Gema dari Jiwa yang Hancur: Kisah Perjalanan Luka Perempuan Menyentuh Hati

Posted on

Temukan kekuatan dan kepekaan emosional dalam Gema dari Jiwa yang Hancur, sebuah cerpen mendalam yang menggambarkan perjalanan penyembuhan seorang perempuan bernama Selvira di tengah luka yang menghancurkan. Berlatar di Kota Eryndral, cerita ini memadukan detail puitis dan narasi yang kaya emosi, mengisahkan perjuangan melawan kehilangan, cinta keluarga, dan harapan baru. Cocok untuk Anda yang mencari inspirasi dari kisah hidup yang menyentuh jiwa dan membawa pelajaran berharga.

Gema dari Jiwa yang Hancur

Bayang di Cermin Retak

Pagi di Kota Eryndral diselimuti hujan rintik, tetesan air mengetuk jendela kamar kecil yang dipenuhi aroma kayu lembap. Selvira duduk di tepi ranjangnya, menatap cermin tua yang retak di sudut ruangan. Rambut cokelatnya yang acak-acakan tergerai di wajahnya yang pucat, dan matanya—sepasang zamrud yang redup—mengandung bayang-bayang luka yang tak pernah ia ceritakan. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Selvira membawa beban yang terlalu berat: kehilangan ayahnya dalam kecelakaan mobil lima tahun lalu, ibunya yang tenggelam dalam alkohol, dan kakak perempuannya, Thryme, yang pergi tanpa jejak setelah perkelahian hebat. Rumah ini, yang dulu hangat dengan tawa keluarga, kini hanya menyisakan dingin dan keheningan.

Hari itu, Selvira bangun dengan rasa berat di dadanya, seperti batu yang terus menekan. Ia baru saja dipecat dari pekerjaan paruh waktunya di kafe lokal karena kesalahan kecil yang ia tak bisa hindari—tangan gemetarnya menumpahkan kopi panas ke pelanggan. Di meja kecil di sudut kamar, ia menatap foto keluarga yang sudah usang, di mana senyum ayahnya masih terpancar cerah. “Kenapa semua harus pergi?” bisiknya pada cermin, tapi tak ada jawaban selain pantulan dirinya yang tampak asing.

Selvira mengenakan jaket tua milik ayahnya, yang masih menyisakan wangi samar cologne, dan memutuskan berjalan ke Taman Syrith, tempat ia biasa menyendiri. Jam di tangannya menunjukkan pukul 10:15 WIB, Jumat, 20 Juni 2025, dan hujan mulai reda, meninggalkan udara dingin yang menusuk kulitnya. Di taman, ia duduk di bangku kayu yang sudah lapuk, menatap danau kecil yang permukaannya bergoyang oleh tetesan air. Di tangannya, ia memegang buku harian tua milik Thryme, yang ia temukan terselip di lemari minggu lalu. Halaman-halaman itu penuh dengan tulisan tangan kakaknya—puisi tentang luka, harapan, dan perpisahan.

Saat ia membaca, sebuah suara lembut menginterupsi lamunannya. “Kau suka baca di sini juga, ya?”

Selvira menoleh kaget, hampir menjatuhkan buku. Di depannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan rambut perak yang tergerai, mengenakan mantel hijau tua. Matanya cokelat hangat, dan ia memegang payung kecil yang basah. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Miraleth, seorang penyair lokal yang sering terlihat di taman ini. “Maaf kalau mengagetkan,” katanya dengan senyum lembut. “Aku lihat kau sering di sini, selalu sendirian.”

“Uh, iya,” balas Selvira, menutup buku dengan cepat. “Aku cuma… butuh tempat tenang.”

Miraleth mengangguk, duduk di sampingnya tanpa diminta. “Aku ngerti. Tempat ini kayak pelarian buat banyak orang. Apa yang kau baca?”

Selvira ragu, tapi ada kehangatan dalam tatapan Miraleth yang membuatnya terbuka. Ia menunjukkan buku harian Thryme, membaca puisi pendek: “Di balik senyumku, luka bersembunyi, seperti bayang di cermin retak.” Suaranya bergetar saat ia melanjutkan, “Ini tulisan kakakku. Dia pergi tanpa pesan.”

Miraleth mendengarkan dengan seksama, matanya penuh empati. “Indah, tapi penuh duka. Kau kehilangan dia?”

Selvira mengangguk, air matanya mulai jatuh. “Iya. Lima tahun lalu, setelah ayahku meninggal, kami bertengkar hebat. Dia pergi, dan ibuku… dia nggak pernah sama lagi. Sekarang cuma aku yang tersisa.”

Miraleth meletakkan tangannya di pundak Selvira, suaranya lembut. “Kehilangan itu berat, Nak. Tapi tulisan ini… ini cara dia tinggal bersamamu. Apa kau suka menulis?”

“Kadang,” jawab Selvira, menyeka wajahnya. “Tapi aku nggak sebaik dia.”

“Setiap tulisan punya jiwanya sendiri,” kata Miraleth. “Coba tulis apa yang kau rasakan sekarang. Aku bantu.”

Mereka menghabiskan waktu di bangku itu, hujan kembali turun rintik, tapi payung Miraleth melindungi mereka. Selvira mengambil pena dari tasnya, menulis dengan tangan gemetar: “Hujan jatuh, membawa kenangan, menyisakan luka di jiwa yang hancur.” Miraleth membaca, lalu menambahkan baris: “Tapi di setiap tetes, ada harapan, menanti untuk disembuhkan.”

“Bagus,” kata Selvira, terkejut. “Kau jago banget.”

Miraleth tersenyum. “Karena aku pernah di tempatmu. Kehilangan membuat kita kuat, kalau kita izinkan.”

Sore itu, mereka berbagi cerita. Selvira menceritakan tentang ayahnya, seorang tukang kayu yang selalu menyanyikan lagu untuknya, dan Thryme, yang dulu mengajarinya menulis puisi. Miraleth menceritakan tentang suaminya yang meninggal sepuluh tahun lalu, meninggalkannya dengan puisi sebagai pelarian. “Aku menulis buat dia setiap hari,” katanya. “Mungkin kau bisa buat itu buat kakakmu.”

Selvira mengangguk, merasa ada beban yang sedikit terangkat. “Mungkin aku coba. Terima kasih, Miraleth.”

“Senang bisa kenal kamu,” balas Miraleth. “Besok lagi, ya? Bawa tulisanmu.”

“Iya,” janji Selvira, hatinya sedikit hangat.

Malam itu, Selvira pulang dengan langkah lebih ringan. Ia menemukan ibunya tertidur di sofa, botol wiski setengah kosong di sampingnya. Dengan hati berat, ia membersihkan kekacauan, lalu duduk di meja, menulis puisi baru: “Cermin retak, memantulkan diriku, penuh luka yang tak pernah sembuh.” Tapi di akhir, ia menambahkan baris dari Miraleth: “Menanti untuk disembuhkan.”

Keesokan harinya, Selvira kembali ke taman dengan buku dan pena, tapi ia merasa gelisah. Miraleth sudah ada, mengenakan mantel yang sama, tersenyum hangat. “Ada apa yang kau tulis?” tanyanya.

Selvira membacakan puisinya, suaranya bergetar. Miraleth mendengarkan, lalu berkata, “Ini kuat, Selvira. Luka itu bagian dari dirimu, tapi kau bisa membentuknya jadi sesuatu yang indah.”

Mereka menulis bareng lagi, menambahkan baris-baris tentang harapan dan kesedihan. “Ini terasa… seperti pelepasan,” kata Selvira, matanya berkaca.

“Benar,” balas Miraleth. “Tulisannya bisa jadi temenmu, seperti kameraku buat aku.”

Saat hujan turun lagi, mereka berbagi payung, dan Selvira merasa ada cahaya kecil di hatinya. Tapi di sudut pikirannya, bayang-bayang luka tetap ada—ibunya yang hancur, Thryme yang hilang, dan cermin retak yang terus memantulkan wajahnya yang penuh duka.

Jeritan di Balik Kata

Pagi di Kota Eryndral terasa lebih dingin dari biasanya, hujan deras yang mengguyur sepanjang malam meninggalkan genangan air di jalanan sempit dekat rumah Selvira. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 08:45 WIB, Jumat, 20 Juni 2025, tapi Selvira belum bisa mengumpulkan kekuatan untuk bangun dari ranjangnya. Pikirannya dipenuhi oleh pertemuan kemarin dengan Miraleth—senyum hangat wanita itu, kata-kata penyembuhan yang ia tawarkan, dan perasaan campur aduk yang muncul saat ia menulis puisi bersama. Di meja kecil di sampingnya, buku harian Thryme terbuka, halaman terakhir penuh noda tinta dan air mata yang ia teteskan semalam.

Selvira akhirnya bangun, mengenakan jaket tua ayahnya yang sudah mulai robek di lengan, dan menatap cermin retak itu lagi. Pantulannya menunjukkan wajah yang pucat, lingkaran hitam di bawah matanya, dan rambut yang kusut seperti benang yang terputus. Ia menghela napas panjang, mencoba mengabaikan bisikan dalam dirinya yang terus mengingatkan akan kegagalan dan kehilangan. Di dapur, ia menemukan ibunya masih terlelap di sofa, botol wiski kosong berguling di lantai, dan aroma alkohol yang menusuk hidungnya. Dengan hati berat, ia membersihkan kekacauan itu, lalu menyiapkan teh hangat untuk dirinya sendiri, berharap sedikit kehangatan bisa meredakan dingin di jiwanya.

Setelah minum teh, Selvira mengambil buku dan pena, memutuskan berjalan ke Taman Syrith untuk bertemu Miraleth seperti yang dijanjikan. Jam di tangannya kini menunjukkan 10:30 WIB, dan hujan telah reda, meninggalkan udara lembap yang membuat jaketnya terasa berat. Di taman, ia duduk di bangku kayu yang sama, menatap danau yang permukaannya berkilau di bawah sinar matahari samar. Miraleth tiba beberapa menit kemudian, mengenakan mantel hijau tua dan membawa buku tipis berisi puisinya sendiri. “Selvira, pagi!” sapa Miraleth, tersenyum lembut.

“Pagi,” balas Selvira, suaranya serak. “Aku bawa tulisan baru.”

Miraleth duduk di sampingnya, mengangguk penuh antusias. “Baca dong. Aku penasaran.”

Selvira membuka bukunya, membacakan puisi yang ia tulis semalam: “Cermin retak memantulkan wajahku, penuh luka yang tak pernah sembuh, di setiap pecahan, aku lihat diriku yang hilang.” Suaranya bergetar saat ia melanjutkan, “Tapi di ujung kegelapan, ada bisikan, menjanjikan harapan yang samar.”

Miraleth mendengarkan dengan mata berbinar, lalu meletakkan tangannya di pundak Selvira. “Ini luar biasa, Nak. Kau menuangkannya dengan jujur. Aku suka baris terakhir itu—ada kekuatan di sana.”

Selvira mengangguk, tapi air matanya jatuh. “Tapi aku nggak merasa kuat. Ibuku hancur, kakakku pergi, dan aku… aku nggak tahu harus lanjut gimana.”

Miraleth menghela napas, membuka bukunya. “Aku juga pernah begitu. Setelah suamiku meninggal, aku merasa dunia berhenti. Tapi menulis menyelamatkanku. Coba kita tambah puisimu. Apa yang kau inginkan dari harapan itu?”

Mereka menulis bareng, pena Selvira bergetar saat ia menambahkan: “Harapan itu datang seperti hujan, membasuh luka, membawa kembali senyum yang hilang.” Miraleth menyempurnakannya: “Dan di setiap tetes, aku temukan diriku, perlahan utuh kembali.”

Selvira membaca hasilnya, merasa ada sedikit kelegaan. “Ini… terasa seperti aku bicara sama Thryme.”

“Baguslah,” kata Miraleth. “Tulisannya bisa jadi jembatan buatmu ke dia. Apa kau punya kenangan spesial sama dia?”

Selvira mengangguk, mengingat hari ketika Thryme mengajarinya menulis puisi di taman ini, di bawah pohon tua yang masih berdiri. “Kami suka duduk di sini, dia bilang aku punya bakat. Tapi setelah ayah pergi, kami bertengkar. Dia bilang aku egois karena nggak dukung ibu.”

Miraleth memandangnya dengan simpati. “Kehilangan bisa bikin kita bilang hal yang nggak kita maksud. Mungkin dia pergi karena dia juga terluka.”

Mereka menghabiskan waktu dengan berbagi cerita. Miraleth menceritakan tentang puisinya yang diterbitkan setelah bertahun-tahun berjuang, sementara Selvira berbicara tentang masa kecilnya—lagu ayahnya, tawa Thryme, dan hari-hari bahagia sebelum segalanya runtuh. “Aku kangen mereka,” akunya, suaranya pecah.

“Aku juga kangen suamiku,” balas Miraleth. “Tapi aku belajar hidup dengan kenangan, bukan tenggelam di dalamnya. Kau bisa juga.”

Saat hujan turun lagi, mereka berbagi payung, dan Selvira merasa ada ikatan yang tumbuh. “Besok lagi, ya?” ajak Miraleth.

“Iya,” janji Selvira, hatinya sedikit terang.

Malam itu, Selvira pulang menemukan ibunya bangun, mata merah karena menangis. “Selvira, aku minta maaf,” kata ibunya, suaranya parau. “Aku nggak bisa jadi ibu yang baik.”

Selvira terdiam, air matanya jatuh. “Bu, aku juga nggak sempurna. Tapi aku di sini.”

Mereka memeluk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rumah terasa sedikit hangat. Tapi di kamar, Selvira menulis lagi, menambahkan pada puisinya: “Di pelukan ibu, aku temukan luka baru, tapi juga harapan kecil.” Ia tak bisa tidur, memikirkan Thryme dan apa yang mungkin terjadi padanya.

Keesokan harinya, Selvira kembali ke taman dengan semangat baru, tapi juga ketakutan. Miraleth sudah ada, tersenyum. “Ada perkembangan?” tanyanya.

“Iya,” jawab Selvira, membacakan puisi barunya. Miraleth memuji, lalu mengajaknya menulis bareng lagi. “Tema apa?” tanya Selvira.

“Luka yang jadi kekuatan,” usul Miraleth.

Mereka menulis: “Luka menggores jiwaku, seperti cermin retak, tapi di setiap pecahan, aku temukan kekuatan untuk berdiri.” Selvira merasa lega, tapi saat Miraleth tiba-tiba batuk keras, ia khawatir. “Kau oke?”

Miraleth mengangguk, tersenyum tipis. “Cuma tua, Nak. Nggak apa-apa.”

Hari itu terasa penuh makna, tapi bayang-bayang luka Selvira tetap ada—ibunya yang rapuh, Thryme yang hilang, dan sekarang kekhawatiran baru tentang Miraleth. Ia berjanji dalam hati untuk mencari kekuatan, meski hatinya masih penuh jeritan di balik kata-kata.

Retakan yang Menggema

Pagi di Kota Eryndral diselimuti kabut tebal, udara dingin menyusup melalui celah-celah jendela kamar Selvira, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalaman. Jam di dinding menunjukkan pukul 09:15 WIB, Jumat, 20 Juni 2025, tapi Selvira masih terduduk di ranjangnya, membungkus diri dengan selimut tipis. Pikirannya dipenuhi oleh kejadian kemarin—pelukan singkat dengan ibunya, batuk Miraleth yang mengkhawatirkan, dan puisi yang mulai menjadi jembatan menuju penyembuhan. Di meja kecil di sampingnya, buku harian Thryme terbuka, halaman terakhir penuh dengan tambahan tulisannya sendiri, mencoba menangkap harapan yang Miraleth tanamkan di hatinya.

Selvira akhirnya bangun, mengenakan jaket tua ayahnya yang sudah semakin usang, dan menatap cermin retak itu lagi. Pantulannya menunjukkan wajah yang sedikit lebih cerah, tapi lingkaran hitam di bawah matanya tetap ada, seperti bayang luka yang tak pernah hilang. Di dapur, ia menemukan ibunya duduk di meja, memandangi cangkir teh kosong dengan mata kosong. “Selvira,” panggil ibunya pelan, suaranya serak. “Aku coba berhenti minum. Buat kamu.”

Selvira terdiam, air matanya hampir jatuh. “Terima kasih, Bu. Aku seneng denger itu.” Ia memeluk ibunya sekilas, merasakan tulang yang menonjol di punggungnya, lalu menyiapkan sarapan sederhana—roti bakar dan teh hangat. Mereka makan dalam diam, tapi ada kehangatan kecil yang mulai tumbuh, seperti benih di tanah yang kering.

Setelah sarapan, Selvira mengambil buku dan pena, memutuskan berjalan ke Taman Syrith untuk bertemu Miraleth. Jam di tangannya kini menunjukkan 11:30 WIB, dan kabut mulai tipis, mengungkapkan langit abu-abu. Di taman, ia duduk di bangku kayu yang sudah akrab, menatap danau yang tenang. Tapi Miraleth tak kunjung datang, dan jam terus berjalan hingga pukul 12:37 WIB. Ketika Selvira mulai khawatir, seorang pria paruh baya mendekat—dia memperkenalkan diri sebagai Eryndor, tetangga Miraleth.

“Selvira, kan?” tanya Eryndor, wajahnya muram. “Aku lihat kamu sering sama Miraleth. Dia masuk rumah sakit tadi pagi. Batuknya memburuk, dan katanya dia pengen ketemu kamu.”

Selvira terpana, jantungnya berdegup kencang. “Rumah sakit? Apa yang terjadi?”

Eryndor menghela napas. “Dia punya penyakit paru-paru kronis. Udah lama, tapi dia sembunyiin. Aku bawa kamu ke sana, ya?”

Mereka berjalan menuju rumah sakit kecil di ujung kota, hati Selvira penuh kecemasan. Di kamar Miraleth, wanita itu terbaring pucat, tabung oksigen di hidungnya, tapi matanya masih hangat saat melihat Selvira. “Selvira…” bisiknya lemah.

“Miraleth!” seru Selvira, mendekat dan memegang tangannya yang dingin. “Kenapa nggak bilang kamu sakit?”

Miraleth tersenyum tipis. “Aku nggak mau kau khawatir. Tapi ketemu kamu… ini hadiah buat aku. Tulisanmu bikin aku hidup lagi.”

Selvira menangis, menggenggam tangannya erat. “Jangan pergi, ya? Aku butuh kamu. Ibuku mulai membaik, dan aku… aku mulai sembuh karena kamu.”

Miraleth menggeleng pelan. “Aku seneng denger itu. Tapi waktuku hampir habis. Simpen buku ini,” katanya, menunjuk buku puisi di meja samping. “Dan lanjutkan tulisanmu. Itu kekuatanku, sekarang jadi milikmu.”

Mereka berbicara pelan, Miraleth menceritakan tentang suaminya dan bagaimana puisi menyelamatkannya. “Kau punya luka, Selvira, tapi kau juga punya hati yang besar. Gunakan itu,” nasihatnya. Selvira membaca puisi barunya: “Retakan menggema di jiwaku, tapi di setiap suara, aku temukan keberanian.” Miraleth mengangguk, air matanya jatuh.

Saat sore tiba, napas Miraleth semakin lemah. “Selvira, janji aku… jaga dirimu. Tulis buat Thryme, cari dia kalau bisa,” bisiknya.

“Iya, aku janji,” jawab Selvira, suaranya pecah.

Tak lama kemudian, detak jantung di monitor berhenti. Dokter masuk, menggeleng pada Selvira. “Maaf, dia pergi.” Selvira menangis, memeluk Miraleth untuk terakhir kali, lalu mengambil buku puisi itu. Di halaman terakhir, ada catatan: “Selvira, kau cahayaku. Teruslah bersinar.”

Malam itu, Selvira pulang dengan hati hancur. Ia menemukan ibunya menangis di sofa, memeluk foto ayahnya. “Selvira, aku kangen dia,” kata ibunya. Mereka memeluk, menangis bersama, dan untuk pertama kalinya, Selvira merasa ada ikatan baru.

Keesokan harinya, Selvira membuka buku Miraleth, menemukan puisi tentang penyembuhan. Ia menulis lagi: “Menggema di retakan, aku temukan suara, untuk Thryme, untuk diriku.” Ia memutuskan mencari kakaknya, mengunjungi teman-teman lama Thryme, dan meninggalkan pesan di setiap tempat yang pernah mereka kunjungi.

Di sebuah kafe tua, ia bertemu seorang teman Thryme, Veyra, yang memberi tahu, “Thryme pergi ke kota selatan setelah pertengkaran. Dia bilang mau cari kedamaian. Mungkin masih di sana.”

Selvira merasa harapan kecil, tapi juga takut. Ia kembali ke taman, menatap danau, dan berjanji pada Miraleth dan dirinya sendiri untuk terus mencari. Luka di hatinya menggema, tapi di setiap retakan, ia mulai menemukan kekuatan untuk melangkah.

Suara dari Retakan

Pagi di Kota Eryndral terasa sunyi, kabut tipis masih menyelimuti Taman Syrith saat jam di dinding kamar Selvira menunjukkan pukul 07:45 WIB, Jumat, 20 Juni 2025. Hatinya berdebar kencang sejak malam tadi, setelah mendengar kabar dari Veyra tentang kemungkinan keberadaan Thryme di kota selatan. Di meja kecil di samping ranjangnya, buku harian Thryme dan buku puisi Miraleth terbuka, halaman-halaman itu penuh dengan tulisan tangan yang kini menjadi saksi perjalanan luka dan harapannya. Selvira bangun dengan tekad baru, meski matanya sembab akibat tangisan malam sebelumnya atas kepergian Miraleth.

Di dapur, ia menemukan ibunya sedang menyapu lantai, wajahnya lebih cerah meski masih pucat. “Selvira, aku coba bangun pagi,” kata ibunya, suaranya lemah tapi penuh usaha. “Kamu mau ke mana hari ini?”

Selvira tersenyum tipis, menuang teh hangat untuk mereka berdua. “Aku mau cari Thryme, Bu. Veyra bilang dia mungkin di kota selatan. Aku harus tahu apa yang terjadi.”

Ibunya terdiam, tangannya bergetar memegang sapu. “Kalau kamu nemuin dia, bilang aku minta maaf. Aku nggak jadi ibu yang baik buat kalian.”

Selvira memeluk ibunya, air matanya jatuh. “Aku juga minta maaf, Bu. Kita mulai lagi, ya?” Ibunya mengangguk, dan untuk pertama kalinya, mereka merasa seperti keluarga lagi.

Pukul 09:30 WIB, Selvira meninggalkan rumah dengan tas kecil berisi buku, pena, dan foto keluarga. Ia naik bus menuju kota selatan, hati penuh harap dan ketakutan. Perjalanan dua jam terasa seperti eternitas, pemandangan hijau di luar jendela berganti dengan bangunan-bangunan sederhana. Saat sampai di Stasiun Aerith pukul 11:40 WIB, ia bertanya pada pedagang lokal tentang Thryme, menunjukkan foto lama yang ia bawa.

Seorang wanita tua, Nivara, mengangguk pelan. “Aku kenal gadis itu. Dia sering duduk di tepi Sungai Lyris, menulis. Terakhir kulihat, dia kerja di toko buku kecil di ujung jalan.”

Selvira berterima kasih, berjalan menuju sungai dengan langkah cepat. Di tepi Sungai Lyris, ia melihat seorang wanita dengan rambut cokelat panjang yang akrab, duduk di bangku kayu dengan buku di tangan. “Thryme?” panggilnya, suaranya bergetar.

Wanita itu menoleh, matanya melebar. “Selvira?” Thryme berdiri, wajahnya penuh kejutan dan air mata. Mereka berlari saling memeluk, menangis bersama di bawah langit yang mulai cerah.

“Kenapa kamu pergi?” tanya Selvira, suaranya pecah. “Aku kira kamu benci aku.”

Thryme menggeleng, memeluknya erat. “Aku nggak benci. Aku pergi karena aku nggak tahan lihat ibu hancur, dan aku takut aku juga hancur. Maaf, Selvira.”

Mereka duduk di bangku, berbagi cerita. Thryme menceritakan tentang tahun-tahunnya di kota selatan—kerja di toko buku, menulis puisi untuk mengatasi rasa bersalah, dan harapannya kembali suatu hari. “Aku kangen kamu dan ayah,” katanya, air matanya jatuh. “Tapi aku nggak tahu harus balik gimana.”

Selvira mengeluarkan buku harian Thryme, menunjukkan tulisan barunya. “Aku tulis buat kamu, Thryme. Dan Miraleth, temenku, dia ajar aku sembuh. Dia pergi kemarin.”

Thryme memeluknya lagi, menangis. “Aku seneng kamu kuat. Aku mau balik, Selvira. Kita cari ibu bareng.”

Mereka berjalan ke toko buku tempat Thryme bekerja, dan pemiliknya, seorang pria tua bernama Kaelith, mengizinkan Thryme mengambil cuti. Pukul 15:20 WIB, mereka naik bus kembali ke Eryndral, hati penuh harap. Di rumah, ibu mereka menangis saat melihat Thryme, memeluk keduanya. “Aku minta maaf,” ulang ibunya berkali-kali.

Malam itu, mereka duduk bersama, membaca puisi dari buku Miraleth. Selvira menulis: “Retakan menggema, tapi di setiap suara, aku temukan keluarga, utuh kembali.” Thryme menambahkan: “Dan dari luka, kita bangun cinta, abadi di hati.”

Keesokan harinya, Selvira membawa buku itu ke Taman Syrith, meletakkan bunga di bangku tempat ia bertemu Miraleth. “Terima kasih,” bisiknya pada angin. Ia memutuskan menerbitkan puisinya, judulnya “Echoes of a Shattered Soul,” untuk menghormati Miraleth dan perjalanannya.

Beberapa bulan kemudian, buku itu diterbitkan, dan peluncurannya diadakan di taman. Ibunya, yang mulai pulih, Thryme, dan teman-teman hadir, menangis dan tersenyum. Selvira membaca puisi terakhir: “Dari retakan, aku bangkit, suara luka jadi nyanyian, dan jiwa ini, utuh dalam cinta.”

Di sudut taman, ia merasa Miraleth ada, tersenyum, dan bisikan itu—echoes of a shattered soul—kini menjadi lagu kehidupan yang indah. Selvira tahu, luka tetap ada, tapi ia telah menemukan kekuatan untuk menjalani hari-hari berikutnya.

Gema dari Jiwa yang Hancur adalah bukti bahwa dari luka terdalam, seseorang dapat menemukan kekuatan untuk bangkit dan menyembuhkan. Kisah Selvira, Thryme, dan Miraleth akan menginspirasi pembaca untuk menghargai setiap langkah penyembuhan dan menjalani hidup dengan cinta serta harapan. Jangan lewatkan kesempatan untuk merenung dan terinspirasi oleh cerita ini, yang menawarkan cahaya di tengah kegelapan.

Terima kasih telah menyelami keindahan dan kekuatan Gema dari Jiwa yang Hancur bersama kami. Semoga cerita ini membawa Anda inspirasi dan kedamaian. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan terus eksplorasi kisah-kisah yang menyentuh hati Anda!

Leave a Reply