Festival Budaya: Kisah Persatuan dan Pelestarian Kearifan Lokal

Posted on

Hei, kamu! Siapa bilang budaya itu membosankan? Coba deh bayangkan, segerombolan orang berkumpul, menikmati makanan enak, menari, dan tertawa bareng di tengah festival yang bikin hati hangat.

Nah, di cerpen ini, kita bakal ikutan serunya festival budaya yang nggak cuma meriah, tapi juga jadi ajang buat merawat kearifan lokal. Yuk, simak perjalanan seru Arunika dan Rizky yang berusaha bikin desa mereka jadi lebih hidup dan penuh warna!

 

Festival Budaya

Langit yang Berubah

Matahari mulai merunduk di ufuk barat, menebarkan warna jingga keemasan di langit Desa Cendana. Suara riuh anak-anak bermain di tepi sungai menambah hangat suasana sore itu. Di antara mereka, ada Arunika, seorang gadis berambut hitam legam yang selalu terlihat bersemangat. Dia duduk di tepi sungai, memandangi air yang berkilau terkena sinar matahari sambil melipatkan kakinya. Senyumnya merekah saat melihat ikan-ikan kecil melompat-lompat di permukaan air.

“Arunika!” teriak Rizky, sahabatnya sejak kecil, sambil melompat dari atas batu besar di dekat sungai. “Kamu lagi ngapain di sini? Mikirin cowok ya?”

Arunika menoleh, wajahnya dipenuhi senyum nakal. “Gak, Rizky! Aku lagi mikirin Ritual Senja yang bakal datang. Kamu tahu, Kakek Wira pasti bakal bercerita banyak tentang tradisi itu lagi. Aku pengen tahu lebih dalam.”

“Ritual Senja, huh? Bukan mau ketemu cowok aja?” Rizky menggoda sambil duduk di sampingnya. Rambut ikalnya berkibar terkena angin sore.

“Ah, kamu ini! Setiap kali aku bilang tentang tradisi, kamu selalu saja meragukan!” Arunika menepuk bahunya. “Kamu juga tahu kan, Ritual Senja itu penting buat kita. Bukan hanya sekadar seremonial, tapi juga cara kita menghargai alam dan nenek moyang.”

Rizky mengangguk, senyumnya hilang sejenak saat dia memikirkan kata-kata Arunika. “Iya, kamu benar. Kakek Wira selalu bilang bahwa kita harus ingat dari mana kita berasal. Tradisi itu kayak pengingat, gitu.”

Sambil memandangi sungai, Arunika melanjutkan, “Aku merasa, setiap kali kita melakukan ritual itu, ada sesuatu yang terhubung antara kita dengan alam. Aku pengen sekali berbagi perasaan ini dengan teman-teman di kota. Supaya mereka juga bisa merasakan keindahan budaya kita.”

“Kalau kamu mau, aku bisa bantu. Kita bisa ajak mereka datang ke sini. Biar mereka lihat langsung betapa serunya dan indahnya Ritual Senja,” Rizky berkata sambil memberikan senyum lebar.

“Benar juga! Ayo, kita rencanakan!” Arunika tampak bersemangat. “Tapi kita harus persiapkan segala sesuatunya dengan matang. Kakek Wira pasti sudah mempersiapkan banyak hal untuk ritual nanti.”

Tak jauh dari tempat mereka duduk, tampak beberapa warga desa mulai beraktivitas, menghias lapangan dengan lampion berwarna-warni. Aroma masakan tradisional mulai tercium, mengundang selera Arunika dan Rizky.

“Eh, kita bisa bantu mereka juga, yuk! Pasti asyik bisa ikut langsung,” kata Rizky, beranjak berdiri.

“Mau masak atau menghias?” Arunika bertanya dengan senyuman nakal.

“Kalau masak, aku takut kebakaran dapur. Jadi, aku pilih menghias saja,” Rizky menjawab sambil tertawa, dan mereka berdua berjalan menuju lapangan.

Saat tiba di lapangan, suasana sudah penuh semangat. Anak-anak berlarian, mengibarkan kain warna-warni. Beberapa orang tua terlihat menggantungkan lampion di pohon-pohon besar. Arunika dan Rizky bergabung dengan warga lainnya, membantu menggantung lampion dan menata meja yang akan dipenuhi makanan tradisional.

“Eh, kamu lihat enggak, lampion warna biru itu? Kayaknya bagus banget kalau dipasang di dekat panggung,” Arunika menunjuk lampion yang terletak di tumpukan.

“Setuju! Ayo kita angkat bareng!” Rizky menjawab sambil tersenyum, lalu bersama-sama mereka mengangkat lampion itu dan menggantungnya di cabang pohon.

Setelah beberapa saat bekerja, Kakek Wira datang mendekat, membawa bakul berisi bahan makanan. Dia selalu memancarkan aura bijaksana yang membuat siapa pun merasa tenang saat berada di dekatnya. “Kamu berdua, terima kasih sudah membantu. Ritual Senja kali ini akan sangat istimewa.”

“Kakek, aku mau tanya, kenapa kita selalu melakukan ritual ini setiap bulan purnama?” Arunika bertanya, wajahnya penuh harapan.

Kakek Wira tersenyum, matanya berkilau saat menjawab, “Cucuku, setiap bulan purnama adalah waktu di mana kita bisa bersyukur atas hasil bumi dan berkumpul bersama. Ini adalah pengingat bahwa kita tidak sendiri; kita adalah bagian dari komunitas ini.”

Arunika mendengarkan dengan seksama, hatinya bergetar mendengar setiap kata yang keluar dari Kakek Wira. “Aku ingin tahu lebih banyak, Kakek. Tentang bagaimana nenek moyang kita memulai tradisi ini.”

“Kamu akan mengetahuinya saat malam Ritual Senja tiba. Aku akan bercerita banyak,” Kakek Wira menjawab, membelai rambut Arunika dengan lembut.

Waktu berlalu dengan cepat, dan matahari mulai tenggelam di balik perbukitan. Cahaya jingga keemasan mulai memudar, digantikan oleh sinar bulan purnama yang bersinar terang. Suasana di Desa Cendana semakin meriah saat malam menjelang. Semua warga telah berkumpul, siap untuk merayakan Ritual Senja dengan penuh sukacita.

Arunika merasakan getaran kegembiraan di sekelilingnya. Dia dan Rizky saling bertukar pandang, menandakan bahwa mereka siap menghadapi malam yang penuh makna ini. Sambil memandangi langit yang mulai gelap, Arunika merasakan semangat yang membara di dalam dirinya. Dia ingin memastikan bahwa tradisi ini tidak hanya hidup di hati mereka, tetapi juga di dalam jiwa setiap orang yang hadir.

“Rizky, malam ini pasti akan menjadi malam yang tak terlupakan!” Arunika berbisik, merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Dan di dalam dirinya, ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Persiapan untuk Ritual

Kedamaian malam mulai menyelimuti Desa Cendana. Suara riuh warga yang berdiskusi dan tertawa mengisi udara, sementara aroma makanan tradisional yang sedang dimasak memenuhi hidung Arunika. Semua orang terlihat antusias, terlibat dalam persiapan Ritual Senja yang dinanti-nantikan. Lampion warna-warni bergoyang lembut di angin malam, menciptakan suasana magis yang menambah kehangatan hati.

Di tengah kerumunan, Arunika dan Rizky terlihat berdiri di depan panggung kecil yang terbuat dari kayu, dikelilingi oleh lampu-lampu kecil berkelap-kelip. “Kita harus membuat dekorasi ini terlihat lebih menarik. Gimana kalau kita tambahkan bunga-bunga di sekelilingnya?” Arunika mengusulkan dengan semangat, matanya bersinar penuh ide.

“Setuju! Bunga warna-warni pasti bikin suasana jadi lebih hidup,” Rizky menjawab, matanya berkeliling mencari bunga-bunga yang bisa dipakai. Mereka berdua mulai bergerak, mencari bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar desa. Setiap langkah di tanah yang lembut mengingatkan mereka betapa indahnya alam sekitar.

Setelah beberapa saat, mereka berhasil mengumpulkan banyak bunga berwarna cerah. Rizky memegang segenggam bunga liar yang harum, sementara Arunika menata bunga-bunga tersebut di panggung. “Kamu tahu, aku berharap Ritual Senja ini bisa jadi ajang untuk mengingatkan semua orang tentang pentingnya menjaga alam kita,” Arunika berucap sambil mengatur bunga dengan hati-hati.

“Benar! Kita perlu membuat mereka sadar betapa berartinya warisan budaya kita. Dan mungkin, kalau mereka merasakannya langsung, mereka akan lebih menghargai,” Rizky menambahkan dengan serius.

Saat mereka berdua asyik menghias, Kakek Wira datang membawa kendi besar berisi air bersih. “Anak-anak, air ini akan digunakan untuk upacara penyucian. Mari kita bawa ke panggung,” katanya dengan suara lembut. Arunika dan Rizky segera membantu Kakek Wira membawa kendi itu.

Di perjalanan, Arunika bertanya, “Kakek, apa yang membuat Ritual Senja ini begitu istimewa bagi desa kita?”

Kakek Wira tersenyum bijak, “Setiap tahun, kita mengingatkan diri kita tentang apa yang telah kita terima dari alam. Ritual ini adalah simbol rasa syukur kita kepada nenek moyang dan kehidupan yang telah memberi kita berkat. Setiap lilin yang dinyalakan adalah doa untuk keselamatan dan kebersamaan.”

Arunika mengangguk, merasakan getaran emosional di dalam hatinya. Dia ingin setiap orang di desa merasakan kedalaman makna tersebut, bukan hanya saat ritual berlangsung, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Setelah menata panggung, mereka beralih ke bagian lain dari persiapan. Rizky melihat sekelompok ibu-ibu desa sedang menyiapkan makanan tradisional, seperti nasi liwet, ikan bakar, dan berbagai kue khas yang berwarna-warni. “Ayo, kita bantu mereka! Mungkin ada yang bisa kita pelajari,” ajak Rizky sambil melangkah cepat ke arah para ibu.

Arunika mengikuti dengan semangat. “Bu, butuh bantuan?” tanyanya pada Ibu Sari, seorang ibu dengan senyum ramah yang selalu menyambut anak-anak di desa.

“Iya, Nak! Kami sedang mempersiapkan makanan untuk nanti. Ayo, bantu kami mencincang sayuran dan menyiapkan bumbu-bumbu,” Ibu Sari menjawab dengan gembira.

Arunika dan Rizky langsung terjun membantu, mencincang sayuran dengan hati-hati sambil bercanda tawa. “Eh, Rizky, ingat enggak waktu kita masak bareng di rumah? Hasilnya malah jadi berantakan!” Arunika mengenang saat-saat lucu itu.

“Ya, ya, aku ingat! Tapi kali ini pasti lebih baik, kan?” Rizky menjawab dengan tawa, sambil mengambil sedikit garam dan mengaduk bumbu di dalam wajan.

Beberapa saat berlalu, mereka semua bekerja sama dengan harmonis. Kakek Wira sesekali datang memberi semangat dan cerita tentang ritual-ritual yang pernah dilakukannya di masa muda. “Kamu tahu, di masa lalu, Ritual Senja dihadiri oleh seluruh desa. Semua orang berkumpul di sini, dan kakek-kakek bercerita tentang leluhur kita,” katanya dengan nada nostalgia.

Arunika mendengarkan setiap kata dengan penuh perhatian. “Kakek, apakah kamu bisa bercerita tentang salah satu ritual yang paling mengesankan?”

Kakek Wira tersenyum, matanya menerawang jauh. “Ada satu malam ketika bulan purnama sangat terang. Kami melakukan tarian dan lagu tradisional di bawah sinar bulan. Itu adalah malam ketika kami semua merasakan kehadiran nenek moyang kami. Seakan-akan mereka menari bersama kami.”

Mendengar cerita itu, Arunika merasakan kerinduan untuk menghidupkan kembali momen-momen seperti itu. “Kakek, aku ingin sekali bisa melakukan tarian itu malam ini! Bisa kah kita?” tanyanya penuh harap.

Kakek Wira menepuk bahu Arunika dengan lembut. “Tentu saja, cucuku. Jika semua bersedia, kita bisa melakukannya. Namun, ingatlah bahwa tarian ini bukan hanya gerakan, tapi juga perasaan.”

Sore semakin larut, dan persiapan pun mendekati akhir. Warga desa mulai berkumpul, membentuk lingkaran di tengah lapangan. Cahaya dari lampion yang bergelantung menerangi wajah-wajah penuh harapan mereka. Arunika dan Rizky saling menatap, merasakan semangat kolektif yang mengalir di antara mereka.

“Bentar lagi, nih! Malam yang sudah kita tunggu-tunggu akan segera dimulai,” Rizky berbisik sambil menyesap air dari botol yang dibawanya.

“Ya, Rizky! Ini baru awal, dan aku tidak sabar melihat bagaimana semua orang akan merasakan keindahan dan makna dari ritual ini,” Arunika menjawab dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan.

Malam semakin gelap, dan suara lonceng mulai berbunyi, menandakan bahwa Ritual Senja sebentar lagi akan dimulai. Arunika merasakan denyut jantungnya semakin cepat, semangatnya berkobar untuk melanjutkan perjalanan pelestarian kearifan lokal. Malam ini bukan hanya tentang tradisi, tetapi tentang harapan dan kebersamaan yang akan menguatkan jiwa Desa Cendana.

 

Dalam Cahaya Senja

Saat lonceng berbunyi, gemuruh suara teriakan gembira dari para warga desa memecah kesunyian malam. Arunika dan Rizky bergegas ke panggung utama, di mana Kakek Wira sudah berdiri menanti dengan air kendi di tangannya. Lampion-lampion yang menghiasi lapangan berkilau, menciptakan suasana yang hampir magis. Warga desa berbaris rapi, siap untuk memulai Ritual Senja.

Kakek Wira mengangkat kendi, suaranya bergema di antara kerumunan. “Anak-anak, malam ini kita berkumpul untuk merayakan kearifan lokal dan menghormati leluhur kita. Mari kita mulai dengan penyucian.”

Arunika dan Rizky berdiri di sisi panggung, menatap Kakek Wira dengan penuh rasa hormat. Arunika merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar tradisi di balik ritual ini—suatu ikatan yang menghubungkan setiap individu dengan tanah dan budaya mereka.

Kakek Wira memercikkan air suci dari kendi ke atas panggung, simbol pembersihan dan pengharapan. “Mari kita bersama-sama berdoa untuk desa kita, untuk keutuhan dan kedamaian yang selalu kita jaga,” seru Kakek Wira, dan semua orang menundukkan kepala, merasakan kedamaian menyelimuti hati mereka.

Setelah doa, Kakek Wira mengisyaratkan kepada semua untuk berdiri dalam lingkaran besar, mengelilingi panggung. “Sekarang, kita akan melanjutkan dengan tarian yang telah kita persiapkan. Arunika dan Rizky, kalian akan memimpin tarian ini!” Ia memberikan penegasan yang membuat Arunika dan Rizky terkejut.

“Eh, kakek, kami?” Arunika hampir tidak percaya, sementara Rizky hanya bisa mengangguk penuh semangat.

“Ya, anak-anak. Kalian sudah menunjukkan semangat dalam mempersiapkan ritual ini. Saatnya menunjukkan betapa bangganya kita dengan budaya kita,” kata Kakek Wira sambil tersenyum.

Dengan sedikit ragu, Arunika dan Rizky melangkah maju, mendengar suara tepuk tangan yang menggema dari warga desa. Keduanya saling berbisik, “Oke, kita bisa lakukan ini!” Mereka menyiapkan diri, mengingat gerakan tarian yang pernah diajarkan Kakek Wira saat mereka masih kecil.

Saat musik tradisional mulai dimainkan, keduanya mulai bergerak, melangkah mengikuti irama. Gerakan tangan dan kaki mereka mengalir lembut, menciptakan harmoni antara musik dan tarian. Warga desa mulai bergabung, mengikuti gerakan dengan riang, menciptakan aliran energi positif yang mengisi udara.

Malam itu, Arunika merasakan sesuatu yang luar biasa. Ia tidak hanya menari untuk ritual, tetapi juga untuk mengingat semua kenangan indah yang ia miliki bersama desa ini. Setiap gerakan, setiap senyuman dari orang-orang yang menonton membuat hatinya penuh. “Lihat, Rizky! Semua orang ikut bergoyang,” Arunika berteriak sambil tertawa.

“Sungguh luar biasa! Kita berhasil mengajak mereka untuk merasakan makna dari tarian ini,” jawab Rizky dengan senyum lebar di wajahnya.

Tariannya mengalir penuh rasa, membawa semua yang terlibat ke dalam pengalaman kolektif. Momen ini bukan hanya tentang gerakan fisik, tetapi juga tentang jiwa dan harapan yang terjalin dalam satu kesatuan.

Setelah beberapa saat menari, Kakek Wira memberi tanda untuk menghentikan tarian. “Baiklah, anak-anak. Mari kita lanjutkan dengan berbagi makanan yang telah disiapkan. Saatnya merayakan hasil kerja keras kita!”

Dengan antusias, semua orang bergegas ke arah meja-meja besar yang penuh dengan hidangan khas desa. Arunika dan Rizky ikut membantu menyajikan makanan, menyiapkan piring untuk semua yang datang. Mereka semua saling berbagi cerita dan tawa, merasakan kedekatan satu sama lain.

“Rizky, makanan ini rasanya luar biasa! Aku rasa kita harus belajar cara membuatnya,” kata Arunika sambil mengambil sepotong nasi liwet yang hangat.

“Setuju! Kita bisa minta resep dari Ibu Sari nanti. Ini bukan hanya tentang makan, tapi juga belajar menghargai warisan kita,” Rizky menjawab sambil mencicipi ikan bakar yang lezat.

Saat malam semakin larut, bintang-bintang berkilau di langit, dan suasana menjadi lebih akrab. Arunika dan Rizky menyaksikan semua orang berkumpul di sekeliling api unggun yang menyala, berbagi cerita dan tertawa riang. Suara denting gelas dari orang-orang yang bersulang mengisi udara, menciptakan momen keakraban yang sangat berharga.

Ketika Kakek Wira berdiri untuk memberikan sambutan terakhir, perhatian semua orang tertuju padanya. “Terima kasih kepada semua yang telah hadir malam ini. Mari kita ingat bahwa budaya kita adalah bagian dari diri kita. Kearifan lokal bukan hanya tentang tradisi, tetapi juga tentang bagaimana kita hidup dalam harmoni dengan alam dan satu sama lain.”

Arunika merasakan air mata haru menetes di pipinya. “Inilah saatnya kita berjanji untuk menjaga warisan ini,” bisiknya kepada Rizky. “Kita harus melakukannya, demi generasi mendatang.”

Rizky mengangguk setuju, semangatnya membara. “Kita akan terus berjuang untuk melestarikannya, Arunika.”

Kegiatan malam itu ditutup dengan tawa dan sorak-sorai, namun perasaan dalam hati Arunika dan Rizky jauh lebih mendalam. Mereka berdua tahu, ini bukanlah akhir, tetapi langkah awal untuk menjaga dan meneruskan nilai-nilai kearifan lokal yang telah mengakar dalam kehidupan mereka dan desa tercinta.

 

Melangkah Maju

Keesokan harinya, matahari bersinar cerah, menyinari desa yang masih bersisa aroma makanan dan tawa dari perayaan malam sebelumnya. Arunika bangun dengan semangat baru. Ia teringat pernyataan Kakek Wira tentang pentingnya melestarikan budaya. Dalam benaknya, timbul sebuah ide yang berkilau: bagaimana jika mereka membuat sebuah festival budaya tahunan?

Dengan bergegas, Arunika menuju rumah Rizky. “Rizky! Aku punya ide! Bagaimana kalau kita adakan festival budaya setiap tahun? Kita bisa mengajak semua orang untuk ikut merayakan dan belajar tentang kearifan lokal!” serunya begitu memasuki rumah.

Rizky yang sedang sarapan tertegun, sendoknya terhenti di tengah perjalanan menuju mulut. “Festival? Itu ide yang brilian! Kita bisa melibatkan semua warga dan mempromosikan budaya kita ke desa-desa sekitar!”

Arunika merasa gembira, “Kita bisa membuat stan makanan, pertunjukan seni, bahkan lomba tradisi!” Matanya berbinar saat membayangkan semua kegiatan yang bisa mereka adakan. “Kita harus bicara dengan Kakek Wira dan meminta bantuannya.”

Tanpa menunggu lama, mereka berdua berangkat menuju rumah Kakek Wira. Di sana, mereka menemukan sang kakek sedang duduk di beranda, menikmati secangkir teh.

“Kakek, kami punya ide!” Arunika segera menyampaikan rencananya. “Kami ingin mengadakan festival budaya tahunan untuk merayakan kearifan lokal. Apa Kakek mau membantu kami?”

Kakek Wira tersenyum lebar, matanya berbinar penuh semangat. “Itu ide yang luar biasa, anak-anak! Kita harus merangkul semua elemen desa. Mari kita rencanakan bersama-sama!”

Dari situlah semua dimulai. Arunika dan Rizky bersama Kakek Wira mengundang setiap warga desa untuk berkumpul dan berkontribusi dalam perencanaan festival. Dari pengrajin lokal hingga ibu-ibu rumah tangga, semua orang bersemangat untuk berpartisipasi. Setiap orang memiliki ide dan pendapat yang berharga. Mereka mulai merancang program, membuat daftar makanan khas yang akan disajikan, hingga mengatur jadwal untuk pertunjukan seni.

Hari demi hari berlalu dengan cepat, setiap pertemuan dipenuhi dengan diskusi dan tawa. Warga desa merasa semakin dekat satu sama lain, saling mendukung dalam setiap langkah. Arunika dan Rizky tidak hanya merencanakan festival, tetapi juga membangun kembali ikatan yang kuat antar sesama.

Saat hari festival tiba, suasana desa sangat meriah. Semua orang berkumpul di lapangan, dikelilingi oleh tenda-tenda berwarna-warni yang dipenuhi dengan makanan, kerajinan tangan, dan berbagai pertunjukan. Ada tarian tradisional, permainan anak-anak, dan bahkan lomba memasak yang diikuti oleh para ibu rumah tangga.

“Rizky, lihat! Semua orang bersenang-senang!” Arunika berseru dengan penuh semangat. Mereka berdua melihat anak-anak berlari-larian, sementara orang dewasa berbincang dengan akrab. “Inilah yang kita inginkan!”

Kakek Wira berdiri di tengah lapangan, menyampaikan sambutan pembukaan dengan suara yang menggelegar. “Hari ini, kita merayakan budaya kita. Ini adalah warisan yang harus kita lestarikan dan sampaikan kepada generasi mendatang!”

Setiap pertunjukan dan kegiatan berlangsung dengan lancar, diiringi tawa dan sorak-sorai dari warga desa. Arunika merasakan kebanggaan yang luar biasa. Ia dan Rizky telah berhasil mewujudkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar festival—mereka telah menyatukan hati dan semangat warga desa.

Sore harinya, ketika matahari mulai terbenam, Arunika dan Rizky berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan suasana ceria di sekeliling mereka. “Kita benar-benar berhasil, ya?” Rizky berkata sambil tersenyum.

“Ya! Ini bukan hanya festival, tapi simbol dari persatuan kita,” Arunika menjawab, penuh haru. “Aku merasa kita telah melakukan sesuatu yang berarti.”

“Sekarang, kita tinggal terus melestarikannya. Kita harus tetap bersama-sama untuk menjaga kearifan lokal ini, agar anak cucu kita bisa merasakannya juga,” kata Rizky dengan tegas.

Arunika mengangguk setuju. “Kita akan terus berjuang, Rizky. Ini baru awal dari perjalanan kita.”

Saat bintang-bintang mulai bermunculan di langit, Arunika dan Rizky merasakan sebuah janji mengikat mereka. Janji untuk terus menjaga budaya mereka, merayakan kearifan lokal, dan memperkuat hubungan dengan satu sama lain. Dalam hati mereka, ada keinginan yang membara untuk melanjutkan tradisi ini, sehingga nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhur tidak akan pernah pudar.

Festival ini bukan hanya sebuah acara, melainkan sebuah tonggak penting dalam hidup mereka—sebuah awal untuk sebuah komitmen yang lebih besar. Dengan semangat yang membara, mereka siap melangkah maju, bersama-sama, untuk masa depan yang cerah dan berbudaya.

 

Jadi, udah kebayang kan betapa serunya menjaga kearifan lokal sambil seru-seruan bareng? Festival budaya ini bukan cuma tentang makanan dan hiburan, tapi juga tentang bagaimana kita merayakan apa yang membuat kita unik.

Arunika dan Rizky udah buktikan, bahwa dengan kebersamaan dan semangat, kita bisa menghidupkan tradisi yang mungkin mulai terlupakan. Yuk, terus lestarikan budaya kita dan bikin cerita seru di setiap langkah perjalanan kita! Sampai jumpa di festival selanjutnya!

Leave a Reply