Hadiah Terakhir dari Sang Ayah: Kisah Penyesalan, Kasih Sayang, dan Perjalanan Hati

Posted on

Kadang, kita terlalu sibuk dengan hidup dan masalah kita, sampai lupa kalau orang yang kita anggap selalu ada ternyata punya cara tersendiri buat menunjukkan kasih sayangnya. Cerita ini tentang Darius, yang baru sadar kalau hadiah terbesar dari ayahnya bukan berupa barang, tapi pesan-pesan tak terucap yang dia tinggalkan.

Siapa sangka, penyesalan dan kesedihan yang datang setelah kepergian justru jadi pembuka jalan untuk memahami makna hidup yang sebenarnya. Siap-siap, deh, siapin tisu, karena ini bakal bikin kamu mikir ulang soal kasih sayang yang nggak selalu kelihatan.

 

Hadiah Terakhir dari Sang Ayah

Jejak yang Terlupakan

Hari itu langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Aku masih bisa mendengar suara langkah kakiku yang bergaung di lorong rumah sakit, bergema setiap kali aku melangkah lebih jauh. Udara di sekitar terasa berat, dan meskipun aku sudah berusaha mencoba menenangkan diri, hatiku tetap gelisah. Mungkin karena kenyataan yang sulit diterima—ayahku, Renaldi, yang selama ini tampak begitu kuat dan tak terkalahkan, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Aku menggenggam erat tas kecil di tanganku, berusaha menenangkan diri sebelum memasuki ruangannya. Sejak kecil, aku selalu merasa jauh darinya. Ayah yang selalu sibuk, ayah yang selalu tampak terkurung di dalam rutinitasnya, yang lebih memilih duduk di ruang kerja daripada berbincang denganku. Aku sering menganggapnya dingin dan tak peduli, bahkan lebih peduli pada pekerjaannya daripada padaku. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada kata-kata penuh kasih sayang seperti yang biasa ibu berikan. Dan saat itulah aku mulai membangun dinding antara aku dan ayah, tanpa pernah benar-benar memahami alasan di balik sikapnya.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu kamar rumah sakit itu.

“Selamat pagi, Pak,” ucapku pelan, meski ada rasa canggung dalam setiap kata yang keluar. Ayah terbaring di sana, tubuhnya dipenuhi alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Aku merasakan udara di sekitar semakin tebal seiring dengan detak jantung yang semakin cepat. Tapi dia tetap saja diam, hanya terbaring tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Ibu duduk di kursi sebelah ranjang, matanya sembab, jelas telah menangis selama beberapa hari terakhir. Lihatlah kami, aku yang belum pernah benar-benar memahaminya, dan ibu yang selalu berusaha mengerti semuanya. Aku tahu, aku sering kali lebih mendengarkan ibu daripada ayah. Aku merasa lebih nyaman berbicara dengan ibu, karena ibu selalu tahu bagaimana cara menghiburku, memberi pelukan hangat, atau mendengarkan keluh kesahku tentang hidup. Sedangkan ayah… tidak pernah melakukannya. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kami berbicara dengan baik-baik.

“Tunggu di luar, Darius. Ibu mau bicara sebentar,” kata ibu, matanya yang lembut menatapku. Aku tidak tahu mengapa aku mengangguk saja, tanpa banyak bertanya. Aku merasa semakin bingung dengan semua perasaan yang bergejolak di dalam diriku. Semakin lama, semakin banyak penyesalan yang muncul. Aku merasa terlalu banyak hal yang tidak aku ketahui tentang ayah.

Aku keluar dari ruangannya dan berdiri di luar. Kaki-kakiku terasa berat. Setiap detik yang berlalu seperti sebuah cobaan, dan seakan semuanya terasa terlalu cepat. Semua kenangan masa kecilku berserakan di pikiranku. Ayah yang selalu mengingatkan aku untuk berusaha lebih keras, untuk tidak menyerah dengan hal-hal yang mudah, untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku selalu mengabaikannya, berpikir bahwa dia tidak peduli. Seolah-olah dia hanya peduli pada pekerjaannya, dan aku hanya menjadi bayangannya yang tidak pernah menarik perhatiannya.

Aku melangkah mundur beberapa langkah dan terduduk di kursi tunggu, menundukkan kepala, berusaha meredakan perasaan sesak yang tiba-tiba muncul. Tapi suara ibu yang terdengar dari dalam ruangan menyadarkanku.

“Ayahmu… sudah sangat lelah, Darius. Ini mungkin waktunya kita menerima kenyataan,” ujar ibu dengan suara yang terdengar semakin terisak.

Aku menutup telinga sejenak. Bagaimana bisa aku mendengarnya? Bagaimana bisa aku menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini aku anggap tak peduli, ternyata lebih peduli daripada yang pernah aku bayangkan?

Aku berusaha mengusir rasa bersalah yang mulai memenuhi kepalaku. Ayahku mungkin tidak pernah berkata-kata lembut, tidak pernah mengungkapkan betapa ia peduli. Tapi aku baru menyadari, bahwa mungkin itulah cara dia menunjukkan cinta—dalam diam, dalam kerja keras yang tak pernah ia ungkapkan. Semua yang dia lakukan, semua pengorbanannya, adalah untuk memberi aku kehidupan yang lebih baik.

Aku menoleh ke arah pintu kamar ayah, berpikir bahwa mungkin jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan lebih banyak meluangkan waktu bersamanya. Mungkin aku akan lebih sering duduk berdampingan dengannya, bukan hanya terjebak dalam kebingunganku tentang betapa sulitnya berhubungan dengan pria yang kukira terlalu keras itu.

Tapi yang aku punya sekarang hanya penyesalan. Dan penyesalan itu menghancurkan setiap inci keyakinan yang pernah aku miliki. Aku merasa seolah-olah aku baru saja menyia-nyiakan seluruh waktuku yang berharga. Aku menangis, bukan hanya karena aku takut kehilangan ayah, tapi juga karena aku baru mengerti seberapa dalam cinta seorang ayah yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

Ketika ibu keluar dari ruangannya, dia melihatku dan tersenyum pahit. “Darius, ayahmu meminta kamu datang. Dia ingin bicara denganmu.”

Aku berdiri dengan terburu-buru. Tak ada waktu lagi untuk berpikir panjang, karena aku tahu ini adalah kesempatan terakhirku. Segera aku melangkah masuk ke dalam ruang itu.

Ayah masih terbaring lemah, matanya terbuka perlahan, namun sorot matanya tetap tajam, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.

“Ayah…” suaraku hampir tenggelam di tenggorokan, seperti ada sesuatu yang menghalangi kata-kata itu keluar.

Ayah tersenyum tipis. “Darius, aku tahu aku bukan ayah terbaik. Tapi percayalah, aku selalu peduli padamu.”

Aku terdiam, air mata tak bisa kutahan lagi. Aku mengangguk pelan, menyadari bahwa apa yang kukira sebagai ketidakhadiran, ternyata adalah bentuk cinta yang berbeda. Tangan ayah perlahan menggenggam tanganku, dan aku merasakannya—hadiah terakhir yang dia beri padaku.

Dan saat itu juga aku tahu, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—dimana aku harus belajar untuk mengerti cinta yang tak selalu terlihat.

 

Di Balik Keheningan

Sejak pertemuan singkat itu dengan ayah, waktu terasa berhenti. Setiap detik yang berlalu semakin membuatku terjebak dalam kenyataan yang sulit diterima. Aku seperti berada di dunia yang asing, dunia yang dulu aku kenal tapi kini terasa sangat jauh. Setelah ayah mengucapkan kata-kata itu, aku tidak bisa berhenti berpikir: apa yang sebenarnya dia inginkan dariku? Kenapa aku baru menyadari semuanya sekarang, setelah segalanya hampir terlambat?

Keesokan harinya, aku kembali ke rumah sakit, tetapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Setiap langkah yang kuambil menuju kamar ayah terasa lebih berat. Ibu sudah lebih dulu berada di sana, duduk dengan kepala tertunduk, dan aku tahu, dia juga merasakan beban yang sama. Kehilangan itu bukanlah sesuatu yang bisa segera disembuhkan.

Aku duduk di kursi yang terletak di sisi ranjang ayah. Tanganku menggenggam erat surat yang masih tersimpan di dalam tas kecilku. Surat yang semalam aku temukan di kotak kayu ayah. Setiap kata yang tertulis di sana masih terngiang-ngiang di kepalaku, seolah-olah ayah mengirimkan suara hatinya melalui surat itu. Dia menyesal. Dia meminta maaf. Tapi, apakah semuanya terlambat?

Aku memandang wajah ayah yang terbaring lemah. Beberapa kali, aku mencoba untuk berbicara dengannya, tapi selalu saja ada keraguan yang menghalangiku. Apa yang bisa aku katakan? Kata-kata terasa terlalu dangkal untuk menggambarkan perasaan yang kini menggelegak dalam dadaku. Aku ingin memeluknya, tapi takut dia tidak merasakan apapun lagi. Aku ingin bertanya mengapa dia begitu diam, mengapa tidak ada yang pernah dia katakan, mengapa semua waktu yang kami miliki terasa terbuang sia-sia.

Ibu yang duduk di sudut ruangan mulai berbicara dengan suara lembut, “Darius, ayahmu sudah bertahan begitu lama. Dia ingin melihat kamu lebih bahagia. Aku tahu dia keras, tapi itu karena dia hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Aku menoleh padanya, lalu tersenyum pahit. “Aku tahu, Bu. Tapi kenapa sekarang? Kenapa baru aku sadar setelah semuanya hampir berakhir?” suaraku terdengar parau, dan aku menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. “Kenapa dia tidak pernah memberitahuku tentang semua ini?”

Ibu menghela napas panjang, lalu berdiri mendekatiku. “Terkadang, Darius, kita tidak tahu cara untuk berbicara tentang perasaan kita. Ayahmu… dia tidak seperti ibu. Dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan cinta dengan kata-kata. Tapi cintanya ada, Darius. Selalu ada, bahkan jika tidak terlihat.”

Kata-kata ibu terasa menusuk, seperti jarum yang masuk ke dalam hatiku. Aku merasa begitu bodoh. Betapa aku menilai ayah dengan cara yang salah. Aku sering menganggapnya dingin dan tidak peduli, tapi aku tidak pernah mencoba untuk mengerti cara dia menunjukkan perasaan.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah jam tangan antik yang ada di meja samping ranjang. Jam tangan itu kini terasa lebih hidup bagiku, seolah-olah itu adalah satu-satunya benda yang masih menghubungkan aku dengan ayah. Aku meraihnya, menyentuh permukaan logam yang dingin, dan saat itu aku merasa seolah-olah ayah sedang berada di sampingku. Aku merasa kehilangan yang tak terungkapkan, perasaan yang begitu dalam dan tak bisa lagi diubah. Aku mencengkram jam tangan itu seerat mungkin, berusaha menangkap secercah kenangan yang bisa menghidupkan kembali hubungan yang telah lama terputus.

“Bu, apa ayah pernah menyesali hubungan kami yang selalu terhalang?” tanyaku dengan suara yang bergetar.

Ibu terdiam, matanya penuh kehangatan. “Setiap orang menyesal atas sesuatu yang tak bisa diubah. Tapi aku rasa, dia selalu ingin kamu mengerti, Darius. Kalau bukan sekarang, mungkin nanti. Dia berharap kamu akan menemukan cara untuk membuka dirimu.”

Aku merasa seperti sedang terjebak dalam labirin emosional. Setiap kata ibu terasa seperti sebuah kunci, tapi aku tidak tahu ke mana arah pintunya. Semua yang aku lakukan sekarang terasa terlambat, seolah-olah aku baru terbangun dari sebuah mimpi buruk yang aku sendiri ciptakan.

Aku menatap ayah yang terbaring di ranjang. Wajahnya tampak begitu tenang, seolah dia tidak pernah merasa bersalah sedikit pun. Namun, aku tahu, jika bisa berbicara lebih lama, aku ingin sekali meminta maaf. Maafkan aku yang selalu mengabaikanmu, maafkan aku yang tidak melihat semua pengorbananmu.

Namun waktu tak memberi kesempatan itu. Ayah akhirnya pergi, dalam diam yang lebih besar dari yang pernah kulihat. Aku terdiam di ruangannya, merasa seolah seluruh dunia ini memudar menjadi abu. Satu-satunya yang tersisa adalah penyesalan yang kini mengalir dalam darahku.

Sore itu, setelah beberapa jam, aku pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, aku menuju ke ruang kerja ayah, tempat yang selama ini selalu terasa sepi dan asing. Kamar itu kini terasa lebih kosong, lebih menakutkan, seolah-olah tak ada lagi yang bisa menghidupkan tempat itu. Aku duduk di kursi ayah, mencoba membayangkan seperti apa rasanya duduk di tempatnya, bekerja dengan tenang, mungkin mengatur hidupnya sendiri.

Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah kotak kayu di meja kerja. Aku mendekatinya dan membukanya. Di dalamnya, ada beberapa benda—surat-surat lama, foto-foto keluarga, dan sebuah amplop besar yang bertuliskan namaku. Aku mengangkat amplop itu dengan tangan gemetar, membukanya perlahan, dan membaca isi surat yang ada di dalamnya.

“Darius, kalau kamu menemukan surat ini, berarti aku sudah tidak ada. Aku ingin kamu tahu bahwa segala hal yang aku lakukan dalam hidupku, aku lakukan untukmu. Semua yang aku berikan, aku berikan untuk kebahagiaanmu. Aku tahu aku tidak pernah berbicara banyak tentang perasaan, tapi percayalah, aku selalu mencintaimu. Aku ingin kamu menemukan kebahagiaanmu, lebih dari apapun yang bisa aku beri.”

Aku berhenti sejenak, mataku mulai berair. Hatiku terhimpit oleh kata-kata yang begitu dalam. Aku merasa tertampar dengan kenyataan yang baru aku sadari. Semua yang ayah lakukan, semua yang dia korbankan, ternyata adalah untukku. Dan kini, saat aku baru saja menyadarinya, dia sudah tidak ada lagi.

Aku menyimpan surat itu dengan hati yang hancur, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis untuk seorang pria yang selalu kulihat sebagai sosok yang jauh, yang ternyata lebih dekat dari yang aku kira.

 

Dalam Setiap Jejak Kenangan

Hari-hari setelah ayah pergi begitu sunyi. Rumah yang dulunya selalu penuh dengan suara-suara sibuk, tawa, dan bahkan pertengkaran kecil, kini terasa hampa. Aku hanya bisa menghabiskan waktu berlarian di antara kenangan yang tak pernah benar-benar ingin kutinggalkan. Ada banyak hal yang tidak pernah aku katakan kepadanya, dan kini semuanya terasa begitu sia-sia. Tapi, seperti yang ibu katakan, aku harus belajar untuk membuka hati—untuk diriku sendiri, untuk ayah, dan untuk kehidupan yang masih harus kujalani.

Setiap hari, aku kembali ke ruang kerja ayah, duduk di kursinya, dan mencoba mencari petunjuk di antara dokumen-dokumen yang ditinggalkan. Seakan aku berharap bisa menemukan sebuah jawaban, atau sesuatu yang akan memberiku kedamaian. Tapi yang aku temukan justru lebih banyak pertanyaan. Surat-surat yang ternyata berisi lebih dari sekadar urusan pekerjaan; ada catatan-catatan kecil, tanda tangannya yang kukenal, dan catatan tentang hal-hal yang tak pernah aku duga. Ayah tidak hanya berjuang untuk hidup kami, tapi juga untuk diriku, untuk masa depan yang seharusnya aku miliki.

Suatu malam, saat aku duduk di ruang kerja itu, ibu datang menghampiriku. Dia membawa secangkir teh hangat, dan menatapku dengan tatapan yang lebih penuh pengertian daripada sebelumnya.

“Darius,” katanya lembut, meletakkan cangkir teh di meja di depanku. “Aku tahu ini berat untukmu. Aku tahu, kamu merasa semua ini terjadi begitu cepat. Tapi kamu harus tahu satu hal. Ayahmu sangat bangga padamu.”

Aku terdiam, menatap ibu yang duduk di depanku. Kata-katanya begitu sederhana, namun mengandung begitu banyak makna. Aku ingin menjawab, tapi tenggorokanku terasa kering. Aku menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan ibu, yang seolah mampu menembus semua keraguan dan penyesalanku.

“Ayah… Dia tidak pernah mengungkapkan semuanya, bukan? Aku selalu merasa dia lebih dekat dengan kamu daripada aku,” aku berkata dengan suara pelan, tanpa bisa menahan kesedihan yang membebani dadaku.

Ibu menghela napas dan mengusap tangannya ke rambutku. “Darius, ayahmu memang tidak banyak bicara, terutama soal perasaan. Tapi percayalah, dia sangat bangga padamu. Dia hanya tidak tahu bagaimana cara untuk mengungkapkannya. Kadang, kita pikir orang tua tidak peduli, padahal mereka hanya tidak tahu bagaimana cara memberi perhatian yang kita harapkan.”

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata ibu yang sepertinya begitu penuh makna. Setiap detik yang berlalu terasa seperti kilas balik ke masa lalu. Aku teringat bagaimana aku dulu sering marah pada ayah, menganggapnya sebagai sosok yang keras dan tak pernah peduli. Aku bahkan sering merasa dia lebih memihak pada ibuku, lebih dekat dengan ibuku, dan aku selalu merasa terabaikan.

“Kenapa dia tidak pernah bilang kalau dia bangga padaku? Kenapa dia harus pergi begitu cepat?” aku bertanya dengan suara yang serak, hampir tidak bisa menahan air mata yang sudah lama tertahan.

Ibu menatapku dengan penuh pengertian, lalu berkata pelan, “Kadang, orang tua menganggap anak-anak mereka sudah tahu betapa mereka peduli. Ayahmu… dia mungkin merasa kamu sudah cukup dewasa, cukup kuat untuk menghadapi dunia sendiri. Tapi aku tahu, dia ingin kamu menjadi orang yang lebih baik. Dia ingin kamu menjalani hidup yang lebih bahagia daripada apa yang dia jalani.”

Aku meremas tangan, seolah ingin menahan diri agar tidak terjerembab dalam kesedihan yang semakin dalam. Semua yang ibu katakan terasa begitu benar, dan aku merasa sangat bodoh. Kenapa aku tidak pernah melihat ini? Kenapa aku tidak pernah peduli untuk memahami cara ayah menunjukkan kasih sayangnya?

Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan waktu di rumah, menyusuri setiap sudut yang pernah kuanggap biasa. Rumah ini kini terasa sangat asing. Tempat-tempat yang dulu selalu aku hindari, seperti ruang makan, ruang tamu, atau bahkan taman belakang rumah, kini berubah menjadi tempat-tempat yang menyimpan kenangan ayah. Setiap langkahku seperti melangkah di atas jejak-jejak yang tidak bisa kuulang, seperti memasuki dunia yang sudah tidak lagi ada.

Pada suatu pagi, ibu memanggilku ke ruang keluarga. “Darius, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu,” katanya sambil tersenyum samar. Aku mengikuti ibu, merasa ada sesuatu yang berbeda.

Di ruang keluarga, ada sebuah kotak kayu kecil yang terletak di atas meja. Kotak itu terlihat sederhana, tetapi ada sesuatu yang membuatku merasakan ketegangan di dalam dadaku. Ibu duduk di sebelah kotak itu dan menatapku dengan tatapan penuh arti.

“Ayahmu meninggalkan ini untukmu,” ibu berkata, matanya berkilat lembut, seolah menyimpan seribu makna yang belum terungkapkan.

Aku duduk di sebelah ibu, meraih kotak kayu itu dengan hati-hati, seolah-olah aku sedang memegang sesuatu yang sangat berharga. Di dalamnya, terdapat beberapa barang—beberapa foto lama keluarga, beberapa surat yang terlihat kuno, dan sebuah benda yang tampaknya sangat penting. Itu adalah sebuah jam tangan, jam tangan yang selalu dikenakan ayah, jam tangan yang selalu dia banggakan. Aku memegang jam tangan itu dengan gemetar, seolah-olah aku bisa merasakan detak jantung ayah yang kini telah tiada.

Aku membuka salah satu surat yang ada di dalam kotak, dan mataku langsung tertuju pada tulisan tangan ayah yang begitu familiar. “Darius, jika kamu membaca ini, itu berarti aku sudah pergi. Tapi ketahuilah bahwa aku mencintaimu. Aku ingin kamu selalu ingat satu hal—waktu kita bersama tidak pernah sia-sia. Jangan biarkan penyesalan menghancurkanmu.”

Aku terdiam, membaca surat itu berulang kali. Setiap kata yang tertulis di sana seolah memukulku dengan keras. Ayah benar—dia selalu menginginkan yang terbaik untukku, bahkan jika dia tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Tapi sekarang, aku baru menyadari, betapa berartinya setiap momen yang kami lewati bersama.

Ibu menyentuh bahuku, “Ayahmu ingin kamu memakainya. Dia ingin kamu tahu bahwa dia selalu bersamamu, bahkan setelah dia pergi.”

Aku menatap jam tangan itu, lalu memakainya dengan tangan gemetar. Ketika aku menatap cermin, aku merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Seolah-olah ayah ada di sini, mengawasi langkahku, memberi semangat, dan mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian.

 

Pesan yang Tertinggal

Beberapa bulan telah berlalu sejak saat itu, dan meski aku merasa seolah hidupku terhenti seiring dengan kepergian ayah, aku mulai menemukan jejak-jejak yang dia tinggalkan. Setiap langkah, setiap kenangan, kini bukan lagi sumber kesedihan semata, tapi juga pelajaran berharga tentang hidup dan cara ayah memandangku. Aku belajar untuk menerima kenyataan, untuk menghargai setiap momen yang ada, dan untuk menyayangi diriku sendiri, seperti yang dia inginkan.

Pada suatu malam yang dingin, aku duduk di balkon rumah, menatap langit yang gelap. Seperti biasa, aku meraih jam tangan yang ayah tinggalkan. Jam itu, yang dulu hanya sebuah benda biasa, kini menjadi lebih dari sekadar kenangan. Itu adalah simbol kasih sayang yang tidak pernah aku pahami sebelumnya. Ketika aku menatapnya, seolah aku bisa merasakan keberadaannya. Seolah dia ada di sini, menuntunku untuk menjadi versi terbaik dari diriku.

Aku tak lagi terhanyut dalam penyesalan. Memang, perasaan itu datang sesekali, ketika kenangan tentang ayah muncul begitu saja, ketika aku merasa kehilangan dan tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku sudah belajar untuk berdamai dengan rasa itu, untuk menerimanya sebagai bagian dari proses penyembuhan. Aku tahu ayah tidak ingin aku terjebak dalam penyesalan dan kesedihan yang tak ada habisnya. Dia ingin aku terus melangkah, meski tanpa dirinya.

Hari itu, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama aku rencanakan. Aku pergi ke tempat yang pernah kami datangi bersama—sebuah taman kecil yang selalu menjadi tempat favorit ayah untuk berjalan-jalan. Kami dulu sering berbicara di sana, berdua, tentang segala hal, bahkan tentang impian-impian kecil yang tidak pernah kami capai. Taman itu, meski sederhana, kini terasa penuh dengan kenangan indah.

Aku duduk di bangku yang biasa kami duduki, menatap pohon-pohon yang mulai berguguran daunnya. Angin sore menyapa wajahku, membawa kedamaian yang sudah lama kutunggu. Aku memejamkan mata sejenak, merasakan setiap hembusan angin, seolah itu adalah suara ayah, yang berkata, “Kamu sudah cukup kuat, Darius. Kamu bisa melanjutkan hidup ini dengan penuh kebahagiaan, seperti yang aku harapkan.”

Entah kenapa, aku merasa ketenangan yang aku rasakan hari ini lebih dalam dari sebelumnya. Seperti ayah, meskipun dia tidak lagi ada, pesan-pesan yang dia tinggalkan terus menguatkan. Aku tahu bahwa hidup tidak harus selalu tentang kesempurnaan. Terkadang, kehilangan itu mengajarkan kita untuk lebih menghargai hal-hal kecil, untuk tidak pernah berhenti berjuang meski ada rintangan, dan untuk selalu mengingat bahwa kasih sayang itu tidak selalu harus diungkapkan dengan kata-kata.

Sambil tersenyum, aku menatap ke arah langit yang semakin gelap, merasakan ketenangan dalam hatiku. Di sana, di tengah malam yang hening, aku tahu bahwa ayah selalu ada bersamaku, dalam setiap langkah hidupku, dalam setiap keputusan yang aku buat. Mungkin dia tidak pernah mengungkapkan semua perasaannya, tapi aku tahu dengan pasti—kasih sayang yang dia berikan jauh lebih besar daripada kata-kata yang bisa aku ucapkan.

Aku berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan taman itu dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar siap untuk melanjutkan hidupku, dengan segala kenangan dan pelajaran yang ayah tinggalkan. Ini bukanlah akhir. Ini adalah awal dari perjalanan yang baru, perjalanan yang akan kujalani dengan membawa pesan terakhir dari sang ayah—bahwa aku harus terus berjalan, mencintai diriku sendiri, dan menghargai setiap detik yang aku miliki.

 

Jadi, mungkin kita nggak selalu bisa merasakan kasih sayang secara langsung, atau mungkin kita baru nyadar setelah kepergian seseorang. Tapi, yang pasti, cinta itu nggak selalu harus terlihat atau diungkapkan dengan kata-kata.

Terkadang, ia ada dalam setiap keputusan yang kita ambil, dalam setiap langkah yang kita jalani, bahkan dalam kenangan yang tertinggal. Jadi, jangan sampai kita menunggu kehilangan untuk menghargai apa yang ada. Kasih sayang itu selalu ada, hanya saja kita yang kadang terlalu sibuk untuk menyadarinya.

Leave a Reply