Daftar Isi
Kadang, kita terlalu sibuk dengan hidup dan masalah kita, sampai lupa kalau orang yang kita anggap selalu ada ternyata punya cara tersendiri buat menunjukkan kasih sayangnya. Cerita ini tentang Darius, yang baru sadar kalau hadiah terbesar dari ayahnya bukan berupa barang, tapi pesan-pesan tak terucap yang dia tinggalkan.
Siapa sangka, penyesalan dan kesedihan yang datang setelah kepergian justru jadi pembuka jalan untuk memahami makna hidup yang sebenarnya. Siap-siap, deh, siapin tisu, karena ini bakal bikin kamu mikir ulang soal kasih sayang yang nggak selalu kelihatan.
Hadiah Terakhir dari Sang Ayah
Jejak yang Terlupakan
Hari itu langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Aku masih bisa mendengar suara langkah kakiku yang bergaung di lorong rumah sakit, bergema setiap kali aku melangkah lebih jauh. Udara di sekitar terasa berat, dan meskipun aku sudah berusaha mencoba menenangkan diri, hatiku tetap gelisah. Mungkin karena kenyataan yang sulit diterima—ayahku, Renaldi, yang selama ini tampak begitu kuat dan tak terkalahkan, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Aku menggenggam erat tas kecil di tanganku, berusaha menenangkan diri sebelum memasuki ruangannya. Sejak kecil, aku selalu merasa jauh darinya. Ayah yang selalu sibuk, ayah yang selalu tampak terkurung di dalam rutinitasnya, yang lebih memilih duduk di ruang kerja daripada berbincang denganku. Aku sering menganggapnya dingin dan tak peduli, bahkan lebih peduli pada pekerjaannya daripada padaku. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada kata-kata penuh kasih sayang seperti yang biasa ibu berikan. Dan saat itulah aku mulai membangun dinding antara aku dan ayah, tanpa pernah benar-benar memahami alasan di balik sikapnya.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu kamar rumah sakit itu.
“Selamat pagi, Pak,” ucapku pelan, meski ada rasa canggung dalam setiap kata yang keluar. Ayah terbaring di sana, tubuhnya dipenuhi alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Aku merasakan udara di sekitar semakin tebal seiring dengan detak jantung yang semakin cepat. Tapi dia tetap saja diam, hanya terbaring tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Ibu duduk di kursi sebelah ranjang, matanya sembab, jelas telah menangis selama beberapa hari terakhir. Lihatlah kami, aku yang belum pernah benar-benar memahaminya, dan ibu yang selalu berusaha mengerti semuanya. Aku tahu, aku sering kali lebih mendengarkan ibu daripada ayah. Aku merasa lebih nyaman berbicara dengan ibu, karena ibu selalu tahu bagaimana cara menghiburku, memberi pelukan hangat, atau mendengarkan keluh kesahku tentang hidup. Sedangkan ayah… tidak pernah melakukannya. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kami berbicara dengan baik-baik.
“Tunggu di luar, Darius. Ibu mau bicara sebentar,” kata ibu, matanya yang lembut menatapku. Aku tidak tahu mengapa aku mengangguk saja, tanpa banyak bertanya. Aku merasa semakin bingung dengan semua perasaan yang bergejolak di dalam diriku. Semakin lama, semakin banyak penyesalan yang muncul. Aku merasa terlalu banyak hal yang tidak aku ketahui tentang ayah.
Aku keluar dari ruangannya dan berdiri di luar. Kaki-kakiku terasa berat. Setiap detik yang berlalu seperti sebuah cobaan, dan seakan semuanya terasa terlalu cepat. Semua kenangan masa kecilku berserakan di pikiranku. Ayah yang selalu mengingatkan aku untuk berusaha lebih keras, untuk tidak menyerah dengan hal-hal yang mudah, untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku selalu mengabaikannya, berpikir bahwa dia tidak peduli. Seolah-olah dia hanya peduli pada pekerjaannya, dan aku hanya menjadi bayangannya yang tidak pernah menarik perhatiannya.
Aku melangkah mundur beberapa langkah dan terduduk di kursi tunggu, menundukkan kepala, berusaha meredakan perasaan sesak yang tiba-tiba muncul. Tapi suara ibu yang terdengar dari dalam ruangan menyadarkanku.
“Ayahmu… sudah sangat lelah, Darius. Ini mungkin waktunya kita menerima kenyataan,” ujar ibu dengan suara yang terdengar semakin terisak.
Aku menutup telinga sejenak. Bagaimana bisa aku mendengarnya? Bagaimana bisa aku menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini aku anggap tak peduli, ternyata lebih peduli daripada yang pernah aku bayangkan?
Aku berusaha mengusir rasa bersalah yang mulai memenuhi kepalaku. Ayahku mungkin tidak pernah berkata-kata lembut, tidak pernah mengungkapkan betapa ia peduli. Tapi aku baru menyadari, bahwa mungkin itulah cara dia menunjukkan cinta—dalam diam, dalam kerja keras yang tak pernah ia ungkapkan. Semua yang dia lakukan, semua pengorbanannya, adalah untuk memberi aku kehidupan yang lebih baik.
Aku menoleh ke arah pintu kamar ayah, berpikir bahwa mungkin jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan lebih banyak meluangkan waktu bersamanya. Mungkin aku akan lebih sering duduk berdampingan dengannya, bukan hanya terjebak dalam kebingunganku tentang betapa sulitnya berhubungan dengan pria yang kukira terlalu keras itu.
Tapi yang aku punya sekarang hanya penyesalan. Dan penyesalan itu menghancurkan setiap inci keyakinan yang pernah aku miliki. Aku merasa seolah-olah aku baru saja menyia-nyiakan seluruh waktuku yang berharga. Aku menangis, bukan hanya karena aku takut kehilangan ayah, tapi juga karena aku baru mengerti seberapa dalam cinta seorang ayah yang tak pernah aku lihat sebelumnya.
Ketika ibu keluar dari ruangannya, dia melihatku dan tersenyum pahit. “Darius, ayahmu meminta kamu datang. Dia ingin bicara denganmu.”
Aku berdiri dengan terburu-buru. Tak ada waktu lagi untuk berpikir panjang, karena aku tahu ini adalah kesempatan terakhirku. Segera aku melangkah masuk ke dalam ruang itu.
Ayah masih terbaring lemah, matanya terbuka perlahan, namun sorot matanya tetap tajam, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.
“Ayah…” suaraku hampir tenggelam di tenggorokan, seperti ada sesuatu yang menghalangi kata-kata itu keluar.
Ayah tersenyum tipis. “Darius, aku tahu aku bukan ayah terbaik. Tapi percayalah, aku selalu peduli padamu.”
Aku terdiam, air mata tak bisa kutahan lagi. Aku mengangguk pelan, menyadari bahwa apa yang kukira sebagai ketidakhadiran, ternyata adalah bentuk cinta yang berbeda. Tangan ayah perlahan menggenggam tanganku, dan aku merasakannya—hadiah terakhir yang dia beri padaku.
Dan saat itu juga aku tahu, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—dimana aku harus belajar untuk mengerti cinta yang tak selalu terlihat.
Di Balik Keheningan
Sejak pertemuan singkat itu dengan ayah, waktu terasa berhenti. Setiap detik yang berlalu semakin membuatku terjebak dalam kenyataan yang sulit diterima. Aku seperti berada di dunia yang asing, dunia yang dulu aku kenal tapi kini terasa sangat jauh. Setelah ayah mengucapkan kata-kata itu, aku tidak bisa berhenti berpikir: apa yang sebenarnya dia inginkan dariku? Kenapa aku baru menyadari semuanya sekarang, setelah segalanya hampir terlambat?
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah sakit, tetapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Setiap langkah yang kuambil menuju kamar ayah terasa lebih berat. Ibu sudah lebih dulu berada di sana, duduk dengan kepala tertunduk, dan aku tahu, dia juga merasakan beban yang sama. Kehilangan itu bukanlah sesuatu yang bisa segera disembuhkan.
Aku duduk di kursi yang terletak di sisi ranjang ayah. Tanganku menggenggam erat surat yang masih tersimpan di dalam tas kecilku. Surat yang semalam aku temukan di kotak kayu ayah. Setiap kata yang tertulis di sana masih terngiang-ngiang di kepalaku, seolah-olah ayah mengirimkan suara hatinya melalui surat itu. Dia menyesal. Dia meminta maaf. Tapi, apakah semuanya terlambat?
Aku memandang wajah ayah yang terbaring lemah. Beberapa kali, aku mencoba untuk berbicara dengannya, tapi selalu saja ada keraguan yang menghalangiku. Apa yang bisa aku katakan? Kata-kata terasa terlalu dangkal untuk menggambarkan perasaan yang kini menggelegak dalam dadaku. Aku ingin memeluknya, tapi takut dia tidak merasakan apapun lagi. Aku ingin bertanya mengapa dia begitu diam, mengapa tidak ada yang pernah dia katakan, mengapa semua waktu yang kami miliki terasa terbuang sia-sia.
Ibu yang duduk di sudut ruangan mulai berbicara dengan suara lembut, “Darius, ayahmu sudah bertahan begitu lama. Dia ingin melihat kamu lebih bahagia. Aku tahu dia keras, tapi itu karena dia hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Aku menoleh padanya, lalu tersenyum pahit. “Aku tahu, Bu. Tapi kenapa sekarang? Kenapa baru aku sadar setelah semuanya hampir berakhir?” suaraku terdengar parau, dan aku menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. “Kenapa dia tidak pernah memberitahuku tentang semua ini?”
Ibu menghela napas panjang, lalu berdiri mendekatiku. “Terkadang, Darius, kita tidak tahu cara untuk berbicara tentang perasaan kita. Ayahmu… dia tidak seperti ibu. Dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan cinta dengan kata-kata. Tapi cintanya ada, Darius. Selalu ada, bahkan jika tidak terlihat.”
Kata-kata ibu terasa menusuk, seperti jarum yang masuk ke dalam hatiku. Aku merasa begitu bodoh. Betapa aku menilai ayah dengan cara yang salah. Aku sering menganggapnya dingin dan tidak peduli, tapi aku tidak pernah mencoba untuk mengerti cara dia menunjukkan perasaan.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah jam tangan antik yang ada di meja samping ranjang. Jam tangan itu kini terasa lebih hidup bagiku, seolah-olah itu adalah satu-satunya benda yang masih menghubungkan aku dengan ayah. Aku meraihnya, menyentuh permukaan logam yang dingin, dan saat itu aku merasa seolah-olah ayah sedang berada di sampingku. Aku merasa kehilangan yang tak terungkapkan, perasaan yang begitu dalam dan tak bisa lagi diubah. Aku mencengkram jam tangan itu seerat mungkin, berusaha menangkap secercah kenangan yang bisa menghidupkan kembali hubungan yang telah lama terputus.
“Bu, apa ayah pernah menyesali hubungan kami yang selalu terhalang?” tanyaku dengan suara yang bergetar.
Ibu terdiam, matanya penuh kehangatan. “Setiap orang menyesal atas sesuatu yang tak bisa diubah. Tapi aku rasa, dia selalu ingin kamu mengerti, Darius. Kalau bukan sekarang, mungkin nanti. Dia berharap kamu akan menemukan cara untuk membuka dirimu.”
Aku merasa seperti sedang terjebak dalam labirin emosional. Setiap kata ibu terasa seperti sebuah kunci, tapi aku tidak tahu ke mana arah pintunya. Semua yang aku lakukan sekarang terasa terlambat, seolah-olah aku baru terbangun dari sebuah mimpi buruk yang aku sendiri ciptakan.
Aku menatap ayah yang terbaring di ranjang. Wajahnya tampak begitu tenang, seolah dia tidak pernah merasa bersalah sedikit pun. Namun, aku tahu, jika bisa berbicara lebih lama, aku ingin sekali meminta maaf. Maafkan aku yang selalu mengabaikanmu, maafkan aku yang tidak melihat semua pengorbananmu.
Namun waktu tak memberi kesempatan itu. Ayah akhirnya pergi, dalam diam yang lebih besar dari yang pernah kulihat. Aku terdiam di ruangannya, merasa seolah seluruh dunia ini memudar menjadi abu. Satu-satunya yang tersisa adalah penyesalan yang kini mengalir dalam darahku.
Sore itu, setelah beberapa jam, aku pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, aku menuju ke ruang kerja ayah, tempat yang selama ini selalu terasa sepi dan asing. Kamar itu kini terasa lebih kosong, lebih menakutkan, seolah-olah tak ada lagi yang bisa menghidupkan tempat itu. Aku duduk di kursi ayah, mencoba membayangkan seperti apa rasanya duduk di tempatnya, bekerja dengan tenang, mungkin mengatur hidupnya sendiri.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah kotak kayu di meja kerja. Aku mendekatinya dan membukanya. Di dalamnya, ada beberapa benda—surat-surat lama, foto-foto keluarga, dan sebuah amplop besar yang bertuliskan namaku. Aku mengangkat amplop itu dengan tangan gemetar, membukanya perlahan, dan membaca isi surat yang ada di dalamnya.
“Darius, kalau kamu menemukan surat ini, berarti aku sudah tidak ada. Aku ingin kamu tahu bahwa segala hal yang aku lakukan dalam hidupku, aku lakukan untukmu. Semua yang aku berikan, aku berikan untuk kebahagiaanmu. Aku tahu aku tidak pernah berbicara banyak tentang perasaan, tapi percayalah, aku selalu mencintaimu. Aku ingin kamu menemukan kebahagiaanmu, lebih dari apapun yang bisa aku beri.”
Aku berhenti sejenak, mataku mulai berair. Hatiku terhimpit oleh kata-kata yang begitu dalam. Aku merasa tertampar dengan kenyataan yang baru aku sadari. Semua yang ayah lakukan, semua yang dia korbankan, ternyata adalah untukku. Dan kini, saat aku baru saja menyadarinya, dia sudah tidak ada lagi.
Aku menyimpan surat itu dengan hati yang hancur, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis untuk seorang pria yang selalu kulihat sebagai sosok yang jauh, yang ternyata lebih dekat dari yang aku kira.
Jadi, mungkin kita nggak selalu bisa merasakan kasih sayang secara langsung, atau mungkin kita baru nyadar setelah kepergian seseorang. Tapi, yang pasti, cinta itu nggak selalu harus terlihat atau diungkapkan dengan kata-kata.
Terkadang, ia ada dalam setiap keputusan yang kita ambil, dalam setiap langkah yang kita jalani, bahkan dalam kenangan yang tertinggal. Jadi, jangan sampai kita menunggu kehilangan untuk menghargai apa yang ada. Kasih sayang itu selalu ada, hanya saja kita yang kadang terlalu sibuk untuk menyadarinya.