Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu merasa kayak hidup ini berat banget, bingung mau mulai dari mana, dan semuanya serasa nggak jelas? Nah, cerpen ini bakal ngebawa kamu ke perjalanan yang nggak biasa. Coba bayangin, sekelompok remaja yang lagi dalam pencarian jati diri, ngadepin segala kegelisahan hidup dengan cara yang nggak terduga.
Dari kegelapan yang terasa nggak ada habisnya, akhirnya mereka nemuin cahaya—yang nggak cuma terang, tapi bikin mereka ngerti bahwa kenyang bukan cuma soal makan. Penasaran? Baca deh, siapa tahu kamu juga nemuin jawabannya.
Habis Gelap Terbitlah Kenyang
Nasi Goreng Malam Itu
Malam itu, kota kecil tempat aku tinggal seperti biasanya. Tenang. Hanya suara jangkrik yang terdengar, sesekali diiringi oleh deru kendaraan yang melintas di jalan raya yang jarang sepi. Di rumah Aksa, kami berempat – aku, Aksa, Kinan, dan Tita – sedang berkumpul untuk rapat Lingkar Pena Remaja.
“Teman-teman,” kata Aksa sambil mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua orang berhenti bicara. “Aku punya ide brilian untuk antologi puisi kita.”
“Jangan-jangan itu tentang aku lagi,” celetuk Kinan, menyeringai.
“Aku harap kali ini bukan soal cita-cita, ya. Itu sudah basi banget,” aku menambahkan dengan nada santai, sambil duduk di sofa yang sudutnya sudah mulai kemps.
Aksa tersenyum licik. “Justru ini ide yang sangat… mendalam.”
Aku memutar bola mata. “Mendalam apanya?”
“Begini… tema kita adalah perjuangan.”
Tita yang dari tadi duduk diam sambil menggambar di buku catatannya mendongak, menatap Aksa dengan ekspresi datar. “Perjuangan? Kapan perjuangan terakhir kamu?”
“Aduh, jangan gitu ah,” Aksa protes. “Maksudku, kita bisa ngangkat tema perjuangan dari berbagai sisi. Bukan cuma soal heroik, tapi juga kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.”
“Contohnya?” Kinan bertanya, setengah tertarik, setengah bosan.
“Apa kamu nggak ngerasa berjuang banget, misalnya, pas lagi harus ngumpulin tugas-tugas yang numpuk?” jawab Aksa dengan penuh semangat.
“Aku sih berjuang terus buat tetap hidup. Apalagi di kota ini.” Kinan menyeringai. “Lagian, bukannya ini rapat antologi puisi, ya? Jangan malah jadi seminar motivasi.”
“Iya, iya, kami mengerti,” aku ikut menambahkan, sementara Tita sibuk melipat kertas origami tanpa peduli dengan percakapan itu.
Tita yang dari tadi hanya mendengarkan akhirnya membuka mulut, “Eh, kalian sadar nggak sih? Kita udah ngomongin puisi, tapi lapar banget.”
“Apa?!” serentak kami bertiga berkata.
“Lapar banget. Perutku udah kayak drum,” Tita menjawab sambil menyentuh perutnya yang berbunyi.
Aksa menatapnya dengan serius. “Iya, kamu bener banget. Kita nggak bisa berpikir kreatif kalau perut kita kosong.”
“Bener banget,” aku menimpali. “Bertahan hidup aja susah, apalagi bikin puisi.”
Lalu, kami semua terdiam sejenak. Semua saling memandang, sampai akhirnya Aksa berdiri dengan penuh tekad.
“Oke. Ini bukan soal puisi lagi. Ini soal bertahan hidup. Kita pergi makan.”
“Dimana?” Kinan bertanya, sudah mendekati keputusasaan.
“Ada warung nasi goreng enak di ujung gang. Aku selalu makan di sana kalau udah krisis makanan.”
“Yakin?” Tita menyeringai, “Jangan sampai kamu bawa kita ke tempat sampah.”
Aksa pura-pura tidak mendengarkan dan langsung menuju pintu. “Siap-siap. Siapa cepat, dia dapat nasi goreng!”
Kami semua berlari keluar rumah, mengejar Aksa yang sudah berjalan cepat ke gang kecil. Pemandangan malam kota itu terasa lebih hidup dengan langkah kami yang terburu-buru, sementara jalanan semakin sepi. Di ujung gang, ada sebuah warung sederhana yang terpencil, lampunya berkedip, dan bau nasi gorengnya sudah tercium jauh.
Kami tiba di warung itu dalam waktu kurang dari sepuluh menit, dan saat Aksa membuka pintu warung…
“Oh no!” suara Aksa melengking tinggi.
Di dalam warung, ada satu piring nasi goreng yang tersisa. Satu. Piring.
“Kita gak bisa bagi berempat, kan?” aku bertanya sambil memandang nasi goreng itu seperti itu adalah benda yang paling berharga di dunia.
Aksa menggelengkan kepala, wajahnya penuh harapan. “Aku yang duluan nyampe. Ini aku punya.”
“Eh, kamu itu kenapa sih?” Kinan mulai menggerutu, “Aku yang dapet duluan, kan?”
“Tunggu, tunggu,” Tita berseru, “Kalau kita berantem, warung ini tutup, lho! Kita makan, siapa cepat dia dapat, siapa lambat ya udah.”
Tita sudah bergerak ke depan, dan tanpa perasaan ia langsung nyelonong, mengambil sendok dan menyodok nasi goreng. Kami bertiga langsung ikut melesat.
“Awas, aku yang duluan!” aku teriak.
“Kalian jangan ngerebutin!” Kinan berteriak, sambil menarik piring nasi goreng ke arah dirinya.
“Tunggu, jangan!” Tita berusaha menarik sendok itu kembali.
“PUNYA AKU!” teriak Aksa, seolah-olah itu adalah sebuah perjuangan hidup mati.
Perang tiga lawan satu dimulai. Kami semua bergerak cepat, menarik-narik piring nasi goreng yang terancam hilang. Semua kacau. Benda-benda berhamburan. Sementara pemilik warung hanya bisa melihat kami dengan wajah kebingungan, bahkan ada yang tertawa.
Dalam kekacauan itu, akhirnya Tita menarik piring itu dengan cepat dan menaruhnya di depan dirinya. “Ini punyaku!”
Aksa mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke, kamu menang.”
Tita duduk dengan puas. “Aku bilang kan, siapa yang paling cepat.”
Tapi tidak lama kemudian, ada suara di belakang.
“Hei, anak-anak,” suara pemilik warung. “Kalian suka banget ya sama nasi goreng? Jadi saya kasih bonus deh, empat piring nasi goreng buat kalian.”
Seketika itu juga, semuanya berubah. Keempat piring nasi goreng itu datang seperti sebuah hadiah dari langit.
“Ya Tuhan! Ini seperti anugerah!” Kinan langsung mengambil piringnya.
“Akhirnya! Kenapa gak dari tadi?” Aksa menambahkan.
Kami semua duduk dengan hati yang tenang. Tak ada lagi suara teriakan. Tak ada lagi perebutan. Hanya ada suara sendok dan garpu yang saling berbunyi.
“Nasi goreng ini… luar biasa,” Tita berkata, seolah menemukan pencerahan.
“Begini rasanya kenyang,” kata Aksa dengan wajah penuh damai.
“Habiskan ini dan kita bisa mulai nulis puisi,” aku berkomentar sambil menyendok nasi goreng.
Dan tiba-tiba, aku tersadar. Dari semua ide besar tentang puisi dan hidup, kadang-kadang yang kita butuhkan cuma nasi goreng dan teman-teman yang bisa bikin kita ketawa. Karena habis gelap, terbitlah kenyang.
Tapi, siapa tahu apa yang akan terjadi setelahnya?
Kejutan di Tengah Malam
Kenyang. Itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan kami malam itu. Empat piring nasi goreng yang sudah kami lahap habis dalam waktu kurang dari sepuluh menit membuat semua kebingungan kami tentang puisi, perjuangan, dan kehidupan tiba-tiba terasa sepele. Tida ada yang lebih penting saat itu selain kenyang dan rasa puas setelah melalui peperangan sengit memperebutkan sepiring nasi goreng.
Namun, kenyang itu tidak lama bertahan. Begitu selesai makan, kami kembali duduk dengan perasaan damai, tapi tiba-tiba Aksa berbicara lagi dengan nada serius.
“Eh, gimana kalau kita mulai nulis sekarang?”
Kami semua terdiam, tidak ada yang bergerak. Tita yang sudah mulai menunduk, Kinan yang sepertinya mulai menguap, dan aku yang mendadak merasa seperti ingin tidur lebih awal daripada melanjutkan rapat yang tak jelas ujungnya.
“Bro, ini udah malam. Kita baru aja selesai makan, masa mau nulis?” aku mencoba menanggapi dengan nada yang lebih santai.
“Eh, jangan kayak gitu dong,” Aksa membalas, sudah berdiri dan mulai merapikan kertas-kertas yang ada di meja. “Kita kan harus serius dengan proyek ini. Gimana bisa jadi penulis kalau nggak serius dari sekarang?”
“Penulis? Serius? Kita baru aja nyampe ke level ‘warrior nasi goreng’ loh,” Tita menyela, sambil tertawa pelan.
Kinan yang sebelumnya mendengus mengangkat bahu. “Gini aja deh, kita mulai nulis dulu, siapa tahu malah jadi inspirasi. Aku sih nggak masalah.”
“Ayo, ayo, yang penting jangan lagi ada yang tidur!” aku ikut menambahkan, merasa sedikit tertantang.
Kami pun mulai duduk dengan posisi serius, meski tidak ada yang benar-benar merasa ingin nulis puisi. Waktu berlalu dalam keheningan yang canggung, kecuali suara pena yang beradu dengan kertas.
Aksa sudah mulai menulis sesuatu yang tampaknya sangat penuh makna. Aku menebak-nebak isinya. “Aku tahu, itu pasti tentang perjuanganmu melawan rasa malas untuk nulis, kan?”
Aksa mendongak, tersenyum, dan menjawab, “Bukan. Ini tentang kebebasan. Kalau kamu nggak tahu, kamu nggak bakal bisa nulis dengan hati.”
Tita menghela napas. “Oke, kita kembali ke kenyataan. Ini bukan puisi, ini lebih ke perasaan gagal nulis.”
Kinan yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba mendongak dan berkata, “Gimana kalau kita buat sesuatu yang lebih modern, kayak puisi di Twitter, yang ada tagar-tagar gitu?”
Kami semua menatap Kinan dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Serius? Kamu ingin menulis puisi dengan tagar?” aku bertanya, merasa sedikit bingung.
“Kenapa nggak? Coba aja. Bisa jadi trendsetter loh!” Kinan bersikeras.
Kinan memulai, menulis beberapa baris dengan tagar di belakangnya. “Dari gelap aku datang, #terbitlahcahaya, #perjuangansetiaphari.”
Kami semua terdiam sejenak, lalu tertawa.
“Kayaknya itu udah cukup, Kin,” Tita berkata sambil menahan tawa. “Kalau gini, tagarnya lebih panjang dari puisinya.”
Aksa menatap tulisan itu dengan serius, kemudian memandang kami semua. “Aku rasa kita butuh inspirasi lain. Sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.”
“Jangan-jangan itu inspirasi kamu. Mungkin kita butuh makan lagi!” aku tiba-tiba berkata, tanpa berpikir.
Semua tertawa. Tapi entah kenapa, tawaan itu terasa sedikit berbeda. Mungkin karena setelah kenyang, kami merasa lebih rileks. Tanpa sadar, ide baru mulai bermunculan.
“Kenapa kita nggak keluar aja?” Tita tiba-tiba mengusulkan.
“Keluar?” aku mengulang. “Maksud kamu, keluar malam-malam gini?”
“Yoi, kenapa nggak? Siapa tahu kita nemu inspirasi dari jalanan,” jawab Tita, matanya berbinar.
Kinan mengangkat tangan, seakan setuju. “Aku sih ikut aja. Tapi jangan bawa kita ke warung nasi goreng lagi.”
“Janji!” Aksa mengangkat tangan juga. “Kita cari tempat yang lebih… seru.”
Akhirnya, kami memutuskan untuk keluar. Tidak ada tujuan jelas, hanya ingin berjalan-jalan tanpa beban. Begitu keluar dari rumah Aksa, udara malam terasa segar, meski sedikit dingin. Kami berjalan menyusuri jalan kecil yang tak banyak dilalui orang.
Di sepanjang jalan, lampu-lampu jalan berpendar lembut, dan suara kami berempat menciptakan irama sendiri. Sesekali kami berhenti untuk mengambil gambar atau sekadar melihat-lihat hal-hal aneh yang ada di sekitar. Tapi tidak ada yang benar-benar berbicara tentang puisi atau ide besar lagi. Kami lebih banyak tertawa, sesekali mengolok-olok diri sendiri, atau hanya menikmati keheningan yang aneh, yang lebih terasa seperti kebersamaan.
“Kenapa ya, malam-malam begini rasanya lebih hidup?” Kinan bertanya.
“Karena kita semua lebih hidup,” jawab Tita singkat, dengan senyum yang lebar.
Aku menatap mereka semua. Kami semua benar-benar berbeda, dengan cara masing-masing, tapi pada akhirnya, ada satu hal yang sama—kami mencari kebahagiaan di tempat yang tidak terduga. Dan malam itu, kebahagiaan itu datang dalam bentuk kebersamaan yang santai, tawa, dan—tentu saja—kenyang.
Namun, ketika kami sampai di ujung jalan, ada sesuatu yang tidak biasa. Di depan kami, ada sebuah toko kecil yang baru buka. Toko itu tampaknya sudah lama tidak beroperasi, tetapi malam itu tampaknya menjadi waktu yang tepat bagi mereka untuk membuka pintu. Sebuah papan bertuliskan “Penyembuh Lelah“.
“Ini tempat apa?” aku bertanya dengan rasa penasaran.
Aksa yang paling berani mendekati pintu dan membaca tanda di sana. “Toko penyembuh lelah. Wah, kayaknya seru nih.”
Tanpa banyak bicara, Aksa mendorong pintu itu. Kami semua mengikuti, meski rasa penasaran lebih mendominasi. Begitu melangkah masuk, aroma aneh langsung tercium—seperti campuran rempah dan bunga.
Di dalam, seorang pria tua dengan janggut panjang duduk di belakang meja.
“Selamat datang,” katanya dengan suara pelan, “Kalian lelah, kan?”
Kami semua saling pandang. Tita yang sudah bersiap untuk berkomentar langsung terdiam, lalu mendongak dengan ekspresi penasaran.
“Lelah?” aku mengulang, setengah tersenyum. “Mungkin bukan lelah fisik, tapi lebih ke lelah pikiran.”
Pria tua itu tersenyum samar. “Semua yang lelah, butuh penyembuhan. Apa kalian siap untuk mencari jawabannya?”
Kami tidak menjawab, tetapi langkah kaki kami terus maju. Siapa tahu, malam ini kami benar-benar menemukan sesuatu yang tak terduga.
Misteri Penyembuh Lelah
Toko itu, yang tak lebih besar dari ruang tamu rumah biasa, mengeluarkan aroma yang menggelitik indra penciuman. Berbagai macam rempah, bunga kering, dan barang-barang antik memenuhi ruangan. Ada sebuah rak kayu tua yang dipenuhi botol-botol kaca berisi cairan berwarna-warni. Lampu minyak kecil menyala redup, memberikan suasana yang sangat berbeda dari luar. Pria tua itu, dengan matanya yang tajam meskipun wajahnya sudah keriput, hanya duduk di balik meja kayu besar dengan senyum yang sulit diartikan.
“Jadi, kalian lelah?” dia bertanya sekali lagi. “Lelah apa, anak muda?”
Kami semua saling pandang. Aku bisa melihat di mata mereka bahwa mereka merasa ada sesuatu yang aneh, tetapi rasa penasaran kami lebih kuat dari rasa was-was. Tita yang biasanya cepat menyeleneh, kali ini justru diam dan mengamati ruangan.
Aksa yang lebih dulu tersadar, akhirnya membuka mulut. “Kami… kami lebih seperti, lelah akan kebingungan. Terlalu banyak hal yang mengambang, dan kami tidak tahu harus mulai dari mana.”
“Begitu ya?” Pria tua itu tertawa pelan. “Itulah masalah terbesar anak muda sekarang. Kalian terlalu banyak berpikir, sampai tak tahu bagaimana cara melepaskan beban.” Dia menunjuk ke sebuah kursi tua di depan meja. “Duduklah, dan aku akan tunjukkan caranya.”
Tita, yang biasanya penuh canda, malah mengikuti tanpa banyak berkata. Kinan hanya mengangkat bahu, lalu duduk. Aku mengikutinya, walaupun masih dengan perasaan ragu.
Pria tua itu mengangkat tangan, memberi isyarat agar kami tenang. “Ambil napas dalam-dalam, dan rasakan setiap hembusan udara yang masuk ke dalam tubuh kalian. Jangan pikirkan apa pun. Cuma kalian dan udara yang masuk itu.”
Kami mengikuti instruksi itu dengan diam. Suasana jadi aneh, karena semakin dalam aku menarik napas, semakin terasa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Seperti ada yang mengawasi. Aksa menatapku, dan aku bisa melihat ekspresi tidak nyaman di wajahnya.
Tiba-tiba, pria tua itu memejamkan mata dan berkata, “Sekarang, mari kita bicara tentang kenyataan.” Suaranya berubah, seperti ada kekuatan tertentu yang mengalir lewat kata-katanya. “Kalian tidak pernah tahu apa yang sebenarnya kalian inginkan, kan?”
“Apa maksudnya?” Tita bertanya, nada suaranya sedikit tergetar.
“Kenapa kalian datang ke sini? Apakah kalian ingin jawaban?” Pria tua itu melanjutkan, seolah tidak mendengarkan Tita. “Atau, apakah kalian hanya lelah karena kalian sudah mencari begitu lama dan belum menemukan apa yang kalian inginkan?”
Kinan menggerakkan tangan, mencoba menanggapi, “Ini cuma warung antik yang aneh banget. Kenapa tiba-tiba ngomong soal jawaban?”
Pria tua itu mengangkat tangannya. “Tunggu. Kau ingin tahu jawaban? Jawabannya ada di sini, di dalam ruangan ini.” Dia menunjukkan ke botol-botol berisi cairan yang berkilau di rak. “Tapi tidak ada yang bisa memaksa. Hanya mereka yang siap yang bisa melihat.”
Aku dan teman-teman saling pandang. Ada sesuatu yang mulai terasa lebih dalam daripada sekadar toko biasa. Ada yang tidak beres, dan semakin lama kami tinggal, semakin besar rasa ingin tahu yang tak bisa dijelaskan.
“Jadi, kita harus pilih salah satu dari itu?” Aku menunjuk botol-botol itu.
Pria tua itu tersenyum. “Tidak, bukan itu. Tapi kalian harus pilih satu hal untuk dihentikan. Hentikan berpikir, hentikan bingung, hentikan mencari jawaban yang tidak pernah ada.”
Semua mata kami tertuju pada pria tua itu. Tita mulai menggigit bibirnya, Kinan menggulung lengan bajunya, sementara Aksa memiringkan kepala, mencoba menangkap makna di balik kata-kata itu.
“Satu hal yang harus dihentikan?” Tita bertanya, tidak yakin.
“Ya. Pilih satu hal yang selalu mengganggu pikiranmu. Satu hal yang membuatmu merasa terjebak.” Pria tua itu berkata pelan, seakan-akan kata-katanya sangat penting.
Kami terdiam, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Rasanya seperti ada benang merah yang terputus, tetapi kami tidak tahu harus mulai dari mana. Di dalam kesunyian itu, aku mulai merasa beban itu menumpuk kembali di pundak kami. Apa yang sedang kami cari? Apa yang benar-benar kami inginkan?
Tita akhirnya mengangkat tangan. “Aku… aku pilih untuk berhenti merasa tertekan dengan ekspektasi orang lain. Mereka selalu ingin aku jadi sesuatu yang tidak aku inginkan.”
Kinan segera menyusul. “Aku ingin berhenti merasa harus selalu tahu jawaban dari semua hal. Kadang aku hanya ingin menikmati hidup tanpa berpikir berlebihan.”
Aksa yang sudah duduk dengan tenang, akhirnya berkata dengan suara pelan. “Aku pilih berhenti merasa kalau segala sesuatunya harus sempurna. Kadang hal-hal yang enggak sempurna itu malah yang paling berarti.”
Aku memandang mereka semua, dan aku tahu, aku juga harus memilih. Apa yang harus aku hentikan? Apa yang selalu mengganggu pikiranku, yang selalu membuatku merasa seperti orang yang terjebak dalam kebingunganku sendiri?
Aku menghela napas dalam-dalam. “Aku… aku pilih berhenti merasa takut gagal. Selama ini, aku terlalu khawatir kalau semua yang aku coba akan berakhir buruk.”
Pria tua itu mengangguk. “Sekarang, kalian sudah siap. Semuanya sudah terlepas.”
Tanpa kami sadari, saat kami memilih, udara di dalam ruangan itu berubah. Tiba-tiba, ruang itu terasa lebih ringan. Seperti ada sesuatu yang telah terlepas, sesuatu yang selama ini mengikat kami. Kami semua duduk dengan perasaan yang sulit dijelaskan, seolah-olah kami baru saja melewati sesuatu yang sangat dalam dan bermakna, meskipun tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi.
Pria tua itu menatap kami dengan senyuman yang lembut. “Kalian sudah memilih. Dan dengan pilihan itu, kalian akan menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kalian cari.”
Kami tidak bisa menjawab. Kami hanya duduk diam, merasakan dampak dari setiap pilihan yang telah kami buat. Apa yang akan terjadi setelah ini? Tidak ada yang tahu. Tapi satu hal yang pasti, malam ini adalah malam yang akan mengubah banyak hal. Dan semuanya dimulai dengan sebuah keputusan sederhana—untuk berhenti mencari jawaban dan mulai merasakan.
Menghadapi Kenyataan
Keheningan di dalam toko itu semakin terasa saat kami bangkit dari kursi dan melangkah keluar. Meskipun tidak ada suara yang keluar dari mulut kami, ada sesuatu yang berbeda. Udara malam yang sebelumnya terasa dingin dan menyesakkan kini seolah sudah dipenuhi cahaya yang hangat. Entah itu hanya perasaan atau memang ada yang berubah—kami tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata.
Kami berjalan perlahan keluar dari toko, kaki kami menyentuh aspal yang dingin, namun entah kenapa rasanya lebih ringan. Tidak ada lagi kebingungan di wajah kami, tidak ada lagi beban yang mencekik. Bahkan, suara jalanan yang biasanya ramai terdengar lebih lembut malam itu, seperti seluruh dunia memberikan ruang untuk kami.
“Jadi… apa sekarang?” Tita akhirnya membuka suara, suaranya pelan, tapi cukup untuk memecah kesunyian yang sempat melingkupi kami.
“Apa ya… kita harus benar-benar tahu dulu tujuan kita,” jawab Aksa, namun kali ini ada perasaan lega di balik kata-katanya. Seakan-akan dia menemukan titik terang dari kegelapan yang selama ini menutupi pandangannya.
Kinan mengangguk. “Benar. Terkadang kita terlalu fokus mencari jawaban dari luar. Padahal, jawaban itu sudah ada di dalam diri kita.”
Aku hanya mengangguk pelan. Terkadang, hal sederhana yang paling mudah kita lewatkan justru bisa memberi kita pemahaman yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Semua pilihan yang kami buat tadi malam—untuk berhenti mencari jawaban yang sempurna, untuk berhenti merasa tertekan, untuk berhenti takut gagal—mungkin adalah keputusan yang paling benar dalam hidup kami.
Tidak ada yang menyangka kalau malam ini akan mengarah ke perasaan yang seperti ini. Kami berjalan bersama, lebih ringan, lebih lega. Tidak ada lagi yang terasa harus dipaksakan. Semuanya mengalir dengan sendirinya.
“Dengar, kalian tahu nggak?” Tita akhirnya berkata sambil tertawa kecil. “Aku merasa seperti baru saja bebas dari rantai yang nggak kelihatan. Gila, ini kayak beban mental yang hilang tiba-tiba.”
Aku tersenyum. “Kalian tahu nggak, aku juga merasa gitu. Kayak… tiba-tiba semuanya jadi jelas. Kita nggak perlu pusing lagi soal hal-hal yang nggak perlu.”
Kinan yang sudah kembali dengan ponselnya hanya tersenyum tipis, tapi aku tahu dia merasa lega. Sesekali dia menatap layar ponselnya, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke depan.
Kami terus berjalan tanpa tujuan yang pasti, namun tanpa rasa khawatir. Tiba-tiba, Aksa berteriak, “Eh, kita makan lagi, nggak?”
Semua tertawa. Tidak ada yang benar-benar lapar, tetapi tawaran itu terasa seperti cara untuk merayakan kebersamaan. Kami tahu, meski sudah banyak hal yang kami capai malam ini, makan bersama masih bisa menjadi cara sederhana untuk merasa bahagia.
Kami memilih warung kopi yang ada di sudut jalan. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang luar biasa. Hanya sebuah meja kecil di sudut, dan sebuah pemilik warung yang ramah. Kami duduk bersama dan mulai bercakap-cakap tentang hal-hal biasa, seperti film yang baru saja kami tonton, makanan yang enak, atau bahkan hal-hal konyol yang terjadi sepanjang hari.
Tapi ada satu hal yang membuat malam ini terasa berbeda. Kami tidak lagi mencari sesuatu yang lebih dari apa yang sudah ada. Kami tidak lagi merasa terjebak dalam pencarian makna hidup yang terlalu berat. Kami mulai menikmati momen ini, karena kami tahu, setiap langkah kecil yang kami ambil adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar.
Sesekali tawa meledak di meja kami. Tita menggoda Kinan dengan cerita lucu, Aksa sibuk memberi pendapat tentang hal-hal yang sepertinya tidak penting, dan aku… aku hanya menikmati momen ini. Rasanya semua hal yang berat—yang selama ini kami bawa—akhirnya bisa diletakkan begitu saja. Tidak ada yang harus dipikirkan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Sederhana. Itulah yang aku rasa sekarang. Semua kebingungan yang datang sebelumnya hanya bagian dari perjalanan panjang yang akhirnya membawa kami ke titik ini.
“Gila ya, kita bisa segampang ini tertawa bareng. Kayaknya… kita semua udah melewati masa-masa berat dan nggak perlu terlalu mikirin hal-hal besar lagi,” Tita berkata sambil meminum kopi.
“Betul,” jawab Aksa. “Kadang hidup itu nggak perlu terlalu dipusingin. Yang penting kita nikmati aja setiap detiknya.”
“Aku setuju,” Kinan menambahkan. “Kenapa harus khawatir? Yang penting kita bisa enjoy, dan jalanin hidup dengan hati yang lebih ringan.”
Semua mengangguk, dan aku bisa melihat kebahagiaan di wajah mereka. Mungkin ini yang kami butuhkan—untuk berhenti mencari dan mulai menerima. Kami sudah cukup lelah untuk terus-menerus mencari, dan mungkin, malam ini, kami menemukan bahwa jawabannya justru ada di dalam diri kami masing-masing.
Malam itu, saat kami melangkah keluar dari warung kopi, ada perasaan baru di hati kami—sesuatu yang lebih damai, lebih ringan. Kami tidak tahu apa yang akan datang esok hari, atau apa yang akan terjadi dalam perjalanan kami selanjutnya. Tapi malam ini, semuanya terasa cukup. Kami sudah cukup. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Dengan tawa di wajah dan langkah yang lebih pasti, kami berjalan menuju pagi yang baru. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Tapi yang jelas, malam ini kami telah melalui sesuatu yang besar—meski tanpa perlu kata-kata yang rumit. Karena, akhirnya, kami mengerti: Setiap perjalanan punya waktu dan tempatnya sendiri. Tidak perlu buru-buru.
Dan mungkin, itu adalah jawaban yang selama ini kami cari.
Jadi, gitu deh cerita kita kali ini. Kadang hidup itu nggak perlu dipikirin ribet-ribet. Yang penting, kita nikmatin setiap momen dan terus maju tanpa terlalu mikirin hal-hal yang nggak penting.
Setelah semua kebingungan dan pencarian jawaban itu, mereka akhirnya sadar kalau yang mereka butuhkan cuma keberanian untuk berhenti mencari dan mulai menerima. Kalau kamu lagi di posisi yang sama, mungkin cerita ini bisa jadi pengingat—bahwa kadang, kenyang itu datang setelah kita berhenti merasa kosong. Keep moving, dan jangan lupa ketawa!