Frekuensi Cinta: Kisah Pendengar Setia dan Penyiar Radio

Posted on

Pernah gak sih kamu ngebayangin kalau cinta bisa datang dari radio? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia di mana pendengar setia dan penyiar radio saling menemukan frekuensi cinta mereka.

Siapa sangka, dari obrolan random di radio, bisa muncul kisah yang manis dan penuh kejutan? Yuk, simak cerita seru Andra dan Renata yang buktikan kalau cinta bisa bikin hidup lebih berwarna, bahkan dari balik speaker!

 

Frekuensi Cinta

Suara yang Bikin Ketagihan

Andra menghela napas panjang setelah menutup laptopnya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi rasanya seperti hari tak pernah bergerak dari pagi. Seperti biasa, kerjaan kantor yang harusnya dikerjain di kantor malah berakhir numpuk di kafe. Tapi ya, apa boleh buat? Suasana kantor yang kaku selalu bikin dia mual. Di sini, di sudut kecil kafe favoritnya, Andra merasa lebih tenang, meski otaknya tetap terbebani oleh deadline yang gak kenal ampun.

“Hari ini denger apaan ya?” gumam Andra sambil merogoh kantongnya, mengeluarkan earphone yang sedikit kusut.

Dia selalu punya ritual sore yang gak bisa dilewatkan: dengerin radio sambil nyeruput kopi Americano. Tapi, bukan sembarang siaran yang dia dengarkan. Ada satu penyiar yang suaranya bikin Andra rela stay di kafe lama-lama, Renata. Suara cewek itu punya sesuatu yang beda. Santai, ceria, kadang sedikit nakal, tapi gak pernah lebay. Dan itu yang bikin Andra betah.

Andra membuka aplikasi streaming radio di ponselnya, mencari siaran Frekuensi Hati yang selalu muncul di sore hari. Setelah beberapa detik, suara Renata yang familiar menyapa telinganya.

“Selamat sore, pendengar setia! Apa kabar hari ini? Masih dengan gue, Renata, yang bakal bikin hati lo ceria di Frekuensi Hati. Jadi, udah pada siap buat ngobrol santai sore ini?”

Senyum Andra mengembang tanpa sadar. Ini dia, momen yang dia tunggu. Renata mulai membawa suasana, dan anehnya, meskipun dia cuma pendengar, Andra merasa seolah Renata bicara langsung kepadanya. Dia menyesap kopi pahitnya, menghela napas sambil memandang ke jendela kafe yang menampilkan lalu lintas Jakarta yang macet.

Di tengah siaran, Renata mulai membuka sesi curhat yang biasa dia lakukan setiap sore. “Oke, jadi gue mau tanya nih, pernah gak sih lo ngerasa jatuh cinta sama seseorang hanya dari suaranya? Kayak, lo gak pernah ketemu sama dia, tapi suara dia bikin lo merasa kenal lebih dalam dari apa yang kelihatan. Kalau pernah, cerita dong ke gue! Siapa tahu, lo dan dia bisa berjodoh, hehe.”

Andra menatap ponselnya sejenak, berpikir. Dia memang gak pernah benar-benar mikir jatuh cinta sama Renata. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, suara cewek itu memang punya daya tarik. Sederhana, tapi bikin ketagihan. Dengan setengah bercanda, Andra memutuskan untuk ngetik pesan ke siaran.

“Hai Renata, gue Andra. Udah lama jadi pendengar setia lo. Suara lo bikin hari-hari gue yang biasanya flat jadi berwarna. Btw, pernah kebayang gak kalo lo bisa jatuh cinta sama pendengar lo sendiri? Hehe.”

Andra menekan “kirim” tanpa berharap lebih. Dia tahu ada ratusan, bahkan mungkin ribuan pendengar yang juga kirim pesan tiap harinya. Siapa dia, hanya satu pendengar di antara sekian banyak?

Tapi, gak lama setelah itu, Renata tiba-tiba tertawa di tengah siarannya. “Hahaha! Lucu nih, ada yang nanya, pernah enggak gue kebayang jatuh cinta sama pendengar gue? Hmm… kalau dia punya selera humor kayak lo, bisa jadi sih!”

Andra terdiam sesaat. Pesannya… dibaca? Dia gak nyangka sama sekali. Dia hanya iseng kirim, tapi Renata benar-benar merespons dengan candaan. Ada perasaan aneh yang mulai menggelitik hatinya.

“Mampus. Apa gue barusan flirting sama penyiar radio?” batin Andra, setengah malu, setengah bangga. Dia ngakak sendiri di kursinya, merasa senang tanpa alasan yang jelas.

Renata melanjutkan siaran seperti biasa, tapi kali ini Andra mendengarkannya dengan perasaan yang berbeda. Suara Renata terasa lebih dekat, seolah mereka baru saja bertukar canda di meja kafe yang sama. Padahal, dia tahu betul, Renata gak mungkin tahu siapa dia sebenarnya. Tapi anehnya, meski cuma sebatas suara, rasanya udah cukup buat bikin sore ini beda dari biasanya.

Setelah siaran selesai, Andra menutup aplikasinya dan menyandarkan diri di kursinya. Dia memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi jingga di luar jendela. “Gila ya, gue bisa senyum-senyum sendiri cuma gara-gara denger suara orang di radio,” gumamnya pelan.

Andra meraih cangkir kopinya, tapi hanya menemukan sisa ampas di dasarnya. “Kayaknya gue butuh refill,” katanya sambil berdiri dan berjalan ke counter. Setelah memesan segelas lagi, Andra kembali duduk dan mulai melamun, membayangkan seperti apa Renata di dunia nyata.

Suaranya sih enak banget, tapi apa dia beneran semenarik itu kalau dilihat langsung? Ah, pasti banyak cowok yang naksir dia. Lagi pula, penyiar radio biasanya punya kepribadian yang fun, kayak Renata.

Tapi ya, dia juga sadar, perasaannya gak lebih dari sekadar fanboying. Toh, mereka gak mungkin beneran ketemu. Dunia Renata dan dunianya beda jauh. Andra cuma pendengar setia, sedangkan Renata? Dia suara yang selalu ada, tapi tak pernah benar-benar nyata. Meski begitu, Andra tahu, sore ini bukan kali terakhir dia mendengarkan Renata. Dan mungkin, dia akan terus mengirim pesan-pesan iseng, berharap suaranya bisa terhubung lagi, meski cuma lewat frekuensi radio.

 

Pesan yang Tak Terduga

Hari-hari Andra berjalan seperti biasa, meski ada satu hal yang sekarang bikin dia sedikit semangat setiap sorenya: siaran Renata. Setiap sore, pas jam siaran Frekuensi Hati, dia gak pernah ketinggalan untuk tune in, dengerin obrolan santai Renata, candaan-candaannya, bahkan sesekali dia coba kirim pesan lagi—walau nggak semua dibaca. Tapi gak masalah, Andra tetap menikmatinya.

Namun, ada satu pesan dari Andra yang dibalas Renata beberapa hari setelah interaksi pertama mereka. Pesan yang iseng banget, cuma berisi:

“Hey Renata, kopi favorit lo apa? Gue taruhan lo tipe yang suka kopi manis, kan?”

Sambil lalu, Andra mengetik pesan itu. Gak berharap banyak sih, tapi iseng banget penasaran. Siaran berlangsung seperti biasa sampai akhirnya, Renata menyinggung soal kopinya.

“Eh, ini ada yang nanya, kopi favorit gue apa. Wah, pertanyaan bagus juga. Gue suka kopi hitam, tapi jangan terlalu pahit. Kopi pahit bikin hidup terasa terlalu nyata, hahaha!”

Andra senyum-senyum sendiri mendengar balasan itu. Jadi Renata gak semanis yang dia kira, ya? Cewek kopi hitam, hmm, keren juga.

Tapi sore itu terasa beda. Renata kayak lebih banyak bercanda, kayak obrolannya lebih santai dari biasanya. Andra gak terlalu ngeh kenapa, tapi rasanya lebih personal. Lebih akrab. Gak cuma karena pesan yang dibaca, tapi seolah Renata benar-benar ngobrol sama dia, meski mereka dipisahkan ribuan pendengar lainnya.

Setelah siaran selesai, Andra gak bisa menahan rasa penasarannya. Dia akhirnya buka Instagram dan coba cari akun Renata. Setelah scroll beberapa menit, akhirnya dia nemuin. Foto profil Renata, cewek dengan rambut terurai dan senyum lebar, terlihat sama cerianya dengan suaranya di radio. Meski banyak foto-foto siaran dan kegiatannya, gak ada yang terlalu mencolok. Andra menatap layar ponselnya lama-lama, seperti mempertimbangkan apakah dia harus follow atau nggak.

“Gue nge-fans aja, gak lebih,” bisiknya pada diri sendiri. Tapi tangannya udah bergerak duluan, menekan tombol ‘Follow’.

Gak sampai 10 menit kemudian, notifikasi muncul. Renata_88 has followed you back.

“Hah? Serius?” Andra terbelalak. Biasanya penyiar radio gak terlalu merhatiin followers-nya, apalagi yang kayak Andra, cuma pendengar biasa. Tapi kali ini, ada rasa aneh yang menggelitik di perutnya. Renata beneran follow balik!

Dari situlah, percakapan mereka mulai pindah dari siaran radio ke pesan pribadi di Instagram. Awalnya Renata cuma ngasih tahu kalau dia suka balas-balas pesan pendengarnya, buat tetap terkoneksi. Tapi, lama-lama obrolan mereka jadi makin sering, dari ngobrolin kopi, musik, sampai hal-hal random kayak serial TV favorit. Semua terasa natural, tanpa ada paksaan.

Suatu sore, saat lagi ngobrol santai lewat pesan, Renata tiba-tiba mengirim pesan yang bikin Andra terdiam sejenak:

“Eh, lo anak mana sih? Kok kayaknya lo sering banget dengerin gue dari kafe? Bukan kerja kantoran ya?”

Andra tersenyum. Akhirnya Renata penasaran juga. Dia jawab, masih dengan gaya bercanda:

“Anak Jakarta kok. Cuma kerjaan gue sering dibawa keluar kantor, jadi lebih suka kerja sambil dengerin lo di kafe. Biar gak stres. Lo gimana, gak bosen tiap hari ngehibur orang tanpa lihat wajah mereka?”

Renata cepat membalas: “Kadang-kadang bosen juga, tapi gue suka aja ngobrol, apalagi kalau banyak yang kirim pesan kocak kayak lo, bikin suasana seru. Btw, kafe langganan lo di mana sih? Gue juga sering nongkrong di kafe kalau lagi gak siaran.”

Pesan itu membuat Andra termenung sejenak. Apakah Renata ingin bertemu? Tiba-tiba suasana jadi agak beda. Biasanya obrolan mereka sebatas candaan, tapi sekarang sepertinya ada kesempatan untuk benar-benar bertemu.

Andra mencoba berpikir cepat. Dia gak mau terlihat terlalu antusias, tapi di sisi lain, siapa yang gak mau ketemu penyiar radio favoritnya?

“Kafe langganan gue di daerah Blok M, sih. Namanya Kafe Lattee. Lo kapan-kapan bisa mampir kalau lagi gak sibuk.” Balasan Andra dibuat se-santai mungkin, padahal dalam hati dia udah deg-degan.

Renata membalas dengan emoticon tertawa. “Kafe Lattee? Eh, gue sering banget nongkrong di sana, loh! Mungkin kita udah pernah ketemu tapi gak sadar aja, hahaha.”

Andra tertegun. “Gila, ternyata dunia ini kecil banget,” pikirnya. Renata sering nongkrong di kafe yang sama dengannya? Berarti mereka mungkin pernah berada di ruangan yang sama tanpa pernah saling kenal. Ada perasaan aneh yang merambat di tubuh Andra. Seolah semesta diam-diam telah mempermainkannya.

Tapi, alih-alih merasa canggung, Andra merasa lebih nyaman. Renata ternyata bukan tipe selebriti radio yang jauh dari jangkauan. Dia cewek biasa yang suka kopi, musik, dan kafe. Perbedaan mereka mulai terasa tidak sebesar yang dia bayangkan sebelumnya.

Sore itu, Andra gak bisa berhenti senyum. Dia tahu, ada sesuatu yang menarik di antara mereka, meski dia gak mau cepat-cepat berasumsi. Untuk saat ini, semuanya terasa alami, tanpa ada tekanan.

Dan mungkin, hanya masalah waktu sebelum obrolan mereka lewat pesan berubah menjadi percakapan tatap muka di meja kafe. Tapi untuk saat ini, Andra memilih untuk menikmati setiap momen, setiap detik percakapan mereka.

 

Pertemuan di Balik Kopi

Andra memandangi layar ponselnya yang menunjukkan pesan terakhir dari Renata. Dia belum benar-benar siap menghadapi fakta bahwa mungkin, dalam waktu dekat, dia akan bertemu langsung dengan si penyiar radio yang selama ini hanya dia dengar dari balik frekuensi. Meski sudah beberapa kali chat dengan Renata, bertemu langsung tetap terasa seperti lompatan besar.

Di hari Sabtu pagi, Renata mengirim pesan singkat. Isinya sederhana, tapi cukup membuat Andra terdiam beberapa detik.

“Hei, gue lagi punya waktu kosong hari ini. Gimana kalau kita ketemuan di Kafe Lattee jam 3 sore? Biar sekalian ngobrol-ngobrol langsung, gak cuma lewat pesan aja.”

Jantung Andra langsung berdebar. Dia membaca ulang pesan itu beberapa kali, memastikan dirinya gak salah baca. Renata beneran ngajakin ketemuan? Sial, ini serius!

Setelah menenangkan diri, Andra membalas dengan singkat tapi tetap santai.

“Boleh, gue juga ada waktu. Sampai ketemu di sana.”

Meski pesan balasannya terkesan biasa aja, perasaannya jauh dari itu. Dia udah mulai mikirin baju apa yang harus dipakai, gimana kalau obrolannya awkward, atau gimana kalau Renata gak sesuai ekspektasi—meskipun, dia juga sadar, dia gak boleh punya ekspektasi terlalu tinggi.

Pukul 3 sore, Andra tiba lebih awal di Kafe Lattee. Tempat favoritnya, meja di pojokan dekat jendela, sudah kosong. Dia duduk, memesan segelas kopi hitam, dan mulai menenangkan diri. Sambil menunggu, dia mengecek ponselnya berulang kali, memastikan apakah ada pesan dari Renata yang mungkin membatalkan rencana. Tapi, gak ada.

Jam 3:10, pintu kafe berbunyi, menandakan seseorang masuk. Andra menoleh, dan seketika matanya bertemu dengan sosok yang sudah sering dia bayangkan. Renata.

Renata tampak santai, memakai kaos oversized berwarna putih dan celana jeans. Rambutnya dikuncir sederhana, dengan senyum lebar di wajahnya saat matanya menemukan Andra. Dia terlihat persis seperti yang Andra bayangkan, tapi tetap aja, melihatnya langsung bikin suasana jadi sedikit surreal.

“Hey! Lo Andra, kan?” Renata menyapa duluan, langsung menghampiri meja.

Andra berdiri dan menyambutnya dengan senyum kaku. “Iya, ini gue. Akhirnya ketemu juga, ya?”

Renata tertawa kecil sambil duduk. “Gue gak nyangka, lo ternyata emang sering nongkrong di sini. Kafe ini udah kayak tempat pelarian gue dari kesibukan.”

Andra ikut duduk, mencoba rileks meski jantungnya masih berdetak kencang. “Iya, ini tempat favorit gue. Gue gak nyangka juga ternyata kita sering di tempat yang sama, cuma gak sadar.”

Renata memesan cappuccino kepada barista, lalu mereka mulai mengobrol. Obrolan mereka terasa mengalir dengan mudah. Renata tetap seperti di siaran: ceria, penuh candaan, dan gak terlalu serius. Sementara Andra, meski awalnya canggung, mulai bisa menyesuaikan diri. Setelah beberapa menit, suasana yang tadinya sedikit tegang berubah jadi lebih nyaman.

“Makasih, ya, udah selalu dengerin siaran gue,” kata Renata, menyeruput cappuccino-nya. “Gue senang banget kalau ada pendengar yang benar-benar ngerasa relate sama obrolan gue.”

Andra tersenyum kecil. “Iya, siaran lo emang beda dari yang lain. Ada banyak sih penyiar radio di luar sana, tapi lo punya vibe yang bikin pendengar kayak gue jadi ngerasa ngobrol sama temen sendiri.”

Renata tertawa. “Wah, berarti usaha gue gak sia-sia dong.”

Mereka terus ngobrol tentang banyak hal, mulai dari musik, kehidupan di Jakarta, sampai hal-hal kecil yang sering dibahas di siaran radio. Andra mulai lupa kalau dia sebenarnya deg-degan dari tadi. Renata ternyata sangat easygoing, jauh dari kesan ‘seleb’ yang dia kira sebelumnya.

Sampai akhirnya, Renata bertanya sesuatu yang membuat Andra sedikit terdiam.

“Lo gak pernah kirim pesan lagi buat curhat atau nanya hal-hal serius. Kebanyakan pesan lo kocak-kocak doang. Kenapa?”

Andra mengangkat bahu, mencoba mencari jawaban yang tepat. “Gue gak tahu sih, gue merasa curhat ke penyiar radio itu… gimana ya, kayak terlalu klise. Gue lebih suka kirim hal-hal random, biar suasana lo juga gak bosen.”

Renata tersenyum sambil memainkan cangkir kopinya. “Gue sih gak masalah kalau ada yang curhat. Malah, kadang cerita orang bikin gue lebih paham hidup dari sudut pandang yang beda.”

Andra terdiam sebentar, lalu dengan nada yang lebih serius, dia akhirnya berkata, “Kalau gue curhat, mungkin gue bakal bilang… gue lagi bingung sama hidup gue sekarang. Gak tahu mau bawa ke mana. Gue suka kerjaan gue, tapi kadang ngerasa kosong. Dan ya, gue sering kali bingung kenapa.”

Renata mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Andra. “Gue ngerti. Hidup kadang bisa terasa flat banget. Kadang yang lo butuhin cuma satu hal buat bikin semuanya terasa beda.”

Andra mengangguk pelan. Obrolan ini jadi lebih dalam dari yang dia duga. Dia biasanya gak terlalu suka ngobrol serius sama orang yang baru dikenal, tapi dengan Renata, semuanya terasa lebih natural.

“Lo gimana?” tanya Andra, mencoba membalik topik. “Lo kan keliatannya selalu happy. Tapi beneran gak ada momen di mana lo ngerasa stuck?”

Renata menghela napas pendek. “Tentu ada. Gue juga manusia biasa. Pekerjaan gue bikin gue ketemu banyak orang, tapi kadang gue sendiri gak yakin siapa yang bener-bener peduli sama gue. Lucu kan? Gue ngomong ke ribuan orang tiap hari, tapi di saat yang sama, gue merasa sendirian.”

Andra gak menyangka jawaban itu keluar dari mulut Renata. Penyiar yang ceria dan penuh energi ini ternyata juga punya keraguan dan kekosongan yang sama. Mereka terdiam beberapa detik, merenung.

Tiba-tiba, Renata tersenyum kecil dan mencoba mengalihkan suasana. “Eh, tapi jangan serius-serius banget dong. Nanti gue jadi melankolis. Gimana kalau gue bayar kopi lo hari ini, biar balance?”

Andra tertawa kecil. “Kok gue jadi yang di-treat? Gak adil nih.”

“Gue penyiar, gue yang punya kuasa,” jawab Renata sambil tertawa.

Mereka mengakhiri pertemuan sore itu dengan lebih banyak candaan, dan Andra merasa seperti telah mengenal Renata jauh lebih dalam dari sebelumnya. Mereka mungkin baru bertemu secara langsung hari ini, tapi ada perasaan hangat yang membuat Andra yakin kalau ini bukan pertemuan terakhir mereka.

Dan di kepalanya, Andra mulai bertanya-tanya: apakah perasaan yang dia rasakan ini hanya kekaguman pada penyiar favorit, atau mungkin lebih dari itu?

 

Frekuensi Cinta yang Semakin Dekat

Minggu-minggu setelah pertemuan mereka di Kafe Lattee terasa sedikit berbeda bagi Andra. Setelah ngobrol dan ngopi bareng Renata, hidupnya mulai dipenuhi oleh momen-momen kecil yang penuh tawa dan canda. Mereka sering tukar pesan, kadang soal siaran, kadang cuma buat ngobrol santai. Hubungan mereka berkembang dengan cara yang natural, tanpa paksaan atau ekspektasi yang terlalu tinggi.

Renata masih tetap siaran setiap hari, suaranya tetap memenuhi malam-malam Andra, tapi kali ini terasa berbeda. Ada kehangatan baru yang Andra rasakan setiap kali mendengar suara Renata di radio. Apalagi, setelah pertemuan itu, Renata sering menyelipkan candaan tentang Andra di siarannya, meski nama Andra tak pernah disebutkan secara langsung. Tapi Andra tahu, itu untuknya.

Suatu malam, Andra baru selesai dari kantor dan memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman kota. Dia butuh udara segar setelah hari yang melelahkan. Di tangannya, ponsel memutar siaran Renata yang sedang membahas tentang “cinta yang datang dari arah tak terduga”. Dia tersenyum kecil mendengar topik itu.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Renata.

“Lo lagi dengerin siaran gue sekarang, gak?”

Andra langsung membalas cepat. “Iyalah, rutin dong. Gue lagi di taman, dengerin lo ngomongin cinta-cintaan gini, jadi inget sesuatu.”

“Inget apa? Berani banget lo lempar kalimat misterius.” Renata membalas cepat, dan Andra bisa membayangkan dia tersenyum di balik layar.

“Inget pertemuan kita kemarin-kemarin. Gue pikir, hidup gue bakal datar-datar aja, tapi ternyata lo kasih warna baru. Ada frekuensi yang beda sekarang.”

Renata membalas lagi, kali ini lebih singkat. “Oke, serius amat. Kapan bisa ketemu lagi?”

Andra terdiam beberapa detik, membaca ulang pesan itu, memastikan apakah dia gak salah baca. Dia langsung mengetik balasan dengan cepat, “Besok gue free, kalau lo gak sibuk siaran.”

“Besok, jam 7 malam di tempat biasa. Deal?” Renata membalas lagi, dan Andra hanya bisa tersenyum sambil mengetik, “Deal.”

Esoknya, Andra tiba di Kafe Lattee lebih awal lagi. Sama seperti pertemuan pertama mereka, dia duduk di meja pojok sambil menikmati kopi hitam favoritnya. Jantungnya kembali berdebar, meski dia udah pernah melewati pertemuan pertama dengan Renata. Kali ini terasa beda. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang lebih dari sekedar ngobrol santai biasa.

Jam 7 tepat, Renata muncul. Dia memakai sweater abu-abu dan jeans robek yang terlihat casual tapi tetap menarik. Seperti biasanya, Renata tersenyum hangat dan langsung duduk di depan Andra.

“Lo selalu datang lebih awal, ya?” Renata membuka percakapan sambil melepas masker dan menaruh tasnya di kursi sebelah.

“Gue cuma gak mau bikin lo nunggu. Gue tau lo sibuk,” jawab Andra sambil mencoba tetap tenang.

Renata memesan latte seperti biasa, dan mereka mulai ngobrol. Obrolan kali ini terasa lebih santai dibandingkan pertemuan pertama. Mungkin karena mereka sudah mulai saling mengenal lebih baik. Namun, di tengah percakapan ringan tentang musik dan rencana akhir pekan, ada sesuatu yang terasa menggantung. Seperti ada hal yang ingin mereka bicarakan, tapi masih sama-sama menunggu siapa yang akan memulainya.

Setelah beberapa waktu, Renata menghela napas pelan, lalu menatap Andra dengan mata yang lebih serius.

“Gue pengen nanya sesuatu,” kata Renata, sedikit ragu.

Andra yang sedang menyesap kopi langsung meletakkan cangkirnya. “Tanya aja.”

“Lo beneran dengerin semua siaran gue selama ini?” Renata bertanya, nada suaranya agak lebih lembut dari biasanya.

Andra tersenyum kecil. “Gue udah bilang kan, gue pendengar setia lo. Lo salah satu alasan gue bisa ngelewatin malam-malam panjang di kantor.”

Renata tertawa kecil, tapi ada sedikit rasa canggung di matanya. “Maksud gue… lo cuma suka dengerin suara gue, atau mungkin lebih dari itu?”

Pertanyaan itu membuat suasana di antara mereka mendadak berubah. Andra terdiam, memikirkan jawabannya. Dia tahu kalau dia harus jujur. Ada perasaan yang udah lama dia rasakan setiap kali mendengar Renata siaran, dan setelah bertemu dengannya secara langsung, perasaan itu semakin tumbuh.

“Gue gak tahu harus jawab gimana, Ren,” Andra akhirnya membuka suara. “Tapi gue ngerasa, setelah ketemu lo… semuanya berubah. Gue gak cuma dengerin suara lo lagi. Gue beneran pengen kenal lo lebih jauh.”

Renata menunduk sedikit, memainkan cangkir di tangannya sebelum akhirnya menatap Andra lagi dengan senyuman tipis. “Gue juga ngerasain hal yang sama, Andra. Dari dulu gue ngerasa aman dengan pekerjaan gue, dengan suara gue yang didengar banyak orang, tapi setelah ketemu lo, gue mulai pengen seseorang buat dengerin gue secara lebih… personal.”

Andra merasa hatinya berdetak lebih cepat. Kata-kata Renata terasa seperti jawaban yang dia harapkan.

Renata menghela napas dalam-dalam, lalu tertawa kecil. “Gue gak nyangka, ternyata siaran gue yang selama ini cuma buat hiburan ternyata bikin gue ketemu lo.”

Andra ikut tertawa, merasa lega bahwa perasaannya gak bertepuk sebelah tangan. “Mungkin, ini salah satu dari ‘cinta yang datang dari arah tak terduga’ yang lo bahas di siaran lo kemarin.”

Renata menatap Andra dengan senyuman yang lebih dalam. “Mungkin emang iya.”

Mereka berdua terdiam sebentar, saling menatap dalam keheningan yang manis. Rasanya seperti ada frekuensi yang akhirnya selaras di antara mereka, lebih dari sekedar obrolan radio, lebih dari sekedar candaan. Di tengah suasana kafe yang hangat dan aroma kopi yang menenangkan, Andra dan Renata tahu bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan antara penyiar radio dan pendengarnya. Mereka telah menemukan awal dari sesuatu yang lebih indah—frekuensi cinta yang menyatukan mereka.

 

Dan begitu, frekuensi cinta antara Andra dan Renata akhirnya menemukan jalannya. Dari siaran radio yang penuh candaan hingga momen-momen manis di kafe, mereka buktikan bahwa cinta memang bisa datang dari arah yang tak terduga.

Semoga cerita ini bikin kamu senyum-senyum sendiri dan mungkin, jadi inspirasi buat kamu yang lagi mencari cinta di tempat yang paling nggak terduga. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, dan jangan lupa, selalu dengerin frekuensi hati kamu sendiri!

Leave a Reply