Daftar Isi
Apakah Anda pernah membayangkan bertahan dari letusan gunung berapi yang menghancurkan? Cerpen Gunung Membara: Kisah Perjuangan di Tengah Letusan mengajak Anda menyelami kisah mengharukan Rangga Wiraputra, seorang pemuda yang berjuang melindungi keluarganya dan desa Waringin Lestari saat Gunung Merapi meletus. Dengan alur penuh emosi, kesedihan, dan harapan, cerita ini menggambarkan ketangguhan manusia di tengah bencana alam. Temukan inspirasi dari perjalanan Rangga dan keluarganya dalam menghadapi ujian hidup yang mendebarkan ini!
Gunung Membara
Guncangan di Fajar
Di sebuah desa kecil bernama Waringin Lestari, yang terletak di kaki Gunung Merapi yang megah namun penuh misteri, hiduplah seorang pemuda bernama Rangga Wiraputra. Usianya baru 28 tahun, namun rambut hitamnya yang sedikit berantakan dan garis-garis halus di sudut matanya mencerminkan kehidupan yang tak mudah. Wajahnya yang tegas dengan rahang yang kokoh sering kali menunjukkan keteguhan, tetapi di balik itu tersimpan luka emosional yang hanya ia bagi dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembah setiap pagi. Waringin Lestari adalah desa yang damai, dikelilingi oleh ladang-ladang hijau dan pohon-pohon waringin tua yang menjadi saksi sejarah, namun kehidupan di sini selalu diwarnai oleh ancaman laten dari gunung yang berdiri gagah di ufuk timur.
Rangga tinggal di sebuah rumah bambu sederhana yang dibangun oleh ayahnya, seorang petani teguh bernama Bagas Harum, yang hilang dalam letusan kecil Gunung Merapi lima tahun lalu. Rumah itu berdiri di tepi desa, dengan dinding yang sudah mulai rapuh dan atap jerami yang bergoyang diterpa angin. Di dalam, aroma tanah dan kayu bakar masih terasa, mengingatkan Rangga pada masa kecilnya bersama ayah dan adiknya, Sari Kusuma, yang kini berusia 20 tahun. Di sudut ruangan, sebuah foto keluarga lama tergantung di dinding, menunjukkan senyum Bagas yang hangat sambil memegang cangkul, berdiri di antara Rangga dan Sari yang masih kecil. Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa, karena letusan itu tidak hanya merenggut ayahnya, tetapi juga membawa trauma yang masih menghantui keluarga mereka.
Pagi itu, tanggal 24 Juni 2025, Rangga terbangun dengan perasaan ganjil. Jam di dinding menunjukkan pukul 11:25 WIB, tetapi langit di luar tampak kelabu, tak seperti biasanya yang cerah di musim kemarau. Ia duduk di tepi ranjang kayu yang berderit, menatap jendela yang menunjukkan asap tipis naik dari puncak Merapi. Di dadanya, ada ketegangan yang tak bisa dijelaskan, seolah tubuhnya merasakan sesuatu yang belum terucap. Ia mengenakan jaket lusuh warisan ayahnya dan sepatu bot tua, siap memulai hari dengan mengurus ladang kecil yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Sari Kusuma, adiknya, sudah sibuk di dapur, memasak nasi dengan kayu bakar yang menyala pelan. Gadis itu memiliki rambut panjang yang diikat sederhana, dan matanya yang cokelat tua sering kali menyiratkan kecemasan yang ia sembunyikan di balik senyum manisnya. “Kak, aku dengar dari Pak Darto tadi malam kalau gunung lagi rewel. Katanya ada gempa kecil,” ujar Sari sambil mengaduk wajan, suaranya sedikit gemetar.
Rangga mengangguk, mencoba menenangkan adiknya. “Tenang, Dik. Kita sudah biasa dengan ini. Tapi aku akan cek ke posko nanti, pastikan semuanya aman.” Namun, di dalam hatinya, ia tak bisa mengabaikan firasat buruk yang semakin kuat. Lima tahun lalu, gempa kecil seperti ini menjadi pertanda awal letusan yang mematikan, dan ia tak ingin mengulangi trauma itu.
Setelah sarapan sederhana berupa nasi dan sayur bayam, Rangga berjalan menuju ladang di tepi hutan, membawa cangkul tua yang pernah digunakan ayahnya. Di sepanjang jalan, ia menyapa warga yang sibuk mengurus ternak atau memanen padi. Desa Waringin Lestari tampak normal, dengan anak-anak bermain di tepi sungai dan ibu-ibu mengobrol di beranda rumah. Namun, di kejauhan, asap dari Merapi tampak lebih tebal, membentuk awan abu-abu yang menggelap di langit. Rangga berhenti sejenak, menatap gunung itu dengan campuran kekaguman dan ketakutan. Gunung Merapi bukan hanya pemberi kehidupan melalui lahan subur, tetapi juga pengingat akan kekuatan alam yang tak bisa dilawan.
Di ladang, Rangga mulai mencangkul tanah yang kering, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi tiba-tiba, tanah di bawah kakinya bergetar hebat, disertai suara menggelegar yang terdengar dari arah gunung. Cangkulnya jatuh dari tangan, dan ia berlutut, merasakan getaran yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di kejauhan, warga mulai berteriak, dan asap tebal mulai menyelimuti langit. Letusan kecil telah dimulai, dan kali ini terasa lebih kuat dari sebelumnya.
Rangga berlari kembali ke desa, keringat bercampur debu menempel di wajahnya. Ia melihat Sari berdiri di beranda rumah, matanya penuh ketakutan sambil memegang foto keluarga. “Kak, apa yang harus kita lakukan?” tanyanya, suaranya hampir hilang di tengah suara letusan yang semakin keras.
“Ambil tas darurat dan ikut aku ke posko!” perintah Rangga, berlari ke dalam rumah untuk mengambil tas kain yang sudah disiapkan sejak lama. Di dalam tas itu, ada makanan kaleng, air, jaket tebal, dan obat-obatan yang ia siapkan setelah kejadian lima tahun lalu. Ia juga mengambil foto keluarga itu dari dinding, memasukkannya ke dalam saku jaketnya dengan hati-hati. Sari mengangguk, mengikuti kakaknya dengan langkah tergesa, membawa keranjang kecil berisi beberapa barang pribadi.
Di desa, kekacauan mulai terjadi. Warga berlarian menuju posko evakuasi yang terletak di bukit selatan, membawa anak-anak dan barang-barang berharga. Abu vulkanik mulai turun seperti hujan abu, menyelimuti atap rumah dan ladang-ladang hijau. Rangga memegang tangan Sari erat-erat, memastikan adiknya tak terpisah di tengah kerumunan. Di sepanjang jalan, ia melihat Pak Darto, tetangga tua yang dikenal sebagai pengamat gunung, berdiri di depan rumahnya dengan wajah pucat. “Rangga, ini parah! Aku rasa Merapi akan meletus besar malam ini!” teriak Pak Darto, suaranya penuh kepanikan.
Rangga mengangguk, hatinya semakin berat. Ia ingat betul bagaimana ayahnya memilih tinggal di ladang untuk menyelamatkan ternak saat letusan terakhir, dan akhirnya tak kembali. Ia tak ingin hal yang sama terjadi pada Sari. “Pak, ayo ke posko bersama kami. Kami butuh semua orang aman,” ajaknya, tapi Pak Darto menggeleng, memilih mengunci rumahnya dan mengambil peralatan darurat.
Sesampainya di posko, yang terbuat dari tenda-tenda besar di bukit, Rangga dan Sari disambut oleh petugas BPBD yang sibuk mengatur evakuasi. Di dalam tenda, ratusan warga berkumpul, beberapa menangis, beberapa berdoa, dan beberapa lainnya sibuk menenangkan anak-anak. Rangga membawa Sari ke sudut tenda, memberikan air dari tasnya sambil mencoba menenangkan diri. Di luar, suara letusan semakin keras, disertai gemuruh yang membuat tanah bergetar hebat.
Malam itu, langit Waringin Lestari menjadi merah menyala, diterangi oleh lava yang mulai mengalir dari puncak Merapi. Abu vulkanik tebal menyelimuti desa, membuat udara terasa panas dan sesak. Rangga memeluk Sari erat, mengingatkan dirinya untuk tetap kuat demi adiknya. Di pikirannya, ia melihat wajah ayahnya, senyum Bagas yang selalu memberinya semangat. “Ayah, aku janji akan melindungi Sari,” bisiknya dalam hati, air mata jatuh perlahan di pipinya.
Petugas posko mengumumkan bahwa evakuasi harus dipercepat karena lava semakin mendekat. Rangga membantu mengangkut barang-barang warga, termasuk seorang ibu yang membawa bayi kecil dengan tangisan yang tersengal. Di tengah kekacauan, ia melihat Pak Darto berjalan pelan menuju tenda, wajahnya penuh luka dan pakaiannya robek, seolah baru saja lolos dari bahaya. “Pak, apa yang terjadi?” tanya Rangga, membantu tetangganya duduk.
“Rumahku… hancur oleh lava. Aku coba selamatkan kambing, tapi tak sempat,” jawab Pak Darto, suaranya parau. “Maaf, Rangga, aku seharusnya dengar nasihatmu.”
Rangga menggeleng, memegang bahu Pak Darto dengan penuh empati. “Tak apa, Pak. Yang penting kita selamat sekarang.” Di dalam hatinya, ia merasa campur aduk—sedih karena kehilangan desa yang dicintainya, tetapi juga bersyukur karena masih bisa melindungi yang tersisa.
Malam semakin larut, dan letusan Merapi mencapai puncaknya. Suara ledakan mengguncang tenda, membuat beberapa warga menjerit ketakutan. Lava mengalir deras di lembah, menghancurkan ladang-ladang dan rumah-rumah yang tak sempat dikosongkan. Rangga memeluk Sari lebih erat, berdoa dalam hati agar mereka bisa melewati malam ini. Di luar, petugas berusaha menjaga ketertiban, sementara helikopter BPBD mulai terbang di atas, menerangi langit dengan sorot lampu mereka.
Di tengah kekacauan, Rangga merasa ada kekuatan baru di dalam dirinya. Ia ingat kata-kata ayahnya sebelum hilang: “Rangga, kau adalah tulang punggung keluarga. Jangan pernah menyerah, apa pun yang terjadi.” Kata-kata itu menjadi penyemangatnya, membuatnya bertekad untuk bertahan, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Sari dan warga Waringin Lestari. Ia tahu, malam ini adalah ujian terberat, tetapi ia juga percaya bahwa di balik kegelapan, ada harapan yang menanti.
Di kejauhan, lava tampak berhenti mengalir, meninggalkan jejak kehancuran yang menyayat hati. Rangga menatap langit yang perlahan mulai cerah, menandakan fajar baru akan tiba. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membangun kembali desa, menghormati warisan ayahnya, dan melindungi Sari dengan segala cara. Di bawah tenda yang bergetar, dengan tangan adiknya yang dingin di genggamannya, Rangga Wiraputra siap menghadapi hari esok, meski penuh dengan ketidakpastian dan luka yang masih segar.
Api di Tengah Malam
Pagi di posko evakuasi di bukit selatan Waringin Lestari terasa dingin dan penuh keheningan, meski jam di tenda utama menunjukkan pukul 11:26 WIB, Selasa, 24 Juni 2025. Rangga Wiraputra duduk di sudut tenda, memeluk lututnya yang kaku setelah malam yang penuh ketegangan. Di sekelilingnya, warga desa yang selamat berkumpul dalam kelompok kecil, beberapa terdiam dengan tatapan kosong, beberapa lainnya berbisik tentang kehilangan yang baru saja mereka alami. Abu vulkanik masih menyelimuti udara, membuat napas terasa berat dan cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tenda tampak pucat. Di tangannya, ia memegang foto keluarga yang sedikit kusut, wajah ayahnya, Bagas Harum, tersenyum seolah memberikan kekuatan di tengah keputusasaan.
Sari Kusuma, adiknya, duduk di sampingnya, membungkus dirinya dengan selimut tipis yang diberikan petugas BPBD. Rambut panjangnya yang biasanya terawat kini berantakan, dan matanya merah karena kurang tidur serta tangisan semalam. Ia memandang kakaknya dengan ekspresi campur aduk—ketakutan, harapan, dan kepercayaan. “Kak, apa kita akan kembali ke desa? Rumah kita… aku takut melihatnya,” ucapnya pelan, suaranya hampir hilang di tengah deru helikopter yang terdengar dari kejauhan.
Rangga menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Aku juga tak tahu, Dik. Tapi kita harus bertahan dulu di sini. Petugas bilang lava sudah berhenti mengalir, tapi masih ada risiko. Kita tunggu kabar dari mereka.” Di dalam hatinya, ia merasa hancur. Ladang yang menjadi sumber penghidupan mereka, rumah bambu yang penuh kenangan, dan pohon waringin tua yang menjadi simbol desa—semuanya mungkin sudah lenyap. Namun, ia tak ingin menunjukkan keputusasaannya di depan Sari, yang selalu bergantung padanya sejak kematian ayah mereka.
Petugas BPBD, seorang pria paruh baya bernama Pak Joko, mendekati mereka dengan wajah serius. “Rangga, kami butuh bantuan untuk mendata korban dan mendistribusikan bantuan. Banyak warga yang terpisah keluarganya, dan kita harus pastikan semua aman. Bisakah kau membantu?” tanyanya, memberikan selembar kertas dan pena.
Rangga mengangguk tanpa ragu. “Tentu, Pak. Apa saja yang bisa kulakukan.” Ia berdiri, mempersiapkan diri untuk tugas yang berat, sementara Sari memilih membantu ibu-ibu di dapur tenda, mengolah makanan dari stok kaleng yang diberikan bantuan. Di tengah aktivitasnya, Rangga bertemu Pak Darto, tetangga tua yang selamat dengan luka bakar ringan di lengannya. Pria itu duduk sendirian, menatap ke arah gunung yang masih mengeluarkan asap tipis.
“Pak Darto, bagaimana keadaanmu?” tanya Rangga, duduk di sampingnya dengan wajah penuh empati.
Pak Darto menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Rumahku hancur, Rangga. Kambing-kambingku juga tak selamat. Aku merasa tak berguna sekarang.” Suaranya bergetar, mencerminkan beban yang ia pikul.
Rangga memegang bahu tetangganya dengan lembut. “Tak apa, Pak. Kita bisa bangun lagi dari nol. Yang penting kita masih hidup.” Kata-kata itu terdengar seperti janji, meski ia sendiri tak yakin bagaimana memulainya. Ia ingat bagaimana ayahnya selalu mengajarinya untuk tidak menyerah, dan kini ia harus menjadi tulang punggung bagi desa ini.
Sepanjang hari, Rangga bekerja tanpa henti, mencatat nama-nama warga, membantu membagikan makanan, dan menenangkan anak-anak yang menangis mencari orang tua mereka. Di tengah tugasnya, ia mendengar kabar dari petugas bahwa tim pencarian akan segera masuk ke desa untuk menilai kerusakan dan mencari korban yang mungkin tertinggal. Rangga merasa jantungnya berdegup kencang—ia ingin tahu keadaan rumahnya, tetapi juga takut melihat kehancuran yang menanti.
Sore menjelang, tim pencarian kembali dengan laporan yang menyayat hati. “Desa mayoritas hancur, terutama di bagian utara yang terkena aliran lava. Tapi ada harapan—beberapa rumah di sisi selatan mungkin masih utuh,” kata seorang petugas muda bernama Andi, suaranya penuh penyesalan. “Kami juga menemukan jejak seseorang di ladang, tapi belum bisa dipastikan.”
Rangga terdiam, pikirannya melayang pada ayahnya. Apakah ini tanda bahwa Bagas masih hidup? Ia menggelengkan kepala, mencoba menghapus harapan yang mungkin sia-sia. “Boleh aku ikut besok untuk cek rumahku?” tanyanya pada Andi, suaranya teguh meski hatinya gemetar.
Andi mengangguk setelah berpikir sejenak. “Boleh, tapi harus dengan pengawasan. Situasi masih berbahaya karena gas beracun.”
Malam itu, Rangga tak bisa tidur. Ia duduk di luar tenda, menatap langit yang mulai cerah setelah hujan abu reda. Di sampingnya, Sari tertidur dengan napas pelan, kepalanya bersandar pada bahu kakaknya. Di pikirannya, ia melihat kembali malam letusan lima tahun lalu—jeritan warga, asap tebal, dan ayahnya yang memilih tinggal di ladang. Air mata jatuh perlahan, membasahi pipinya, tetapi ia cepat menyeka dengan lengan jaketnya. Ia harus kuat, untuk Sari, untuk desa, dan untuk kenangan ayahnya.
Keesokan harinya, pukul 07:00 WIB, Rangga bergabung dengan tim pencarian, mengenakan masker dan jaket tebal yang disediakan petugas. Sari memilih tinggal di posko, membantu menjaga anak-anak, meski matanya menunjukkan kekhawatiran. Perjalanan ke desa memakan waktu satu jam, melewati jalan setapak yang dipenuhi abu dan puing. Di kejauhan, pemandangan Waringin Lestari terlihat seperti lukisan yang terbakar—rumah-rumah hancur, ladang-ladang hitam, dan pohon waringin tua yang roboh setengah.
Rangga berhenti di depan reruntuhan rumahnya, napasnya terengah karena campuran emosi. Dinding bambu yang dulu berdiri kokoh kini tinggal puing, atap jerami lenyap, dan foto keluarga yang ia ambil kemarin menjadi satu-satunya kenangan yang tersisa. Ia berlutut, menggali reruntuhan dengan tangan, mencari barang apa pun yang bisa diselamatkan. Di bawah kayu yang terbakar, ia menemukan cangkul ayahnya, bilahnya bengkok tetapi masih utuh. Air mata jatuh lagi, kali ini tak bisa ia tahan.
“Andi, aku mau cek ladang. Ada jejak yang disebutkan kemarin,” kata Rangga, suaranya teguh meski hatinya bergetar. Tim mengangguk, mengikutinya dengan hati-hati. Di ladang, mereka menemukan jejak kaki yang samar di antara abu, menuju arah hutan kecil di sisi timur. Rangga merasa jantungnya berdegup kencang—apakah ini tanda ayahnya? Ia berjalan lebih dalam, diiringi suara petugas yang memperingatkan tentang gas beracun.
Di tengah hutan, mereka menemukan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di balik pohon-pohon besar. Gubuk itu tampak utuh, dengan asap tipis keluar dari cerobong kecil. Rangga membuka pintu dengan hati-hati, dan di dalam, ia melihat sosok tua yang duduk di lantai, membungkuk di atas api kecil. “Ayah?” panggilnya pelan, suaranya penuh harap.
Sosok itu berbalik, dan wajah Bagas Harum yang penuh luka dan abu muncul di cahaya redup. “Rangga… Sari… aku selamat,” bisiknya, suaranya lemah tetapi penuh kelegaan. Air mata Rangga jatuh deras, dan ia berlari memeluk ayahnya, merasa beban bertahun-tahun akhirnya terangkat. Namun, di balik kebahagiaan, ia tahu perjuangan untuk membangun kembali desa masih panjang, dan luka letusan ini akan meninggalkan bekas yang tak mudah dilupakan
Harapan di Tengah Reruntuhan
Pagi di posko evakuasi di bukit selatan Waringin Lestari terasa hangat, meski jam di tenda utama menunjukkan pukul 11:28 WIB, Selasa, 24 Juni 2025. Rangga Wiraputra duduk di sudut tenda, memandang wajah ayahnya, Bagas Harum, yang kini terbaring di tikar tipis dengan selimut lusuh menutupi tubuhnya yang lemah. Udara di dalam tenda masih bercampur dengan bau abu vulkanik yang tersisa, namun bagi Rangga, kehadiran ayahnya membawa angin segar di tengah keputusasaan. Bagas, dengan rambutnya yang kini hampir seluruhnya memutih dan luka-luka di wajahnya yang baru sembuh, tampak tua jauh di luar usianya yang sebenarnya, 55 tahun. Matanya yang cokelat tua masih menyiratkan kekuatan, meski tubuhnya tampak rapuh setelah lima tahun bertahan di gubuk tua di hutan.
Sari Kusuma, adiknya, duduk di sisi lain ayah mereka, memegang tangan Bagas dengan lembut. Air matanya yang baru saja kering kembali mengalir saat ia melihat ayahnya hidup, sebuah anugerah yang tak pernah ia duga setelah bertahun-tahun menganggapnya hilang selamanya. “Ayah, aku kira kau tak akan kembali,” bisik Sari, suaranya parau, penuh emosi yang sulit diucapkan. Rambut panjangnya yang berantakan kini diusap oleh tangan Bagas, sebuah gestur kecil yang membawa kehangatan di tengah dinginnya tenda.
Bagas tersenyum tipis, suaranya lemah namun penuh kelembutan. “Sari, Rangga… aku bertahan di gubuk itu karena aku tak ingin menyerah. Aku mendengar suara kalian dalam hati setiap hari.” Ia berhenti sejenak, batuk ringan karena paru-parunya masih dipenuhi debu dari letusan. “Aku terjebak di ladang saat letusan terakhir, dan gubuk itu menjadi tempat perlindunganku. Aku tak bisa kembali karena jalannya tertutup lava.”
Rangga menelan ludah, mencoba menahan emosi yang membuncah. Ia ingat betul malam letusan lima tahun lalu, saat ayahnya memilih tinggal di ladang untuk menyelamatkan ternak, meninggalkan dia dan Sari dalam kepanikan. Kini, mengetahui Bagas bertahan dengan tekad luar biasa membuatnya merasa campur aduk—lega, bersyukur, tetapi juga sedih karena waktu yang hilang. “Ayah, kenapa kau tak memberi tanda? Kami mencarimu selama berhari-hari,” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Bagas menggeleng pelan, matanya menatap ke arah langit tenda yang robek di beberapa bagian. “Aku tak punya cara, Rangga. Jalannya tertutup, dan aku terluka. Aku hanya bisa berdoa kalian selamat.” Ia menggenggam tangan Rangga, menambahkan, “Kau sudah tumbuh menjadi laki-laki kuat. Aku bangga padamu.”
Petugas BPBD, Pak Joko, mendekati mereka dengan wajah serius. “Rangga, Bagas perlu perawatan medis secepatnya. Kami akan mengirimnya ke rumah sakit di kota dengan helikopter. Kau dan Sari boleh ikut, tapi situasi di desa masih berbahaya.” Ia menyerahkan selembar formulir evakuasi medis, menandakan bahwa waktu untuk reuni keluarga ini terbatas.
Rangga mengangguk, membantu Sari menyiapkan barang-barang sederhana mereka—tas kain dengan makanan kaleng, air, dan foto keluarga yang menjadi jangkar emosional. Di luar tenda, helikopter BPBD mendarat dengan suara bising, mengangkat debu dan abu yang masih bertebaran. Bagas dipindahkan ke tandu, wajahnya meringis kesakitan saat petugas mengangkatnya. Rangga dan Sari mengikuti, memegang tangan ayah mereka dengan erat, tak ingin melepaskan keajaiban yang baru mereka temukan.
Perjalanan ke kota memakan waktu satu jam, dengan pemandangan Waringin Lestari dari udara yang menyayat hati—rumah-rumah hancur, ladang-ladang hitam, dan asap tipis yang masih mengepul dari Gunung Merapi. Di dalam helikopter, Bagas menceritakan secara perlahan bagaimana ia bertahan. “Aku menemukan gubuk tua itu setelah berhari-hari terjebak. Ada stok makanan kering dan air hujan yang kutampung. Aku mencoba keluar beberapa kali, tapi lava dan gas selalu menghalangiku. Aku hanya bisa bertahan dengan harapan kalian masih hidup.”
Sampai di rumah sakit, Bagas langsung dibawa ke ruang perawatan intensif. Dokter menyatakan bahwa ia menderita infeksi paru-paru akibat menghirup abu vulkanik dan luka lama yang belum sembuh, tetapi kondisinya stabil. Rangga dan Sari menunggu di luar ruangan, duduk di bangku plastik yang keras, memandang satu sama lain dengan perasaan campur aduk. “Kak, kita akhirnya punya ayah lagi,” kata Sari, tersenyum lelet di antara air matanya.
Rangga mengangguk, memeluk adiknya erat. “Ya, Dik. Tapi kita harus kuat untuk membantunya pulih. Dan kita juga harus pikirkan desa.”
Keesokan harinya, pukul 09:00 WIB, Rangga menerima kabar dari Pak Joko bahwa tim rekonstruksi akan mulai bekerja di Waringin Lestari, tetapi prosesnya akan memakan waktu lama karena kerusakan yang parah. Ia memutuskan untuk kembali ke posko bersama Sari setelah memastikan Bagas dalam pengawasan medis, membawa semangat baru untuk membantu warga. Di perjalanan pulang dengan mobil BPBD, ia menatap peta desa yang diserahkan Pak Joko, mencoba merencanakan langkah berikutnya.
Di posko, Rangga bertemu Pak Darto, yang kini membantu mendistribusikan bantuan dengan lengan yang masih dibalut perban. “Rangga, aku dengar ayahmu selamat. Itu kabar baik,” kata Pak Darto, suaranya penuh kelegaan. “Tapi desa kita butuh banyak bantuan. Ladang hancur, dan banyak warga kehilangan segalanya.”
Rangga mengangguk, matanya menatap reruntuhan desa dari kejauhan. “Aku akan bantu sebisa mungkin, Pak. Kita harus bangun lagi, untuk ayah dan semua yang kita cintai.” Ia mulai mengorganisasi warga, membentuk kelompok untuk membersihkan puing, mendata kebutuhan, dan merencanakan pembangunan sementara. Sari membantu dengan menjahit kain-kain sederhana untuk tenda tambahan, menunjukkan semangat yang menginspirasi.
Malam itu, di bawah langit yang mulai cerah, Rangga duduk bersama Sari dan beberapa warga di sekitar api unggun kecil di posko. Mereka berbagi cerita tentang kenangan di Waringin Lestari—tarian tradisional di bawah pohon waringin, panen padi yang meriah, dan tawa anak-anak yang kini sunyi. Di tengah cerita, Rangga mengambil cangkul ayahnya dari tasnya, menunjukkannya pada warga. “Ini milik ayahku. Ia bertahan untuk kita, dan kita juga harus bertahan untuknya,” katanya, suaranya teguh.
Warga mengangguk, beberapa menitikkan air mata, terinspirasi oleh keteguhan Rangga. Di pikirannya, ia membayangkan masa depan—rumah baru, ladang yang hijau lagi, dan senyum ayahnya yang kembali utuh. Namun, ia juga tahu bahwa perjuangan ini akan penuh dengan tantangan, terutama dengan ancaman Merapi yang masih mengintai. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah, mengambil peran sebagai pemimpin yang ayahnya harapkan, dan membawa harapan kembali ke Waringin Lestari, meski luka letusan ini masih terasa segar di setiap sudut hatinya.
Kebangkitan dari Abu
Pagi di posko evakuasi di bukit selatan Waringin Lestari menyambut Rangga Wiraputra dengan udara yang lebih segar, meski jam di tenda utama menunjukkan pukul 11:30 WIB, Rabu, 25 Juni 2025. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, tetapi sinar matahari mulai menembus, menciptakan harapan baru di tengah reruntuhan. Rangga berdiri di luar tenda, memandang ke arah desa yang kini tampak seperti lukisan hitam abu-abu, dengan sisa-sisa rumah dan ladang yang hancur oleh letusan Gunung Merapi dua hari lalu. Di tangannya, ia memegang cangkul tua ayahnya, Bagas Harum, yang menjadi simbol keteguhan dan perjuangan keluarga mereka. Di sampingnya, Sari Kusuma berdiri dengan wajah penuh semangat, membawa keranjang kecil berisi benih yang ia dapat dari bantuan pemerintah.
Bagas, yang kini dalam pemulihan di rumah sakit kota setelah evakuasi medis kemarin, telah memberikan pesan melalui telepon seluler petugas BPBD. “Rangga, Sari, bangun kembali desa kita. Aku akan pulang secepat mungkin untuk membantu,” ucapnya dengan suara lemah namun penuh tekad. Kata-kata itu menjadi dorongan besar bagi Rangga, yang merasa beban kepemimpinan kini lebih ringan dengan dukungan ayahnya yang hidup kembali.
Rangga dan Sari memulai hari dengan mengumpulkan warga di posko untuk merencanakan rekonstruksi. Di tengah tenda besar, ia berdiri di depan kelompok kecil yang terdiri dari Pak Darto, ibu-ibu penjahit, dan beberapa pemuda desa. “Kita harus bersatu untuk membangun kembali Waringin Lestari,” kata Rangga, suaranya teguh meski hatinya masih terasa berat. “Ladang kita hancur, tapi kita punya benih dan tangan-tangan kuat. Rumah kita runtuh, tapi kita bisa membangun yang lebih baik.”
Pak Darto, dengan lengan masih dibalut perban, mengangguk setuju. “Aku akan bantu dengan pengalaman lama sebagai tukang kayu. Kita bisa gunakan sisa-sisa bambu yang masih utuh.” Ibu-ibu lainnya setuju untuk menjahit tenda sementara dari kain bantuan, sementara pemuda menawarkan tenaga untuk membersihkan puing. Rangga membagi tugas dengan rapi, memastikan setiap orang memiliki peran, termasuk Sari yang bertugas menanam benih di lahan yang aman.
Perjalanan ke desa dimulai pada siang hari, dengan tim kecil membawa alat sederhana—cangkul, gergaji, dan keranjang. Jalan setapak yang dipenuhi abu membuat langkah mereka berat, tetapi semangat untuk memulai kembali memberikan kekuatan. Di reruntuhan rumahnya, Rangga berhenti sejenak, menatap puing-puing yang dulu menjadi tempat kenangan bersama ayah dan adiknya. Ia menggali dengan cangkul, menemukan potongan kayu yang masih bisa digunakan dan sebuah kotak kecil yang berisi surat-surat lama ayahnya. Air mata jatuh saat ia membaca salah satu surat yang ditujukan padanya: “Rangga, kau adalah harapanku. Jaga Sari dan desa ini.”
Sari, yang sedang menabur benih di lahan samping, mendekatinya dengan senyum kecil. “Kak, kita bisa tanam lagi di sini. Aku yakin tanaman akan tumbuh dengan cepat.” Kata-kata itu membawa harapan, dan Rangga mengangguk, memutuskan untuk membersihkan lahan itu sebagai langkah pertama.
Sepanjang minggu itu, Waringin Lestari perlahan menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Tendanya mulai berdiri, dibuat dari kain-kain yang dijahit ibu-ibu dengan penuh ketelitian. Pemuda membersihkan puing dengan semangat, sementara anak-anak membantu mengangkut batu kecil untuk fondasi rumah baru. Rangga memimpin dengan teladan, bekerja dari pagi hingga malam, sering kali berhenti hanya untuk minum air atau memeriksa kemajuan. Di malam hari, mereka berkumpul di sekitar api unggun, berbagi cerita dan lagu tradisional untuk menguatkan semangat.
Pada hari kelima, pukul 10:00 WIB, Senin, 30 Juni 2025, helikopter BPBD mendarat di bukit, membawa Bagas yang kini dalam kondisi lebih baik. Dokter mengizinkan pulang dengan syarat istirahat penuh, dan wajah Bagas yang penuh luka tampak berseri saat melihat desa yang mulai hidup lagi. “Rangga, Sari, kalian luar biasa,” katanya, memeluk keduanya dengan tangan yang masih lemah. “Aku tahu desa ini akan bangkit karena kalian.”
Rangga tersenyum, merasa beban di pundaknya berkurang. “Ayah, ini untukmu. Kita akan buat Waringin Lestari lebih kuat dari sebelumnya.” Mereka membawa Bagas ke tenda utama, tempat warga menyambutnya dengan tepuk tangan dan air mata haru. Peristiwa itu menjadi titik balik, menyatukan komunitas yang hampir putus asa.
Namun, tantangan belum sepenuhnya hilang. Pada malam itu, gempa kecil kembali terasa, mengingatkan semua orang akan ancaman Merapi yang masih aktif. Rangga duduk di beranda tenda bersama Bagas dan Sari, menatap gunung yang kini tenang tetapi penuh misteri. “Ayah, apa kita akan selamanya hidup dengan ketakutan ini?” tanyanya, suaranya penuh keraguan.
Bagas menghela napas panjang, memandang langit yang penuh bintang. “Ketakutan akan selalu ada, Rangga. Tapi kekuatan kita ada pada kebersamaan dan harapan. Kita telah membuktikan itu.” Ia mengambil cangkul dari tangan Rangga, menyentuhnya dengan penuh rasa hormat. “Ini bukan hanya alat, tapi simbol perjuangan kita.”
Sari, yang duduk di samping, mengangguk. “Aku ingin desa ini punya taman baru, Kak. Sebagai tanda bahwa kita bisa tumbuh lagi dari abu.” Ide itu disambut dengan senyum dari keduanya, dan Rangga mulai merancang rencana untuk taman itu di buku catatannya.
Beberapa hari kemudian, pada 5 Juli 2025, taman kecil selesai dibangun di lahan yang pernah hancur, dihiasi bunga liar dan pohon muda yang ditanam warga. Upacara peresmian diadakan, dengan Bagas memimpin doa syukur di tengah warga yang berdiri bersatu. Rangga berdiri di samping ayahnya, memandang taman yang menjadi simbol kebangkitan. Di tangannya, ia memegang foto keluarga yang kini ditempatkan dalam bingkai baru, sebuah pengingat akan perjalanan mereka.
Malam itu, di bawah langit yang jernih, Rangga menulis di buku catatannya:
“Dari abu kita bangkit, dari luka kita sembuh. Merapi menguji kita, tapi cinta dan harapan menang. Untuk ayah, Sari, dan Waringin Lestari—kita akan terus bersinar.”
Sari, yang membaca dari belakang, tersenyum dan memeluk kakaknya. “Kita berhasil, Kak.” Bagas, yang duduk di kursi bambu, menatap mereka dengan bangga, merasa bahwa meski letusan meninggalkan luka, keluarga dan desanya telah menemukan kekuatan untuk melangkah maju. Di kejauhan, Gunung Merapi berdiri diam, seolah mengakui keberanian warga Waringin Lestari yang tak pernah padam.
Gunung Membara: Kisah Perjuangan di Tengah Letusan adalah lebih dari sekadar cerita tentang bencana; ini adalah bukti kekuatan cinta keluarga, kebersamaan, dan harapan yang bisa membangun kembali kehidupan dari abu. Kisah Rangga, Sari, dan Bagas mengajarkan kita untuk bangkit dari keterpurukan dengan semangat pantang menyerah. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan emosi mendalam dan motivasi luar biasa dari cerita ini—sebuah karya yang akan meninggalkan jejak di hati Anda!
Terima kasih telah menjelajahi Gunung Membara: Kisah Perjuangan di Tengah Letusan bersama kami. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk menghadapi tantangan dengan keberanian dan cinta. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan tetaplah menikmati dunia sastra yang penuh makna!


