Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa jadi anak yang dianggap “nakal” cuma gara-gara beda cara mikir? Nah, di cerpen ini kamu bakal diajak ngikutin kisah Zairan—bocah pemberontak yang justru nemuin pintu ke dunia lain gara-gara kenakalannya sendiri.
Tapi ini bukan kisah fantasi biasa, bro. Ceritanya panjang, detail, dan penuh warna, literally! Ada langit yang bisa denger suara hati, dunia bernama Astraeum yang indah gila, dan transformasi seorang remaja jadi sosok yang ngubah banyak orang.
Fantasi Nakal Dulu Baru Sukses
Jejak Liar di Tembok Kota
Zairan Arkave bukan tipe anak muda yang suka dilihat duduk manis di bangku kelas. Dari luar, dia seperti segelintir bocah SMA yang males mandi pagi—rambut awut-awutan, seragam yang dipakai bukan buat belajar tapi buat gaya, dan sepatu penuh coretan nama-nama band metal yang udah bubar. Tapi siapa pun yang pernah ngobrol lebih dari lima menit dengannya tahu: otaknya gak main-main.
Ia nggak suka pelajaran bukan karena dia bodoh. Justru sebaliknya. Ia merasa terlalu banyak hal di sekolah yang nggak masuk akal buat dipatuhi.
“Kalau aku diem dengerin guru ngomong dua jam, tapi satu kalimat pun gak masuk ke kepala, itu berarti bukan aku yang salah. Bisa aja caranya yang nyebelin,” katanya sekali waktu ke temannya, Nirval, saat duduk di bawah pohon mangga belakang lab biologi—tempat favorit mereka ngilang pas jam kosong.
Nirval hanya nyengir sambil melempar batu kecil ke semak. “Tapi kamu gak capek dicap anak bermasalah terus, Ran?”
Zairan angkat bahu. “Aku lebih capek pura-pura jadi orang baik padahal otakku udah jerit-jerit minta keluar dari kelas.”
Itu alasan kenapa Zairan lebih dikenal sebagai si tukang bikin ulah. Tapi ulahnya beda. Bukan jenis kenakalan yang bikin orang nangis atau rugi. Lebih sering malah bikin guru angkat alis sambil nahan tawa.
Suatu pagi, saat upacara hari Senin, lagu Indonesia Raya tiba-tiba berubah jadi campuran remix dengan beat lo-fi dan suara “woi bangun woi” dari video viral TikTok. Semua murid kaget, sebagian ngakak, dan beberapa guru pura-pura kesal tapi senyum-senyum. Siapa pelakunya? Ya, siapa lagi kalau bukan Zairan, yang secara diam-diam nyusup ke ruang tata usaha semalam sebelumnya, bawa flashdisk dan ide gila.
Dia juga pernah mengganti tulisan papan mading “Motivasi Hari Ini” jadi “Jangan Percaya Motivasi—Percaya Diri Aja Susah”. Yang aneh, mading itu malah jadi tempat paling rame dibaca selama dua minggu.
Buat Zairan, semua itu bukan sekadar iseng. Itu bentuk kritik. Tapi dengan cara yang… nyeleneh.
Tiap malam, dia selalu bawa spidol hitam dan buku sketsa kecil ke mana pun. Dinding kosong, tiang listrik, tembok belakang minimarket—semuanya bisa jadi kanvas buat coretannya. Bukan vandalisme asal. Tapi kutipan liar yang dia tulis dengan gaya khasnya:
“Hidup ini bukan soal nilai, tapi soal nyali.”
“Kalau kamu gak ngerti pelajaran, mungkin pelajarannya yang perlu diajarin ulang.”
“Revolusi bisa dimulai dari seragam yang kamu jahit sendiri.”
Tapi bukan berarti hidupnya mulus.
Di rumah, ibunya, Bu Tira, yang kerja sebagai guru TK, sering menghela napas panjang. Meski jarang marah, raut wajah lelahnya udah cukup jadi tamparan harian buat Zairan.
“Ran… kamu mau sampai kapan begini?” tanya ibunya suatu malam, saat Zairan baru pulang dari nongkrong sambil bawa gitar butut.
“Maksudnya?” Zairan meletakkan gitar dan duduk di lantai, membuka bungkusan nasi goreng.
“Kamu anak pinter. Tapi kamu muter terus kayak ngelawan semua hal. Dunia gak akan selalu sabar nunggu kamu nemuin caramu sendiri.”
Zairan diam sebentar. “Aku gak muter, Bu. Aku cuma gak mau jadi bagian dari jalan yang orang lain anggap ‘bener’ cuma karena semua orang lewatin.”
Bu Tira hanya mengangguk pelan. Dia sudah tahu anaknya bukan tipe yang bisa dipaksa. Tapi dia juga tahu, Zairan bukan pecundang.
Di sekolah, semakin hari nama Zairan makin sering disebut—bukan karena prestasi, tapi karena kenakalannya yang “berkelas”. Kepala sekolah, Pak Riko, bahkan udah setengah menyerah.
“Zairan… kamu tahu gak, kamu ini kombinasi antara musibah dan masterpiece,” kata Pak Riko suatu siang, sambil menatap Zairan dari balik meja ruang BK.
“Kalau masterpiece, berarti gak sepenuhnya musibah dong, Pak,” jawab Zairan sambil nyengir.
Pak Riko menghela napas sambil mengusap jidatnya. “Kamu harus mulai pikirin masa depan. Dunia luar lebih keras dari sekolah ini.”
Zairan tidak menjawab. Tapi malam itu, ia menulis sesuatu di tembok samping gedung tua yang hampir rubuh:
“Dunia keras bukan karena kita lemah, tapi karena kita belum tahu pintu keluarnya.”
Coretan itu jadi penutup fase terakhir kenakalan Zairan di masa sekolah.
Beberapa minggu kemudian, ia lulus. Tanpa medali. Tanpa perpisahan yang heboh. Tapi semua orang ingat siapa dia. Murid yang pernah menyabotase jam pelajaran Matematika dengan cara menjebak guru dalam teka-teki labirin sketsa. Anak yang sekali waktu menyulap kelas IPS jadi studio seni mini. Dan satu-satunya siswa yang bikin semua pengawas Ujian Nasional deg-degan karena terlalu tenang saat ngerjain soal—karena katanya “jawaban itu cuma bonus, yang penting aku ngerti pertanyaannya.”
Setelah lulus, Zairan gak langsung kuliah. Dia ambil jalan yang dia sebut “rute liar”.
Ia ngamen, jadi ilustrator lepas, ikut komunitas seni jalanan, bahkan jadi penjaga warnet malam buat nyari duit. Tapi semua itu dia jalani sambil terus nyoret, nyanyi, dan ngelukis mimpi yang belum jelas bentuknya.
Hidupnya seakan digerakkan oleh sesuatu yang lebih besar, tapi belum kelihatan.
Sampai suatu malam hujan, saat dia memutuskan jalan kaki ke sebuah bukit kecil di luar kota. Tempat yang kata orang-orang, terlarang. Tapi Zairan nggak percaya larangan. Buatnya, semua tempat layak didatangi… kalau hati penasaran dan langkah belum takut.
Dan dari sinilah, sesuatu yang tak biasa mulai terjadi.
Sesuatu yang akan membawa Zairan jauh lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan.
Bukit Terlarang dan Gitar Reyot
Langit malam itu gelap, tapi nggak sepenuhnya kelam. Ada semburat cahaya jingga samar di balik awan, seolah matahari malas belum sepenuhnya pergi. Hujan turun ringan, seperti rintik pelan dari teko tua. Jalanan berbatu menuju bukit licin, tapi langkah Zairan mantap, seperti sudah hafal ritmenya.
Di punggungnya, gitar reyot digendong pakai tali tambang bekas. Suaranya berderak tiap kali Zairan melangkah, seolah ikut bicara. Tangannya menggenggam buku sketsa lusuh yang isinya setengah penuh dengan coretan liar, setengah lagi dengan halaman kosong yang menunggu diisi sesuatu.
Bukit itu, yang disebut warga sekitar sebagai Bukit Kelam, sudah lama dijauhi. Anak-anak dilarang main ke sana. Katanya, dulu pernah ada pendaki yang hilang. Tapi bagi Zairan, tempat yang dilarang justru selalu punya daya tarik aneh. Ia bukan nekat, cuma nggak pernah bisa diam kalau rasa penasaran mulai bicara.
“Kalau kamu nemuin harta karun, kabarin ya, bro,” kata Nirval sore tadi, waktu Zairan bilang mau jalan ke bukit itu sendirian.
“Kalau aku gak balik, tolong hapus history pencarianku di warnet,” jawab Zairan santai, lalu mereka ketawa keras-keras di pinggir warung kopi.
Sekarang, suara tawa itu tinggal jadi gema samar dalam kepala. Yang ada hanya angin dan suara hujan kecil menari di daun-daun. Semakin naik, semakin sunyi. Pohon-pohon menjulang seperti penonton diam yang mengawasi, dan udara mulai berbau tanah basah yang dalam.
Zairan berhenti sejenak di batu besar dekat puncak. Ia duduk, mengeluarkan rokok linting sendiri dari saku celana, menyalakannya pelan, lalu menatap ke arah kota di bawah. Lampu-lampu terlihat seperti semut yang berpencar, sibuk, dan tidak tahu mereka sedang diawasi.
“Capek ngikutin arah yang sama terus, ya,” gumamnya pada diri sendiri.
Begitu rokok habis, ia berdiri. Tapi sebelum ia lanjut melangkah, sesuatu membuatnya terdiam.
Ada cahaya aneh. Bukan dari lampu. Warnanya emas, tapi tidak menyilaukan. Bentuknya melingkar seperti simbol matahari, dan berada tepat di antara celah dua pohon tua yang berdiri berdampingan. Seakan dua penjaga yang menjaga pintu, tapi lupa menutupnya.
Zairan maju perlahan. Cahaya itu berdenyut lembut, seperti jantung raksasa yang sedang tidur. Tidak panas, tidak berbahaya, tapi mengundang.
Saat ia melangkah lebih dekat, gitar di punggungnya bergetar ringan. Buku sketsa di tangannya membuka sendiri, seperti tertiup angin yang nggak berasal dari bumi ini. Halaman terakhir yang kosong mulai dipenuhi garis-garis tinta—bergerak sendiri. Membentuk gambar yang belum pernah ia gambar. Padang luas berwarna biru kehijauan. Menara dari cahaya. Dan langit yang bergelombang.
“Ini… apaan sih?” gumamnya, setengah kagum, setengah takut.
Tapi bukan Zairan namanya kalau mundur hanya karena sesuatu terasa aneh. Dia tarik napas panjang, lalu melangkah masuk ke dalam cahaya itu.
Begitu kakinya menyentuh pusat lingkaran, semua suara berhenti. Angin lenyap. Hujan hilang. Bahkan detak jantungnya pun seakan ikut tertahan.
Lalu, sekejap setelahnya, semuanya meledak jadi hening yang indah.
Ia berdiri di tanah yang bukan tanah. Warnanya seperti gabungan antara pasir dan awan. Udara di sekitarnya hangat, tapi tidak menyengat. Jauh di sana, langit bergelombang seperti laut yang tenang, berwarna biru tua dengan kilatan hijau dan ungu. Awan melayang rendah, padat, dan perlahan berubah bentuk menjadi hewan-hewan besar yang tidak ia kenali.
Di bawah kakinya, bunga-bunga kecil berwarna biru transparan bermekaran, dan setiap kali ia melangkah, bunga-bunga itu seperti menari pelan, mengeluarkan nada-nada halus yang tidak berasal dari instrumen mana pun.
Di kejauhan, kota-kota terapung melayang. Bentuknya tidak simetris, tapi menenangkan. Beberapa melingkar seperti donat raksasa, beberapa seperti rumah-rumah dari kaca yang meneteskan cahaya.
Zairan tidak takut. Aneh memang. Tapi yang ia rasakan justru… damai. Seperti sudah pernah ke sini, tapi lupa.
“Selamat datang, Pengembara Cahaya yang Hilang,” sebuah suara terdengar dari belakangnya. Lembut, tapi tegas.
Ia menoleh. Seorang perempuan berdiri tak jauh. Kulitnya pucat seperti marmer, rambutnya panjang berwarna perak kebiruan. Ia memakai jubah tipis yang seperti terbuat dari kabut pagi. Dan matanya… matanya perak, tapi hidup. Seolah menyimpan langit dalam sorotnya.
“Aku… pengembara?” Zairan mengernyit. “Aku cuma… jalan ke bukit. Aku bahkan gak yakin aku gak mimpi.”
Perempuan itu tersenyum. “Nama tempat ini Astraeum. Dan kamu tidak bermimpi.”
Zairan melirik sekeliling lagi. “Oke, kalau ini bukan mimpi, mungkin ini… overdosis kopi?”
“Astraeum hanya bisa ditemukan oleh mereka yang pernah hilang—tapi tidak menyerah. Yang tersesat, tapi tidak mati rasa,” ucap perempuan itu sambil mendekat. “Dan kamu… kamu sudah lama dicari.”
“Aku Zairan,” katanya, bingung harus ngomong apa lagi.
“Aku Nira,” jawabnya, “penjaga Gerbang Timur. Dan kamu, Zairan Arkave, membawa jejak dunia lamamu yang langka. Dunia kami mengenalnya sebagai ‘gema liar’—jejak seni, makna, dan kebebasan yang belum tersusun. Kamu mengeluarkannya lewat kata-kata di dinding, lewat nada dari gitar tuamu, dan lewat pikiran yang selalu menolak tunduk pada dunia yang kaku.”
Zairan menatap langit. Sebuah paus raksasa dari awan melayang di atas mereka, bergerak anggun tanpa suara.
“Jadi… aku masuk dunia lain karena aku… nakal?”
“Bukan nakal,” koreksi Nira. “Kamu melawan dengan cara yang jujur. Dan itu cukup untuk membuka pintu.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Zairan tidak merasa aneh. Tidak merasa salah. Ia merasa… utuh.
Dan di dunia baru yang indah ini, ia akan menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pelarian dari dunia lama.
Astraeum, Dunia yang Mendengar Hati
Langkah Zairan menyusuri padang luas berwarna lembayung terasa ringan, seolah tubuhnya tak lagi digerakkan oleh otot, tapi oleh perasaan. Sejak melewati gerbang cahaya, dunia ini terasa seperti karya seni yang hidup. Angin mengalun dalam nada, dan tanah memancarkan kehangatan yang bikin hati tenang.
Nira berjalan di sampingnya, jubahnya mengepul seperti kabut pagi yang tak pernah benar-benar menghilang. Mereka tidak banyak bicara, tapi suasananya tidak canggung. Astraeum seakan tahu kapan harus diam dan kapan harus bicara.
“Setiap langkahmu di sini akan menggambarkan dirimu,” ucap Nira tiba-tiba. “Tempat ini bukan sekadar dunia lain. Ini cermin. Tapi bukan cermin wajah, melainkan cermin hati.”
Zairan menatap hamparan bunga transparan yang menyala lembut di bawah kakinya. Setiap kali ia melangkah, bunga-bunga itu berganti warna. Merah hangat, biru dalam, emas bersinar.
“Jadi kalau aku bohong… bunga-bunga ini bakal berubah warna?” tanyanya, setengah bercanda.
Nira tersenyum. “Bukan bunga yang akan berubah. Tapi langit di atasmu.”
Zairan menengadah. Langit Astraeum berubah perlahan, dari biru tua ke warna kehijauan, lalu kembali lagi. Tenang, mengambang. Tidak seperti langit dunia lamanya yang selalu tampak jauh dan tidak peduli. Di sini, langit seperti ikut bernapas bersamanya.
Mereka sampai di dataran luas dengan lingkaran batu besar di tengahnya. Di atas lingkaran itu, ada benda seperti menara pendek yang ujungnya bercahaya lembut. Di sekelilingnya, beberapa sosok duduk bersila. Mereka semua berpakaian berbeda, tak ada yang seragam. Ada yang mengenakan kain dari cahaya, ada yang mengenakan baju compang-camping seperti pelukis jalanan, dan satu pria tua dengan tubuh penuh tato bergerak.
Nira memberi isyarat agar Zairan duduk di tengah lingkaran. Pria tua bertato menatapnya sambil tertawa kecil.
“Anak baru ya? Tampangmu masih bau bumi,” katanya. Suaranya berat, tapi tidak galak.
“Aku Zairan. Dikirim lewat cahaya,” jawabnya santai.
“Cocok,” ujar si pria. “Aku Amar. Dulu aku juga ‘nakal’ sepertimu. Bedanya, aku dulu nge-hack satelit, kamu cuma ngerusak mading sekolah.”
Orang-orang di sekitar tertawa pelan. Tapi tawa mereka tidak mengejek. Hangat. Seperti keluarga yang sudah lama saling kenal.
Zairan duduk bersila. “Tempat ini… ngumpulin orang-orang kayak kita semua?”
Nira menjawab, “Astraeum tidak memilih. Ia ditemukan oleh mereka yang cukup berani untuk jujur pada dirinya sendiri.”
Lalu, dari dalam lingkaran batu, muncul cahaya kecil—seperti proyektor dari zaman kuno. Tapi yang ditampilkan bukan gambar, melainkan emosi. Perasaan yang wujud. Warna yang bicara. Suara yang membentuk bentuk.
Zairan terdiam saat melihat sebuah kenangan dari masa kecilnya muncul di depan semua orang. Ia kecil, berdiri di depan ayahnya yang marah karena ia mencorat-coret dinding rumah.
“Kamu bikin malu keluarga, Zairan!”
“Tapi… aku cuma pengen nunjukin gambar yang ada di kepala aku…”
Kilatan kenangan itu menghilang. Zairan menghela napas.
Amar menepuk bahunya. “Di sini, semua kenanganmu akan jadi bahan baku. Untuk membangun siapa kamu berikutnya.”
Setelah upacara itu selesai, Nira membawa Zairan ke sebuah tempat yang tampak seperti rumah kecil dari kaca. Tapi bukan kaca biasa. Dindingnya transparan, namun bukan sekadar tembus pandang. Ia seperti… menyimpan gema suara hati. Di dalam rumah itu, ada alat-alat aneh. Beberapa mirip instrumen musik, tapi bentuknya abstrak. Ada gitar dengan senar dari cahaya. Ada alat tiup yang berbentuk seperti spiral api. Ada pula kuas yang melayang-layang tanpa disentuh.
“Ini rumahmu. Atau lebih tepatnya… tempat kamu membentuk ulang dirimu,” kata Nira sambil menyerahkan benda seperti batu kecil berpendar lembut.
“Apa ini?”
“Pusat Panggilan. Kamu bisa gunakan ini untuk memanggil mentor, atau meminta Astraeum menunjukkan arah… kalau kamu tersesat.”
Zairan menggenggam batu itu. Rasanya seperti menyentuh denyut nadi dunia. Lalu ia berjalan mendekati gitar cahaya. Ia menyentuh satu senar. Nada yang keluar tidak seperti suara gitar biasa. Tapi seperti bunyi tawa temannya, Nirval, waktu mereka iseng pasang poster “UTBK dibatalkan karena cuaca”.
“Aku bisa mainkan ini?” tanyanya.
“Kamu tidak memainkan alat itu. Kamu membuka memorimu, dan biarkan ia menyuarakannya,” jawab Nira sebelum menghilang dalam bias cahaya.
Malam itu, Zairan memainkan nada demi nada yang bukan berasal dari teknik, tapi dari kenangan. Tangan kanannya membentuk irama saat ia teringat ibunya yang terus sabar walau sering kecewa. Senar berikutnya menyalakan tawa lama bersama Nirval. Lalu senar terakhir… membuka tangis yang ia tahan bertahun-tahun.
Langit Astraeum di atas rumah kaca itu bergelombang pelan, berkilau.
Dan untuk pertama kalinya, Zairan merasa… suaranya benar-benar didengar.
Bukan sebagai siswa bermasalah.
Bukan anak nakal.
Tapi sebagai dirinya. Sepenuhnya.
Dan ia belum tahu, bahwa besok pagi, dunia ini akan menawarkan lebih dari sekadar tempat bersembunyi. Astraeum akan menantangnya… untuk memimpin.
Pulang dengan Warna Baru
Pagi datang tanpa matahari.
Tapi cahaya tetap hadir. Astraeum menyambut hari dengan alunan warna. Langit memutar musiknya sendiri—gelombang ungu, hijau laut, dan kuning madu menari bersama embusan angin yang lembut. Dunia ini hidup, bukan hanya karena makhluk yang mengisinya, tapi karena perasaan yang jujur mengalir bebas.
Zairan berdiri di pinggir tebing transparan, memandangi lautan awan yang berputar perlahan di bawah. Di belakangnya, rumah kaca miliknya bersinar hangat, mengingatkan bahwa tempat itu pernah menampung tangis yang tak pernah bisa keluar di bumi.
Hari itu, ia tidak sendiri.
Nira berdiri di sisinya, membawa gulungan tipis yang terbuat dari cahaya. Ia menyerahkannya dengan tenang.
“Ini bukan perintah. Tapi undangan,” ucapnya.
Zairan membuka gulungan itu. Bukan tulisan, tapi gambaran. Sosok dirinya sendiri—berdiri di sebuah taman kota yang rusak, memegang kuas bercahaya di satu tangan, dan gitar di tangan lain. Orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Mata mereka menyala, bukan karena silau, tapi karena tersentuh.
“Aku kembali?” tanyanya pelan.
“Kembali bukan berarti mengulang,” jawab Nira. “Tapi membawa sesuatu yang baru.”
Zairan menelan ludah. Perasaan yang datang bukan ketakutan, tapi berat. Seperti seseorang yang menemukan rumahnya di tempat asing… tapi tahu, ia harus kembali karena rumah lamanya sedang terbakar pelan-pelan, tanpa ada yang memadamkan.
Amar muncul dari balik batu besar, membungkuk pelan sambil melempar sesuatu. Gitar tua—gitar milik Zairan yang dulu, sekarang berubah. Kayunya tetap reyot, tapi senarnya menyala lembut, dan di bagian belakangnya terukir simbol lingkaran cahaya yang dulu ia lihat di Bukit Kelam.
“Bawalah itu,” kata Amar. “Dunia lamamu belum mati. Ia cuma butuh suara yang berani untuk menghidupkan ulang nadanya.”
Langkah Zairan menyusuri jalur cahaya yang perlahan terbuka di depan mereka. Tanah berubah jadi kilauan seperti kaca air, mengarah ke pusaran kecil di ujung jalan. Di sana, gerbang ke dunia lama menunggu—bukan lagi berbentuk lingkaran emas, tapi retakan cahaya di udara, seperti lukisan abstrak yang belum selesai.
Ia berhenti sejenak di depan celah itu, lalu menoleh.
“Kamu bakal ada di sini… kalau aku butuh balik lagi?” tanyanya pada Nira.
“Kami nggak pernah pergi. Hanya menunggu dipanggil,” jawab Nira.
Zairan tertawa kecil. “Kayak warnet tengah malam, ya.”
“Bedanya… kami gak minta deposit duluan.”
Tawa kecil mewarnai perpisahan itu. Hangat. Seperti peluk dari jauh.
Zairan melangkah masuk ke celah cahaya.
**
Ia jatuh di tengah lapangan tua di pinggir kota, tempat anak-anak biasanya main bola. Matahari sore menyambutnya seperti teman lama yang masih ingat. Napasnya berat, tapi tubuhnya utuh. Tangannya masih menggenggam gitar. Buku sketsa—sekarang penuh dengan warna dan simbol aneh—masih di ranselnya.
Suara klakson dari jalan raya menyadarkannya kalau ia benar-benar kembali. Kota masih semrawut. Orang-orang masih sibuk mengejar sesuatu yang bahkan nggak mereka tahu. Tapi Zairan tidak merasa asing. Kali ini, ia tahu apa yang ia bawa.
Beberapa hari kemudian, ia kembali ke sekolah lamanya. Gedungnya masih penuh coretan, tapi tidak ada satu pun yang berbicara. Semua hanya jadi simbol mati. Ia berdiri di depan tembok belakang, lalu membuka kuas dari dalam tasnya—kuas yang melayang pelan, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Ia mulai melukis.
Tapi bukan sekadar gambar. Ia memanggil ulang Astraeum. Ia tuangkan warna-warna yang dulu cuma ia lihat waktu tidur. Anak-anak yang lewat berhenti, melihat diam-diam. Lalu perlahan, satu demi satu dari mereka ikut menggambar. Ada yang pakai krayon, ada yang pakai jari.
Dalam seminggu, tembok itu berubah. Jadi galeri jalanan.
Berita menyebar. Orang-orang mulai datang. Bukan cuma untuk lihat, tapi untuk belajar. Gitar Zairan dipinjam anak-anak yang gak pernah pegang alat musik sebelumnya. Suaranya aneh, tapi jujur. Dan kota itu… perlahan berubah.
Zairan gak pernah cari panggung. Tapi justru karena itu, panggung datang ke dia.
Ia diminta berbicara di acara kesenian, diminta ngajar mural di SMA, bahkan diminta jadi pembicara di pertemuan seni kota. Semua datang bukan karena nilai, tapi karena nyawa yang ia kasih ke setiap warna, setiap nada.
Dan di malam-malam tertentu, kalau ia sendirian di atap rumah… langit berubah sedikit. Kadang muncul kilatan hijau, atau bentuk paus awan lewat pelan. Dan ia tahu, Astraeum masih ada. Masih menunggu.
Zairan pernah dicap nakal, liar, bahkan gagal. Tapi ia tidak menghapus masa lalunya. Ia melukis di atasnya. Dan dari situ, lahirlah sesuatu yang tidak hanya indah… tapi hidup.
TAMAT.
Akhirnya, kisah Zairan nunjukin satu hal penting: kadang yang kita butuhin bukan jadi sempurna dari awal, tapi berani jujur sama diri sendiri dan gak takut berubah.
Kenakalan bukan akhir dari segalanya—bisa jadi itu justru pintu pertama menuju versi terbaik diri kita. Jadi kalau kamu pernah dicap ‘beda’ atau ‘nakal’, ingat aja… mungkin kamu lagi jalan menuju “dunia lain” versimu sendiri. Dan siapa tahu, langit yang kamu cari… lagi nunggu kamu buat datang.