Daftar Isi
Hei, pernah nggak sih dengerin gosip absurd yang beredar di sekitar rumah? Kadang, orang lebih sibuk ngurusin hidup orang lain daripada hidupnya sendiri. Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ngelihat gimana gosip yang katanya cuma omongan bisa jadi bumerang yang balik nyerang si penyebarnya sendiri. Nggak ada yang lebih seru dari ngelihat seseorang kena batunya, kan? Cus, baca sampai habis!
Ketika Fitnah Berbalik Menyerang
Bisikan di Balik Pagar
Pagi di perumahan itu selalu dimulai dengan aroma kopi dan suara ibu-ibu yang sibuk menyapu halaman. Namun, ada satu suara yang lebih nyaring dari yang lain, suara yang selalu membawa cerita baru ke telinga siapa pun yang cukup penasaran untuk mendengarnya—Bu Des.
Di teras rumahnya yang luas, Bu Des duduk santai sambil menyesap teh melati. Matanya awas, seperti burung elang yang siap menangkap mangsa. Kali ini, buruannya adalah Lastri, tetangga yang baru saja membeli mobil baru.
“Nggak masuk akal, deh. Dari mana duitnya?” gumamnya sambil mengangkat alis.
Seolah semesta mendukung kebiasaannya, tak lama kemudian Bu Marni muncul, menyapu halaman di seberang rumahnya. Kesempatan emas.
“Eh, Bu Marni!” seru Bu Des sambil tersenyum lebar, tapi matanya penuh arti. “Kamu udah lihat belum? Si Lastri beli mobil baru. Kredit, ya?”
Bu Marni berhenti menyapu dan mendongak. “Ah, masa?”
“Iya, aku lihat platnya masih merah! Kamu tahu kan, suaminya kerjaannya pindah-pindah terus. Kalau bukan kredit, darimana?”
Bu Marni pura-pura tidak tertarik, padahal dalam hati, rasa penasarannya mulai tumbuh. “Ya, siapa tahu dapet rezeki, Bu. Kita kan nggak tahu urusan orang.”
Bu Des terkekeh. “Yaelah, Bu, rezeki dari mana? Pasti ada sesuatu.”
Tak jauh dari mereka, seorang ibu lain, Bu Rina, yang sedang menjemur pakaian pura-pura sibuk, padahal telinganya sudah menangkap percakapan itu. Beberapa saat kemudian, dia sudah membawa gosip itu ke tetangga lain. Dalam hitungan jam, hampir semua orang di perumahan tahu soal mobil baru Lastri—lengkap dengan dugaan-dugaan yang makin berkembang liar.
Sementara itu, di rumahnya, Lastri yang sedang asyik mengurus anaknya sama sekali tidak tahu bahwa di luar sana, hidupnya sudah menjadi topik utama pagi ini.
Tapi pagi itu tidak hanya soal Lastri. Setelah puas dengan satu gosip, Bu Des beralih ke target lain. Kali ini, matanya tertuju pada rumah Mela, ibu muda yang cantik dan tampak selalu sempurna.
“Aku kok jarang lihat suaminya Mela, ya?” tanyanya tiba-tiba pada Bu Marni yang masih di tempat yang sama.
Bu Marni mengangkat bahu. “Ya mungkin sibuk kerja.”
Bu Des menyipitkan mata. “Sibuk atau… ada yang lain?”
Bu Marni tertawa kecil. “Bu Des, kamu ini ada-ada aja!”
“Ada-ada aja gimana? Aku cuma ngomong fakta. Aku lihat sendiri, hampir tiap malam dia pulang telat. Mela sih keliatan santai, tapi siapa tahu di dalam hatinya—hmm, siapa yang tahu?”
Bu Marni pura-pura tidak tertarik lagi, tapi di dalam hatinya, rasa ingin tahunya semakin tumbuh. Dan seperti yang sudah-sudah, gosip itu kembali menyebar dengan cepat.
Sementara itu, di rumahnya, Mela sedang menyiapkan sarapan untuk anaknya. Tak ada yang aneh, tak ada yang mencurigakan. Tapi di luar sana, orang-orang mulai melihatnya dengan tatapan berbeda—tatapan yang penuh dengan asumsi dan kecurigaan yang tidak beralasan.
Bu Des tidak pernah berpikir jauh tentang dampak kata-katanya. Baginya, ini hanya obrolan ringan, sesuatu yang bisa membuat paginya lebih menarik. Yang tidak dia sadari, setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah api kecil yang bisa membakar lebih besar dari yang dia duga.
Dan api itu baru saja mulai menyala.
Retakan di Balik Kesempurnaan
Gosip itu tumbuh seperti benih liar yang dilempar ke tanah subur. Dalam hitungan hari, desas-desus tentang Mela dan suaminya sudah menyebar ke setiap sudut perumahan. Awalnya hanya bisikan, tapi lama-lama berubah jadi tatapan curiga setiap kali Mela keluar rumah.
Mela mulai menyadarinya ketika dia berbelanja di warung dekat rumah. Saat dia masuk, Bu Rina dan Bu Marni langsung terdiam, seolah baru saja membahas sesuatu yang seharusnya tidak didengar orang lain.
“Eh, Mela! Pagi!” sapa Bu Rina dengan senyum yang terlalu manis.
Mela membalas dengan anggukan kecil. “Pagi, Bu.”
Dia tidak terlalu memikirkan perubahan sikap itu, sampai dia mendengar sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
“Lihat aja deh, dia selalu keliatan cantik dan rapi. Gimana nggak curiga?” bisik Bu Rina pelan pada Bu Marni, tapi cukup keras untuk masuk ke telinga Mela.
Jantungnya mencelos.
Sejenak, dia ingin menegur mereka. Tapi apa gunanya? Orang yang sudah percaya pada gosip lebih sulit diyakinkan daripada yang benar-benar tahu fakta.
Dengan tangan gemetar, dia membayar belanjaannya dan buru-buru pulang.
Di rumah, Mela duduk di meja makan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Suaminya, Reza, memang sering pulang malam karena pekerjaannya yang menuntut. Tapi itu bukan hal baru. Kenapa tiba-tiba semua orang mempermasalahkannya?
Dia menarik napas panjang. Mungkin ini hanya perasaan sesaat. Mungkin kalau dia tidak memperdulikan, gosip itu akan hilang dengan sendirinya.
Dia salah.
Malam itu, saat Reza akhirnya pulang, Mela tidak bisa menahan diri lagi.
“Reza, kamu sadar nggak sih kalau orang-orang di sini mulai ngomongin kita?” tanyanya dengan suara lelah.
Reza yang sedang melepas dasi mengerutkan dahi. “Ngomongin apa?”
Mela menggigit bibirnya. “Kamu sering pulang malam, mereka mulai bikin cerita sendiri.”
Reza tertawa kecil, seolah itu hal yang lucu. “Itu masalah mereka, bukan masalah kita.”
Mela menatap suaminya dengan tidak percaya. “Tapi mereka bikin aku keliatan kayak istri yang nggak bisa jagain rumah tangganya! Kayak aku ini—”
“Hei,” Reza memegang tangannya, menghentikan kata-kata yang hampir keluar dari mulut Mela. “Kita tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu sudah cukup.”
Tapi bagi Mela, itu tidak cukup.
Hari-hari berikutnya, tatapan orang-orang semakin menusuk. Entah kenapa, setiap kali dia melewati Bu Des, ada senyum tipis di wajah wanita itu, seolah puas dengan apa yang sedang terjadi.
Puncaknya terjadi ketika Mela menjemput anaknya dari sekolah. Saat dia baru saja keluar dari mobil, seorang ibu lain mendekat dengan wajah penuh belas kasihan.
“Mela… kalau kamu butuh cerita-cerita, aku ada, ya,” katanya dengan suara rendah, seolah berbicara dengan orang yang sedang dalam masalah besar.
Mela mengerutkan dahi. “Cerita apa?”
Ibu itu menghela napas panjang. “Ya, aku cuma mau bilang… kalau ada masalah di rumah, jangan dipendam sendiri.”
Saat itulah Mela sadar, gosip itu sudah jauh lebih buruk dari yang dia kira. Orang-orang tidak hanya sekadar bicara—mereka sudah mulai percaya dengan kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.
Dan itu hanya permulaan.
Api yang Tak Terlihat
Mela mengira dia bisa mengabaikan semua itu. Dia mengira, jika dia cukup diam, cukup sabar, maka gosip akan memudar seperti embun pagi yang tersapu matahari. Tapi nyatanya, semakin dia diam, semakin liar cerita yang berkembang.
Sekarang, orang-orang tidak hanya membicarakan suaminya yang pulang malam. Mereka mulai bicara tentang dirinya—tentang betapa seringnya dia terlihat berdandan rapi, betapa anehnya dia tetap tersenyum meskipun “suaminya mungkin selingkuh.”
“Kalau aku jadi dia, sih, pasti udah nangis-nangis,” kata seseorang di warung saat Mela lewat.
“Tapi dia nggak gitu. Itu yang bikin aku curiga. Jangan-jangan… dia juga ada simpanan?” sahut yang lain dengan nada penuh arti.
Mela berhenti sejenak di depan warung, tangan mengepal di sisi tubuhnya. Ada dorongan kuat untuk berbalik dan menegur mereka. Tapi buat apa?
Tidak ada yang bisa membantah kebohongan yang sudah dipercaya banyak orang.
Malam itu, di rumahnya, Mela duduk diam di meja makan. Suaminya masih di kantor, dan anaknya sudah tidur. Ruangan terasa kosong, dingin, dan sepi.
Pikirannya melayang ke hari-hari sebelum semua ini dimulai. Dulu, dia tidak pernah merasa seperti ini. Dulu, dia bisa keluar rumah tanpa merasa ada puluhan pasang mata yang mengawasinya dari balik jendela.
Tapi sekarang?
Sekarang, setiap langkahnya seperti dinilai. Setiap kata yang dia ucapkan bisa berubah makna ketika sampai di telinga orang lain.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Reza.
“Maaf, aku pulang telat lagi.”
Mela menatap layar itu lama, sebelum akhirnya meletakkannya tanpa membalas.
Dia menarik napas panjang.
Lalu mengambil keputusan.
Pagi harinya, untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Mela melangkah keluar dengan kepala tegak. Ada sesuatu di matanya yang berbeda dari sebelumnya.
Dia tidak akan bersembunyi. Tidak lagi.
Ketika dia melewati rumah Bu Des, wanita itu sedang duduk santai seperti biasa, menikmati teh paginya. Ketika melihat Mela, senyum tipisnya muncul—senyum khasnya, penuh kepuasan.
Tapi hari ini, Mela tidak menghindar. Dia justru berhenti di depan pagar rumah Bu Des, menatap lurus ke arahnya.
“Bu Des,” sapanya dengan suara tenang.
Bu Des mengangkat alis, seolah tidak menyangka akan disapa. “Eh, Mela! Ada apa?”
Mela tersenyum tipis. Tapi bukan senyum ramah, melainkan senyum yang penuh dengan sesuatu yang selama ini tidak pernah dia tunjukkan—sesuatu yang tajam, dingin, dan berbahaya.
“Aku cuma mau bilang,” katanya pelan. “Aku tahu, Bu. Aku tahu semuanya.”
Warna wajah Bu Des berubah sedikit, tapi dia tertawa kecil. “Maksud kamu?”
Mela tidak menjawab. Dia hanya menatap lama, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya.
Bu Des tertawa lagi, tapi kali ini suaranya terdengar sedikit goyah.
Dan saat Mela berjalan pergi, untuk pertama kalinya, Bu Des merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Rasa tidak nyaman.
Dan ketidaknyamanan itu akan segera tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.
Akhir yang Tidak Mereka Duga
Hari-hari berlalu, tapi ada sesuatu yang berubah. Bukan pada Mela, melainkan pada orang-orang di sekitarnya.
Setiap kali dia keluar rumah, tatapan yang dulu penuh dengan bisik-bisik kini mulai dipenuhi ketidakpastian. Tidak ada lagi senyum puas dari Bu Des. Tidak ada lagi suara-suara pelan yang sengaja dikeraskan saat Mela lewat.
Gosip yang dulu menyala terang mulai meredup perlahan.
Karena satu hal yang tidak mereka duga telah terjadi: Mela tidak berusaha membela diri.
Dia tidak menangis, tidak mengamuk, tidak memohon pengertian dari siapa pun. Sebaliknya, dia hanya menatap mereka dengan senyum tipis—senyum yang membuat orang-orang mulai mempertanyakan apakah yang mereka bicarakan selama ini benar adanya.
Dan ketika tidak ada yang bisa memastikan kebenarannya, gosip itu kehilangan nyawanya sendiri.
Pada suatu sore, Mela sedang duduk di teras ketika seseorang mengetuk pagar rumahnya.
Bu Des.
Wanita itu berdiri dengan senyum canggung, berbeda jauh dari biasanya. “Mela, bisa kita bicara sebentar?”
Mela menyesap tehnya perlahan sebelum menjawab. “Bicara apa, Bu?”
Bu Des tertawa kecil, mencoba bersikap biasa. “Ah, ya, cuma ingin ngobrol santai aja. Kita ini kan tetangga, masa diam-diaman?”
Mela menatapnya sebentar sebelum berdiri dan berjalan mendekat. Dia bersandar di pagar, menatap Bu Des dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Bu Des,” katanya pelan. “Kamu pikir aku nggak tahu?”
Wajah Bu Des menegang. “Tahu apa?”
“Tahu siapa yang pertama kali menyebarkan gosip itu.”
Suara Mela datar, tanpa emosi.
Bu Des membuka mulutnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Karena dia tahu. Dia tahu Mela sudah melihat segalanya.
Tapi anehnya, tidak ada kemarahan di wajah Mela.
Justru ada sesuatu yang lebih menakutkan: kebebasan.
Karena tidak peduli seberapa banyak gosip yang mereka sebarkan, Mela sudah melangkah lebih jauh dari semua itu.
Dan Bu Des?
Dia akan selamanya terjebak di dalam kebohongan yang dia ciptakan sendiri.
Malam itu, ketika Reza pulang, Mela menyambutnya dengan senyum ringan.
“Kenapa keliatan tenang banget?” tanya Reza sambil melepas jam tangannya.
Mela mengangkat bahu. “Aku cuma baru sadar sesuatu.”
“Apa?”
Mela menatap suaminya, lalu menghela napas panjang.
“Aku nggak perlu buktiin apa-apa ke siapa-siapa.”
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Mela merasa ringan. Tidak peduli seberapa keras orang berusaha menjatuhkannya, dia tetap berdiri. Dan itu, lebih dari apa pun, adalah kemenangan terbesar yang tidak bisa mereka ambil darinya.
Sementara itu, di rumah sebelah, Bu Des duduk diam di ruang tamunya. Tehnya sudah dingin, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Gosip yang dia mulai telah mati.
Dan yang tersisa hanyalah dirinya sendiri, sendirian, dalam kebohongan yang dia ciptakan.
Nah, kan? Hidup ini beneran kayak roda. Hari ini kamu nyebar gosip, besok kamu yang kena imbasnya. Dunia tuh kecil, guys. Apa yang kamu omongin tentang orang lain bisa jadi balik ke kamu lebih cepat dari kilat. Jadi, masih mau sibuk urusin hidup orang atau mulai fokus benerin hidup sendiri? Pilihan ada di tanganmu.


