Hadiah Dari Kebaikan: Perjalanan Toko Buku yang Tumbuh Kembali Melalui Kesabaran dan Harapan

Posted on

Kadang, hidup nggak selalu sesuai harapan, kan? Gitu juga dengan Aghilas, yang harus berjuang keras buat mempertahankan toko buku milik keluarganya. Semua udah pada nyinyir, bahkan dia sempat hampir nyerah.

Tapi, siapa sangka, kebaikan yang dia tanam di hati, perlahan-lahan bisa jadi hadiah yang lebih besar dari yang dia bayangin. Yuk, simak gimana Aghilas bertahan dan ngeliat betapa kuatnya efek dari sebuah kebaikan!

 

Hadiah Dari Kebaikan

Kebaikan di Tengah Keramaian

Di sebuah toko buku kecil yang terletak di sudut jalan yang tak terlalu ramai, Aghilas sedang menyusuri rak-rak berdebu dengan langkah pelan. Tangannya yang cekatan merapikan buku-buku yang sedikit berantakan, mengatur kembali tumpukan-tumpukan novel lama yang hampir terlupakan. Udara di dalam toko terasa hangat, dipenuhi aroma kertas dan tinta yang khas. Ini adalah dunia yang ia kenal, dunia yang tak pernah bosan ia jalani.

Sudah hampir setahun Aghilas bekerja di toko buku milik Nenek Elvira, seorang wanita tua yang bijaksana dan penuh cerita. Nenek Elvira mungkin sudah terlalu tua untuk mengurus toko itu sendiri, tetapi ia masih menjaga semangat hidupnya. Toko ini bukanlah tempat yang ramai dikunjungi, tetapi bagi Aghilas, ini adalah rumah kedua, tempat di mana ia bisa merasakan kedamaian.

Tapi, meski begitu damai, tidak berarti Aghilas bebas dari cemoohan dan hinaan. Tak jarang, orang-orang lewat di depan toko dan menatapnya dengan tatapan merendahkan. “Anak itu cuma jadi penjaga toko buku tua, hidupnya pasti membosankan,” terdengar bisik-bisik di luar toko setiap kali seseorang melintas. Aghilas hanya bisa menunduk, tidak menanggapi, karena ia tahu bahwa kebaikan tidak membutuhkan pengakuan.

Hari itu, seperti biasa, Aghilas merapikan buku-buku di rak sambil sesekali melirik keluar toko. Langit tampak cerah meski udara sedikit terasa panas, dan beberapa orang berjalan tergesa-gesa, berlarian menuju tujuan masing-masing. Tiba-tiba, langkah kaki berhenti di depan pintu toko. Seorang wanita muda berdiri di sana, memandang masuk dengan ekspresi wajah yang tak bisa Aghilas tafsirkan.

Wanita itu adalah Larisa.

Larisa, yang selalu menjadi pusat perhatian di setiap tempat yang ia kunjungi, adalah sosok yang dikenal banyak orang. Cantik, kaya, dan tak pernah kekurangan teman, Larisa adalah tipe orang yang bisa membuat siapa saja merasa kecil dengan mudah. Ia adalah orang yang selalu tampak sempurna di luar, namun Aghilas tahu betul, di balik senyumnya yang menawan, ada banyak hal yang belum ia ungkapkan.

Larisa memandang Aghilas dengan tatapan tajam, seolah-olah dia baru saja menemukan sesuatu yang menarik. Aghilas, yang sedang memeriksa buku di rak, hanya mengangkat alis dan melirik sekilas ke arahnya. Tidak ada kata yang terucap.

“Hei, Aghilas,” kata Larisa dengan nada mengejek, memecah keheningan. “Kamu masih di sini, ya? Menghabiskan waktumu dengan buku-buku tua ini? Apa enaknya jadi penjaga toko kayak gini? Mungkin kamu nggak punya tempat lain buat pergi.”

Aghilas menarik napas panjang, berusaha untuk tidak merespons dengan nada yang sama. Dia sudah terbiasa dengan hinaan seperti itu, meski sedikit tergores juga oleh kata-kata Larisa. Tapi dia tahu, inilah jalan hidupnya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun merusak ketenangannya.

“Setiap orang punya cara masing-masing buat menjalani hidupnya, Larisa,” jawabnya, suaranya tetap tenang meski ada sedikit ketegangan. “Toko buku ini sudah cukup memberi banyak hal, lebih dari sekadar pekerjaan.”

Larisa tersenyum sinis, tampak tidak yakin dengan jawabannya. “Buku? Kamu bisa hidup hanya dengan buku-buku ini? Kamu nggak pernah berpikir untuk keluar dari tempat ini dan menemukan dunia yang lebih besar?” kata Larisa sambil melangkah lebih dekat, berdiri di depan rak yang dipenuhi buku-buku tua. “Tapi ya, nggak apa-apa. Kalau kamu bahagia dengan hidupmu yang begitu-begitu aja.”

Aghilas menatapnya sejenak, mengamati setiap kata yang keluar dari mulut Larisa. Dulu, dia akan merasa tersinggung, mungkin bahkan membalas dengan kata-kata yang lebih tajam. Tapi hari itu, entah kenapa, ia merasa tak ingin ikut terbawa arus.

“Kadang, kebahagiaan itu bukan soal mencari dunia yang lebih besar. Terkadang, kebahagiaan itu ditemukan dalam hal-hal sederhana, seperti buku-buku ini,” jawabnya dengan lembut, menatap Larisa dalam-dalam. “Dan aku cukup bahagia di sini.”

Larisa terdiam sejenak, sepertinya tidak tahu harus berkata apa lagi. Mungkin ada sedikit rasa penasaran yang muncul di matanya, atau mungkin ia hanya merasa bingung karena Aghilas tidak membalas ejekannya dengan cara yang biasa ia harapkan. Dia mengangguk pelan dan mulai melangkah pergi, tetapi sebelum berbalik, dia mengucapkan sesuatu yang tak terduga.

“Entahlah, mungkin kamu benar. Aku… aku hanya mengira hidupmu pasti membosankan. Tapi, siapa tahu, kan?” ujar Larisa tanpa menoleh.

Aghilas hanya mengangguk kecil, tidak memberi banyak tanggapan. Dia kembali ke pekerjaannya, melanjutkan apa yang sudah menjadi rutinitasnya. Pikirannya mungkin sedikit terganggu, tetapi ia tidak ingin terlalu banyak memikirkan perkataan Larisa. Toko buku ini, meski tidak banyak pengunjungnya, adalah dunia yang penuh kedamaian bagi Aghilas.

Namun, hari itu, ia tidak tahu bahwa kata-kata Larisa akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.

Ketika senja datang, dan Nenek Elvira menutup toko, Aghilas berjalan keluar untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar kota. Udara sore itu terasa lebih sejuk, dan langkahnya yang tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Saat dia melewati trotoar yang ramai, ia tak menyangka bahwa kebaikan yang dia tanamkan dengan sabar akan segera diuji dengan cara yang tidak terduga.

Namun, itu semua masih jauh dari akhir cerita. Bab berikutnya, yang jauh lebih berat, akan datang dengan sendirinya.

 

Fitnah yang Menghantui

Hari-hari berlalu begitu saja, seperti biasa. Aghilas kembali tenggelam dalam rutinitasnya yang sederhana. Namun, di balik ketenangan yang ia pilih, sebuah kabar buruk mulai mengintai tanpa terduga.

Suatu pagi, Aghilas berjalan menuju toko dengan langkah santai, seperti biasa. Jalanan yang dilewatinya terasa biasa, dengan suara kendaraan yang riuh dan orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, saat ia tiba di depan toko, ia melihat seorang pria berdiri di depan pintu, berbicara dengan Nenek Elvira. Pria itu tampaknya sedang berbicara serius, wajahnya penuh dengan kekesalan.

“Kenapa sih, Aghilas? Semua orang bilang kamu yang bikin toko buku ini rugi! Itu tidak bisa dibiarkan begitu saja,” kata pria itu dengan suara kasar. Aghilas tidak langsung mengerti, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatnya sedikit khawatir.

Aghilas berhenti sejenak, mendengar percakapan itu dengan cemas. Pria itu adalah salah satu pelanggan tetap yang sebelumnya sering datang ke toko. Dia adalah bagian dari kelompok yang kadang datang ke sini, membeli buku-buku lawas dengan harga murah. Tapi, kali ini, ia tampaknya sangat marah.

Nenek Elvira menanggapi dengan tenang. “Apa maksudmu, Pak Suryo? Apa yang terjadi?”

Pria itu mendengus, menatap Aghilas yang kini sudah berdiri di samping Nenek Elvira. “Maksud saya begini, Nek. Aghilas ini kan anak muda, tapi kok sikapnya kayak nggak ada tanggung jawab. Toko buku ini sepi terus, sekarang kamu jadi rugi besar. Semua orang di lingkungan sini ngomongin dia, dia yang bikin toko ini jatuh, katanya toko ini bakal bangkrut!”

Kata-kata itu meluncur deras, dan Aghilas merasakannya seperti pisau yang menembus dada. Fitnah yang tiba-tiba datang tanpa bisa dia hindari. Semua yang terjadi di luar kendali, dan itu membuatnya merasa tersudut. Dia tak pernah berniat merusak apapun. Semua yang ia lakukan, semuanya demi menjaga toko ini tetap ada.

Aghilas menatap pria itu dengan tatapan kosong. “Pak, saya cuma bekerja di sini, saya nggak pernah berniat merusak apapun. Kalau ada masalah, pasti ada penjelasan lain.”

Namun, pria itu malah tertawa sinis. “Lihat deh, kayak anak kecil aja. Masih nggak ngerti kenapa orang-orang ngomong gitu? Kamu pikir dengan bersikap baik, toko ini bisa terus bertahan? Jangan mimpi deh.”

Nenek Elvira berusaha menenangkan, tetapi rasa kecewa sudah terlalu dalam merasuk. “Pak Suryo, kita selalu berusaha memberikan yang terbaik. Kalau ada kesalahan, kita akan perbaiki. Tapi tolong jangan menyebarkan fitnah tanpa dasar.”

Aghilas hanya bisa diam. Kata-kata itu seperti mantra yang terus terngiang dalam pikirannya. Setiap langkah terasa berat, setiap perasaan yang datang semakin sulit untuk dia hadapi. Sakit. Hati yang sabar ini tiba-tiba terasa penuh dengan keraguan.

Saat toko mulai sepi, Aghilas berjalan keluar untuk menyegarkan diri. Namun, di luar sana, dunia tidak tampak seindah yang ia bayangkan. Beberapa orang yang lewat masih berbicara tentang dirinya. Bisik-bisik itu semakin jelas, seolah-olah semua orang di sekitar tahu tentang fitnah yang sedang menghebat.

“Aghilas si penjaga toko itu, ya? Katanya dia yang bikin toko itu bangkrut. Bisa-bisanya dia malah nggak bisa kerja dengan baik,” kata seorang wanita yang sedang berbicara dengan temannya di kedai kopi.

Aghilas mendengar percakapan itu dengan jelas, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin membalas, ingin menjelaskan semuanya, tetapi kenyataannya tak semudah itu. Seiring dengan berjalannya waktu, rumor itu semakin berkembang, hingga sampai pada telinga Nenek Elvira.

Pagi hari setelahnya, Nenek Elvira memanggil Aghilas ke belakang toko. Wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya, dan mata tuanya memancarkan keprihatinan.

“Aghilas, apakah kamu tahu tentang rumor itu?” tanya Nenek Elvira dengan suara penuh kekhawatiran. “Aku dengar dari beberapa orang, mereka bilang kamu yang menyebabkan toko ini sepi, bahkan banyak yang bilang kamu sudah merusak reputasi toko kita.”

Aghilas menundukkan kepalanya. Perasaan itu datang begitu menghimpit, ia merasa seperti tersangka dalam perkara yang tidak ia lakukan. “Aku nggak tahu, Nek… Aku nggak pernah berniat merusak toko ini.”

Nenek Elvira memandangnya dengan mata yang penuh pengertian. “Aku tahu, Aghilas. Kamu bukan orang yang seperti itu. Tapi, kadang dunia ini kejam. Kebaikanmu bisa disalahartikan. Kamu sabar saja. Kita akan menghadapi semua ini bersama. Jangan biarkan rumor-rumor itu membuatmu down.”

Meskipun kata-kata Nenek Elvira memberikan sedikit kelegaan, namun beban itu tetap ada. Aghilas merasa dirinya semakin terjepit. Ia tidak bisa melawan apa yang tidak tampak, dan bahkan dirinya sendiri semakin ragu untuk berbuat apa pun. Sebuah pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: “Mengapa kebaikan bisa menjadi masalah bagi sebagian orang?”

Hari-hari berikutnya semakin sulit. Aghilas datang lebih pagi ke toko dan pulang lebih larut malam. Ia berusaha melupakan cemoohan dan hinaan yang datang begitu cepat. Namun, di dalam hati, dia merasa semakin sepi.

Dan saat matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi, Aghilas kembali merenung. Perasaan terpendam yang lama menguasai dirinya. Semua kebaikan yang ia lakukan, seolah-olah tidak pernah dihargai. Bahkan, sebaliknya, itu menjadi alasan untuknya dipermalukan.

Tapi Aghilas tahu satu hal—kebaikan yang sejati tidak akan pernah sia-sia. Meskipun dunia bisa sangat kejam, ia percaya bahwa hadiahnya akan datang, meskipun ia belum tahu kapan.

Bab ini masih jauh dari selesai, dan ujian besar yang akan datang akan menguji seberapa kuat kebaikan Aghilas. Tapi Aghilas tidak tahu bahwa fitnah yang beredar itu hanyalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang harus ia jalani.

 

Kebaikan yang Terlambat Dikenali

Malam itu, langit terlihat lebih gelap dari biasanya, seakan mencerminkan suasana hati Aghilas. Di dalam toko yang sepi, ia duduk di meja kayu yang sudah mulai usang, menatap buku-buku yang tersusun rapi. Buku-buku itu seolah-olah berbicara, menceritakan kisah-kisah dari masa lalu yang jauh lebih baik. Di luar sana, dunia terus berjalan, tapi Aghilas merasa terperangkap dalam kepedihan yang seolah tidak berujung.

Namun, di tengah kesunyian itu, tiba-tiba pintu toko terbuka. Suara lonceng pintu yang berbunyi lembut menggema di udara. Aghilas menoleh dengan sedikit terkejut. Di ambang pintu, berdiri seorang perempuan dengan wajah yang tampak asing, tapi ada sesuatu yang familiar dari tatapan matanya.

“Permisi, apakah ini toko buku Aghilas?” tanyanya dengan suara lembut, tetapi ada sedikit keraguan yang terdengar.

Aghilas tersentak. Ia mengangguk pelan, masih sedikit bingung dengan kehadiran perempuan itu. “Iya, ini toko buku saya. Ada yang bisa saya bantu?”

Perempuan itu tersenyum tipis, tetapi ada kesan bahwa senyum itu menyembunyikan banyak perasaan. “Saya… saya cuma ingin bilang sesuatu.” Ia berhenti sejenak, menatap Aghilas dengan tatapan yang penuh arti. “Saya mendengar tentang kamu, tentang semua yang terjadi di sini, dan… saya ingin minta maaf.”

Aghilas memandangnya bingung. “Minta maaf? Maaf untuk apa?”

Perempuan itu menarik napas panjang, seakan berusaha mengumpulkan kekuatan. “Saya… saya salah. Saya salah menilai kamu, Aghilas. Semua orang di sekitar sini bilang kamu yang bikin toko ini sepi, bilang kamu yang merusak semuanya. Saya ikut percaya begitu saja tanpa tahu ceritanya.”

Aghilas terdiam. Tiba-tiba, seluruh tubuhnya terasa kaku. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu—kata-kata yang datang terlambat—membuatnya merasa tercampur aduk antara kelegaan dan rasa sakit yang mendalam. Kenapa semua ini baru datang sekarang? Kenapa baru sekarang dia tahu kebenarannya?

“Apa maksudmu?” tanya Aghilas, suaranya hampir hilang karena perasaan yang bercampur aduk.

Perempuan itu berjalan lebih dekat dan duduk di depan meja. “Nama saya Ines. Saya salah mendengar dan ikut terpengaruh oleh rumor. Tapi setelah saya pikirkan lagi, saya sadar. Kamu bukan orang yang seperti itu. Semua yang kamu lakukan itu demi toko ini, demi Nenek Elvira.”

Aghilas menunduk, menatap tangan yang terlipat di atas meja. “Kebaikan itu sering kali dipandang sebelah mata, Ines. Orang-orang terlalu mudah menilai tanpa tahu kenyataan yang ada. Aku nggak pernah meminta apa-apa dari mereka, tapi malah dihina.”

Ines mengangguk pelan, merasa bersalah atas sikapnya sebelumnya. “Aku tahu, Aghilas. Dan aku sangat menyesal. Aku berharap bisa balik waktu dan menghentikan diriku untuk ikut serta dalam percakapan yang salah itu.”

Seketika itu, Aghilas merasakan sebuah kehangatan yang mulai muncul dalam dirinya. Meskipun kata-kata Ines datang terlambat, namun setidaknya ada seseorang yang mengerti dan berani mengakui kesalahan. Itu adalah kebaikan yang tidak ia harapkan, tapi ia terima dengan lapang dada.

Namun, saat keduanya berbicara, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari luar. Pintu toko kembali terbuka dengan keras, dan seorang pria yang tampaknya sangat marah masuk ke dalam toko. Aghilas mengenal pria itu. Namanya Rudi, salah satu pelanggan yang dulu sering datang ke toko, namun akhir-akhir ini selalu memberikan komentar sinis.

“Kenapa toko ini masih buka? Kalau nggak mau bangkrut, mending tutup aja!” teriak Rudi dengan nada yang tinggi.

Ines yang duduk di depan Aghilas langsung berdiri, wajahnya terlihat kaget. “Apa yang kamu bicarakan?” tanyanya dengan nada tegas, meski tidak bisa menutupi rasa takutnya.

Rudi tertawa sinis, tidak peduli dengan keberadaan Ines. “Aghilas, kamu harus berhenti buat malu-maluin orang. Semua orang udah ngomongin toko ini. Kamu pikir kamu bisa terus bertahan begitu aja? Jangan mimpi!”

Aghilas merasakan hatinya kembali terguncang. Kenapa semuanya terasa begitu keras? Kenapa mereka tidak pernah mengerti? Namun, ia tetap menahan emosinya, berusaha untuk tetap sabar, meskipun kata-kata itu menghujam dengan sangat dalam.

“Apa yang kamu inginkan, Rudi?” kata Aghilas dengan suara yang agak datar. “Kalau kamu nggak suka dengan toko ini, kamu bisa pergi kapan saja. Aku nggak pernah paksa siapa pun untuk datang ke sini.”

Rudi menatapnya tajam, tidak bisa menyembunyikan kebenciannya. “Aku nggak peduli dengan alasan kamu. Aku cuma ingin lihat toko ini tutup! Kalau kamu nggak berhenti, kamu bakal lihat sendiri bagaimana aku bakal bawa semua orang yang aku kenal untuk pergi dari sini.”

Kata-kata itu membuat Aghilas terdiam. Rudi berjalan pergi dengan langkah penuh kebencian, meninggalkan toko dengan suasana yang semakin berat.

Aghilas menatap pintu yang tertutup rapat. Hatinya terasa penuh dengan kemarahan, tapi ia berusaha untuk menenangkan diri. Ines yang semula khawatir, kini duduk kembali di hadapannya dengan tatapan yang penuh simpati.

“Kenapa orang-orang seperti itu tidak bisa melihat kebaikan?” Aghilas bertanya pada dirinya sendiri, lebih banyak pada keheningan daripada Ines.

Ines menatapnya dengan mata yang lembut. “Mungkin mereka belum siap untuk melihatnya, Aghilas. Tapi kamu jangan khawatir, ada banyak orang di luar sana yang menghargai kebaikanmu. Mungkin saat ini kamu merasa tersisih, tapi yakinlah, kebaikanmu akan berbuah pada waktu yang tepat.”

Meskipun perkataan itu terasa seperti harapan yang sangat tipis, Aghilas tidak bisa menahan sedikit pun rasa lega. Setidaknya ada yang peduli. Setidaknya ada yang mau melihat kebaikan di balik semua yang ia lakukan.

Dan meskipun di hadapannya masih banyak fitnah yang harus dihadapi, Aghilas tahu satu hal: Kebaikan itu tidak pernah sia-sia, meskipun kadang ia harus menunggu hingga waktu yang tepat untuk meraihnya.

 

Hadiah yang Tumbuh Seiring Waktu

Pagi itu, toko buku Aghilas terlihat berbeda. Ada sesuatu yang baru, sebuah harapan yang berpendar di antara rak-rak buku yang sunyi. Aghilas menatap ke luar jendela, melihat burung-burung yang terbang bebas di langit biru. Di dalam hatinya, meskipun ada sisa-sisa kepedihan yang belum sepenuhnya hilang, ada juga rasa damai yang mulai tumbuh. Keadaan tidak berubah seketika, tetapi perlahan-lahan, semuanya mulai terasa lebih baik.

Semenjak pertemuan dengan Ines, ada banyak hal yang berubah. Orang-orang yang dulu menghindar mulai mendekat, tidak ada lagi cemoohan yang terasa begitu tajam. Tentu saja, masih ada yang menganggap rendahnya, masih ada yang mencibir diam-diam, namun Aghilas mulai bisa menerima itu dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi merasa perlu menjelaskan semuanya kepada orang yang tidak ingin mendengarkan.

Dan hari ini, seperti yang dijanjikan Ines, dia datang kembali. Wajahnya terlihat lebih cerah, dan kali ini, bukan hanya kata-kata maaf yang ia bawa, tetapi juga sesuatu yang lebih berharga—sebuah usaha untuk benar-benar membangun kembali apa yang sempat runtuh.

“Aghilas,” Ines menyapanya dengan senyum tulus. “Aku bawa beberapa orang yang ingin mendukung toko ini. Mereka semua penduduk sekitar, mereka bilang ingin melihat toko ini tetap buka. Mereka percaya kalau kamu punya sesuatu yang luar biasa di sini.”

Aghilas menatapnya dengan kebingungannya yang jelas. “Benarkah?”

Ines mengangguk, matanya berbinar. “Mereka ingin membeli beberapa buku, dan bukan cuma itu. Mereka bilang toko ini punya sejarah, punya kenangan. Mereka nggak mau kalau toko ini tutup hanya karena desas-desus yang nggak jelas.”

Aghilas merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Rasanya seperti mendapat angin segar di tengah badai yang tak kunjung reda. Ia mengikuti Ines ke bagian depan toko, melihat beberapa orang yang datang membawa harapan baru. Mereka mulai memilih buku, berbicara dengan ramah, berbagi cerita, dan satu persatu, toko yang sempat sepi mulai dipenuhi kembali.

“Aghilas,” seorang pria tua yang baru saja membeli buku menghampirinya, “toko ini sudah lama jadi tempat yang kami kenal. Saya ingat pertama kali saya datang ke sini, Nenek Elvira yang menyambut saya. Toko ini lebih dari sekedar tempat jualan buku. Ini adalah tempat yang menyimpan kenangan.”

Aghilas terharu mendengarnya. Kata-kata itu mengingatkannya pada kenangan bersama Nenek Elvira, pada kebaikan yang selalu diberikan tanpa pamrih. “Terima kasih, Pak. Itu sangat berarti bagi saya.”

Dan begitu saja, toko buku yang semula terancam tutup, kini mulai tumbuh kembali. Aghilas mulai melihat hasil dari kebaikannya, meskipun terkadang hasil itu datang dengan cara yang tidak terduga. Ines tetap setia menemani, membantu Aghilas dengan segala cara yang dia bisa. Mereka mulai merancang acara kecil untuk komunitas, undangan untuk orang-orang yang peduli, dan perlahan-lahan, toko ini menjadi tempat yang lebih hidup, lebih berarti.

Tetapi di balik semua itu, Aghilas tahu, kebaikan yang ia beri bukanlah sesuatu yang ia harapkan sebagai imbalan. Kebaikan itu adalah hadiah yang datang tanpa pamrih, yang tumbuh seiring berjalannya waktu. Ia tidak tahu seberapa jauh ia harus berjalan, atau berapa banyak tantangan yang harus ia hadapi, namun satu hal yang ia yakini: setiap langkah yang diambil dengan niat baik, akan membuka jalan untuk sesuatu yang lebih besar.

Suatu sore, ketika toko mulai sepi, Aghilas duduk di kursi dekat jendela, menatap matahari yang mulai terbenam di balik bukit. Di luar, suara riuh anak-anak yang sedang bermain di jalan masih terdengar jelas, dan meskipun ia tahu tantangan masih akan datang, ia merasa lebih siap untuk menghadapinya. Kebaikan yang pernah ia beri, kini kembali padanya, berwujud dalam bentuk yang tak terduga.

Dari balik pintu, Ines muncul, membawa segelas teh hangat. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan khawatir.

Aghilas tersenyum. Senyum yang penuh kedamaian, meskipun tidak bisa sepenuhnya menghapus semua rasa sakit yang ada. “Aku baik. Aku merasa, kebaikan itu punya cara sendiri untuk kembali ke kita, meskipun kadang kita nggak tahu kapan.”

Ines duduk di sampingnya, menikmati keheningan yang hangat. Mereka tidak perlu berkata banyak, karena apa yang mereka rasakan sudah cukup jelas. Kebaikan, meskipun kadang harus melalui banyak rintangan dan kesedihan, pada akhirnya akan menemukan jalannya. Dan itu adalah hadiah yang tak ternilai harganya.

Hari itu, toko buku Aghilas bukan hanya sekadar tempat untuk membeli buku, tetapi juga menjadi simbol dari sebuah perjalanan panjang. Perjalanan yang dipenuhi dengan kebaikan, keteguhan hati, dan harapan yang tak pernah padam.

Aghilas tahu, hidup memang tidak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Namun, dengan sabar, dengan kebaikan, ia bisa menghadapinya. Dan mungkin, hanya mungkin, dunia ini akan sedikit lebih baik, satu perbuatan baik pada satu waktu.

 

Jadi, kadang kita nggak perlu nunggu kebaikan itu balik ke kita secepatnya. Yang penting, terus berbuat baik meski jalan yang ditempuh nggak selalu mulus.

Karena, percaya deh, kebaikan yang tulus pasti punya cara buat kembali ke kita dengan cara yang nggak kita duga. Dan siapa tahu, hadiah terbesar itu datang dari tempat yang paling nggak kita sangka. Jadi, tetap sabar dan baik hati, ya!

Leave a Reply