Daftar Isi
Di tengah udara yang dipenuhi asap, perjuangan melawan polusi menjadi cahaya harapan yang tak pernah padam. Gangguan Alat Pernapasan: Perjuangan Jiwa di Tengah Asap mengisahkan perjalanan Tharivelle Syrindra, seorang aktivis lingkungan yang melawan gangguan pernapasan akibat polusi dengan kekuatan kameranya. Artikel ini mengupas dampak polusi pada kesehatan, kekuatan seni dalam menghadapi penderitaan, dan pelajaran inspiratif dari cerita ini. Siap menemukan kekuatan di balik setiap jepretan?
Gangguan Alat Pernapasan
Bayang di Udara
Pagi di Bandung pada pukul 01:16 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara tebal yang bercampur asap tipis dari kendaraan dan pabrik di kejauhan, menyelinap melalui celah jendela kaca rumah Tharivelle Syrindra, seorang wanita berusia 27 tahun dengan rambut hitam panjang yang mulai kusam akibat polusi. Cahaya matahari siang menyelinap redup melalui gorden tua, menerangi wajah pucatnya yang terpancar di cermin kecil di sudut kamar. Matanya yang cokelat tua, biasanya penuh semangat, kini redup, mencerminkan bayangan kelelahan dan rasa takut yang tak bisa disembunyikan.
Tharivelle, atau yang akrab dipanggil Thari oleh keluarganya, adalah seorang aktivis lingkungan yang dikenal karena kampanyenya melawan polusi udara di Bandung. Tapi di balik semangatnya yang membara, ia menyimpan rahasia yang kini menggerogoti tubuh dan jiwanya—diagnosis gangguan alat pernapasan kronis akibat paparan polusi berat, yang baru ia terima dua minggu lalu dari dokter spesialis di rumah sakit kota. Dokter memperingatkan bahwa kondisinya memburuk karena asap dan debu yang ia hadapi setiap hari, dan tanpa perubahan lingkungan atau perawatan intensif, ia mungkin hanya memiliki waktu beberapa bulan untuk bertahan.
Malam ini, Thari duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, dikelilingi oleh pamflet kampanye dan foto-foto hutan yang ia ambil selama ekspedisi. Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan sesak napas yang semakin sering datang, disertai batuk kering yang meninggalkan rasa terbakar di tenggorokannya. Di sudut meja, ada sebuah buku sketsa kulit cokelat peninggalan ibunya, Elyndra, yang meninggal lima tahun lalu karena asma akibat polusi yang sama. Di halaman pertama, ibunya menulis dengan tinta merah: “Napas adalah suara bumi, Thari. Dengarkan dan jaga.” Dulu, Thari mengisi buku itu dengan sketsa alam dan catatan perjuangannya, tapi kini, buku itu menjadi pengingat akan akhir yang menantinya.
Thari menghela napas dalam, meski terasa seperti menusuk, matanya tertuju pada buku sketsa itu. Jarinya hampir menyentuh sampulnya, tapi ia menarik tangan kembali, seolah takut membangkitkan kenangan yang menyakitkan. Sebagai gantinya, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk sahabatnya, Kaelthir Veloris, seorang fotografer yang selalu mendampinginya di lapangan.
Thari: Kael, lo lagi apa? Gue butuh ngobrol bentar.
Kaelthir: Lagi edit foto di studio, Thari. Lo kenapa? Suara lo di pesen kok lelet banget.
Thari: Gue… cuma lagi sesak. Pengen cerita, bisa ketemu nanti sore?
Kaelthir: Pasti, Thari. Gue bawa teh herbal buat lo. Kita ngobrol di taman, ya?
Thari tersenyum tipis membaca pesan Kaelthir. Pria berusia 28 tahun itu selalu punya cara untuk membawanya kembali ke ketenangan, meski kini ketenangan itu terasa semakin jauh. Tapi malam ini, bahkan kehangatan pesan sahabatnya tak cukup untuk mengusir rasa takut yang mengendap di dadanya.
Ia bangkit dari kursi, berjalan perlahan menuju jendela, dan menatap pemandangan Bandung yang diselimuti asap tebal. Kota ini, dengan pegunungan dan budayanya yang kaya, kini terlihat kelabu, seolah mencerminkan kondisinya. Di luar sana, orang-orang menjalani hari mereka dengan masker di wajah, sementara Thari merasa seperti menghitung detik menuju akhir napasnya.
“Apa artinya perjuangan kalau udara ini membunuhku?” tanyanya pada bayangannya di kaca jendela, suaranya penuh keputusasaan dan batuk kecil yang tak bisa ia tahan.
Rasa takut itu bukan hal baru. Sejak ibunya meninggal, Thari sering bermimpi tentang asap yang merenggut napas orang yang dicintainya. Kini, ketika ia sendiri didiagnosis dengan gangguan pernapasan kronis, mimpi itu menjadi kenyataan yang tak bisa dielakkan. Dokter menjelaskan bahwa polusi udara telah merusak saluran pernapasannya secara permanen, menyebabkan peradangan dan sesak yang semakin parah. Thari ingat hari diagnosis itu—suara dokter yang terdengar jauh, wajah ibunya yang muncul di pikirannya, dan tangisnya yang ia tahan di ruang tunggu yang penuh asap dari rokok pasien lain.
Di sudut ruangan, ada kamera tua yang ia warisi dari ibunya, alat yang selalu ia gunakan untuk mendokumentasikan kerusakan lingkungan. Tapi kini, setiap kali ia mencobanya, tangannya gemetar hebat, dan visinya kabur akibat sesak. “Aku nggak akan bisa lihat alam lagi, ya?” gumamnya, air mata mengalir membasahi pipinya yang semakin kurus.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari email: “@GreenPulse: Thari, foto lo tentang hutan terbakar bikin kami tersentuh. Kapan kampanye berikutnya?” Pesan itu membuat hatinya bergetar antara haru dan rasa bersalah. Ia ingin melanjutkan perjuangan, ingin berbagi, tapi bagaimana ia bisa melanjutkan ketika napasnya sendiri terhambat?
Malam semakin larut, dan Thari kembali ke kursinya. Kali ini, ia memberanikan diri mengambil buku sketsa kulit cokelat itu. Jarinya gemetar saat membuka halaman pertama, membaca tulisan tangan ibunya. Air mata mengalir lebih deras, membasahi kertas yang sudah rapuh. Ia mengambil pensil dari laci, lalu menulis satu kalimat sederhana: “Aku takut kehilangan napas, tapi aku ingin lihat bumi sebelum akhir.”
Kata-kata itu seperti goresan pertama di kertas kosong. Thari terus menulis, membiarkan tangannya mengalir tanpa memikirkan tata bahasa atau kesempurnaan. Ia menulis tentang ibunya, tentang hari-hari mereka di hutan, tentang tawa mereka saat mengambil foto bersama. Ia menulis tentang Bandung yang indah, tentang asap yang kini menjalar di dadanya, tentang ketakutan bahwa ia tak akan pernah melihat langit biru lagi.
Saat fajar mulai menyelinap di ufuk timur, Thari akhirnya berhenti. Halaman buku sketsa itu kini penuh dengan tinta dan coretan, catatan yang tak sempurna tapi penuh jiwa. Napasnya terasa lebih sesak, tapi ada sedikit ketenangan di hatinya, seolah beban yang ia pikul telah terbagi dengan kertas.
Tapi di sudut jiwanya, ada pertanyaan yang masih menggantung: Apa artinya perjuangan kalau napasku tinggal asap? Dan tanpa ia sadari, perjalanan untuk menemukan jawaban itu baru saja dimulai.
Di luar rumah, asap tebal kembali menyelimuti Bandung, membawa aroma pabrik dan knalpot yang menyengat. Tapi di dalam hati Thari, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada secercah harapan yang ikut bertumbuh di antara tetes-tetes tinta—mungkin, di ujung napas ini, ia masih bisa melihat dan melindungi bumi yang ia cintai.
Cahaya di Balik Kabut
Pagi di Bandung pada pukul 01:18 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara tebal yang dipenuhi asap dari kendaraan dan cerobong pabrik, menyelinap melalui celah jendela kaca rumah Tharivelle Syrindra. Cahaya matahari siang tersaring redup oleh kabut polusi, menerangi buku sketsa kulit cokelat yang masih terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam dan coretan emosi dari malam sebelumnya. Thari duduk di tepi ranjang, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal berwarna hijau tua, memandang buku itu dari kejauhan, seolah ragu apakah keberanian semalam akan bertahan hingga sore ini.
Hari ini, ia dijadwalkan bertemu Kaelthir Veloris di Taman Balai Kota, tempat favorit mereka untuk berbagi cerita di tengah hiruk-pikuk kota. Thari mengenakan jaket biru tua longgar untuk menyembunyikan tubuhnya yang semakin kurus, celana jeans hitam yang kini terasa longgar di pinggang, dan masker kain sederhana yang ia pakai untuk melindungi paru-parunya. Rambut hitamnya yang kusam dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Cermin kecil di sudut kamar memantulkan bayangan matanya yang redup—bukti sesak napas yang ia pendam semalam.
Di taman, suara angin yang lemah menyapa telinganya begitu ia tiba, meski aroma asap masih tercium di udara. Kaelthir sudah ada di sana, duduk di bangku kayu di bawah pohon pinus tua, membawa termos teh herbal hangat yang masih mengepul. Pria berusia 28 tahun itu memiliki rambut cokelat pendek yang sedikit berantakan, kulitnya sedikit gelap karena sering bekerja di luar ruangan, dan sepasang mata abu-abu yang selalu penuh perhatian. Begitu melihat Thari, ia melambai dengan senyum hangat.
“Thari, lo kelihatan capek banget jalan tadi. Apa kabar?” tanya Kaelthir sambil menuang teh ke cangkir kecil, aroma mintnya langsung membangkitkan ingatan masa kecil mereka di hutan.
Thari tersenyum tipis, menarik bangku, dan duduk perlahan agar tidak memicu batuk. “Cuma sesak, Kael. Semalem gue nulis lagi, di buku sketsa Ibu. Bukan buat kampanye, tapi… buat gue sendiri.”
Kaelthir mengangkat alis, terkejut tapi juga prihatin. “Serius? Di buku cokelat itu? Terus, rasanya gimana?”
Thari menatap cangkir tehnya, uap hangat membentuk spiral kecil di udara. “Seperti ketemu Ibu lagi, Kael. Tapi juga… sakit. Kayak buka luka yang gue coba lupain.”
Kaelthir mendengarkan dengan penuh perhatian, tangannya berhenti mengaduk teh. “Lo tau nggak, Thari, dulu lo selalu bilang foto itu suara bumi buat lo. Kapan lo mulai diam?”
Pertanyaan itu menusuk hati Thari seperti goresan tajam di kertas. Ia menunduk, mencoba mencari jawaban di antara kenangan yang bergulir. “Mungkin… sejak Ibu pergi. Foto tuh kayak ngobrol sama Ibu, Kael. Setiap jepretan yang gue buat buat diri gue sendiri, rasanya kayak denger suara Ibu lagi. Dan itu terlalu berat buat diingat.”
Kaelthir mengangguk pelan, matanya penuh empati. “Tapi lo tau, luka yang lo biarin tertutup lama-lama bisa bikin lo sesak lebih parah, Thari. Mungkin foto—atau nulis—itu cara lo bicara lagi, bukan cuma buat lo, tapi buat lingkungan yang lo bela juga.”
Thari menghela napas, meski terasa seperti menusuk dadanya, lalu menyeruput teh yang hangat dan menenangkan. “Tapi dunia sekarang beda, Kael. Siapa yang peduli sama foto alam yang butuh waktu? Orang maunya gambar instan, video pendek, atau kampanye yang viral sehari. Gue ngerasa… cara Ibu ngajarin gue lihat bumi udah nggak relevan.”
Kaelthir tersenyum kecil, tapi ada nada serius di suaranya. “Lo salah, Thari. Dunia mungkin cepet, tapi orang-orang masih nyari kebenaran. Lo lihat sendiri, kan, berapa banyak email dari komunitas yang bilang foto lo bikin mereka sadar? Mereka haus, Thari. Haus sama sesuatu yang bener-bener nyentuh jiwa.”
Thari terdiam. Kaelthir punya cara untuk membuat dunia terasa lebih sederhana, tapi ia tahu perjuangannya sendiri tak semudah itu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Gue pengen coba foto lagi, Kael. Tapi… gue takut. Takut nggak kuat, takut kampanye gagal, takut gue nggak bisa selesai.”
“Takut itu wajar,” jawab Kaelthir, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi lo nggak akan tahu kalo nggak coba. Lo punya mata, Thari. Lo punya lensa yang bikin orang ngerasa… hidup. Gunain itu.”
Sore itu, setelah berpisah dengan Kaelthir, Thari pulang dengan pikiran yang sedikit lebih jernih, tapi juga penuh pertanyaan. Di rumahnya, ia kembali membuka buku sketsa kulit cokelat itu. Kali ini, ia menulis tentang ide untuk mengambil foto terakhir—bukan untuk kampanye, tapi untuk mencatat napasnya yang tersisa. Ia membayangkan sebuah gambar langit terang di tengah asap, simbol harapan yang bisa ia tinggalkan untuk dunia.
Malam harinya, Thari mengambil kamera tua itu, meski tangannya gemetar dan visinya kabur akibat sesak. Ia mencoba mengatur lensa untuk mengambil foto luar jendela, tapi batuk hebat memaksanya berhenti. Ia duduk di lantai, menatap kamera itu dengan air mata yang mengalir. “Maaf, Ibu… gue nggak bisa lihat lagi,” gumamnya, suaranya hampir hilang dalam isakan.
Tapi di tengah keputusasaan itu, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari email: “@GreenPulse: Thari, foto lo tentang asap di Bandung bikin kami gerak. Kapan aksi berikutnya?” Pesan itu seperti suntikan semangat. Thari mengambil buku sketsa lagi, menulis: “Aku akan coba lagi, meski napas ini sesak. Untuk Ibu, untuk bumi, untuk yang masih percaya.”
Malam semakin larut, dan Thari, dengan bantuan Kaelthir melalui panggilan video, mulai mengambil foto sederhana dari jendela—sebuah siluet pohon di tengah kabut asap. Gambar itu buram, tapi ada kelegaan di hatinya, seolah ia telah menangkap sepotong harapan di udara. Di luar rumah, asap tebal kembali menyelimuti Bandung, membawa aroma pabrik yang menyengat. Tapi di dalam hati Thari, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sedikit cahaya yang mulai menyala di antara tetes-tetes tinta dan jepretan, menandakan perjalanan baru yang penuh tantangan di tengah napasnya yang terhambat.
Gambar di Tengah Sesak
Pagi di Bandung pada pukul 01:17 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara tebal yang dipenuhi asap dari kendaraan dan cerobong pabrik, menyelinap melalui celah jendela kaca rumah Tharivelle Syrindra. Cahaya matahari siang tersaring redup oleh kabut polusi, menerangi buku sketsa kulit cokelat yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam, sketsa buram, dan catatan foto dari malam sebelumnya. Thari duduk di kursi kayu tua, menggenggam secangkir teh herbal hangat yang diresepkan dokter untuk meredakan sesak, dikelilingi oleh kamera tua dan ponsel yang masih menampilkan gambar terakhirnya. Di depannya, layar ponsel menampilkan pesan terbaru dari Kaelthir Veloris, yang menanyakan kondisinya setelah pertemuan sore kemarin.
Sejak malam di mana ia mulai mengambil foto lagi dengan bantuan Kaelthir, hidup Thari terasa seperti jepretan yang perlahan kehabisan cahaya. Setiap hari, ia mencoba melanjutkan dokumentasi, meski tangannya gemetar dan sesak di dadanya semakin sering datang. Email dan pesan dari komunitas lingkungan, seperti dari @GreenPulse, terus berdatangan, memuji semangatnya dan memohon agar ia terus mengabadikan cerita alam. Kata-kata itu membawa kehangatan di hatinya, tapi juga menambah tekanan untuk tetap bertahan di tengah paru-parunya yang semakin lemah.
Namun, di balik semangat itu, ada ketakutan yang terus mengintai seperti asap di udara. Thari masih dihantui pertanyaan: Apa aku bisa selesaikan foto ini sebelum napasku habis? Bagaimana kalau aku jatuh sebelum bisa memberikan sesuatu untuk bumi? Malam sebelumnya, ia terbangun karena batuk hebat yang mengeluarkan darah, dan untuk sesaat, ia berpikir untuk menyimpan kameranya selamanya.
Pagi ini, Thari mencoba mengusir ketakutan itu dengan menulis di buku sketsa. Ia menuangkan daftar kekhawatirannya, satu per satu, seperti ritual untuk melepaskan beban: Takut nggak selesai. Takut kampanye gagal. Takut napas ini berhenti sebelum aku lihat langit biru. Setelah menulis, ia merasa sedikit lebih tenang, tapi sesak di dadanya dan emosi yang bergolak masih menggantung seperti kabut kelabu.
Ponselnya bergetar lagi, menampilkan pesan dari Kaelthir.
Kaelthir: Thari, lo oke nggak? Gue lihat foto lo semalem, keren banget! Tapi jangan kelelahan ya!
Thari: Kael, gue coba bertahan. Tapi sesaknya… kadang bikin gue pengen nyerah.
Kaelthir: Lo kuat, Thari. Gue bakal bantu foto bareng lo besok. Gue bawa tripod baru, kita buat gambar ini spesial.
Thari tersenyum kecil membaca pesan itu. Kaelthir selalu punya cara untuk membangkitkan semangatnya, meski ia tahu sahabatnya juga menyimpan kekhawatiran di balik kata-katanya. Dengan tenaga yang tersisa, ia mengambil kamera dan mencoba mengatur lensa untuk mengambil foto luar jendela, tapi batuk hebat memaksanya berhenti lagi. Ia duduk di lantai, menatap kamera itu dengan air mata yang mengalir.
“Maaf, Ibu… gue nggak sekuat dulu,” gumamnya, suaranya hampir hilang dalam isakan.
Namun, di tengah keputusasaan itu, ia teringat pesan ibunya di buku sketsa: “Napas adalah suara bumi, Thari. Dengarkan dan jaga.” Kata-kata itu seperti dorongan untuk melanjutkan. Thari mengambil ponselnya, memeriksa foto terakhirnya—siluet pohon di tengah kabut—and mulai menambahkan catatan di buku sketsa, menggambarkan visinya untuk foto berikutnya: langit terang di tengah asap. Setiap goresan terasa seperti pertarungan, tapi ia terus mencoba, didukung oleh kenangan akan tawa ibunya di hutan.
Sore itu, Kaelthir tiba dengan tripod baru dan masker tambahan untuk melindungi Thari dari polusi. Ia duduk di samping Thari, membantunya memegang kamera dan mengatur sudut saat tangannya terlalu lemah. “Kita bikin ini bareng, Thari. Foto ini buat Ibu, buat bumi,” kata Kaelthir, suaranya penuh kelembutan. Bersama, mereka mengambil gambar—Kaelthir mengatur pencahayaan, sementara Thari memberikan arahan meski napasnya tersengal. Proses itu penuh tangis dan senyum, tapi juga penuh kebersamaan yang menghangatkan hati.
Hari-hari berikutnya, Thari menghabiskan waktunya di antara istirahat dan fotografi. Ia menulis di buku sketsa setiap malam, mencatat perkembangan fotonya dan perasaannya. Ia juga mulai merekam pesan suara untuk komunitas lingkungan, berbagi cerita tentang ibunya, tentang mimpinya, dan tentang apa yang ia harapkan dari mereka setelah ia pergi. “Teman-teman, jaga bumi ini. Foto ini bagian dari aku,” katanya dalam salah satu rekaman, suaranya lemah tapi penuh cinta.
Pada hari keenam setelah fotografi dimulai, Thari mengadakan sesi kecil dengan komunitas melalui video call, didampingi Kaelthir. Dengan bantuan masker dan udara bersih dari tabung oksigen, ia menunjukkan kemajuan fotonya, menceritakan perjuangannya melawan polusi. Wajah-wajah di layar menunjukkan ekspresi haru, dan beberapa bahkan menangis saat Thari berkata, “Foto ini mungkin nggak sempurna, tapi aku harap kalian lihat harapan di setiap frame-nya.”
Salah satu anggota, bernama Sylvara Eryndis, mengirim pesan pribadi setelah acara. “Thari, aku kagum sama lo. Aku kehilangan ibu juga karena polusi, dan foto lo bikin aku ngerasa nggak sendirian. Terima kasih.” Pesan itu membuat Thari menangis, tapi juga memberinya kekuatan untuk melanjutkan.
Malam itu, Thari kembali ke kameranya. Dengan bantuan Kaelthir, ia menyelesaikan foto terakhirnya—sebuah gambar langit terang yang menembus kabut asap, simbol harapan di tengah kegelapan. Napasnya semakin sesak, dan batuknya semakin hebat, tapi ia tersenyum. “Ini cukup, Kael. Ini cukup buat aku,” katanya pelan, tangannya menahan kamera untuk terakhir kalinya.
Di luar rumah, asap tebal kembali menyelimuti Bandung, membawa aroma pabrik yang menyengat. Di dalam hati Thari, ada kedamaian kecil yang muncul di antara frame fotonya, meski ia tahu perjuangannya belum selesai. Di sudut jiwanya, ada bisikan: Ini baru langkah, Thari. Apa yang terjadi kalau aku nggak bisa lihat foto ini sampai ke dunia? Tapi untuk saat ini, ia memilih menikmati cahaya yang masih ada, setitik demi setitik, di lensa kameranya yang menipis.
Warisan di Balik Kabut
Pagi di Bandung pada pukul 13:18 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara tebal yang dipenuhi asap dari kendaraan dan cerobong pabrik, menyelinap melalui celah jendela kaca rumah Tharivelle Syrindra. Cahaya matahari siang tersaring redup oleh kabut polusi, menerangi buku sketsa kulit cokelat yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam, sketsa, dan catatan foto terakhir yang ia tulis semalam. Thari duduk di ranjang tua berderit, tubuhnya kini sangat lemah, menggenggam secangkir teh herbal yang sudah dingin, dikelilingi oleh kamera tua dan tripod yang masih berdiri dengan foto terakhirnya terpampang. Di sisinya, Kaelthir Veloris duduk dengan wajah penuh kesedihan, memegang tangan sahabatnya yang semakin dingin.
Sejak malam di mana Thari dan Kaelthir menyelesaikan foto terakhirnya, hidup Thari terasa seperti jepretan yang perlahan kehabisan fokus. Foto langit terang menembus kabut kini selesai, sebuah karya penuh emosi yang mencerminkan harapan, kesedihan, dan cinta di tengah penderitaannya. Pesan dari komunitas lingkungan dan pendukung, seperti dari @GreenPulse dan Sylvara Eryndis, terus berdatangan, memuji kekuatan dan keberaniannya, tapi juga memohon agar ia tetap bertahan. Kata-kata itu membawa kehangatan di hatinya, namun napasnya semakin tipis, seolah siap meninggalkannya kapan saja.
Namun, di balik pencapaian itu, Thari menghadapi realitas yang tak bisa dielakkan. Sesak di dadanya kini konstan, bahkan dengan masker dan udara bersih dari tabung oksigen yang diberikan Kaelthir, dan batuknya semakin parah hingga mengeluarkan darah. Dokter yang berkunjung pagi ini memberi peringatan: waktu yang tersisa mungkin hanya hitungan jam, bukan hari. Kaelthir, dengan air mata yang ia coba tahan, berjanji akan tetap di sisinya hingga napas terakhirnya.
Pagi ini, Thari merasa sangat lemah. Ia membuka buku sketsa, tapi jarinya tak mampu lagi memegang pensil dengan kuat. Ia menatap Kaelthir, yang kini mengambil alih menulis atas permintaannya. “Tulis ini, Kael… aku ingin meninggalkan foto ini,” bisiknya, suaranya hampir hilang dalam napas tersengal. Kaelthir mengangguk, air matanya jatuh ke kertas saat ia menulis: “Napasku menipis, tapi fotoku tetap hidup. Kael, jaga gambar ini, seperti Ibu jaga aku dulu. Untuk bumi, untuk semua yang percaya.”
Ponsel di meja bergetar, menampilkan panggilan dari koordinator komunitas lingkungan tempat Thari aktif. Kaelthir mengangkatnya atas nama Thari. “Halo, ini Kaelthir, sahabat Thari. Iya, dia masih di sini, tapi kondisinya sangat lemah. Oh… terima kasih.” Ia menutup telepon dengan ekspresi campur aduk. “Thari, komunitas mau pakai foto lo buat poster besar di aksi besok. Mereka bilang ini akan jadi simbol perjuangan Bandung.”
Thari tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Bagus… aku ingin bumi denger suaraku,” katanya pelan. Kaelthir mengangguk, lalu membantunya duduk lebih nyaman dengan bantal tambahan.
Malam itu, dengan bantuan Kaelthir, Thari mendengarkan penjelasan tentang rencana aksi lingkungan untuk terakhir kalinya. Proses itu penuh tangis dan kenangan, dengan Kaelthir menceritakan hari-hari mereka bersama—saat Thari mengajarinya memotret di hutan, saat mereka tertawa di tengah asap, dan saat ibunya memandu mereka mengambil foto pertama. Setiap jepretan terasa seperti ucapan selamat tinggal, tapi juga salam perpisahan yang penuh cinta.
Besok paginya, tepat pukul 13:18 WIB, Thari terbangun dengan napas yang sangat lemah. Kaelthir duduk di sisinya, memegang tangannya erat. “Thari, lo kuat… lo udah kasih gambar yang abadi,” bisiknya, air matanya tak tertahankan. Thari menatap sahabatnya, lalu buku sketsa, lalu kamera yang kini terdiam. “Kael… aku pergi dengan damai. Jaga foto ini… jaga bumi,” katanya, suaranya hampir tak terdengar.
Beberapa menit kemudian, napas Thari berhenti. Kaelthir menangis tersedu, memeluk tubuh sahabatnya yang kini tenang. Di luar, asap tebal menyelimuti Bandung, tapi di dalam ruangan, foto langit terang terpampang di tripod, mengisi hati dengan harapan.
Dua hari kemudian, aksi lingkungan besar diadakan di Lapangan Gasibu, dengan poster foto Thari sebagai pusat perhatian. Ratusan peserta berkumpul, mengenakan masker dan membawa spanduk, sementara foto langit terang menjadi simbol perlawanan terhadap polusi. Sylvara Eryndis, salah satu anggota komunitas, berdiri di depan dan berkata, “Thari sekarang jadi cahaya, tapi gambarnya masih bicara untuk kita.” Kaelthir berdiri di samping poster, menangis sambil tersenyum, memegang buku sketsa yang kini menjadi warisan Thari.
Foto itu akhirnya dicetak dalam jumlah besar dan disebarkan ke seluruh Indonesia, menjadi ikon perjuangan lingkungan. Kaelthir mendirikan yayasan bernama “Cahaya Thari,” yang membantu aktivis muda dengan gangguan pernapasan untuk terus berkarya dan melindungi alam. Setiap tahun, yayasan mengadakan pameran foto, dan gambar Thari menjadi bagian tak terpisahkan, mengingatkan semua orang tentang kekuatan visi di tengah penderitaan.
Malam itu, di balkon rumahnya, Kaelthir duduk dengan buku sketsa Thari di pangkuannya, memandang langit Bandung yang masih diselimuti asap tapi mulai menampakkan bintang-bintang. Ia menulis satu kalimat terakhir: “Thari, fotomu masih bersinar, dan aku akan jaga cahayamu selamanya.” Untuk pertama kalinya setelah kepergian Thari, ia merasa bahwa sahabatnya tidak benar-benar pergi—visinya tetap hidup di setiap frame yang ia tinggalkan.
Di kejauhan, suara kota perlahan mereda, dan Kaelthir tahu bahwa warisan Thari akan terus bersinar, menerangi kegelapan yang pernah ia hadapi, dan menjadi inspirasi bagi generasi yang datang dengan setiap jepretan yang terabadikan.
Gangguan Alat Pernapasan: Perjuangan Jiwa di Tengah Asap mengajarkan bahwa bahkan di tengah polusi mematikan, visi dan cinta dapat meninggalkan warisan abadi. Seperti Tharivelle, Anda pun bisa menemukan kekuatan untuk melindungi lingkungan dan menginspirasi orang lain, meski dalam tantangan terberat. Ambil kameramu hari ini, dan jadilah suara bumi!
Terima kasih telah menikmati kisah inspiratif ini! Ambil kameramu atau alat seni Anda sekarang, dan mulailah mendokumentasikan dunia di sekitarmu. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar atau ikuti kami untuk lebih banyak cerita menyentuh hati. Sampai jumpa di artikel berikutnya!


