Felicia dan Bijak Bermedia Sosial: Menemukan Keseimbangan di Dunia Maya

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Di sini, kita akan menyelami kisah seru seorang gadis SMA yang sangat gaul dan aktif, berjuang untuk menemukan jati dirinya di tengah arus media sosial yang kerap membingungkan.

Melalui cerita ini, Felicia tak hanya cuma menunjukkan bagaimana ia bisa bijak dalam menggunakan media sosial, tetapi juga bagaimana ia bisa menemukan sebuah kekuatan dari sastra. Siap untuk terinspirasi? Yuk, simak perjalanan Felicia dalam merajut mimpinya dan menyebarkan kebaikan di dunia digital!

 

Felicia dan Bijak Bermedia Sosial

Felicia dan Dunia Maya yang Ceria

Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Felicia, membangunkannya dari tidur nyenyak. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Detik itu juga, seakan terhipnotis, Felicia langsung membuka aplikasi media sosialnya. “Pasti ada foto-foto seru dari kemarin,” gumamnya, tersenyum pada bayangannya di layar.

Di dalam kamarnya yang dihiasi poster-poster idola dan catatan-catatan inspiratif, Felicia menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya untuk scroll feed-nya. Dari foto-foto liburan teman-temannya hingga update tentang acara sekolah, semua membuatnya merasa terhubung dengan dunia luar. Ia suka membagikan momen-momen ceria, mulai dari saat berkumpul dengan sahabat-sahabatnya hingga pencapaian kecil yang ia dapatkan.

Felicia adalah anak yang sangat gaul dan aktif. Di sekolah, ia dikenal sebagai sosok yang penuh energi, selalu ceria dan memancarkan aura positif. Tak heran jika banyak teman yang ingin mendekatinya. Dia merasa beruntung bisa memiliki sahabat seperti Lila dan Dito, yang selalu ada di sisinya. Ketiganya tak terpisahkan, seolah mereka adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Felicia tidak pernah lupa untuk mengupdate statusnya. “Hari ini akan bisa menjadi hari yang sangat luar biasa! #SMAKeren,” tulisnya dengan semangat. Ia tahu, setiap kali mengunggah sesuatu, pasti ada banyak like dan komentar yang menunggu. Rasanya, tidak ada yang lebih memuaskan daripada melihat teman-temannya memberi dukungan di dunia maya.

Sekolah pun terasa semakin seru. Saat pelajaran berlangsung, Felicia sering kali mengalihkan perhatian ke ponselnya di bawah meja. Dia suka berbagi lucu dengan teman-temannya di grup chat, membuat semua orang tertawa hingga guru mengernyitkan dahi. “Felicia, fokus!” teriak guru matematika, membuatnya tertawa malu. “Maaf, Bu! Cuma sedikit kesenangan!” jawabnya sambil melambaikan tangan.

Selama istirahat, Felicia dan sahabat-sahabatnya berkumpul di kantin. Mereka saling bercerita tentang aktivitas terbaru, dari tugas sekolah hingga pengalaman lucu yang mereka alami. Felicia dengan antusias memperlihatkan foto-foto liburan mereka di pantai beberapa minggu lalu. “Lihat, ini saat kita berselancar! Gak nyangka kita bisa melakukannya!” teriaknya, menunjukkan wajah ceria yang tak bisa disembunyikan.

Namun, di balik keceriaan itu, Felicia tidak sepenuhnya merasa bahagia. Dalam hati, ia terkadang merasa seolah-olah semua pencapaian dan kebahagiaannya tidak ada artinya jika tidak dibagikan di media sosial. “Kenapa aku merasa ada yang hilang?” pikirnya saat melihat feed-nya yang penuh dengan foto-foto teman-teman yang sedang berlibur ke tempat-tempat indah.

Suatu malam, saat menatap layar ponselnya yang bersinar, Felicia mulai merasakan kegundahan. Dia melihat postingan teman-temannya yang tampak sempurna, dengan caption yang menggugah semangat. Namun, saat melihat ke cermin, ia merasa tidak ada yang istimewa dari hidupnya. “Apa aku cukup baik?” tanyanya pada bayangannya. “Apa yang kurang dari diriku?”

Kekhawatiran ini membuat Felicia terjaga hingga larut malam. Ia merasa terjebak dalam dunia yang seolah memaksanya untuk selalu tampil sempurna. Media sosial, yang dulunya menjadi tempat kebahagiaan, kini terasa seperti beban yang harus ia pikul. Meski dikelilingi banyak teman, ada kalanya Felicia merasa sendirian.

Pagi harinya, Felicia memutuskan untuk menyalakan semangat barunya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia harus lebih mencintai diri sendiri, tanpa bergantung pada validasi orang lain. “Felicia, kamu itu istimewa! Kamu punya ceritamu sendiri,” ucapnya dengan keyakinan.

Dengan semangat baru, ia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Hari itu, ia merasa ingin menjelajahi hidupnya lebih dalam, lebih dari sekadar tampilan di media sosial. Bagaimana caranya? Felicia belum tahu, tapi satu yang pasti, ia akan menemukan jawabannya. Di benaknya, semangat untuk menjalani kehidupan nyata, merasakan kebahagiaan di setiap momen, mulai berkobar.

Belum ada yang tahu perjalanan serunya akan dimulai dari sini. Dengan senyum merekah di wajahnya, Felicia melangkah keluar dari rumah, siap menghadapi hari dengan hati yang penuh harapan.

 

Ketika Media Sosial Menjadi Beban

Hari-hari setelah keputusan Felicia untuk lebih mencintai diri sendiri terasa berbeda. Ia bertekad untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih sederhana, menikmati setiap momen tanpa harus membandingkan dirinya dengan orang lain. Namun, tantangan itu tidak semudah yang dibayangkan.

Ketika ia sampai di sekolah, Felicia disambut oleh Lila dan Dito yang sudah menunggu di depan gerbang. “Eh, Fel! Sudah siap untuk menyebarkan kebahagiaan hari ini?” tanya Lila dengan senyum lebar. “Tentu saja! Kita bakal bikin hari ini jadi luar biasa!” jawab Felicia, sambil mencoba untuk mengusir keraguan yang masih mengganjal di benaknya.

Pelajaran hari itu berlangsung seperti biasa. Namun, di tengah sesi mata pelajaran Bahasa Inggris, Felicia tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ponselnya. Satu notifikasi baru muncul, dan hatinya berdebar. “Oh tidak, bukan lagi,” gumamnya dalam hati.

Notifikasi itu berasal dari grup kelasnya, di mana teman-teman membagikan foto-foto dari acara pesta ulang tahun yang dihadiri semalam. Semua tampak bersenang-senang, tertawa dan berpose dengan kostum seru. Felicia merasa seolah-olah ia kehilangan momen penting. “Kenapa aku tidak diundang?” pikirnya, jantungnya berdegup lebih kencang.

Meski berusaha mengabaikan perasaan cemburu itu, rasa sedih mulai merayapi dirinya. “Apa aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri hingga melupakan teman-temanku?” Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi bayangan pesta semalam terus menghantuinya.

Setelah pelajaran berakhir, Felicia berinisiatif untuk berbicara dengan Lila dan Dito. “Hey, guys! Kemarin ada acara pesta, ya? Kenapa aku tidak diundang?” tanyanya, berusaha terdengar santai.

Lila menatap Felicia dengan bingung. “Oh, Fel, itu hanya acara kecil. Kami pikir kamu sudah punya rencana lain,” jawabnya. Dito menambahkan, “Jangan terlalu dipikirkan. Kita masih bisa bikin acara seru lainnya, kan?”

Felicia tersenyum, berusaha menghapus keraguan dalam hatinya. Namun, perasaan terasing itu tidak mudah hilang. Dia bertekad untuk melakukan sesuatu yang berbeda. “Bagaimana kalau kita bikin acara weekend ini? Kita bisa pergi ke pantai, berkemah, dan bersenang-senang!” usulnya dengan semangat.

Kedua sahabatnya setuju dan mereka pun mulai merencanakan segala sesuatunya. Saat mengumpulkan teman-teman, Felicia merasa semangatnya mulai membara. “Kita harus membuat kenangan baru yang akan kita bagikan!” ucapnya dengan antusias.

Akhir pekan pun tiba, dan Felicia serta teman-temannya berangkat ke pantai. Mereka membawa makanan, alat permainan, dan tentu saja, kamera untuk mengabadikan momen-momen seru. Felicia merasa hidupnya kembali bersemangat, jauh dari beban yang ia rasakan di media sosial.

Sesampainya di pantai, gelombang laut dan suara angin seakan menyambut mereka. Felicia tidak bisa menahan senyum. “Ayo, kita bikin bonfire dan bermain bola!” serunya. Semua bersorak dan berlarian menuju bibir pantai.

Saat permainan berlangsung, Felicia merasakan kebahagiaan yang tulus. Suasana penuh tawa, kehangatan, dan kebersamaan mengalihkan perhatiannya dari dunia maya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari jumlah like di media sosial, tetapi dari momen-momen sederhana bersama teman-teman.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada saat-saat ketika Felicia secara tidak sadar mengambil ponselnya untuk mengabadikan momen. “Ayo, kita foto!” serunya, tanpa bisa menyadari bahwa ia mulai terjebak lagi dalam kebiasaan lama. Setiap kali melihat ke layar, hatinya berdebar ketika melihat notifikasi yang masuk. “Ada yang like?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Lila dan Dito menyadari kebiasaan itu dan mencoba mengingatkan Felicia. “Fel, kenapa kita tidak bisa coba menikmati sebuah momen ini tanpa menguploadnya? Kita bisa menyimpannya dalam ingatan kita!” ucap Lila.

Felicia terdiam sejenak, merasa seperti terbangun dari mimpi. “Benar juga. Kenapa harus memikirkan apa yang orang lain lihat? Mari kita nikmati ini sepenuhnya!” jawabnya, meletakkan ponselnya dan bergabung dengan teman-temannya yang sedang bersenang-senang.

Malam itu, saat api unggun menyala dan mereka duduk berkeliling, Felicia merasakan kedamaian dalam hati. Tawa dan cerita-cerita seru mengisi malam, menghangatkan suasana lebih dari sinar api. “Ini adalah sebuah kenangan yang lebih bisa berharga dari pada foto-foto di media sosial,” bisiknya pada diri sendiri.

Felicia mulai memahami arti kebahagiaan yang sejati. Ia bertekad untuk lebih bijak dalam menyikapi media sosial, menyadari bahwa penting untuk menikmati momen tanpa harus berbagi setiap detiknya. Malam itu, Felicia tersenyum lebar, siap menghadapi tantangan baru dengan semangat yang lebih positif. Dia telah menemukan makna kebahagiaan yang lebih dalam, yang tak akan pernah tergantikan oleh apapun di dunia maya.

 

Menghadapi Tantangan dan Kebangkitan

Setelah momen berharga di pantai, Felicia merasa semangatnya semakin menggebu-gebu. Dia merasa telah menemukan kembali jati dirinya dan mengisi hidupnya dengan pengalaman nyata alih-alih sekadar scroll media sosial. Namun, perjalanan untuk bijak menyikapi media sosial tidaklah mudah, dan tantangan baru mulai muncul.

Kembali ke sekolah setelah akhir pekan yang menyenangkan, Felicia merasakan perubahan dalam dirinya. Setiap kali dia melihat ponsel, dia kini lebih hati-hati. Dia berusaha menahan diri untuk tidak membuka media sosial setiap saat, dan lebih memilih untuk berbincang langsung dengan teman-temannya. Namun, saat dia melihat teman-temannya terlibat dalam obrolan mengenai konten viral, sedikit rasa ingin tahunya muncul.

“Fel, kamu sudah lihat video yang viral itu? Semua orang membicarakannya!” tanya Dito sambil melirik ponselnya. Felicia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Belum. Aku lebih suka menikmati momen bersama kalian.” Meski begitu, ada rasa penasaran yang tak bisa dia pungkiri.

Selama beberapa hari ke depan, Felicia berusaha tetap fokus pada kehidupannya di dunia nyata. Dia aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, bergabung dengan klub sastra, dan mengikuti latihan band. Dia menikmati setiap detik, tetapi suara-suara di sekelilingnya mulai mengganggu.

Suatu hari, saat sedang berkumpul dengan teman-teman di perpustakaan, Felicia terkejut saat melihat Lila dan Dito berbincang serius. “Fel, kita mau bisa ngadain kompetisi baca puisi di sekolah, dan kita juga perlu kamu sebagai perwakilan!” seru Lila. “Aku? Kenapa?” tanya Felicia, terkejut.

“Karena kamu punya cara unik untuk mengekspresikan perasaanmu! Kamu pasti bisa menggerakkan hati banyak orang,” jawab Dito dengan semangat. Felicia merasa terhormat, tetapi di saat bersamaan, dia juga merasa cemas. “Tapi aku bukan penyair! Bagaimana kalau aku gagal?” pikirnya.

Setelah berjuang dengan perasaannya, Felicia memutuskan untuk menerima tantangan itu. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk lebih mendalami bakatnya dan menunjukkan bahwa dia bisa lebih dari sekadar seorang pengguna media sosial. Dia pun mulai menulis puisi, menggali inspirasi dari pengalaman-pengalamannya, termasuk perjalanan hidupnya dan kebijakannya menyikapi media sosial.

Saat malam tiba, Felicia duduk di meja belajarnya, dikelilingi tumpukan buku dan kertas. Dia mencoba menulis, tetapi pikiran tentang apa yang orang lain akan katakan mulai mengganggu. “Apakah puisiku akan diterima? Apakah teman-teman akan menyukainya?” Dia mulai merasa terjebak dalam keraguan.

Dengan penuh rasa frustrasi, Felicia mengambil ponselnya dan membuka media sosial. Dia melihat postingan-postingan teman-temannya tentang kebahagiaan dan pencapaian. Saat itu, Felicia merasa tertekan. “Kenapa mereka semua tampak begitu bahagia?” pikirnya, membandingkan dirinya dengan orang lain.

Namun, sesaat kemudian, ia teringat pada malam di pantai, di mana tawa dan kehangatan mengisi hati. Dia mengingat betapa berartinya saat-saat tanpa media sosial, saat ia dan teman-temannya berbagi cerita dan menciptakan kenangan. “Apa yang benar-benar penting bagiku?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Felicia menutup ponselnya dan kembali fokus pada puisinya. Dia menuliskan tentang perjalanan batinnya, tentang bagaimana media sosial bisa menjadi beban, dan bagaimana pentingnya menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri. Dia menulis dengan sepenuh hati, mengalirkan emosinya ke dalam setiap kata.

Hari H kompetisi pun tiba. Felicia merasa gugup saat melihat kerumunan yang memenuhi auditorium. Suara gemuruh dan tepuk tangan membuatnya merasa cemas. Ketika namanya dipanggil, dia melangkah ke panggung dengan hati berdebar. Semua mata tertuju padanya, dan Felicia berusaha mengendalikan napasnya.

“Selamat pagi, teman-teman. Nama saya Felicia, dan saya ingin membagikan puisi yang saya tulis tentang perjalanan saya dengan media sosial dan bagaimana saya belajar untuk mencintai diri sendiri,” ujarnya dengan suara bergetar.

Saat ia membacakan puisinya, Felicia merasakan semua emosi yang mengalir di dalam hatinya. Setiap kata terasa seperti melukiskan perjuangannya, ketidakpastian, dan akhirnya, kebangkitan. Dia melihat ekspresi wajah teman-temannya yang penuh perhatian, dan itu memberinya semangat. “Aku bisa melakukan ini,” pikirnya.

Ketika puisi itu berakhir, suasana hening sejenak sebelum akhirnya diwarnai dengan tepuk tangan riuh. Felicia merasa seolah beban yang mengganjal di dadanya menghilang. Dia tersenyum lebar, merasa bangga dengan dirinya sendiri.

Setelah acara berakhir, Lila dan Dito menghampirinya dengan penuh semangat. “Fel, kamu luar biasa! Puisi itu sangat menyentuh!” ucap Lila, memeluknya erat. Dito juga bisa menambahkan, “Aku tahu bahwa kamu bisa melakukannya!”

Felicia merasakan hangatnya dukungan dari teman-temannya, dan semua keraguan yang sempat menghantuinya seolah sirna. Dia telah melakukan sesuatu yang berarti, dan lebih dari itu, dia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Malam itu, Felicia pulang dengan hati yang ringan. Dia menyadari bahwa meski media sosial bisa menjadi tantangan, dia bisa menghadapinya dengan cara yang bijak. Dengan semangat baru, Felicia bertekad untuk terus berbagi kisahnya dan menciptakan momen-momen nyata dalam hidupnya. Kini, dia tidak hanya menjadi pengguna media sosial, tetapi juga seorang pencipta kisah yang siap menginspirasi orang lain.

 

Merajut Mimpi dan Menemukan Jati Diri

Hari-hari setelah kompetisi puisi itu penuh dengan semangat baru bagi Felicia. Dia merasa telah menemukan kembali jati dirinya, dan meskipun media sosial masih ada di sekitarnya, cara pandangnya telah berubah. Setiap kali dia membuka ponselnya, dia lebih cenderung menggunakannya untuk berbagi hal-hal positif dan menginspirasi, bukan hanya untuk scroll tanpa tujuan. Felicia mulai aktif menulis di blog pribadinya, membagikan puisi, pengalaman, dan pelajaran yang ia peroleh.

Suatu pagi, Felicia terbangun dengan ide untuk membuat sebuah acara kecil di sekolah, di mana semua siswa dapat berbagi karya sastra mereka. Ia membayangkan panggung kecil di aula, di mana teman-temannya bisa membaca puisi, bercerita, atau bahkan bernyanyi. “Ini akan jadi platform yang sempurna untuk kita semua menunjukkan bakat kita dan saling mendukung,” gumamnya pada diri sendiri.

Dengan semangat membara, Felicia mengumpulkan tim kecil dari teman-temannya: Dito, Lila, dan beberapa anggota klub sastra lainnya. Mereka bertemu di kafe kecil di dekat sekolah, suasana hangat dengan aroma kopi yang menyegarkan. “Aku ingin kita bisa mengadakan acara berbagi karya sastra! Kita bisa mengundang semua orang untuk tampil dan merayakan kreativitas kita!” ucap Felicia penuh antusias.

“Wow, itu ide yang keren, Fel! Kita bisa bikin poster dan sebarkan di media sosial,” jawab Lila dengan semangat. Namun, Felicia sedikit ragu. Dia tidak ingin acara itu hanya sekadar dipromosikan di media sosial tanpa makna lebih. “Tapi kita harus bisa memastikan bahwa ini bukan hanya cuma tentang popularitas. Kita ingin orang-orang datang karena mereka ingin berbagi dan menikmati seni, bukan hanya untuk menampilkan diri mereka di media sosial,” katanya.

Tim mereka pun sepakat. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatunya: dari konsep acara, tema, hingga siapa saja yang akan tampil. Felicia merasakan kegembiraan menyelimuti hatinya saat melihat teman-temannya antusias, dan itu memberi energi positif yang berlipat ganda.

Namun, perjuangan tidak selalu mulus. Ketika hari H semakin dekat, tantangan mulai muncul. Beberapa teman sekelas mulai meragukan acara tersebut. “Kenapa harus acara sastra? Siapa yang peduli? Coba buat acara musik atau kompetisi yang lebih menarik,” kata Sari, salah satu teman sekelas yang lebih suka hal-hal yang ‘trendi’. Felicia merasa hatinya tersentuh. Dia tahu bahwa tidak semua orang akan memahami pentingnya seni dalam kehidupan mereka.

Setelah momen tersebut, Felicia merasa bimbang. “Apakah aku melakukan hal yang salah? Apakah ini akan jadi gagal?” pikirnya, jiwanya mulai diliputi rasa takut. Di malam harinya, Felicia duduk di ranjang sambil merenung. Dia memikirkan semua yang telah mereka kerjakan, semua kerja keras dan impian yang telah mereka bangun. Dia menyadari bahwa jika dia berhenti sekarang, maka semua itu akan sia-sia.

Dengan tekad baru, Felicia memutuskan untuk menulis sebuah puisi tentang perjuangannya menghadapi keraguan. Dalam puisinya, ia mengekspresikan rasa cintanya pada seni dan bagaimana seni bisa menjadi pelarian dan inspirasi bagi banyak orang. Ia menambahkan bahwa setiap orang memiliki suara dan cerita yang layak didengar, terlepas dari apa pun pendapat orang lain.

Ketika hari acara tiba, Felicia merasakan campuran antara kecemasan dan kegembiraan. Aula sekolah dihias dengan poster-poster indah yang mereka buat bersama, dan suasana terasa hidup dengan energi positif. Dito dan Lila berusaha menghiburnya saat melihat Felicia terlihat gugup. “Jangan khawatir, Fel! Ini adalah momen kita. Semua orang di sini ingin mendengarkan kita,” kata Dito, memberi semangat.

Setelah beberapa penampilan yang mengesankan dari teman-teman mereka, saatnya bagi Felicia untuk tampil. Dia berdiri di depan mic, merasakan semua mata tertuju padanya. Hatinya berdebar, tetapi ia ingat pesan dalam puisinya sendiri. “Ini bukan tentang penilaian, tetapi tentang berbagi.”

Dengan suara yang sedikit bergetar, Felicia mulai membacakan puisinya. Setiap kata mengalir penuh emosi, dan saat ia menyelesaikan, dia merasakan keheningan sejenak di aula. Kemudian, tepuk tangan riuh menggema, menandakan bahwa pesan yang ia sampaikan diterima dengan baik. Rasa cemas yang sempat menghantuinya menguap seketika, digantikan oleh rasa bangga dan bahagia.

Setelah acara selesai, teman-teman mendekatinya, dan mereka saling berpelukan. “Fel, kamu luar biasa! Terima kasih telah membuat ini terjadi,” kata Lila sambil tersenyum lebar. Felicia merasa seolah semua perjuangan dan rasa ragu yang ia alami seolah sirna begitu saja, dan yang tersisa adalah kebahagiaan yang tulus.

Dalam beberapa minggu setelah acara itu, Felicia merasa hidupnya dipenuhi dengan keajaiban. Dia belajar untuk lebih menghargai seni dan bagaimana ia bisa menjadi alat untuk menyampaikan pesan dan menghubungkan orang-orang. Kini, saat dia membuka media sosialnya, dia lebih sering membagikan hal-hal positif, seperti momen indah bersama teman-teman, puisi yang ditulisnya, dan cerita-cerita inspiratif lainnya.

Felicia menyadari bahwa bijak menyikapi media sosial bukan hanya tentang mengurangi penggunaannya, tetapi juga tentang menggunakan platform tersebut untuk menyebarkan kebaikan dan inspirasi. Ia menjadi semakin aktif dalam klub sastra dan mulai mengajar teman-temannya cara menulis dengan baik.

Malam itu, saat dia terbaring di tempat tidurnya, Felicia merasa puas. Dia telah menemukan cara untuk menggabungkan passion-nya dengan kehidupan sehari-hari, dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang dan tidak pernah takut untuk berbagi kisahnya. Kini, dia siap untuk mengarungi dunia dengan semangat baru, menciptakan momen-momen berarti, dan menunjukkan kepada dunia bahwa setiap orang memiliki cerita yang layak untuk diceritakan.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen ditas? Nah, itu dia perjalanan seru Felicia dalam mengatasi tantangan di dunia media sosial dan menemukan jati diri melalui sastra. Kisahnya mengingatkan kita bahwa meskipun media sosial bisa menjadi tempat yang penuh tekanan, kita masih bisa menggunakan platform itu untuk menyebarkan inspirasi dan kebaikan. Yuk, terus gali kreativitas kita dan jangan ragu untuk berbagi cerita! Siapa tahu, cerita kita bisa menginspirasi orang lain, seperti Felicia yang berani menunjukkan suaranya. Jadi, siap untuk merajut mimpi dan menciptakan dampak positif di sekeliling kita? Let’s go!

Leave a Reply