Daftar Isi
Pernah ngebayangin masuk sekolah baru tapi langsung dapet teman-teman gokil, tugas kelompok yang bikin deg-degan, dan petualangan yang nggak kalah seru dari film remaja? Nah, di cerpen Garis Waktu Baruna ini, kamu bakal diajak nyelam ke cerita penuh kejutan dari lima siswa beda karakter yang dipertemukan dalam proyek sejarah.
Mulai dari awkward-nya awal kenalan, momen kerja bareng yang bikin baper, sampai aksi nekat tengah malam demi dapetin footage langka—semua dibalut dalam kisah yang seru, ringan, dan relate banget sama kehidupan sekolah. Yuk baca, dan siap-siap ketagihan sama dunia Baruna!
Garis Waktu Baruna
Langkah Pertama di Tanah Asing
Udara pagi itu agak lembap. Aroma laut sesekali tercium samar, terbawa angin dari pelabuhan yang jaraknya tak sampai dua kilometer dari kompleks Sekolah Menengah Baruna. Gedung tua dengan cat krem yang mulai pudar berdiri kokoh seperti benteng, punya banyak jendela tinggi dan halaman yang luasnya bikin lutut agak gemetar saat jalan masuk.
Di antara kerumunan murid baru yang berdiri canggung di lapangan, seorang anak laki-laki dengan rambut sedikit berantakan dan ransel gede melangkah pelan. Namanya Agra Mahadewa. Baru pindah dari kota kecil di utara yang lebih dikenal karena kebun tehnya, bukan pantainya. Ini pertama kalinya dia sekolah di kota pesisir. Dan, jujur aja, dia lebih takut sama hari pertama ini dibanding waktu dia naik perahu kecil ke tengah danau waktu liburan lalu.
“Namamu siapa, Dek?” tanya satpam di gerbang tadi pagi, sambil nyengir dan menyodorkan buku tamu.
“Agra, Pak. Siswa baru,” jawabnya pelan, suaranya hampir ketelan suara sepeda motor yang melintas.
Satpam itu cuma ketawa kecil. “Wah, tenang aja. Sekolah ini serem di luar doang. Dalamnya rame. Gurunya, muridnya… kamu bakal nemuin banyak kejutan.”
Agra cuma ngangguk. Tapi hatinya makin deg-degan.
Upacara penyambutan siswa baru dilaksanakan di lapangan utama. Semua berdiri rapi, mengenakan seragam putih biru yang masih kaku kayak baru dicuci lima menit lalu. Di sisi kanan, berdiri seorang gadis yang dari jauh udah kelihatan beda auranya. Rambut dikuncir dua, ekspresi wajah cerah, dan dia terus senyum-senyum ke siapa pun yang ditatap matanya.
Namanya Zelinda Renaswara. Murid lokal yang udah dari SD sekolah di sekitar situ. Kenal semua penjaga kantin, udah pernah nginjek atap gudang belakang (katanya waktu lomba pramuka), dan udah pasti bakal punya banyak temen bahkan sebelum jam istirahat pertama.
Zelinda ngelirik ke arah Agra. Tatapannya cepat, lalu balik lagi lihat ke depan. Tapi beberapa detik kemudian, dia nyenggol lengan temannya dan bisik, “Itu anak baru ya? Yang ranselnya gede kayak mau camping?”
Temannya ngangguk, “Iya, kayaknya dari luar kota. Liat aja, jalannya aja kayak bingung cari toilet.”
Zelinda ketawa pelan. Tapi ada sedikit rasa penasaran. Anak itu beda. Nggak banyak gaya, tapi ada sesuatu yang… menarik? Entah.
Setelah sambutan, pengenalan guru, dan pembagian kelas, semua murid masuk ke ruang masing-masing. Di kelas X-E, yang terletak di bangunan sayap timur, Agra duduk di bangku ketiga dari belakang. Sementara Zelinda duduk dua baris di depan, tepat di bawah jendela. Angin laut masuk dari sela tirai, bikin rambutnya berkibar pelan. Sesekali dia noleh ke belakang, dan tatapannya nyangkut ke Agra.
“Eh, kamu namanya Agra, ya?” tanyanya tiba-tiba saat pelajaran belum mulai.
Agra yang lagi buka buku catatan langsung kaget. “Iya. Kok tahu?”
“Aku Zelinda. Aku denger tadi waktu kamu ngobrol sama Pak satpam,” jawabnya sambil senyum.
“Oh…” Agra cuma bisa jawab pendek. Tangannya masih sibuk pura-pura nyusun pensil, padahal dalam hati bingung kenapa anak ini bisa segitu gampangnya ngajak kenalan.
“Baru pindah, ya? Dari mana?” tanya Zelinda lagi.
“Dari Kota Dhamar. Masih kabupaten juga sih, cuma jauhnya dua jam lebih kalau naik mobil.”
Zelinda nyengir. “Wah, jauh juga. Tapi keren. Sekarang kamu udah di Baruna. Welcome, ya!”
Agra senyum tipis. “Makasih.”
Obrolan itu berhenti di situ. Tapi dalam hati Agra, sedikit beban kayak ilang. Mungkin nggak semua hal di sini bakal asing.
Waktu terus berjalan, sampai akhirnya jam pelajaran pertama dimulai. Pelajaran Sejarah. Guru yang masuk bernama Pak Mursid—berkemeja batik, rambut udah setengah abu, tapi cara bicaranya santai banget.
“Selamat datang buat kalian semua,” sapanya. “Saya nggak suka bikin kalian duduk diem ngantuk selama dua jam. Jadi kita akan mulai dengan tugas kelompok. Langsung aja, biar kalian kenal satu sama lain.”
Seluruh kelas bergemuruh pelan. Sebagian murid kelihatan antusias, sebagian lagi—termasuk Agra—mulai panik.
“Kelompoknya lima orang. Tugasnya? Buat presentasi tentang sejarah lokal kota Baruna. Bisa dalam bentuk apapun, asalkan kreatif. Minggu depan kalian tampil,” kata Pak Mursid.
Beberapa anak langsung saling tunjuk-tunjukan. Kayak udah janjian dari rumah. Tapi beberapa, termasuk Agra, masih duduk diam. Zelinda melihat itu.
“Eh, kamu udah punya kelompok belum?” tanya Zelinda sambil menoleh lagi ke belakang.
Agra geleng. “Belum. Kamu?”
“Aku juga belum. Gabung yuk. Nanti aku ajak dua temenku juga, si Kayra sama Banyu. Satu lagi kita ajak si anak hoodie itu aja. Aku lupa namanya, tapi dia duduk sendiri dari tadi.”
Agra ngangguk. “Oke.”
Dan begitu aja, kelompok itu terbentuk. Tanpa banyak rencana, tanpa perkenalan panjang. Tapi dari situ, sesuatu mulai terbentuk. Awalnya cuma kerja kelompok, tapi pelan-pelan jadi lebih dari itu.
Di luar jendela, langit makin cerah. Embun udah hilang, tapi udara masih segar. Hari pertama di Sekolah Baruna belum selesai. Tapi buat Agra, langkah pertamanya di tanah asing ini, pelan-pelan mulai terasa punya arah.
Kelompok Baruna 5
Ruang kelas X-E mulai terasa lebih hidup setelah seminggu berjalan. Jam istirahat udah bukan lagi momen kikuk yang penuh keheningan dan suara sendok dari kotak bekal. Sekarang, suara ketawa, saling lempar candaan, dan bau gorengan dari kantin jadi bagian dari rutinitas yang nggak terhindarkan.
Di salah satu sudut kelas, meja yang tadinya terpisah-pisah sekarang mulai merapat. Lima anak duduk mengelilingi buku catatan, handphone, dan sisa-sisa wafer yang dibuka tanpa aturan. Di antara mereka ada Agra, yang kini nggak lagi kelihatan seperti anak baru yang kebingungan.
Zelinda buka pembicaraan sambil nyomot satu keripik dari bungkus di tengah meja.
“Jadi… kita mau ngerjain tugas sejarah ini beneran kreatif atau cukup slide PowerPoint aja kayak kelompok lain?”
Banyu, yang duduk nyender ke kursi sambil memainkan pulpen di jarinya, langsung nyeletuk, “Kalo cuma slide doang mah semua juga bisa. Kita harus bikin yang beda. Gimana kalo… film dokumenter?”
Agra ngangkat alis. “Dokumenter? Maksud kamu kayak yang di TV itu?”
“Iya. Tapi versi kita sendiri. Bisa kita shooting di pelabuhan, di museum kota, atau ke mercusuar yang katanya ada cerita angker itu,” jawab Banyu sambil matanya berbinar. “Seru kan?”
Zelinda langsung semangat. “Eh iya! Aku punya kamera DSLR, masih warisan dari kakekku. Masih bagus kok. Bisa dipakai buat ngambil video.”
“Dan aku bisa bikin gambar ilustrasinya,” timpal Kayra pelan dari samping, suaranya nyaris kayak bisikan. Tapi ucapannya langsung bikin semua noleh.
Agra mengangguk pelan. “Itu… keren sih. Aku bisa bantu ambil gambar juga. Sama nyusun naskah.”
Semua mata lalu beralih ke satu orang yang dari tadi diam saja, duduk dengan hoodie hitam menutupi separuh wajahnya. Alvino.
Banyu ngetuk meja. “Bro, kamu bisa apa? Boleh juga bantu suara latar kali?”
Alvino akhirnya buka suara, masih datar tapi jelas, “Aku bisa ngedit. Pake Premiere. Dan… aku punya beberapa backsound instrumental, bikinan sendiri.”
Zelinda langsung melongo. “Sumpah?! Kamu bisa bikin musik juga?”
Alvino cuma angguk pelan.
Dan di situlah, tanpa banyak formalitas atau pemilihan ketua kelompok, Kelompok Baruna 5 lahir. Namanya datang dari celetukan Agra, karena kebetulan mereka duduk di baris kelima, dan sekolahnya juga bernama Baruna.
Tiga hari setelah ide itu dibentuk, mereka ketemuan sepulang sekolah di pelabuhan tua. Tempat itu punya suasana unik—ombak kecil menyapu dermaga, perahu-perahu nelayan bergoyang pelan, dan langit mulai jingga.
Agra mengarahkan kamera ke arah perahu yang baru merapat. Sementara Banyu berdiri di dekat tumpukan keranjang ikan, pegang catatan skrip yang udah mereka tulis bareng malam sebelumnya.
“Siap ya,” ujar Agra sambil fokus ke viewfinder.
“Siap,” jawab Banyu, lalu mulai narasi.
“Pelabuhan Baruna… menjadi saksi sejarah pergerakan ekonomi masyarakat pesisir sejak puluhan tahun lalu. Di sinilah cerita bermula…”
Di belakang kamera, Kayra sibuk bikin sketsa suasana sekitar. Dia duduk di atas ban bekas, gambarannya cepat dan detil. Sementara Zelinda ikut bantu ambil footage dari sisi lain pelabuhan.
“Nanti bagian ini kita masukin narasi kamu, Vin,” ujar Zelinda sambil lihat preview video.
Alvino ngangguk. “Ambil juga suara ambient-nya. Angin, langkah kaki di papan. Biar natural.”
Mereka kerja kayak tim kecil yang udah lama kenal. Padahal kenyataannya, baru seminggu. Tapi semuanya jalan lancar. Kadang ada ribut kecil soal angle, atau siapa yang lupa bawa baterai cadangan, tapi semua selesai dengan tawa.
Salah satu momen yang nggak dilupain terjadi waktu mereka naik ke bukit karang di belakang pelabuhan. Pemandangan kota dari atas sana luar biasa. Laut terbentang biru, cahaya matahari sore jatuh miring, dan angin menerpa wajah mereka.
“Ini spot paling cakep buat closing,” kata Agra sambil mengatur tripod.
Zelinda berdiri di sampingnya, merapikan rambut yang tertiup angin. “Kamu suka juga ya ngatur visual?”
“Belajar dikit-dikit. Dulu sering bantuin ayahku ngambil gambar di kebun. Tapi ini pertama kalinya pegang kamera buat video beneran.”
Zelinda nyengir. “Keren juga kamu. Nggak kelihatan dari tampang.”
Agra ketawa kecil. “Makasih… atau itu tadi sindiran?”
“Nggak. Itu pujian. Aku jarang puji orang, lho.”
Mereka saling pandang sebentar. Tapi suasana itu segera pecah saat Banyu teriak dari belakang.
“Eh, kalian ngobrol atau syuting nih? Mataharinya keburu tenggelam, woy!”
Semua ketawa. Kamera pun kembali merekam.
Di rumah masing-masing, malam-malam mereka dihabiskan dengan koordinasi lewat grup chat. Alvino kirim potongan musik. Kayra unggah sketsa untuk dijadikan pembuka video. Zelinda ngedit narasi biar lebih enak didengar. Banyu jadi penghubung yang cerewet tapi penting. Agra merapikan footage dan gabungin semuanya di timeline.
Mereka bukan sekadar ngerjain tugas. Mereka bangun sesuatu bareng. Ada semangat, tawa, capek, dan rasa puas yang nggak bisa diukur pakai angka nilai.
Tugas belum selesai, tapi semangat mereka udah melebihi ekspektasi.
Kelompok Baruna 5 bukan lagi cuma kumpulan lima nama di daftar absen. Mereka jadi satu kesatuan yang punya irama, meski nadanya beda-beda. Dan entah kenapa, rasanya semua ini baru permulaan.
Di luar jendela kelas X-E, angin laut masih bertiup. Tapi sekarang, ada tawa dan cerita yang ikut terbawa.
Misi Dokumenter Rahasia
Hari Jumat sore, suasana sekolah mulai sepi. Suara tawa anak-anak yang pulang cepat sudah menghilang dari koridor. Tapi di salah satu ruang kelas lantai dua yang jendelanya menghadap halaman belakang, lima anak masih sibuk. Kelompok Baruna 5 belum selesai.
Video dokumenter mereka udah masuk tahap akhir, tapi masih ada satu scene penting yang belum sempat mereka rekam—scene sejarah mercusuar tua di ujung timur kota. Masalahnya, lokasi itu udah ditutup sejak dua bulan lalu karena renovasi dan kabar soal kejatuhan satu dari tiga jendela besar lantai atas. Aksesnya ditutup, dan cuma boleh masuk kalau bawa surat izin resmi dari pengurus kota. Tentu saja, mereka nggak punya.
“Aku denger katanya malam minggu si Satpam yang jaga mercusuar sering tidur di pos belakang. Maksudku, bukan tidur-tidur ayam… tapi beneran tidur pake bantal,” kata Banyu sambil bisik-bisik kayak agen rahasia.
Zelinda menyipitkan mata, “Jadi maksudmu kita… nyelinap?”
Agra langsung nyengir kecut. “Aku bukan penakut ya, tapi… ini sekolah. Bukan film action.”
Alvino akhirnya angkat suara, masih dengan ekspresinya yang kalem, “Kita nggak bakal masuk terlalu dalam. Cukup ambil footage dari luar pagar. Pake kamera zoom aja. Gak usah naik ke lantai dua juga.”
Kayra yang dari tadi diam, akhirnya ikut nimbrung sambil nulis sesuatu di sketsanya. “Kalau kalian jadi, aku ikut. Tapi jangan lama-lama. Ibuku suka nyamperin kalau aku pulang lewat jam sembilan.”
Zelinda mengangguk. “Oke. Sabtu malam. Ketemu di halte depan taman jam tujuh.”
Mereka saling pandang. Tidak ada yang menolak. Dan dari situ, misi dokumenter rahasia mereka resmi dimulai.
Sabtu malam, langit mendung tipis. Bulan setengah tertutup awan, tapi itu justru bikin suasana makin pas buat nyelinap. Mereka semua datang tepat waktu, sebagian dengan jaket hoodie, sebagian lagi bawa ransel isi perlengkapan.
Alvino bawa kamera utama. Agra bawa kamera cadangan dan tripod mini. Kayra bawa buku gambar dan senter kecil. Zelinda bawa cemilan (yang dia bilang penting buat moral tim), dan Banyu… bawa tangga lipat kecil yang dia pinjam dari gudang sekolah.
“Kalau-kalau kita harus naik pagar,” katanya dengan bangga.
“Aku nggak akan manjat pagar, Ban. Udah cukup manjat nilai rapor tiap semester,” ujar Agra sambil geleng-geleng.
Mereka menyusuri jalan setapak pinggir taman, lalu masuk ke jalur kecil menuju mercusuar. Daerah itu udah gelap. Nggak ada lampu jalan. Hanya ada suara serangga malam dan gesekan dedaunan yang bikin ngeri.
Sampai akhirnya mereka tiba di depan pagar besar, tingginya dua meter, dengan besi-besi tua yang catnya udah mengelupas. Di baliknya, mercusuar menjulang tinggi, menjulang seperti bayangan raksasa yang lagi tidur.
Zelinda menyorotkan senter kecil. “Lihat… keren banget. Walau serem juga ya.”
“Kayak set film horor tahun 90-an,” bisik Banyu.
Alvino langsung mulai pasang tripod. Dia gerak cepat, efisien, kayak udah biasa kerja di situasi begini. Agra bantu jaga cahaya supaya video nggak terlalu gelap. Zelinda ambil audio ambient. Kayra, di sisi lain, duduk sambil menggambar siluet bangunan mercusuar dari kejauhan.
Beberapa menit pertama berjalan lancar. Tapi saat Alvino mulai ganti lensa kamera untuk zoom lebih dekat, suara dari arah pos jaga bikin semua membeku.
“Ada yang di sana?”
Lampu senter besar menyala, menyapu semak-semak dan sisi pagar.
Banyu langsung panik. “Lari!”
Tapi Alvino tetap tenang. “Jangan. Kita diem aja. Sembunyi di belakang pohon. Kalau kita lari sekarang malah kedengeran jelas.”
Akhirnya mereka semua tiarap di balik semak. Jantung deg-degan. Tapi setelah beberapa detik, suara langkah kaki menjauh lagi. Senter padam. Mungkin cuma satpam yang bangun sebentar lalu balik tidur lagi.
Zelinda bisik pelan, “Oke… cukup. Udah dapet kan?”
Alvino lihat layar kamera. “Dapet. Bahkan dapet angle lampu mercusuar yang nyala di atas. Ini jadi opening keren banget.”
Agra mengangguk, masih ngos-ngosan. “Gila sih ini… tapi worth it.”
Mereka balik ke taman dengan hati campur aduk—antara senang, lega, dan agak trauma. Tapi semua senyum. Bahkan Kayra yang biasanya paling pendiam pun bilang, “Aku nggak akan lupa malam ini seumur hidupku.”
Minggu malam, mereka berkumpul di rumah Alvino buat final edit. Ruangannya penuh kabel, kopi sachet, dan camilan bekas syuting. Di layar laptop, video mereka mulai terbentuk. Ada footage pelabuhan, museum kecil kota, ilustrasi buatan Kayra yang diselipkan dengan animasi sederhana, dan tentu saja—mercusuar malam itu, dengan musik latar karya Alvino yang bikin merinding.
“Judulnya apa?” tanya Agra sambil nyicipin wafer.
Banyu duduk nyender di kursi, lalu nyeletuk, “Garis Waktu Baruna.”
Zelinda melongo. “Keren.”
Dan semua setuju.
Besok adalah hari presentasi. Mereka belum tahu bakal seperti apa reaksi kelas. Tapi di mata mereka, hasil video itu lebih dari sekadar tugas. Itu adalah bukti bahwa dalam waktu singkat, lima orang asing bisa berubah jadi tim paling solid yang pernah mereka bayangkan.
Dan seperti kata Kayra waktu mereka pulang dari mercusuar, ini bukan cuma tentang nilai.
Ini tentang cerita yang bakal mereka bawa terus.
Layar yang Mengubah Segalanya
Senin pagi di sekolah Baruna mendadak terasa lebih padat dari biasanya. Aula utama yang biasanya cuma dipakai buat upacara dan gladi bersih teater, kali ini disulap jadi tempat pemutaran tugas proyek sejarah kelas X. Layarnya besar, sound system disewa dari ruang kesenian, dan kursi-kursi ditata rapi menghadap ke depan.
Setiap kelompok dapat giliran presentasi dan menayangkan hasil karyanya. Ada yang tampil pakai slide dengan suara narasi yang tumpang tindih, ada juga yang nambahin efek transisi warna-warni sampai bikin pusing mata. Semuanya usaha yang oke, tapi belum ada yang benar-benar mencuri perhatian.
Giliran kelompok Baruna 5 tiba di tengah sesi kedua.
Mereka maju dengan laptop Alvino yang langsung disambung ke proyektor. Kayra berdiri paling ujung, masih pegang bukunya erat-erat. Zelinda pegang mic. Banyu, seperti biasa, jadi pembuka.
“Selamat pagi semua, kami dari Kelompok Baruna 5. Proyek ini kami kerjakan dengan tema: Garis Waktu Baruna, sejarah yang tersembunyi di tempat yang sering kita lihat, tapi jarang kita pahami.”
Lampu dimatikan. Video mulai diputar.
Layar menampilkan opening ilustrasi buatan Kayra yang berubah dari gambar hitam putih menjadi warna seiring narasi berjalan. Suara Banyu mengalun dari speaker dengan tenang, jelas, dan penuh rasa ingin tahu.
“Setiap kota punya denyut. Tapi kota Baruna, denyutnya bukan cuma jalan dan gedung. Ia punya detak yang berasal dari laut, dari pelabuhan, dari mercusuar yang berdiri diam tapi menyimpan kisah ribuan langkah.”
Gambar pelabuhan sore, suara ombak, lalu transisi ke museum kota. Cuplikan-cuplikan pendek dari wawancara warga, narasi puitis yang mengalir, dan akhirnya footage mercusuar malam hari. Musik Alvino yang mengiringi bagian itu bikin suasana aula hening, seolah semua siswa dan guru masuk ke dunia kecil yang mereka buat.
Dan saat video berakhir dengan shot siluet mereka berlima di bukit karang, backlight matahari sore menyinari punggung mereka, suara narasi terakhir muncul:
“Baruna bukan hanya kota kami sekolah. Ia adalah rumah dari cerita-cerita yang belum selesai. Dan mungkin… kisah kami barulah permulaan.”
Tepuk tangan menggema. Bukan cuma tepuk tangan formal, tapi yang tulus. Beberapa guru berbisik antusias. Bu Mira, guru sejarah, berdiri dan tepuk tangan paling lama.
Agra yang tadi duduk paling belakang nyengir kecil. “Gila. Kita berhasil.”
Zelinda noleh sambil tersenyum puas. “Bukan cuma berhasil. Ini kayak… mimpi kecil yang kejadian beneran.”
Alvino cuma angguk. Tapi mata tenangnya keliatan lega. Bahkan Kayra, yang biasanya sulit bicara saat di depan umum, tersenyum lebar dan bilang pelan, “Ini… lebih dari yang aku bayangin.”
Dua hari setelah pemutaran video, kelas X-E dapet pengumuman khusus dari sekolah. Proyek video Garis Waktu Baruna dipilih untuk mewakili sekolah ke lomba dokumenter pelajar tingkat kota. Dan bukan cuma itu—guru sejarah dari sekolah lain sampai minta salinan videonya buat jadi referensi.
Reaksi mereka?
Kaget. Senang. Nggak nyangka. Dan pastinya, semangat mereka makin gila.
“Jadi… kita udah resmi masuk sejarah sekolah Baruna,” kata Banyu sambil selonjoran di tangga belakang gedung sekolah.
“Belum masuk buku sih. Tapi masuk hati orang-orang juga udah cukup,” sahut Agra sambil lempar botol air ke temannya.
Mereka ketawa bareng.
Zelinda duduk di samping Kayra, yang lagi nunjukin sketsa baru—kali ini gambar mereka berlima berdiri di depan mercusuar, dengan garis waktu melingkari kepala mereka.
“Kita kasih judulnya apa?” tanya Zelinda.
Kayra mikir sebentar, lalu senyum kecil.
“Bab yang Belum Ditulis.”
Alvino berdiri di atas tangga, lihat pemandangan sekolah di bawah. Dia nggak banyak bicara, tapi setelah beberapa detik, dia nyeletuk pelan, “Mungkin kita bisa bikin sekuelnya suatu hari nanti.”
Semua saling pandang.
Dan entah kenapa, ide itu nggak kedengeran aneh.
Karena setelah semua yang mereka lewati—dari kenalan canggung, kerja kelompok dadakan, nyelinap ke mercusuar, sampai berdiri di depan ratusan pasang mata—mereka tahu satu hal:
Sekolah ini bukan cuma soal pelajaran, nilai, atau tugas.
Ini tentang teman yang nggak disangka.
Tentang ide yang tumbuh dari keberanian.
Dan tentang langkah-langkah kecil yang bisa mengubah arah hidup.
Tamat.
Garis Waktu Baruna bukan cuma sekadar cerita tentang masuk sekolah. Ini tentang gimana pertemuan-pertemuan kecil bisa jadi awal dari hal-hal besar—tentang pertemanan yang tumbuh di luar rencana, tugas yang berubah jadi petualangan, dan kenangan sekolah yang nggak akan mudah dilupain.
Jadi, kalau kamu lagi ngerasa sekolah itu cuma soal buku dan nilai, mungkin kamu belum ketemu tim “Baruna” versimu sendiri. Siap-siap aja, kadang bab paling seru dalam hidup justru dimulai dari hal yang nggak kamu duga.