Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasain gimana rasanya punya sahabat yang selalu ada buat kamu, dari mulai ujian, kebingungan masa depan, sampai masalah pribadi yang bikin pusing? Empat Musim di Koridor 3A bakal bawa kamu merasakan perjalanan seru dan penuh emosi dalam persahabatan yang terjalin di SMA.
Cerita ini nggak cuma sekedar tentang sekolah, tapi juga tentang bagaimana mereka saling menguatkan di setiap musim yang datang, baik hujan maupun panas. Yuk, simak kisah persahabatan yang penuh tawa, air mata, dan harapan ini!
Empat Musim di Koridor 3A
Pertemuan yang Tak Terduga
Hari itu cuaca di luar seakan memberi isyarat bahwa segala sesuatu yang akan terjadi di sekolah tidak akan berjalan biasa. Hujan yang turun tiba-tiba, begitu deras dan lebat, membuat para siswa di SMA Mandala Bhakti berlarian mencari tempat berteduh. Di antara gedung utama yang rapat dan lapangan basket yang terbuka, ada sebuah tangga kecil yang jarang dilewati. Tangga yang biasanya kosong, kini dipenuhi oleh siswa yang terjebak dalam hujan.
Ayyanara, yang sejak pagi tidak terlalu semangat, berdiri di bawah tangga itu, mencoba melindungi buku sketsanya dengan tangan yang hampir basah. Hujan tak kunjung reda. Ia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi ibunya, tapi sinyal di tempat ini memang selalu menghilang begitu saja. Di sekitarnya, beberapa siswa tampak gelisah, berbicara dengan suara keras karena tidak ada tempat lain yang lebih nyaman.
Tapi Ayyanara hanya ingin tetap diam di tempat itu, menunggu hingga hujan mereda, sambil mengamati tetesan air yang jatuh dengan ritme yang hampir bisa ia ikuti.
Tak lama, sebuah suara bersin tiba-tiba memecah keheningan. “Hachhii!” Bunyi keras yang menggema dari belakangnya membuat Ayyanara terlonjak.
Dia berbalik, hanya untuk melihat Bimaastra, anak laki-laki yang selalu berada di tim basket, sedang berdiri sambil menutupi hidungnya dengan tangan. Tangan itu basah, begitu juga dengan rambutnya yang tergenang air hujan.
“Heh, maaf,” kata Bimaastra sambil terkikik, jelas merasa canggung. “Tapi… aku nggak tahan. Hujannya terlalu deras.”
Ayyanara hanya mengangkat alis, sedikit tersenyum, tetapi tak mengatakan apa-apa. Hujan memang sangat lebat, dan Bimaastra selalu berusaha untuk terlihat cuek, meskipun dia tidak pernah bisa menahan ledakan dari tubuhnya.
Bimaastra bergeser sedikit, melihat sekelilingnya, lalu duduk di tangga yang ada di sebelah Ayyanara. “Kamu sendirian di sini?” tanya Bimaastra, sepertinya mencari obrolan untuk mengalihkan perhatian dari hujan yang mengguyur.
Ayyanara mengangguk pelan, “Iya, cuma mau nyantai aja. Hujan gini enak buat mikir.”
Bimaastra tertawa kecil, “Tapi nggak bisa santai kalau hujan begini, kan? Semua orang pada nyari tempat berteduh, aku malah ketemu kamu di sini.”
Ayyanara menoleh ke arahnya, sedikit bingung. “Iya juga ya, nggak tahu kenapa aku malah pilih tempat ini. Kayak… lebih nyaman aja di sini, meski basah.”
Tak lama, mereka dikejutkan dengan suara berderak. Ada dua orang lagi yang tampaknya juga terjebak di situ. Raneeta, dengan tas kamera besar di punggungnya, muncul dari balik sudut gedung sambil tertawa kecil, diikuti Zafiel yang membawa buku catatan tebal.
Raneeta tersenyum lebar saat melihat mereka. “Hah, akhirnya ada yang nemu tempat berteduh di sini!” katanya sambil menyentuh rambutnya yang basah kuyup. “Aku kira cuma aku doang yang tahu tempat ini.”
Zafiel yang berjalan dengan langkah tenang ikut mendekat, melihat keadaan di sekitar mereka. “Kenapa ya, setiap kali hujan, pasti selalu ketemu orang-orang yang aku nggak sangka bakal ketemu,” ujarnya sambil mengangguk ke arah Bimaastra.
“Eh, kalian mau berteduh di sini juga?” tanya Ayyanara, memandang kedua orang itu dengan bingung. Sejujurnya, tempat ini bukanlah tempat yang ideal untuk bersembunyi dari hujan, apalagi dengan tumpukan tas dan buku yang ada di sekitar mereka.
Raneeta mengangguk, “Jelas, ini tempat yang pas! Lagian, siapa yang mau ketemu orang yang selalu buru-buru masuk kelas saat hujan? Aku lebih suka menunggu di sini aja.”
Zafiel duduk di sebelah Ayyanara, membuka bukunya, dan terlihat sedikit serius meski suasana di sekelilingnya agak santai. “Yaudah deh, kalau gitu kita di sini aja sampai hujannya reda. Malas banget nih nunggu di tempat ramai.”
Suasana jadi lebih ringan setelah mereka semua duduk bersama. Bimaastra kemudian berusaha membuat obrolan lebih hidup. “Ngomong-ngomong, Ayyanara, kenapa sih kamu lebih suka duduk sendirian? Kayak… nggak keliatan banget kalau lagi butuh teman ngobrol.”
Ayyanara menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu. “Nggak juga sih. Aku cuma suka diam kalau lagi mikir. Kadang banyak yang nggak ngerti kalau aku lagi fokus, jadi ya, lebih enak kalau sendiri.”
“Tapi kalau kamu terus-terusan sendiri, kamu nggak bakal nemuin orang-orang yang bisa jadi teman ngobrol,” sahut Raneeta sambil tersenyum licik. “Misalnya aja aku, yang nggak pernah ngebosenin ngobrolin apa aja.”
Bimaastra tertawa mendengar itu, kemudian menoleh ke Zafiel. “Tapi Zafiel, kayaknya orang yang paling nggak bisa diandalkan buat ngobrol serius. Coba deh tanya, siapa yang baca buku tebal kayak dia.”
Zafiel hanya mengangkat bahu, tetap tenang. “Buku itu lebih bisa ngajarin aku sesuatu daripada obrolan nggak penting. Tapi kalian bener, kalau terus-terusan begini juga nggak seru.”
Ayyanara yang mendengar itu, kemudian tersenyum. Ternyata, pertemuan tak terduga ini membawa sebuah kenangan yang baru. Keempatnya, yang awalnya asing, kini mulai merasa ada kenyamanan dalam kebersamaan. Mereka tertawa, berbicara tentang hal-hal kecil, tentang bagaimana hari-hari SMA mereka terasa begitu berlalu begitu saja.
“Eh, kalian tahu nggak?” kata Bimaastra dengan serius. “Kalau kita ketemu di sini, mungkin itu tanda kita bakal jadi teman. Gimana kalau kita mulai sering nongkrong bareng?”
Ayyanara menatapnya, lalu berpikir sejenak. “Kenapa enggak? Lagian, siapa tahu nanti bisa jadi kebiasaan.”
Dengan anggukan kecil, mereka akhirnya sepakat. Siapa sangka, pertemuan tak terduga di bawah tangga sekolah itu menjadi titik awal sebuah persahabatan yang penuh warna. Mereka tidak tahu ke mana arah persahabatan itu akan mengarah, tapi yang pasti, sejak saat itu, hari-hari mereka di SMA Mandala Bhakti tidak akan pernah sama lagi.
Musim Tawa dan Mimpi
Musim kedua di SMA Mandala Bhakti datang dengan segala kerumitannya. Setelah pertemuan tak terduga di bawah tangga, kebersamaan mereka menjadi semakin erat. Tanpa disadari, kebiasaan baru terbentuk—makan siang bersama, ngerjain PR bareng, bahkan sering nongkrong di tempat-tempat yang nggak pernah mereka kunjungi sebelumnya. Raneeta dengan ide-idenya yang selalu out of the box, sering mengajak mereka mengunjungi tempat-tempat seru yang jauh dari keramaian. Mereka menjadi lebih dari sekadar teman sekelas; mereka sudah menjadi bagian dari hidup satu sama lain.
Pagi itu, seperti biasanya, hujan tak begitu lebat, hanya mendung yang menutupi langit. Namun, bagi mereka yang sudah terbiasa, hari-hari seperti ini justru terasa lebih menyenangkan. Ayyanara, Bimaastra, Zafiel, dan Raneeta berkumpul di kantin sekolah. Tentu saja, meja mereka selalu yang paling berisik—ada saja kelakuan yang membuat mereka tertawa.
“Aku bener-bener nggak ngerti kenapa kamu nggak mau ikut lomba 17 Agustusan tahun ini,” kata Bimaastra sambil menyendok nasi gorengnya. “Padahal kita bisa jadi tim yang hebat, loh.”
Ayyanara menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Aku nggak suka ikut lomba yang berbau fisik, Bim. Aku lebih suka yang lebih… kreatif, gitu.”
“Tapi lomba tarik tambang itu kan nggak cuma soal fisik! Itu tentang strategi, kita bisa kerja bareng!” Bimaastra menggoda, matanya menyala dengan semangat.
Zafiel yang duduk di sebelah mereka, mengangguk setuju. “Iya, loh. Kita udah pernah kerja bareng, jadi kenapa nggak coba juga? Aku yakin kita bisa menang.”
Raneeta yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba tersenyum lebar. “Maksudnya, kita bisa jadi juara tapi dengan cara kita sendiri, kan? Kalian tahu aku punya ide cemerlang buat lomba 17 Agustus tahun ini.”
Semua mata langsung tertuju pada Raneeta yang tampaknya sudah mempersiapkan sesuatu. Ia pun mengeluarkan buku catatannya, menuliskan beberapa ide yang tertulis di sana. “Gini, kita bikin lomba yang nggak biasa. Misalnya, lomba makan sambil nyanyi atau lomba fashion dari bahan bekas. Biar semua orang terkejut dengan keunikan kita!”
Ayyanara tertawa kecil mendengar itu. “Itu ide yang aneh, Raneeta. Tapi sepertinya seru juga. Kalau kita jadi juara, pasti akan jadi kenangan yang nggak terlupakan.”
Bimaastra setuju dengan semangat yang membara. “Oke, aku setuju! Tim kita nggak perlu ikut lomba biasa. Kita bikin lomba yang bikin semua orang nggak bisa lupa!”
Sejak saat itu, hari-hari mereka dipenuhi dengan persiapan untuk lomba yang paling aneh tapi paling seru yang pernah ada. Mereka tidak hanya latihan fisik, tetapi juga merancang kostum kreatif dari bahan-bahan bekas yang ada di sekitar sekolah. Mereka bekerja sama dalam segala hal—merancang tema, mencari bahan, dan berlatih keras.
Pada hari perlombaan, mereka tiba di lapangan dengan penuh percaya diri. Semua orang melihat mereka dengan tatapan heran saat mereka muncul dengan kostum-kostum yang tidak seperti peserta lomba pada umumnya. Ada yang memakai jas hujan sebagai rok, ada yang mengenakan kardus bekas sebagai topi, dan ada pula yang mengenakan kaos kaki panjang dengan motif aneh sebagai aksesoris.
Raneeta berdiri di depan kelompoknya, tersenyum lebar. “Siap, guys? Ini saatnya menunjukkan siapa kita!”
Saat lomba dimulai, mereka tak hanya mengejutkan para juri, tapi juga membuat seluruh peserta dan penonton tertawa terbahak-bahak. Bimaastra dengan gaya bebasnya mencoba memimpin dengan penuh semangat, Zafiel yang biasanya tenang dan serius, tiba-tiba jadi orang yang paling energik, sedangkan Ayyanara dengan gayanya yang sedikit pemalu tetap tampil maksimal. Sementara Raneeta, seperti biasa, menjadi pengatur utama di balik layar—menyusun strategi sambil tertawa melihat kekacauan yang tercipta.
Meskipun mereka akhirnya tidak memenangkan lomba, yang penting adalah bagaimana mereka berhasil membuat semua orang terhibur. Mereka kembali ke koridor 3A, penuh tawa, dengan tangan penuh hadiah kecil dari panitia yang menganggap mereka sebagai “Tim Paling Unik”.
Setelah itu, semuanya terasa lebih hidup. Tidak hanya lomba, setiap kegiatan sekolah menjadi lebih berwarna dengan keberadaan mereka. Persahabatan mereka semakin tumbuh, terasa seperti keluarga sendiri. Mereka mulai merencanakan mimpi-mimpi masa depan yang lebih besar. Ayyanara yang semula tak terlalu terbuka tentang impian masa depannya, kini mulai bicara tentang sekolah seni yang ingin ia masuki. Bimaastra, yang selalu disibukkan dengan olahraga, tiba-tiba berbicara tentang mimpinya untuk menjadi pelatih basket di suatu sekolah. Zafiel mulai berbicara tentang kemungkinan mengambil jurusan teknik di luar negeri, sementara Raneeta—seperti biasanya—berbicara tentang proyek film dan dokumenter yang ingin ia buat.
Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, musim kedua juga membawa tantangan tersendiri. Ayyanara, yang semakin banyak berlatih menggambar dan melukis, merasa tertekan karena ibunya yang sedang sakit semakin parah. Ia sering kali diam, menarik diri dari teman-temannya tanpa memberi tahu mereka alasan sebenarnya. Bimaastra yang biasa menjadi pemecah suasana, mulai merasakan betapa besar beban yang dipikul teman-temannya, terutama Ayyanara, yang terlihat semakin pendiam. Raneeta yang biasanya aktif, mulai menyadari ada sesuatu yang mengganggu temannya, tapi tidak tahu harus berkata apa.
Suatu hari, setelah latihan basket, Bimaastra mencoba berbicara dengan Ayyanara. “Kamu nggak lagi terlihat seperti dirimu yang biasa, Anara,” kata Bimaastra, menatap Ayyanara dengan khawatir. “Ada apa? Kalau ada masalah, kamu bisa cerita kok. Kita teman, kita bisa bantu.”
Ayyanara menghela napas panjang, kemudian menunduk. “Aku cuma nggak mau nambahin beban kalian aja. Ibu… dia semakin sakit, Bim. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi.”
Bimaastra duduk di sampingnya, mencoba memberikan kenyamanan yang bisa ia berikan. “Kamu nggak sendiri, Anara. Kami ada di sini. Kalau kamu butuh waktu atau bantuan, bilang aja.”
Ayyanara menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Terima kasih, Bim. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi… aku senang punya kalian.”
Mereka berdua terdiam, mendengarkan hujan yang mulai turun lagi, menandai betapa perubahan musim bukan hanya tentang cuaca, tetapi juga perubahan dalam diri mereka yang tak terhindarkan.
Ketika Hujan Menyembunyikan Air Mata
Musim hujan datang dengan keheningan yang berbeda. Tetesan air yang mengguyur sepanjang jalan menuju SMA Mandala Bhakti kini tak lagi terasa seperti kebiasaan biasa. Hujan kali ini seakan membawa perasaan yang lebih berat. Ayyanara tidak lagi bisa menyembunyikan kecemasannya. Wajahnya yang biasanya cerah kini terlihat lebih pucat, dan tatapannya sering kali kosong, seakan terjebak dalam pikirannya sendiri. Meskipun begitu, dia tetap berusaha menjaga jarak dengan teman-temannya, seperti tidak ingin membuat mereka khawatir.
Hari itu, di tengah riuhnya kegiatan sekolah, Ayyanara memilih untuk tidak bergabung dengan teman-temannya. Ia duduk di pojokan lapangan basket, menatap hujan yang turun deras tanpa merasa perlu berlari mencari tempat berteduh. Di matanya, hujan adalah teman yang bisa mengerti perasaannya. Hanya di bawah hujan dia merasa bisa sedikit lebih tenang.
Namun, seperti biasa, Raneeta yang tajam melihat perubahan itu tidak bisa membiarkan Ayyanara terlalu lama sendirian. Dengan langkah cepat, ia mendekati teman yang kini sedang menunduk. “Kamu lagi nggak baik-baik aja ya?” tanya Raneeta dengan lembut, meskipun ada kekhawatiran di matanya.
Ayyanara mengangkat kepala pelan, tersenyum tipis. “Aku nggak apa-apa kok, Ran. Hanya sedikit lelah aja.”
Raneeta mengernyitkan dahi. “Lelah? Dari wajahmu aja keliatan banget kalau kamu lagi nggak baik-baik aja. Ayo, cerita, kita teman kan?”
Ayyanara terdiam, memandang Raneeta sejenak. Lalu, seolah terhitung butuh waktu lama, akhirnya ia menghela napas panjang. “Ibu… semakin sakit. Aku nggak tahu harus gimana lagi, Ran. Setiap hari aku cuma bisa lihat dia semakin lemah, tapi aku nggak tahu bagaimana cara membantunya.” Suaranya mulai bergetar, dan meskipun dia berusaha menahan air mata, akhirnya tetesannya jatuh juga.
Raneeta duduk di sampingnya, mengeluarkan tissue dari tasnya dan memberikannya pada Ayyanara. “Kamu nggak sendirian, Anara. Kami semua ada di sini, dan kamu nggak perlu berjuang sendirian. Jangan coba simpan semuanya sendiri, oke? Kita teman. Teman nggak akan biarin temannya jatuh sendirian.”
Ayyanara menatap Raneeta, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi aku nggak mau ngerepotin kalian. Aku nggak mau kalian ikut merasakan beban yang aku bawa.”
Raneeta hanya tersenyum, meskipun senyumnya penuh dengan rasa empati. “Kalau kamu nggak cerita, gimana kami bisa bantu? Teman itu bukan cuma buat kebahagiaan, tapi juga buat saat-saat susah. Ingat, kita selalu ada untuk kamu.”
Perasaan lega mulai mengalir perlahan ke dalam diri Ayyanara, meskipun masih ada rasa cemas yang mengendap. Di bawah hujan itu, ia merasa sedikit lebih ringan. Mereka berdua duduk bersama, mendengarkan suara hujan yang semakin lebat, sementara di kejauhan, tampak Bimaastra dan Zafiel yang akhirnya bergabung, setelah beberapa lama mencari keberadaan mereka.
Bimaastra menyadari ada yang berbeda dengan Ayyanara, yang biasanya tidak pernah terlihat lemah di depan teman-temannya. “Ada apa, Anara? Kenapa kamu malah duduk di sini sendirian?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Ayyanara menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Bim. Aku cuma butuh waktu sendiri aja.”
Zafiel, yang biasanya tenang dan jarang berbicara, kali ini menambahkan, “Kamu nggak perlu merasa sendirian. Kalau butuh apa-apa, bilang aja. Kami teman-teman kamu, Anara.”
Ayyanara menatap mereka semua, merasa semakin terbuka. “Terima kasih, teman-teman. Aku nggak tahu kalau kalian bisa begitu peduli. Aku merasa nggak pantas untuk menerima semuanya ini.”
“Jangan pernah berpikir kayak gitu,” kata Bimaastra tegas. “Kita teman. Jadi apapun yang terjadi, kita akan hadapi bersama. Kalau kamu susah, kita juga susah. Jadi nggak ada yang perlu merasa nggak pantas.”
Hari itu, setelah percakapan itu, perasaan Ayyanara sedikit demi sedikit mulai pulih. Meski masalah di rumahnya belum selesai, setidaknya dia tahu bahwa dia tidak harus menghadapinya sendirian. Mereka semua sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak terpisahkan.
Di sekolah, kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Tapi, ada sesuatu yang berubah. Setiap kali mereka berkumpul, tidak ada lagi obrolan ringan tentang tugas atau lomba yang akan datang. Mereka berbicara lebih dalam. Tentang kehidupan, tentang masa depan, dan tentang mimpi-mimpi yang mereka simpan dalam hati. Ayyanara mulai berbicara lebih banyak tentang keinginannya untuk menjadi seorang ilustrator, sementara Bimaastra mengungkapkan impiannya untuk menjadi seorang pelatih basket di masa depan. Zafiel mulai merencanakan untuk melanjutkan studi ke luar negeri, dan Raneeta yang selalu penuh ide, bercerita tentang keinginannya untuk membuat film dokumenter.
Namun, meski kebersamaan mereka semakin erat, tak bisa dipungkiri bahwa hujan kali ini membawa perubahan besar dalam hidup mereka. Hujan itu, meskipun datang dengan penuh kegelapan, juga membawa kesempatan bagi mereka untuk membuka hati, saling mendukung, dan menjadikan persahabatan ini semakin kuat.
Ayyanara tahu, meskipun musim hujan ini penuh dengan air mata, di balik itu ada pelangi yang menunggu untuk muncul. Dan ia tidak akan menghadapi semua ini sendirian.
Musim Panas yang Tak Terlupakan
Waktu berlalu dengan cepat. Musim hujan akhirnya berakhir, memberi jalan bagi musim panas yang lebih cerah dan penuh harapan. Di SMA Mandala Bhakti, hari-hari terasa lebih ringan, meskipun Ayyanara masih harus berjuang dengan kesulitan keluarganya. Namun, ada satu hal yang pasti: persahabatan mereka telah tumbuh menjadi ikatan yang tak tergoyahkan. Mereka kini menghadapi masa-masa akhir sekolah dengan semangat baru dan rasa saling percaya yang lebih kuat.
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus jendela kelas 3A. Semua siswa sudah mulai menyiapkan diri untuk ujian akhir tahun yang semakin mendekat. Di luar, suasana kampus yang sibuk terasa seperti simbol dari perjalanan yang hampir berakhir. Ayyanara duduk di bangkunya, masih merenung seperti biasa. Namun kali ini, ia tidak merasa sendirian. Teman-temannya ada di sekitarnya, memberi dukungan yang tak tergoyahkan.
Bimaastra mendekatkan kursinya ke Ayyanara, tersenyum lebar. “Gimana persiapan ujian? Semua lancar, kan?” tanyanya dengan semangat yang selalu ada.
Ayyanara mengangkat bahu dan tertawa kecil. “Aku coba yang terbaik, Bim. Semoga bisa lolos tanpa masalah besar.”
Raneeta yang sedang mengutak-atik laptop, mendongak dan menyela. “Coba kamu kasih lebih banyak waktu buat belajar, Anara. Aku bisa bantu ngajarin kok, asal kamu nggak bosen sama gaya belajar aku yang aneh ini.” Ia tertawa, membuat suasana semakin ringan.
Ayyanara tersenyum, merasa sedikit lebih tenang. “Aku tahu, Ran. Kalian nggak pernah nyerah sama aku. Aku beruntung punya kalian.”
Zafiel, yang sejak tadi hanya diam dan fokus dengan bukunya, akhirnya ikut berbicara. “Kita semua juga beruntung. Persahabatan ini lebih berharga daripada apapun.”
Hari-hari ujian pun berlalu dengan berbagai momen kebersamaan. Mereka saling mengingatkan satu sama lain untuk belajar, saling berbagi tips, dan selalu menjaga semangat, meskipun ujian semakin dekat. Tidak ada yang benar-benar merasa cemas, karena mereka tahu mereka sudah melakukan yang terbaik. Di setiap sesi belajar, mereka saling berbagi cerita tentang masa depan dan apa yang mereka impikan setelah sekolah. Meskipun tidak semua dari mereka memiliki rencana yang pasti, mereka yakin bahwa persahabatan ini akan tetap ada, apapun yang terjadi.
Saat ujian terakhir selesai, semua orang merasa lega. Rasa penat selama berbulan-bulan akhirnya terbayar, dan mereka memutuskan untuk merayakan akhir ujian mereka dengan sebuah perjalanan singkat ke sebuah kafe yang tidak jauh dari sekolah. Kafe itu terletak di tengah kota, dengan dekorasi sederhana namun nyaman. Mereka memilih tempat di pojok ruangan, tempat favorit mereka sejak pertama kali datang bersama.
“Akhirnya, selesai juga! Gimana rasanya nggak ada lagi ujian?” Bimaastra bertanya sambil menyeruput es kelapanya.
“Enak banget,” jawab Ayyanara sambil tersenyum lebar. “Tapi rasanya aneh juga, karena ini kayak akhir dari semuanya, kan?”
Raneeta mengangguk. “Iya, kita udah hampir selesai di sini. Aku cuma nggak mau tiba-tiba berpisah dan nggak bisa ketemu lagi kayak dulu.”
Zafiel, yang biasanya tidak terlalu banyak bicara, memulai percakapan dengan serius. “Kita nggak akan jauh-jauh kok, Ran. Kita pasti tetap saling dukung, apapun yang terjadi. Ini cuma babak baru dalam hidup kita.”
Ayyanara menatap teman-temannya dengan perasaan campur aduk. “Aku nggak tahu gimana rasanya nanti, tapi aku janji, kita nggak akan lupa momen-momen yang udah kita lewati bareng.”
Kafe itu menjadi tempat yang penuh kenangan. Mereka tertawa, bercerita tentang masa depan mereka, berbicara tentang rencana-rencana yang mungkin belum terwujud, namun tetap menjadi impian yang ingin mereka capai. Sementara itu, Ayyanara mulai merasa sedikit lebih lega. Meski masa depan belum sepenuhnya jelas, ia tahu bahwa apapun yang akan datang, ia tidak akan menghadapinya sendirian.
Malam itu, mereka kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan yang lebih ringan. Tak ada lagi rasa cemas yang mengganggu, tak ada lagi keraguan yang menghalangi langkah mereka. Mereka telah melewati banyak hal bersama—tawa, air mata, dan mimpi-mimpi yang belum sepenuhnya terwujud. Namun, lebih dari itu, mereka memiliki satu sama lain.
Bulan-bulan berlalu, dan kelulusan pun datang. Hari itu adalah hari yang penuh emosi. Di antara kesibukan mengambil ijazah dan merayakan kelulusan, mereka kembali berkumpul di tempat yang sama, di luar sekolah, di bawah langit yang cerah. Semua perasaan yang sempat tertunda kini terungkap, dan mereka merasa bangga telah sampai sejauh ini bersama.
“Ayo, guys! Foto dulu, biar kita punya kenangan,” kata Raneeta sambil mengarahkan kameranya.
Satu per satu, mereka bergabung di depan kamera. Bimaastra, yang biasanya paling cerewet, berdiri dengan tangan di pinggang, tersenyum lebar. Zafiel, dengan wajahnya yang lebih serius, tampak sedikit canggung, namun tetap tersenyum. Ayyanara, yang sebelumnya sering kali menahan diri, kali ini tersenyum lepas, merasakan kebahagiaan yang tulus. Mereka semua berdiri bersama, menghadap kamera, mengenang segala hal yang telah mereka lalui.
“Persahabatan ini nggak akan pernah berakhir,” kata Ayyanara, matanya berbinar, meskipun ia tahu bahwa mereka akan menjalani perjalanan hidup yang berbeda ke depan. “Ini baru awal dari perjalanan kita.”
Ketika kamera akhirnya mengabadikan momen itu, mereka merasa yakin bahwa persahabatan mereka akan bertahan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin mereka akan terpisah, tetapi kenangan itu akan selalu ada, seperti musim panas yang tak terlupakan—panas, penuh tawa, dan penuh harapan.