Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Sampah plastik telah menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar di dunia, bahkan di sekitar kita. Namun, perubahan itu bisa dimulai dari langkah kecil, seperti yang dilakukan Hadirah, seorang siswa SMA yang peduli akan lingkungan.
Dalam cerpen ini, Hadirah menunjukkan bagaimana upaya kecilnya dalam mengendalikan sampah plastik di sekolah bisa membawa dampak besar. Penasaran bagaimana dia memulai perjuangannya? Yuk, simak cerita seru, penuh perjuangan, dan inspiratif ini yang tidak hanya mengajak kita peduli terhadap lingkungan, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya peran setiap individu dalam menciptakan perubahan yang lebih baik!
Menyelamatkan Bumi dari Sampah Plastik di Sekolah
Awal Mula Kesadaran: Dari Sampah di Kantin ke Gerakan Besar
Pagi itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin dengan langkah ceria. Matahari bersinar terang, langit biru tanpa awan, dan rasanya hari itu bakal jadi hari yang menyenangkan. Aku berjalan bersama temanku, Mira, sambil tertawa-tawa. Kami berdua sudah punya rencana untuk makan siang di kantin sekolah dan menghabiskan waktu dengan ngobrol santai. Kantin sekolah sudah penuh dengan suara teman-teman yang bercanda, dan bau makanan yang enak mulai tercium.
Setelah memesan nasi goreng kesukaan, kami duduk di meja yang biasa kami tempati. Suasana penuh tawa, aku dan Mira mulai menyantap makanan kami. Tiba-tiba, mataku tertuju pada sesuatu yang mengganggu di dekat tempat sampah. Di sana, aku melihat tumpukan plastik bekas makanan yang menumpuk begitu banyak. Plastik-plastik itu berserakan di mana-mana, bahkan ada beberapa yang tergeletak di lantai. Di pojokan kantin, beberapa botol plastik tergeletak begitu saja, seolah mereka sudah menjadi bagian dari dekorasi di sana.
Aku merenung sejenak. Kenapa bisa begini? Bukankah kami selalu diminta untuk menjaga kebersihan? Tapi, melihat sampah plastik yang ada, aku merasa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di sekitarku. Selama ini, aku memang sering melihat sampah plastik, tapi aku hanya menganggap itu sebagai hal biasa. “Ya sudah lah, kan ada petugas kebersihan yang akan membersihkannya,” begitu pikirku. Tapi, pagi itu, entah kenapa, mataku seperti terbelalak, seolah semuanya terlihat berbeda.
“Mira, lihat deh, itu sampah plastiknya,” kataku sambil menunjuk tumpukan sampah yang ada. Mira menoleh dan ikut melihat, wajahnya mengernyit.
“Iya, banyak banget, ya? Padahal kita bisa lebih bijak, loh, kalau soal sampah plastik ini.” Mira sedikit menggelengkan kepalanya, seakan berpikir.
Aku mulai merasa cemas. Kenapa aku baru menyadari ini? Selama ini aku juga sering membeli air mineral dalam botol plastik, snack dengan kemasan plastik, dan tak jarang membuangnya begitu saja tanpa berpikir panjang. Aku sudah tahu kalau plastik itu butuh waktu sangat lama untuk terurai, tapi tetap saja, aku seperti tidak peduli.
Tiba-tiba, aku merasa malu. Selama ini aku bangga jadi anak gaul yang bisa hangout dengan teman-teman, tapi apakah itu artinya aku lupa untuk peduli dengan hal-hal kecil yang bisa membuat perubahan besar? “Gimana kalau kita mulai dari diri kita sendiri?” pikirku.
Aku mengambil napas dalam-dalam dan berkata, “Mira, kayaknya kita harus lakukan sesuatu tentang ini. Aku nggak mau cuma diam aja kalau ternyata sampah plastik di sekolah kita makin banyak. Gimana kalau kita mulai gerakan kecil di sekolah untuk mengurangi sampah plastik?”
Mira mengangguk dengan semangat. “Aku setuju banget! Kita bisa mulai dengan ajak teman-teman kita, mungkin bisa dimulai dari kantin.”
Pikiranku melayang ke sana kemari. Jika dimulai dari kantin, mungkin kita bisa mempengaruhi banyak orang untuk mulai membawa tempat makan atau minum sendiri. Aku mulai merencanakan langkah-langkah kecil dalam pikiranku, dan sepertinya aku sudah menemukan tujuan baru dalam hidupku. Aku ingin jadi bagian dari perubahan. Aku ingin sekolah kami tidak hanya dikenal karena kebersihannya, tetapi juga karena kesadaran kami terhadap lingkungan.
Setelah makan siang, aku langsung menghubungi beberapa teman dekatku, seperti Jihan dan Dita. Mereka berdua juga sangat aktif di berbagai kegiatan di sekolah, dan aku tahu mereka pasti bakal mendukung ide ini. Setelah itu, aku menyusun rencana. Kami akan mulai dengan mengadakan kampanye sederhana di kelas-kelas dan di kantin.
“Ayo, kita mulai! Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?” seruku dalam hati, penuh tekad. Aku tahu, perjalanan ini nggak akan mudah. Banyak rintangan yang pasti akan menghadang. Tapi aku juga yakin, meskipun langkah kami kecil, perubahan itu pasti bisa dimulai dari hal-hal kecil yang kami lakukan. Mungkin nggak langsung terlihat hasilnya, tapi setiap langkah yang kami ambil pasti akan memberi dampak.
Aku tersenyum sendiri saat melangkah keluar dari kantin. Ada perasaan berbeda dalam diriku, seperti ada semangat baru yang mengalir di dalam tubuhku. Aku nggak sabar untuk mengajak teman-teman lainnya bergabung dalam gerakan ini. Aku yakin, kalau kami semua bersatu, bisa membuat sekolah kami bebas dari sampah plastik. Ini adalah langkah pertama yang akan membawa perubahan besar, dan aku siap untuk menjalani perjalanan panjang ini, walau tahu akan banyak tantangan yang harus dihadapi.
Langkah Kecil, Harapan Besar
Pagi itu, aku merasa lebih bersemangat dari biasanya. Setelah diskusi panjang dengan Mira, Jihan, dan Dita kemarin, aku benar-benar merasa siap untuk mengubah hal-hal kecil di sekolah kami. Langkah pertama, kami sepakat untuk membuat kampanye kesadaran akan pentingnya mengurangi sampah plastik di kantin sekolah. Aku tahu, perubahan besar nggak akan datang dalam semalam. Tapi, jika dimulai dari hal kecil, siapa tahu dampaknya bisa jadi luar biasa.
Aku datang lebih pagi ke sekolah hari itu, dan seperti biasa, matahari sudah terbit dengan cerah, sinarnya menyentuh wajahku dan memberiku semangat baru. Langkahku cepat, menuju kelas, karena aku ingin segera bertemu dengan teman-teman untuk membahas lebih lanjut tentang rencana kami. Ketika aku tiba di kelas, aku melihat Dita sudah duduk di tempatnya, asyik bermain dengan ponselnya.
“Dita, kamu udah siap buat hari ini?” tanyaku, sambil duduk di sampingnya.
“Siap! Aku udah mikirin beberapa ide buat poster dan selebaran yang bisa kita sebarin ke teman-teman di kantin,” jawabnya dengan antusias.
Aku tersenyum, semangat Dita selalu menular padaku. “Keren, kita mulai kampanye kita setelah istirahat pertama, ya. Kita sebarin info tentang betapa pentingnya mengurangi sampah plastik. Pokoknya kita bikin teman-teman sadar.”
Kelas dimulai, dan meskipun aku merasa semangat, konsentrasiku sedikit terganggu. Aku berusaha menahan diri untuk tidak melihat jam terus-menerus. Rencanaku sudah ada di kepala, dan aku semakin bertekad untuk mewujudkannya.
Akhirnya, bel tanda istirahat pertama berbunyi, dan kelas yang tadinya sunyi berubah menjadi riuh. Aku melihat teman-temanku mulai keluar menuju kantin, dan aku segera menemui Mira dan Jihan yang sudah menunggu di luar kelas. Kami berjalan bersama ke kantin, sambil membawa selebaran dan poster yang sudah Dita siapkan.
Kami mulai mendekati kantin, tempat di mana biasanya sampah plastik berserakan di sekitar meja makan. Rasanya agak canggung, karena ini adalah pertama kalinya aku melakukan sesuatu seperti ini memulai sebuah gerakan untuk mengubah kebiasaan yang sudah dianggap biasa oleh banyak orang. Tapi aku harus berani. Aku harus memperlihatkan pada teman-temanku bahwa perubahan itu dimulai dengan keberanian untuk bertindak.
“Selamat pagi, teman-teman! Kami ingin ngajak kalian buat lebih peduli sama lingkungan kita,” seruku dengan percaya diri begitu sampai di kantin.
Mira ikut menyemangati, “Kalian pasti sudah sering lihat kan sampah plastik yang berserakan di sini? Yuk, mulai bawa tempat makan sendiri, biar kita bisa mengurangi sampah plastik.”
Beberapa teman yang sedang makan mendengarkan dengan tertarik, dan kami mulai memberikan selebaran yang berisi informasi tentang bahaya sampah plastik dan cara-cara mudah untuk menguranginya. Ada yang tampak terkejut, ada juga yang cuma mengangguk-angguk saja. Aku nggak peduli, yang penting aku sudah mulai.
Tiba-tiba, seorang teman sekelas, Arin, mendekat. Wajahnya tampak serius. “Caca, aku juga sering bawa botol minum sendiri, tapi aku kadang lupa bawa tempat makan. Kayaknya aku harus lebih konsisten, ya,” katanya.
Aku merasa senang mendengar itu. “Iya, Arin, kita bisa mulai dengan hal-hal kecil seperti itu. Kalau semuanya bawa tempat makan atau botol minum sendiri, kita bisa bantu sekolah kita bebas dari sampah plastik.”
Arin mengangguk setuju. Lalu, beberapa teman lain juga datang mendekat, dan kami mulai ngobrol lebih lanjut tentang pentingnya mengurangi sampah plastik. Ternyata, banyak dari mereka yang sebenarnya peduli, tapi belum tahu harus mulai dari mana. Kami jadi semakin semangat, karena tahu ada banyak orang yang ingin ikut bergabung.
Tapi, tentu saja, tak semua orang langsung mendukung. Ada beberapa yang hanya menganggap hal ini sebagai tren sesaat. “Eh, Caca, kamu kok kayak ngajak ngurangin sampah plastik sih? Gak ada yang peduli juga, kok,” kata Kevin, salah satu teman laki-laki di kelas. “Lagian, gak masalah juga kan, sekolah ini kan ada petugas kebersihan, jadi kita gak perlu mikirin sampah.”
Aku menahan napas sejenak. Pikiranku berputar cepat. Aku nggak mau menyerah hanya karena beberapa orang masih nggak peduli. “Kevin, kamu tahu kan kalau sampah plastik itu butuh ratusan tahun buat terurai? Kalau kita gak mulai peduli dari sekarang, bumi ini akan semakin banyak sampah yang nggak bisa diolah. Kamu nggak mau kan, kelak anak cucu kita hidup di dunia yang penuh sampah?”
Kevin terdiam. Sepertinya dia mulai berpikir. “Oke deh, aku coba bawa tempat makan sendiri minggu depan,” katanya ragu, tapi ada perubahan di wajahnya.
Aku merasa senang. Itu adalah kemenangan kecil, tapi kemenangan tetaplah kemenangan. Kami sudah mulai membuat perbedaan, bahkan jika itu hanya dimulai dari satu orang.
Hari itu, meskipun banyak teman yang belum sepenuhnya peduli, aku merasa bangga. Kampanye kami baru saja dimulai, dan meskipun perjalanan kami masih panjang, aku tahu langkah pertama kami sudah memberi dampak.
Setiap kali aku melihat teman-teman yang mulai membawa tempat makan atau botol minum sendiri, aku merasa semangatku semakin besar. Setiap selebaran yang kami sebar, setiap percakapan tentang pengurangan sampah plastik yang kami lakukan, rasanya seperti bola salju yang terus berkembang. Kami akan membuat sekolah kami jadi tempat yang lebih bersih dan peduli terhadap lingkungan.
Ini baru awal perjalanan, dan meskipun banyak rintangan yang menghadang, aku yakin kami akan terus bergerak maju. Untuk perubahan yang lebih besar, kami butuh banyak orang yang peduli. Dan hari itu, aku merasa lebih yakin dari sebelumnya: kami bisa melakukan ini, satu langkah kecil setiap harinya.
Semangat yang Tak Pernah Padam
Hari demi hari berlalu, dan meskipun awalnya tampak seperti langkah kecil yang tak berarti, semangatku dan teman-teman semakin menggebu. Kampanye pengurangan sampah plastik yang kami mulai sudah memasuki minggu ketiga, dan aku mulai melihat perubahan yang nyata. Meskipun belum semua teman-teman di sekolah ikut peduli, aku bisa merasakan ada angin segar yang berubah.
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana saat itu aku berdiri di depan kantin, menyerahkan selebaran kepada teman-teman satu per satu. Tadi pagi, Arin datang dengan botol minum baru yang keren, dan dia bercerita kalau dia sekarang lebih sering bawa kotak makan dari rumah daripada membeli makanan yang dibungkus plastik. Itu adalah kemenangan kecil yang terasa sangat berarti buatku.
Namun, perubahan nggak datang tanpa tantangan. Ada saja teman-teman yang menertawakan gerakan kami, menganggap kami hanya sedang berusaha mengikuti tren sesaat. Kevin yang sempat setuju untuk membawa tempat makan sendiri, dua hari setelahnya kembali makan di kantin dengan makanan yang dibungkus plastik. Aku hampir menyerah saat itu.
“Kita nggak akan bisa kalau kayak gini terus,” keluh Dita pada satu kesempatan setelah melihat Kevin dan beberapa teman lain makan dengan plastik sekali pakai.
Aku memejamkan mata, merasa sedikit kecewa. “Jangan menyerah, Dita. Perubahan nggak datang dalam semalam. Tapi setiap tindakan kecil yang kita lakukan, itu tetap berarti.”
Aku mencoba untuk menenangkan Dita, walau dalam hati aku juga merasa lelah. Rasanya, semakin banyak usaha yang kami lakukan, semakin banyak juga yang menganggap ini hanya omong kosong. Tapi aku tahu, kami nggak bisa berhenti. Aku nggak bisa menyerah begitu saja. Aku nggak ingin hidup dalam dunia yang penuh sampah plastik. Aku ingin perubahan itu nyata, dimulai dari diri kami sendiri.
Suatu sore, ketika aku sedang berada di ruang osis, aku mendapat kabar dari Mira. “Caca, kamu harus lihat ini! Beberapa teman dari kelas lain udah mulai bawa tempat makan sendiri dan botol minum loh!” ujarnya dengan penuh semangat.
Aku terdiam, merasa bahagia mendengarnya. “Benarkah?” tanyaku, tak percaya.
“Iya, mereka kirim foto mereka di grup chat osis. Pokoknya, gerakan ini mulai menular deh,” lanjut Mira. “Dan ada satu lagi, kami akan dapat sebuah kesempatan untuk bisa presentasi di upacara bendera besok!”
“Presentasi?” Aku terdiam sejenak, memikirkan peluang besar ini. “Kalau kita presentasi di upacara bendera, semua orang bakal lihat! Ini kesempatan besar untuk memperluas gerakan kita.”
“Betul!” jawab Mira. “Kita bisa kasih tahu semua teman-teman tentang betapa pentingnya sebuah mengurangi sampah plastik, dan gimana caranya kita bisa mulai dari diri kita sendiri.”
Aku merasa semangat itu kembali datang, lebih besar dari sebelumnya. Segera, kami mulai merancang presentasi untuk upacara. Beberapa hari setelahnya, kami berlatih dengan serius. Dita dan Jihan menyiapkan slide presentasi, sementara aku menyiapkan materi yang akan kami sampaikan. Kami ingin agar pesan yang kami bawa sampai dengan jelas, dan bisa membuat teman-teman lain berpikir untuk ikut bergabung dalam gerakan ini.
Akhirnya, hari yang kami tunggu-tunggu datang juga. Upacara bendera pagi itu terasa berbeda. Kami sudah siap, dan meskipun aku sedikit gugup, aku tahu inilah kesempatan kami untuk menunjukkan bahwa perubahan itu dimulai dari langkah kecil.
Ketika giliran kami tiba, aku dan teman-teman naik ke podium dengan percaya diri. Beberapa teman sekelas terlihat duduk dengan santai, beberapa masih sibuk dengan ponselnya, tapi aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Ini bukan tentang mereka, ini tentang masa depan kita, tentang sekolah yang lebih bersih, dan tentang dunia yang lebih baik.
Aku mulai berbicara, suara sedikit gemetar pada awalnya, namun semakin lama semakin mantap. “Selamat pagi, teman-teman! Kami ingin mengajak kalian semua untuk ikut berperan dalam mengurangi sampah plastik. Setiap hari kita menghasilkan sampah plastik yang sangat banyak, dan itu semua bisa mencemari lingkungan kita. Tapi, kita bisa mulai dari hal kecil, seperti membawa tempat makan sendiri, atau menggunakan botol minum yang bisa diisi ulang.”
Dita kemudian melanjutkan, dengan penuh semangat, “Kami sudah mulai kampanye ini beberapa minggu terakhir, dan kami sudah melihat banyak teman yang mulai peduli. Tapi, masih banyak dari kita yang belum sadar betapa pentingnya hal ini. Yuk, mulai sekarang, mari kita kurangi penggunaan plastik, demi lingkungan kita!”
Jihan juga memberikan penjelasan mengenai dampak buruk sampah plastik bagi kehidupan di bumi, sambil menunjukkan foto-foto sampah plastik yang mencemari alam dan hewan-hewan yang menjadi korban. “Sampah plastik membutuhkan ratusan tahun untuk terurai, dan bahkan sering kali berakhir di lautan, merusak ekosistem laut yang kita cintai.”
Ketika presentasi kami selesai, ada keheningan sejenak. Aku melihat beberapa teman mulai membuka mata mereka, beberapa tampak berpikir serius. Setelah itu, beberapa teman datang mendekat dan memberi semangat. “Keren banget sih, kalian,” kata Arin, yang sebelumnya hanya menganggap ini hanya omong kosong. “Aku mulai bawa tempat makan sendiri deh mulai sekarang!”
Aku tersenyum mendengar itu. Itulah yang kami harapkan perubahan dimulai dari satu orang, dan itu bisa berlanjut ke orang lain. Walau masih banyak tantangan yang harus dihadapi, aku merasa langkah kami semakin besar.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak teman-teman yang mulai membawa tempat makan sendiri, botol minum sendiri, dan menggunakan tas belanja yang ramah lingkungan. Kami mulai melihat perubahan nyata di kantin, yang dulu penuh dengan sampah plastik, kini semakin bersih.
Meskipun perjuangan kami masih panjang, aku merasa semangatku semakin membara. Gerakan ini bukan hanya tentang sampah plastik, ini tentang bagaimana kita bisa peduli pada bumi yang kita tinggali. Dan aku tahu, selama aku dan teman-teman tetap bersatu, kami bisa mengubah dunia, meski langkahnya kecil.
Aku menghela napas panjang, merasakan kepuasan yang luar biasa. Kami sudah mulai, dan kami akan terus melangkah. Karena aku percaya, jika semua dimulai dari langkah kecil, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik.
Langkah Kecil, Perubahan Besar
Beberapa minggu setelah presentasi di upacara bendera, dunia di sekitar kami mulai terasa berbeda. Aku bisa merasakan perubahan itu setiap kali aku melangkah di sekitar sekolah. Tidak lagi banyak sampah plastik berserakan di lantai kantin. Beberapa teman mulai membawa tas belanja kain, dan yang lebih membanggakan lagi, banyak dari mereka yang bahkan sudah terbiasa membawa botol minum sendiri. Semangat itu seolah menular, dan aku mulai percaya bahwa langkah kecil yang kami ambil bisa membawa perubahan besar.
Namun, di balik kebahagiaan itu, perjuangan kami belum berakhir. Masih ada banyak hal yang harus kami lakukan. Masih ada teman-teman yang dengan santainya menggunakan plastik, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Masih ada teman-teman yang berpikir bahwa gerakan ini hanya akan bertahan sebentar saja, seperti tren-tren lain yang datang dan pergi. Aku tahu, kami harus berjuang lebih keras.
Hari itu, setelah pulang sekolah, aku duduk di taman sekolah bersama Dita dan Mira, sambil mengamati lingkungan sekitar. Di meja makan kantin, beberapa teman masih duduk sambil makan makanan yang dibungkus plastik. Hati kecilku terasa sedikit sesak, karena meskipun kami sudah berusaha mengubah kebiasaan mereka, ternyata ada beberapa yang masih enggan untuk melakukannya.
“Gimana menurut kalian, guys?” aku membuka pembicaraan, melirik ke arah Dita dan Mira yang juga tampak memikirkan hal yang sama. “Kenapa ya masih banyak yang belum mau peduli? Padahal kita udah bikin kampanye ini dengan serius loh.”
Mira menghela napas panjang, “Kadang aku juga mikir gitu. Kayaknya, nggak semua orang ngerti betapa seriusnya masalah ini. Kita udah jelasin, tapi kadang mereka cuma mikir ‘Ah, itu cuma sampah plastik, nggak masalah deh’.” Dia mengerutkan keningnya, kesal.
Aku merasa kesal juga, tentu saja. Sudah begitu banyak usaha yang kami lakukan, mulai dari pengumpulan tanda tangan, presentasi di upacara bendera, hingga mengajak teman-teman untuk mengganti kebiasaan buruk mereka. Namun, masih ada saja yang menganggap ini sepele. Namun, aku tahu, inilah tantangan yang harus kami hadapi. Kalau ingin benar-benar membuat perubahan, kami harus lebih sabar dan lebih gigih.
“Jangan nyerah, Hadirah,” kata Dita dengan penuh semangat. “Kita udah sampai sejauh ini, kita nggak bisa berhenti. Pasti ada jalan keluarnya, kok!”
Aku mengangguk pelan. Dita benar, kita tidak bisa berhenti begitu saja. Kami sudah memulai perjalanan ini, dan kami harus terus maju, bahkan jika itu terasa sulit. Aku tahu kami tidak akan bisa mengubah semuanya dalam semalam. Tapi aku juga tahu bahwa setiap usaha yang kami lakukan, sekeras apapun itu, pasti akan memberikan dampak.
Hari-hari berlalu dan perjuangan kami terus berlanjut. Setiap pagi aku merasa lebih bersemangat, karena tahu bahwa ada teman-teman yang peduli dengan gerakan kami. Meskipun masih ada tantangan yang harus dihadapi, seperti teman-teman yang lupa membawa botol minum sendiri, atau yang membeli makanan dengan plastik, aku tetap merasa optimis.
Suatu hari, saat aku sedang berjalan menuju kantin bersama Mira dan Dita, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku berbunga-bunga. Di meja kantin, ada beberapa teman yang sedang duduk dengan membawa tempat makan sendiri. Salah satu dari mereka, Arin, yang dulu sempat meragukan gerakan ini, kini sudah mulai bawa kotak makan dari rumah. Aku hampir tidak percaya melihatnya. Arin, yang selalu menganggap ini semua sebagai hal sepele, ternyata benar-benar ikut berperan dalam gerakan ini.
“Arin!” aku menyapa dengan penuh semangat.
Arin menoleh, kemudian tersenyum. “Iya, Hadirah, aku mulai ikut. Nggak mau dong jadi orang yang nggak peduli sama lingkungan,” jawabnya sambil tertawa.
Aku merasa hati ini dipenuhi kebahagiaan yang tak terlukiskan. Walau hanya satu orang, perubahan ini terasa sangat berarti. Arin bukan hanya seorang teman, dia adalah bukti bahwa usaha kami mulai menunjukkan hasil. Satu orang yang berubah, itu bisa menjadi awal dari perubahan lebih banyak orang lainnya.
Pada hari lain, aku dan teman-teman merencanakan untuk mengadakan acara pengumpulan plastik bekas. Kami akan mengumpulkan botol plastik, kantong plastik, dan sampah plastik lainnya, kemudian mendaur ulangnya menjadi barang-barang berguna, seperti tas atau dompet. Kami juga mengundang beberapa organisasi peduli lingkungan untuk berbicara tentang pentingnya menjaga kebersihan dan mengurangi penggunaan plastik.
Ketika hari acara tiba, aku merasa cemas tapi juga sangat bersemangat. Ini adalah langkah besar kami untuk mengajak teman-teman lebih peduli lagi. Aku tidak tahu pasti apakah acara ini akan berhasil, tapi aku tahu kami harus mencobanya. Berbekal semangat dan tekad, kami mulai mengumpulkan plastik dari seluruh penjuru sekolah.
Ternyata, acara itu mendapat sambutan luar biasa. Banyak teman-teman yang ikut serta, membawa sampah plastik dari rumah mereka, dan bahkan ada yang datang membawa kantong plastik bekas belanjaan. Beberapa dari mereka yang tadinya enggan peduli mulai bertanya tentang cara mendaur ulang sampah plastik dengan benar. Kami juga membuat workshop kecil tentang cara membuat barang-barang dari plastik bekas, seperti tas atau tempat pensil. Semua itu memberikan kami kebanggaan tersendiri.
Sore itu, setelah acara selesai, aku duduk di bangku taman, memandangi seluruh sampah plastik yang sudah terkumpul dalam karung besar. Aku merasa lelah, namun juga sangat bahagia. Kami baru saja memulai sebuah perjalanan besar. Kami tidak tahu sejauh mana usaha ini akan membawa kami, tapi satu hal yang pasti, kami sudah membuat perubahan kecil yang mungkin bisa berbuah besar di masa depan.
Dita dan Mira duduk di sampingku, sambil tersenyum lelah. “Kita berhasil, Hadirah,” kata Mira. “Ini baru permulaan, kan?”
“Iya,” jawabku dengan suara penuh keyakinan. “Dan kita nggak akan berhenti. Kita akan terus berjuang, karena dunia ini layak untuk kita jaga.”
Aku menatap langit sore yang cerah, merasakan semangat itu kembali menyala. Kami masih punya perjalanan panjang, tapi satu hal yang pasti, langkah kami akan terus maju. Perubahan dimulai dari kita, dan kami adalah bagian dari perubahan itu.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Melalui perjuangan Hadirah dalam mengendalikan sampah plastik di sekolah, kita diajak untuk merenung dan bertindak lebih bijak terhadap lingkungan. Langkah kecil yang dia ambil membuktikan bahwa setiap individu bisa berperan dalam menciptakan perubahan besar. Jadi, bagaimana denganmu? Yuk, mulai lakukan hal-hal kecil yang bisa membantu mengurangi sampah plastik di sekitarmu. Ingat, perubahan besar dimulai dari diri sendiri!