Geng Bangku Pojok: Kisah Persahabatan Kocak yang Nggak Akan Pernah Luntur

Posted on

Persahabatan di sekolah itu kayak mie instan—cepet jadi, kadang penuh drama, tapi selalu bikin nagih. Apalagi kalau kamu punya geng yang bukan cuma tempat buat ketawa bareng, tapi juga tempat kamu ngerasain hidup yang sebenarnya.

Nah, kenalin, ini kisah Geng Bangku Pojok—empat anak sekolah yang hobinya bikin kekacauan, melawan hukum rimba di kantin, sampai akhirnya harus menghadapi perpisahan yang nggak mereka inginkan. Ini bukan cerita persahabatan biasa. Ini cerita tentang kenangan yang nggak bakal luntur meskipun waktu terus berjalan.

 

Geng Bangku Pojok

Awal dari Kekacauan

Kelas VII-D memiliki satu sudut yang selalu menarik perhatian: deretan bangku paling pojok, tepat di samping jendela. Posisi itu seolah menjadi tempat pembuangan anak-anak yang entah terlalu berisik, terlalu malas, atau terlalu sering mengacau. Tidak ada yang benar-benar berniat duduk di sana, kecuali empat individu yang tanpa sadar akhirnya membentuk kelompok aneh nan solid.

Mereka adalah Sagara, bocah cerdas yang malas mengerjakan tugas tapi selalu mendapat nilai tinggi; Raka, badut kelas yang hobinya bikin onar; Nadhira, gadis galak yang gemar protes atas segala ketidakadilan di dunia (bahkan terhadap ukuran tempe di kantin); dan Elvano, sosok pendiam yang selalu memiliki komentar tajam dan mematikan.

Mereka tidak pernah berniat menjadi sahabat, tapi keadaan selalu mempertemukan mereka dalam satu bangku pojok.

Pagi pertama di tahun ajaran baru, kelas VII-D dipenuhi suara gaduh anak-anak yang sibuk mencari tempat duduk. Sagara tiba lebih dulu dan, seperti biasa, memilih tempat strategis—bangku paling pojok di barisan belakang. Bukan karena ingin mengisolasi diri, tapi karena tempat itu menawarkan dua keuntungan: angin sepoi-sepoi dari jendela dan kemudahan untuk tidur tanpa terpantau guru.

Tidak lama setelah Sagara meletakkan tasnya, seorang anak laki-laki bertubuh jangkung dengan wajah penuh rencana jahat duduk di sebelahnya.

“Wah, duduk di sini juga, ya? Bagus, kita bisa kerja sama nanti,” kata Raka dengan seringai khasnya.

Sagara mendengus. “Kerja sama buat apa?”

“Ya jelas, buat bertahan hidup di kelas ini! Kita harus solid, bro. Gue yakin, kelas ini bakal penuh sama anak-anak aneh.”

Sagara hanya mengangkat bahu. Tidak lama kemudian, seorang gadis dengan rambut dikuncir tinggi dan ekspresi tidak ramah meletakkan tasnya di bangku depan mereka.

“Kalian yang duduk di sini?” tanya gadis itu dengan nada interogasi.

Raka mengangguk santai. “Iya, kenapa? Nggak suka? Mau pindah?”

“Bukan gitu,” balasnya cepat. “Gue cuma mau pastiin kalau nggak bakal ada cowok nyebelin yang suka main-main di belakang.”

Raka terkekeh. “Sayang banget, ternyata justru ada cowok paling nyebelin sekelas.”

Gadis itu memutar mata. “Nama gue Nadhira. Dan kalau kalian bikin rusuh, gue nggak akan segan ngadu ke guru.”

Sagara dan Raka saling melirik sebelum meledak dalam tawa.

“Udah kayak ketua kelas aja,” gumam Sagara.

Tidak lama kemudian, seorang anak laki-laki berambut sedikit berantakan datang dan duduk diam di sebelah Nadhira. Tanpa berkata apa-apa, dia mengeluarkan buku dan mulai membaca.

Sagara meliriknya. “Nama lo siapa?”

“Elvano,” jawabnya singkat.

Raka menyenggol Sagara dan berbisik, “Gue yakin dia tipe anak yang diem tapi kalau marah bisa bikin trauma sekelas.”

Elvano tetap fokus pada bukunya, seolah tidak peduli dengan analisis Raka.

Dari situlah semuanya bermula. Hari-hari berikutnya di kelas VII-D tidak pernah sepi dengan kehadiran mereka.

Ketika guru bertanya, “Siapa yang belum mengerjakan PR?”—empat tangan dari bangku pojok hampir selalu terangkat bersamaan.

Saat guru memberikan tugas kelompok, mereka berempat otomatis masuk satu tim tanpa perlu berdiskusi.

Dan ketika bel istirahat berbunyi, merekalah yang paling dulu menghilang dari kelas, entah untuk berburu makanan di kantin atau sekadar menghindari tugas tambahan.

Mereka tidak pernah mendeklarasikan persahabatan mereka secara resmi. Tapi tanpa disadari, bangku pojok itu telah menjadi rumah bagi mereka—sebuah zona nyaman di tengah kekacauan dunia sekolah.

Dan seperti itulah awal dari Geng Bangku Pojok, sebuah kelompok yang mungkin tidak sempurna, tapi selalu punya cara tersendiri untuk menghadapi sekolah dengan penuh tawa dan kekacauan.

 

Strategi Kantin dan Hukum Rimba

Jam istirahat selalu menjadi momen paling ditunggu-tunggu di sekolah. Bukan karena mereka lapar, tapi karena itulah satu-satunya waktu di mana anak-anak bisa bebas dari tekanan tugas dan ocehan guru.

Bagi Geng Bangku Pojok, kantin adalah medan perang. Setiap hari, ratusan siswa berdesakan demi mendapatkan makanan favorit mereka sebelum kehabisan. Dan di antara mereka, ada satu target utama yang selalu menjadi rebutan: tahu crispy dengan sambal kacang.

“Gue nggak ngerti, kenapa tahu crispy ini kayak emas di kantin?!” gerutu Raka sambil melihat antrean yang sudah mengular.

Nadhira mendengus. “Lo pikir cuma kita yang mau? Setiap jam istirahat, kantin ini kayak pasar malam.”

Sagara menatap antrean panjang itu dengan penuh perhitungan. “Kita harus punya strategi. Kalau ikut antre, kita bakal kehabisan.”

“Lo ada ide?” tanya Elvano, yang seperti biasa hanya berbicara seperlunya.

Sagara mengangguk. “Gue ada rencana. Tapi perlu pengorbanan.”

Lima menit kemudian, rencana mereka pun dimulai.

Nadhira dan Raka berjalan ke tengah kantin dengan wajah panik. Lalu tiba-tiba—

“YA AMPUN! KAKI GUE KRAM!” teriak Raka mendadak, jatuh ke lantai dengan dramatis.

Nadhira langsung berteriak, “ADA DOKTER DI SINI? TEMEN GUE BUTUH PERTOLONGAN!”

Seluruh kantin menoleh. Beberapa anak yang sedang antre menyingkir untuk melihat apa yang terjadi. Kakak kelas yang berdiri di depan antrean mulai menggerutu, tapi tidak bisa mengabaikan drama ini.

Di saat perhatian semua orang teralihkan, Sagara dan Elvano bergerak cepat. Dengan langkah ringan dan kecepatan kilat, mereka menyelinap ke depan antrean, menyerahkan uang ke ibu kantin, dan mengambil empat bungkus tahu crispy.

Sagara langsung mengangguk ke Raka dan Nadhira, memberi kode bahwa misi berhasil.

Dan tiba-tiba—

“Aku sembuh!” seru Raka sambil berdiri tegap, lalu dengan santai berlari keluar kantin bersama gengnya.

Suara protes dari anak-anak lain menggema di belakang mereka, tapi mereka tidak peduli. Mereka sudah menang.

Mereka duduk di bawah pohon di halaman belakang sekolah, menikmati hasil kemenangan mereka.

“Elvano, lo jenius,” kata Raka sambil menyumpit tahu crispy dengan sumpit kayu yang entah dari mana dia dapatkan.

Elvano hanya mengangkat bahu. “Gue cuma jalan sesuai rencana.”

Sagara terkekeh. “Ini pertama kalinya kita makan tahu crispy tanpa harus berantem rebutan.”

Nadhira mengunyah sambil mengangguk puas. “Besok kita coba cara lain. Variasi strategi penting buat bertahan hidup.”

Mereka tertawa bersama. Di mata siswa lain, mereka mungkin cuma sekumpulan anak aneh yang suka bikin onar. Tapi di antara mereka sendiri, mereka tahu satu hal:

Geng Bangku Pojok tidak pernah kalah dalam perang kantin.

 

Perpecahan yang Tak Terduga

Semester baru datang lebih cepat dari yang mereka harapkan. Awalnya, mereka pikir semuanya akan tetap sama—duduk di bangku pojok, bikin kekacauan di kantin, dan jadi kelompok paling absurd di kelas.

Tapi kemudian, pengumuman pembagian kelas datang seperti petir di siang bolong.

“Nggak mungkin…” suara Raka tercekat saat dia membaca daftar kelas yang ditempel di papan pengumuman.

Geng Bangku Pojok dipisahkan.

Sagara tetap di kelas 8C.

Nadhira dipindahkan ke 8A.

Elvano ke 8D.

Dan yang paling apes, Raka masuk 8E—kelas yang terkenal isinya anak-anak teladan dan kutu buku.

Mereka berdiri di depan papan pengumuman, menatap nama-nama itu dengan ekspresi kosong. Rasanya seperti akhir dunia.

“Ini konspirasi,” gumam Nadhira.

“Pasti karena kita terlalu berisik,” tambah Sagara.

Raka masih terdiam, menatap namanya di 8E dengan ekspresi seperti habis kehilangan tujuan hidup.

Elvano, yang biasanya paling kalem, menghela napas panjang. “Kita bakal pisah.”

Dan untuk pertama kalinya, tidak ada yang bisa berkata apa-apa.

Mereka mencoba bertahan.

Di kelas baru, masing-masing dari mereka merasa seperti ikan yang dipindahkan ke daratan.

Nadhira duduk di tengah barisan, dikelilingi anak-anak yang lebih suka membahas PR daripada gosip kantin.

Elvano terjebak di kelas penuh atlet yang hobi lari pagi sebelum jam sekolah dimulai.

Sagara masih di pojok kelasnya, tapi tanpa teman-temannya, bangku itu terasa lebih sepi dari biasanya.

Dan yang paling tragis? Raka.

“Bro, lo kenapa diem aja?” tanya salah satu anak kutu buku di kelasnya.

Raka, yang biasanya berisik, hanya menopang dagu dengan tatapan kosong. “Gue kehilangan jiwa gue.”

Hari pertama tanpa Geng Bangku Pojok berjalan lambat, hambar, dan… membosankan.

Beberapa hari berlalu. Mereka mulai jarang bertemu karena jadwal kelas yang berbeda. Kantin, yang biasanya jadi tempat berkumpul, terasa bukan milik mereka lagi.

Sampai akhirnya, Sagara mengambil keputusan besar.

“Besok kita kabur dari kelas.”

Malam itu, mereka bertemu di grup chat rahasia yang sudah mereka buat sejak kelas tujuh.

Sagara: Gue nggak tahan. Gue ngerasa kayak jomblo di pernikahan orang.

Nadhira: Sama. Gue bahkan mulai ngerjain PR sebelum deadline. Ini nggak sehat.

Elvano: Gue udah lari pagi dua kali. Gue nggak kenal diri gue sendiri.

Raka: Gue… udah ngerapiin meja tiap hari. Gue butuh bantuan, bro.

Mereka tahu, ada satu cara untuk menyelamatkan keadaan: bolos jam pelajaran untuk kumpul lagi.

Rencana mereka sederhana. Pada jam kosong keesokan harinya, mereka akan kabur dari kelas masing-masing dan bertemu di atap sekolah—tempat yang jarang dikunjungi guru.

Misi: Reuni Geng Bangku Pojok.

Hari itu, mereka beraksi.

Sagara pura-pura sakit perut.

Nadhira meminta izin ke perpustakaan, tapi malah menghilang.

Elvano menyelinap keluar setelah jam olahraga.

Dan Raka? Dia lompat keluar jendela kelas. Literal lompat keluar jendela.

Mereka akhirnya bertemu di atap sekolah. Untuk pertama kalinya sejak pembagian kelas, mereka bisa duduk bersama lagi.

“Gue kangen kalian,” kata Nadhira akhirnya.

Elvano mengangguk. “Gue juga.”

Sagara tersenyum kecil. “Rasanya kayak balik ke rumah.”

Raka duduk dengan ekspresi puas. “Gue udah capek hidup di kelas anak-anak rajin. Gue lebih suka kalian, meskipun kalian semua aneh.”

Mereka tertawa bersama. Momen itu mengingatkan mereka bahwa persahabatan nggak ditentukan sama kelas atau tempat duduk.

Tapi sebelum mereka sempat merayakan lebih lama—

“HEI! KALIAN NGAPAIN DI SINI?!”

Suara satpam sekolah menggema di atap.

Mereka langsung panik. Dan sebelum siapa pun bisa berpikir, mereka kabur.

Elvano lari duluan.

Nadhira dan Sagara menyusul.

Dan Raka? Seperti biasa, dia membuat keputusan paling gila.

“LOMPAT DARI SAMPING! ADA POHON DI BAWAH!”

Sagara menoleh dengan horor. “Raka, jangan bodoh—”

Tapi sudah terlambat. Raka lompat ke bawah dan berhasil meraih dahan pohon. Dia ketawa bangga… sampai dahannya patah dan dia jatuh dengan suara gedebuk.

Saat mereka akhirnya tertangkap dan berdiri di depan kepala sekolah, mereka tahu satu hal:

Meskipun mereka dipisahkan, mereka tetap Geng Bangku Pojok.

Dan apapun hukumannya nanti, mereka akan menanggungnya bersama.

Ujian, Perpisahan, dan Janji yang Tak Pudar

Hari itu datang lebih cepat dari yang mereka duga—hari di mana mereka harus menghadapi dua hal yang paling ditakuti: ujian akhir dan perpisahan.

Setelah aksi konyol mereka di atap sekolah, mereka kena hukuman membersihkan aula selama satu bulan penuh. Tapi mereka malah menikmatinya. Setidaknya, itu lebih baik daripada terpisah di kelas masing-masing tanpa bisa berbicara.

Namun, waktu terus berjalan. Semester hampir berakhir. Ujian tinggal hitungan hari, dan setelah itu… mereka akan naik kelas 9.

Dan ada satu rumor yang mulai beredar: beberapa dari mereka mungkin akan pindah sekolah setelah kelulusan.

Suatu malam, Sagara mengirim pesan di grup chat mereka.

Sagara: Kita harus ketemu. Besok malam. Tempat biasa.

Tidak ada yang bertanya alasan. Mereka semua mengerti.

Keesokan harinya, setelah jam malam, mereka menyelinap keluar dari rumah masing-masing dan bertemu di taman kecil dekat sekolah—tempat yang dulu mereka datangi saat ingin curhat atau sekadar kabur dari dunia yang membosankan.

Sagara duduk di ayunan, menatap tanah. “Gue denger kabar buruk.”

Raka, yang datang sambil bawa sekantong cemilan, berhenti mengunyah. “Apa?”

“Elvano bakal pindah sekolah habis lulus,” kata Sagara pelan.

Hening.

Mereka semua menoleh ke Elvano, yang seperti biasa, tetap tenang. “Iya,” katanya akhirnya. “Bokap gue dipindahin ke luar kota. Gue nggak punya pilihan.”

Nadhira menunduk. “Jadi… ini bakal jadi tahun terakhir kita?”

Tidak ada yang menjawab.

Dan itu menyakitkan.

Karena meskipun mereka sudah melewati banyak hal bersama, mereka tahu bahwa tidak ada yang bisa menghentikan waktu.

Mereka menghadapi ujian dengan cara masing-masing.

Nadhira mencoba fokus, tapi pikirannya terus melayang ke masa-masa mereka dulu.

Raka malah sibuk menggambar di lembar jawabannya karena dia yakin ujiannya sudah gagal.

Sagara mengerjakan soal dengan ekspresi datar, tapi dalam hati, dia merasa ada sesuatu yang hilang.

Dan Elvano? Dia hanya ingin mengingat hari ini dengan baik, karena ini mungkin ujian terakhir yang dia jalani bersama mereka.

Setelah bel berbunyi, mereka tidak langsung pulang. Mereka duduk di bangku taman sekolah, diam-diam menikmati kebersamaan mereka untuk terakhir kalinya sebagai Geng Bangku Pojok.

Raka menghela napas. “Jadi, kita bakal beneran pisah?”

Sagara menatap langit. “Kayaknya begitu.”

Nadhira menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. “Tapi gue nggak mau.”

Elvano menatap mereka satu per satu. “Gue juga nggak mau. Tapi gue janji, ini bukan akhir.”

Nadhira menatapnya. “Gimana kalau kita berubah? Kalau kita lupa satu sama lain?”

Sagara tersenyum kecil. “Kita udah terlalu gila buat bisa lupa satu sama lain.”

Raka, dengan nada serius yang jarang muncul, berkata, “Gue nggak peduli kita di mana nanti. Tapi kalau suatu hari kita ketemu lagi… kita harus tetap jadi kita.”

Elvano mengangguk. “Janji?”

Mereka saling mengulurkan tangan.

Dan dengan satu genggaman erat, mereka berjanji.

Persahabatan mereka mungkin akan diuji oleh jarak, waktu, dan kehidupan yang terus berjalan.

Tapi satu hal yang mereka tahu pasti—

Geng Bangku Pojok tidak akan pernah benar-benar berakhir.

 

Hidup terus jalan, orang-orang datang dan pergi, tapi ada beberapa hal yang nggak bisa dilupain begitu aja—kayak tawa yang pecah di bangku pojok kelas, perang tahu crispy di kantin, atau janji yang diucapin dengan genggaman tangan erat.

Persahabatan sejati nggak diukur dari seberapa sering ketemu, tapi dari seberapa keras kamu ketawa pas inget kebodohan yang pernah kalian lakuin bareng. Dan Geng Bangku Pojok? Mereka bukan cuma sekadar geng. Mereka legenda.

Leave a Reply