ia harus terus berjuang, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibunya.

Hari-hari semakin berat. Di masjid, guru-gurunya memperhatikan Maryam yang sering datang terlambat dan terlihat lelah. Namun, tak ada yang berani bertanya lebih jauh, karena mereka tahu betul betapa besar pengorbanan yang Maryam lakukan untuk ibunya.

Suatu pagi, saat Maryam sedang duduk di luar masjid menunggu waktu salat, Ustazah Salma menghampirinya. “Maryam, kamu tampak lelah sekali. Apa kamu baik-baik saja?”

Maryam tersenyum kecil. “Alhamdulillah, Ustazah. Ibu sedang sakit, jadi saya harus merawatnya. Tapi saya tetap akan melanjutkan hafalan.”

Ustazah Salma menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu memang luar biasa, Maryam. Tapi ingat, Allah tidak akan memberimu beban yang tak bisa kamu tanggung. Jangan takut untuk meminta bantuan jika kamu merasa kewalahan.”

Maryam mengangguk pelan. “Terima kasih, Ustazah. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”

Namun, ketika malam tiba, dan Maryam kembali duduk di samping ibunya, ia tahu satu hal yang pasti—jalan ini semakin sulit. Tapi seperti yang dikatakan ibunya, ia harus tetap berjalan. Setiap ayat yang ia hafal, setiap langkah kecil yang ia ambil, itu adalah bentuk cinta dan doa yang akan selalu mengiringi perjalanan hidupnya.

Meskipun kelelahan hampir menenggelamkan semangatnya, Maryam tahu, tak ada yang lebih besar dari cinta untuk ibu. Dan dari cinta itu, ia akan terus maju, selangkah demi selangkah.

 

Menyatukan Doa dan Harapan

Hari-hari semakin sulit bagi Maryam. Setiap kali ia membuka mata di pagi hari, rasa lelah menggunung menimpa tubuhnya. Waktu yang harusnya ia habiskan untuk memperdalam hafalan Quran, kini terpecah dengan kewajiban merawat ibunya. Setiap saat, ia selalu mengingat nasihat ibunya, “Jangan biarkan ibu menghentikan langkahmu, Nak.” Namun, semakin ia berusaha, semakin terasa betapa besar ujian yang sedang ia jalani.

Pagi itu, ia memandang langit yang cerah melalui jendela kamar. Hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari di mana ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Bukan hanya untuk ibunya, tetapi juga untuk mimpinya. Ia ingin melanjutkan hafalan Quran, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibunya yang begitu bangga padanya.

“Ibu, aku janji. Aku akan buat ibu bangga,” bisik Maryam pada dirinya sendiri.

Setelah sarapan, Maryam berpamitan kepada ibunya, yang tengah duduk di ruang tamu, membaca kitab sambil ditemani secangkir teh hangat. “Ibu, aku pergi dulu ke masjid. Insya Allah nanti sore aku pulang.”

Hawa tersenyum dengan lembut, meskipun wajahnya tampak pucat. “Hati-hati, Nak. Ibu menunggu kamu.”

Maryam mengangguk, lalu melangkah keluar dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Walaupun tubuhnya terasa sangat lelah, hatinya dipenuhi tekad. Di masjid, ia menemui teman-temannya yang sudah lebih dulu berada di sana. Mereka semua sudah melanjutkan hafalan mereka, tetapi Maryam tetap berusaha mengikuti alur mereka, meski dengan tempo yang sedikit lebih lambat.

Hari itu, pelajaran terasa lebih berat dari biasanya. Tidak hanya karena kondisinya yang kurang fit, tetapi juga karena ia merasa seolah dunia memandangnya dengan penuh tekanan. Semua orang tampak melangkah lebih cepat, lebih lancar, sementara Maryam—ia merasa begitu tertinggal.

Sore harinya, setelah pelajaran selesai, Maryam duduk di masjid, termenung sejenak, memikirkan segala yang terjadi. Betapa ia begitu ingin mempercepat hafalannya, tetapi di satu sisi, ia harus selalu ada untuk ibunya. Setiap kali ia merasa lelah, suara ibunya kembali terngiang dalam ingatan, memberikan semangat. “Kamu bisa, Nak. Jangan menyerah.”

Ketika ia memutuskan untuk pulang, ia berjalan perlahan, merenung sepanjang perjalanan. Hatinya sedikit terluka, merasa tak cukup mampu untuk memenuhi harapan-harapan itu. Namun, begitu memasuki rumah, senyum Hawa menyambutnya. Mata ibunya yang lelah tidak pernah kehilangan sinar harapan.

“Ibu, aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan ini,” kata Maryam, suara penuh kesedihan. “Aku merasa terlalu lelah untuk terus menghafal, Bu.”

Hawa memandangnya dengan pandangan penuh pengertian. Dengan suara yang lembut, ia berkata, “Maryam, kamu sudah melakukan yang terbaik. Setiap langkahmu adalah doa yang kamu panjatkan untuk ibu. Yang terpenting bukan seberapa cepat kamu melangkah, tapi niat dan ikhlas di setiap langkah yang kamu ambil.”

Maryam menunduk, merasa seolah-olah beban yang ada di pundaknya sedikit terangkat. Walaupun jalan yang ia tempuh tak mudah, cinta ibunya memberi kekuatan yang tak terbatas. Ia menyadari bahwa meskipun ia merasa lelah, ibunya adalah sumber semangatnya yang tak akan pernah padam.

Keesokan harinya, Maryam memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia ingin melanjutkan hafalan Quran, tapi kali ini dengan cara yang lebih mendalam. Di masjid, ia bukan hanya ingin mengejar target hafalan, tapi ia ingin meresapi setiap ayat yang ia baca. Setiap kata, setiap huruf, ia ingin merasakan getaran maknanya dalam setiap detik.

Hari demi hari, ia terus berusaha. Pagi-pagi setelah subuh, ia memulai hafalan dengan penuh semangat, berdoa agar Allah memberi kemudahan. Selama sore, ia tetap menyempatkan waktu untuk membantu ibunya, menemani dan merawatnya. Malamnya, ia kembali membuka mushaf, mengulang hafalan yang belum sempurna.

Kadang, tubuhnya merasa hampir habis, tetapi setiap kali itu terjadi, hatinya selalu ingat akan tujuan utamanya—untuk ibu. Maryam tahu, setiap usaha yang ia lakukan adalah hadiah untuk ibunya. Tidak ada yang lebih berarti baginya selain melihat senyum ibunya yang bangga.

Suatu hari, ketika Maryam sedang menghafal di halaman masjid, Ustazah Salma datang menghampirinya. Ia melihat Maryam yang sedang duduk sendirian, wajahnya tampak lelah, tetapi ada semangat yang terpancar dari matanya.

“Maryam, kamu semakin kuat, ya?” tanya Ustazah Salma, tersenyum penuh pengertian.

Maryam sedikit tersenyum, tetapi ada kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku berusaha, Ustazah. Tapi kadang, aku merasa seperti tak bisa lagi.”

Ustazah Salma duduk di sampingnya. “Terkadang, kita merasa terjatuh. Tetapi ingat, Allah tidak melihat hasilnya. Allah melihat usaha dan niat kita. Dan kamu sudah melakukan semuanya dengan hati yang tulus. Ibu kamu pasti bangga padamu, Maryam.”

Maryam menunduk, merenung. Kata-kata Ustazah Salma menyentuh hatinya. Ia merasa sedikit lebih ringan. “Terima kasih, Ustazah. Aku akan terus berusaha.”

Hari itu, ketika Maryam pulang ke rumah, ia merasakan kedamaian dalam hatinya. Ia tahu, walaupun jalan ini penuh tantangan, ia tidak berjalan sendirian. Allah selalu bersamanya, dan ibunya selalu ada di sampingnya, meskipun dalam diam.

Malam itu, setelah makan malam bersama ibunya, Maryam duduk di samping Hawa. Ia memandang wajah ibunya yang lelah, tetapi ada kehangatan yang mengalir dari setiap senyumnya.

“Ibu, aku ingin memberimu hadiah, hadiah terbesar yang bisa aku beri,” kata Maryam dengan penuh keyakinan.

Hawa menatapnya dengan lembut. “Apa itu, Nak?”

“Setiap ayat yang aku hafal adalah hadiah untuk ibu. Aku ingin terus menghafal dan menjadi penghafal Al-Quran, agar setiap langkahku menjadi doa untuk ibu.”

Air mata perlahan jatuh di pipi Hawa. “Aku bangga padamu, Maryam. Teruslah berjuang. Jangan berhenti.”

Maryam tersenyum, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil, meski berat dan penuh tantangan, adalah langkah yang benar. Cinta untuk ibu, doa yang tak terucap, dan harapan yang kuat untuk terus maju, semuanya bersatu menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan.

Dengan penuh keyakinan, Maryam tahu, perjalanan ini belum selesai. Tapi ia siap untuk terus berjuang, demi ibu yang ia cintai, dan demi Al-Quran yang akan selalu menjadi pegangan hidupnya.

 

Hadiah Terindah

Hari-hari berlalu, dan waktu seakan berjalan lebih cepat daripada yang ia duga. Maryam semakin matang dalam perjalanannya, tak hanya dalam hafalan Quran, tetapi juga dalam hidupnya yang penuh ujian dan harapan. Kini, ia merasa dekat dengan Allah, merasa bahwa setiap langkahnya adalah doa yang tak terucapkan.

Pagi itu, seperti biasa, Maryam memulai harinya dengan hafalan Quran setelah shalat subuh. Namun, hari ini ada yang berbeda. Di luar, langit terlihat lebih cerah, udara pagi terasa lebih segar, dan hatinya begitu tenang. Ia merasa lebih dekat dengan impiannya, lebih dekat dengan ibunya yang selalu menjadi sumber kekuatannya.

Di sampingnya, Hawa duduk dengan raut wajah yang penuh kebanggaan, meski tubuhnya semakin lemah. Ketika Maryam selesai dengan hafalan pagi itu, ia menghampiri ibunya, duduk di sampingnya.

“Ibu, aku sudah hafal satu juz lagi,” kata Maryam dengan penuh kebahagiaan.

Wajah Hawa memerah, senyum yang jarang ia tunjukkan kini terpancar lebar. Ia mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku bangga padamu, Nak. Semua doa ibu terkabulkan.”

Maryam merasakan kehangatan yang luar biasa dari kata-kata ibunya. Sebelum ini, ia sering merasa cemas apakah ia bisa menghafal Quran dengan baik, apakah ia bisa terus melanjutkan jalan ini meski banyak rintangan. Namun, hari ini, semuanya terasa berbeda. Ia merasa seolah-olah Allah merestui setiap usaha dan niatnya.

Sore hari, ketika Maryam selesai mengurus ibunya dan duduk di halaman rumah, ia teringat akan kata-kata Ustazah Salma yang selalu memberinya kekuatan: “Terkadang kita merasa terjatuh, tapi Allah selalu ada di setiap langkah kita.” Maryam menyadari bahwa dalam perjalanan ini, bukan hanya dirinya yang berjuang, tetapi ibunya juga. Ibu yang selalu mendukungnya, meski dalam diam, meski dalam keadaan yang semakin lemah.

Suatu sore, ketika Maryam sedang duduk menemani Hawa, ibu itu mengangkat tangan dan memanggilnya. “Nak, datanglah ke sini sebentar.”

Maryam mendekat dan duduk di samping ibunya. Hawa memegang tangan Maryam dengan erat. “Ada sesuatu yang ingin ibu katakan padamu.”

Maryam menatap ibunya dengan penuh perhatian.

“Ibu tahu, kamu telah berusaha keras. Kamu telah melakukan semuanya dengan sepenuh hati, dan ibu sangat bangga padamu.” Hawa menghela napas pelan, suaranya lembut tetapi penuh makna. “Ibu merasa tenang. Aku tahu kamu akan menjadi penghafal Al-Quran yang luar biasa. Bahkan jika aku tak ada lagi nanti, aku tahu kamu akan terus menjaga hafalan itu. Untuk dirimu dan untuk ibu.”

Air mata Maryam jatuh, meskipun ia berusaha menahan. Semua yang selama ini ia impikan, semua pengorbanan yang ia lakukan, kini terasa begitu berarti. Ia merasa, semua perjuangan itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk ibunya juga. Karena ibunya adalah alasan terbesar di balik setiap hafalan yang ia ucapkan.

“Ibu, aku janji… Aku akan terus menghafal, dan aku akan terus berdoa untuk ibu. Setiap ayat yang aku hafal adalah hadiah untuk ibu. Aku akan menjaganya sampai akhir,” kata Maryam dengan penuh keyakinan.

Hawa memeluk Maryam dengan lembut, dengan tangan yang masih penuh cinta, meski tubuhnya semakin rapuh. “Aku percaya padamu, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Ibu selalu ada di sampingmu, walau nanti aku tak bisa menemanimu lagi.”

Maryam menangis dalam pelukan ibunya, merasa segala beban di dunia ini terasa ringan. Semua hal yang ia rasakan kini, tidak hanya tentang menghafal Al-Quran, tetapi juga tentang memberi yang terbaik untuk orang yang ia cintai. Semua cinta dan doa itu menjadi satu, dan Maryam tahu, meski rintangan itu tidak akan pernah berhenti, ia akan selalu melanjutkan jalan ini—jalan yang penuh dengan berkat dan harapan.

Hari itu, malam yang tenang datang. Setelah shalat isya, Maryam duduk di samping ibunya, memegang tangan ibu dengan erat, mengucapkan doa dalam hatinya. Semua doa yang ia panjatkan bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibunya yang selalu menjadi pahlawan dalam hidupnya.

Tiga bulan kemudian, setelah banyak hari yang penuh perjuangan, Maryam berdiri di depan ibu tercinta. Ia baru saja menyelesaikan hafalan satu juz lagi. Ia tersenyum, mata berbinar, menghadap Hawa.

“Ibu, aku sudah selesai,” kata Maryam dengan penuh kebahagiaan. “Aku sudah hafal seluruh Quran.”

Hawa menatapnya dengan bangga, tak ada kata yang lebih indah dari senyum ibunya. Maryam tahu, segala usaha, setiap tetes keringat dan air mata, telah terbayar dengan satu hadiah terbesar yang bisa ia berikan kepada ibunya. Tidak ada yang lebih indah dari melihat ibunya bangga padanya, dan itu adalah hadiah yang akan ia simpan selamanya dalam hatinya.

Maryam mengangkat tangan ibunya dengan lembut, mencium tangan yang selalu memberinya kekuatan. “Ibu, terima kasih. Aku akan terus menjaga hafalan ini, sampai akhir hayatku. Ini untuk ibu, satu-satunya hadiah yang bisa aku berikan.”

Dengan doa di hati, Maryam tahu bahwa apa pun yang terjadi, jalan hidupnya akan selalu penuh dengan keberkahan. Dan cinta serta doa ibunya, akan selalu menemani langkahnya.

 

Begitulah kisah Maryam dan ibunya, perjalanan yang penuh dengan cinta, doa, dan tekad. Menghafal Quran bukan hanya tentang mengingat ayat-ayat-Nya, tapi juga tentang memberi yang terbaik untuk orang yang kita cintai.

Semoga cerita ini bisa menginspirasi kita semua untuk terus berusaha, menjaga hubungan dengan orang tua, dan selalu mengingat bahwa setiap langkah kita, jika dilalui dengan niat baik, akan dipenuhi berkah. Jangan pernah lelah berdoa, karena doa ibu itu selalu punya kekuatan yang luar biasa.

Leave a Reply