Ekofeminisme: Perempuan, Alam, dan Perubahan yang Tak Terbendung

Posted on

Bayangin deh, kalau perempuan nggak cuma jadi penonton dalam cerita perubahan, tapi justru jadi aktor utamanya. Gimana kalau suara kita bisa ngubah cara pandang dunia terhadap alam dan kehidupan?

Cerpen ini ngajak kamu buat mikir, Mungkin ini saatnya kita nggak cuma merawat bumi, tapi juga diri kita sendiri, bareng-bareng. Simak yuk, gimana langkah kecil bisa bawa dampak besar!

 

Ekofeminisme

Suara yang Terlupakan

Dari puncak bukit, angin membawa hawa sejuk, mengalirkan aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Di bawah sana, desa Alira terhampar, dengan rumah-rumah sederhana berwarna cokelat dan kebun-kebun yang hijau subur. Namun, ada yang berbeda hari ini. Bahkan udara yang seharusnya menenangkan itu terasa agak sesak, seperti ada sesuatu yang tertekan di dalamnya.

Elora duduk di atas batu besar di tepi sungai, memandang aliran air yang biasanya jernih dan mengalir lancar. Tapi hari ini, air itu terhalang oleh tumpukan sampah plastik yang mengapung. Pandangannya tajam, seperti memikirkan sesuatu yang jauh, sesuatu yang sudah lama ia rasakan namun tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Ada ketidakberesan yang terpendam, seperti bisikan yang tak terdengar oleh banyak orang.

“Elora, kamu melihat ini?” suara itu datang dari belakangnya. Itu suara Mila, sahabatnya yang juga aktif dalam berbagai kegiatan desa. Mila sudah datang, duduk di sampingnya, lalu mengikuti arah pandang Elora.

“Melihat dan merasa, lebih tepatnya,” jawab Elora pelan, suaranya seakan hilang ditelan udara yang semakin berat. “Ini seperti luka yang terus menerus dipendam. Sampah ini bukan hanya soal kebersihan, Mila. Ini lebih besar daripada itu.”

Mila mendesah, pandangannya beralih ke tumpukan sampah yang ada di sungai. “Kamu selalu melihat lebih jauh dari yang lain, Elora. Tapi bagaimana kita bisa mengubah ini? Semua orang sudah terbiasa hidup seperti ini. Mereka nggak peduli.”

“Tapi aku peduli. Kita semua harus peduli,” jawab Elora dengan suara yang sedikit lebih tegas, meski hatinya ragu. “Mereka hanya belum sadar. Alam ini… ini adalah suara yang tak terdengar. Suara yang terus dipinggirkan. Dan sekarang suara itu hampir hilang.”

Mila diam, memperhatikan Elora yang sudah lebih dulu memandang ke arah sungai yang kini tampak lebih suram. Suasana sejenak terdiam, hanya terdengar suara air yang tak lagi bisa mengalir bebas, terhambat sampah dan limbah yang menumpuk.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Mila akhirnya, memecah keheningan yang sempat terpendam.

Elora menarik napas panjang, seolah-olah mencari keberanian dalam setiap tarikan udara yang masuk ke paru-parunya. “Kita mulai dengan langkah kecil. Mulai dari sini. Aku akan ajak perempuan-perempuan di desa untuk bergerak. Kita nggak bisa terus diam. Kalau kita peduli pada alam, kita juga harus peduli pada diri kita sendiri.”

Mila menatapnya serius. “Maksud kamu?”

“Elora, kita bukan hanya bicara soal alam, kan? Ini tentang bagaimana perempuan sering kali dilupakan, suara mereka sering kali tak didengar. Lihatlah sungai ini. Ini bukan hanya soal sampah, ini soal kita yang sudah lama diabaikan.”

Mila terdiam. Ia tahu betul apa yang dimaksud Elora. Di desa ini, perempuan memang sering kali ditempatkan pada posisi yang kurang penting. Mereka diharapkan untuk hanya mengurus rumah tangga, menjaga anak, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap ‘biasa’. Namun, Elora berbeda. Sejak kecil, ia selalu berjuang untuk memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan, baik itu perempuan maupun alam.

“Dan kamu yakin mereka akan ikut? Semua orang di desa sudah terlalu terbiasa dengan cara hidup seperti ini,” kata Mila lagi, masih skeptis.

“Aku yakin,” jawab Elora dengan keyakinan yang tak terbantahkan. “Kita mulai dengan hal yang sederhana dulu. Ajak mereka untuk datang dan berbicara. Kalau mereka melihat betapa pentingnya ini, mereka akan mulai sadar.”

Mila mendengus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya. “Jadi kamu akan mengajak perempuan-perempuan itu untuk ikut menjaga alam, kan?”

“Ya. Tapi lebih dari itu. Ini tentang memperjuangkan hak-hak kita. Ini tentang memberi mereka kesempatan untuk berbicara, untuk berdiri dengan penuh kepercayaan diri. Mereka bukan hanya ibu rumah tangga, bukan hanya istri atau anak perempuan. Mereka adalah bagian dari alam ini. Dan jika mereka bisa merawat bumi, mereka juga bisa merawat diri mereka sendiri,” jawab Elora, matanya kini menyala penuh semangat.

Mila mengangguk pelan, meski masih ada keraguan di wajahnya. “Kamu selalu tahu bagaimana membuat semuanya terdengar begitu berarti. Tapi bagaimana kita mulai?”

Elora tersenyum tipis. “Mulai dengan langkah pertama. Aku akan mengumpulkan perempuan-perempuan itu. Kita akan mulai membersihkan sungai ini, sedikit demi sedikit. Kalau kita bisa membersihkan sungai ini, kita bisa membersihkan alam kita, membersihkan diri kita.”

Sambil berkata begitu, Elora menoleh ke arah sungai, seakan memohon kepada alam untuk mendengarkan suara mereka. Tumpukan sampah itu tetap ada, namun ada secercah harapan yang mengalir bersamaan dengan aliran sungai yang tersisa. Mereka akan memulai perubahan ini, sedikit demi sedikit.

“Aku akan ikut, Elora,” kata Mila, akhirnya.

“Terima kasih, Mila. Ini langkah pertama kita,” jawab Elora dengan senyum yang tulus.

Sungai yang dulunya jernih itu mungkin membutuhkan waktu lama untuk kembali seperti semula, tapi dengan langkah pertama yang mereka ambil hari ini, Elora tahu, bahwa suara alam dan suara perempuan tidak akan pernah terlambat untuk didengarkan. Mereka akan menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar.

 

Langkah Perempuan, Langkah Alam

Pagi itu, Elora duduk di teras rumahnya yang sederhana, menghadap ke hamparan kebun singkong yang luas. Angin pagi yang segar masih menyentuh kulitnya, namun ada rasa yang berbeda di dadanya—sebuah dorongan untuk bergerak. Sejak pertemuan kemarin dengan Mila, ia mulai merencanakan langkah-langkah kecil untuk perubahan besar. Meskipun ia tahu tantangan yang menanti, hatinya tetap penuh tekad.

Mila sudah menunggu di luar, membawa beberapa perempuan yang sudah ia ajak untuk bergabung. Mereka duduk di bawah pohon jati besar, mengobrol dengan santai, meski ekspresi mereka lebih banyak menyimpan kebingungan daripada semangat.

“Selamat pagi, semuanya,” kata Elora, menyapa dengan senyum yang selalu ia pakai untuk memberi semangat. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi, percayalah, kita bisa membuat perubahan.”

Mila berdiri di samping Elora. “Kita mulai dengan membersihkan sungai itu, kan? Mungkin itu bisa jadi simbol, bahwa kita juga peduli pada alam, sekaligus peduli pada diri kita sendiri.”

Beberapa perempuan yang hadir hanya mengangguk ragu. Ada yang lebih memilih diam daripada berkata-kata, mungkin merasa tak tahu harus mulai dari mana. Elora bisa merasakan ketidakpastian itu, tapi ia juga tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk memulai.

Satu per satu, mereka beranjak ke sungai. Mereka membawa kantong plastik besar, sapu lidi, dan peralatan seadanya. Walaupun tampaknya sederhana, bagi Elora, ini adalah langkah besar. Sebuah langkah menuju kebangkitan kesadaran, tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga tentang perempuan yang selalu terlupakan dalam berbagai perjuangan.

“Sungai ini seperti kita,” Elora mulai berbicara saat mereka mulai bekerja. “Selama ini kita terabaikan, tidak didengar. Namun, jika kita ingin disayangi dan dihargai, kita harus mulai merawat diri kita, dimulai dengan alam. Alam ini adalah bagian dari kita.”

Salah satu perempuan, yang lebih tua dari yang lain, menatap Elora dengan penuh rasa ingin tahu. “Kamu yakin perempuan-perempuan ini akan mendengarkan kita, Elora? Banyak dari mereka yang merasa sudah cukup dengan rutinitas sehari-hari. Ada yang takut berbicara, takut menyuarakan pendapatnya. Bagaimana kalau mereka tak mau berubah?”

Elora berhenti sejenak, memandang wanita itu. “Saya tahu, Bu Rini. Tapi kita semua punya kekuatan untuk mengubah diri kita. Kalau kita bisa mengubah diri kita sendiri, kita bisa mengubah desa ini, kita bisa mengubah dunia ini.”

Wanita itu terdiam, seperti mencerna kata-kata Elora. Sementara itu, Mila yang berada di sisi lain sungai, terus menyapu sampah-sampah yang tersangkut di antara bebatuan.

“Ini tidak akan mudah, Elora. Banyak yang sudah terjebak dalam cara hidup lama, yang tidak peduli dengan hal-hal seperti ini,” kata Mila sambil berhenti sejenak. “Tapi mungkin kita bisa mulai dengan memberi contoh.”

“Benar,” jawab Elora, mengangguk mantap. “Langkah kecil yang kita buat hari ini akan memberi mereka gambaran tentang apa yang bisa kita capai bersama. Ini bukan soal siapa yang lebih kuat, tapi tentang siapa yang lebih mau bergerak untuk perubahan.”

Mereka terus bekerja, satu demi satu sampah diangkat dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Meskipun tampak seperti pekerjaan sederhana, bagi mereka ini adalah tanda bahwa mereka mulai mendengarkan suara yang terlupakan—suara alam yang merintih, suara perempuan yang ingin didengar.

Beberapa jam kemudian, setelah tumpukan sampah yang menghalangi sungai mulai berkurang, suasana menjadi sedikit lebih tenang. Sungai yang dulunya penuh sampah mulai menunjukkan sedikit ruang, meski belum sepenuhnya bersih. Namun, bagi Elora, itu adalah kemenangan kecil yang besar artinya.

“Apa yang kita lakukan hari ini, Bu Rini, itu bukan hanya untuk sungai ini. Tapi untuk semua perempuan di sini. Kita memberi mereka kesempatan untuk merasa bahwa mereka bisa merawat dan menjaga sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri,” Elora berkata sambil duduk di atas batu besar di tepi sungai, memandang air yang mulai lebih jernih.

Wanita tua itu tersenyum. “Kamu benar. Mungkin sudah waktunya untuk mendengarkan suara yang tak terucapkan itu.”

Mila yang mendekat menepuk bahu Elora. “Langkah pertama sudah kita ambil, Elora. Mungkin ini akan memakan waktu, tapi kita sudah memulai.”

Dengan mata yang penuh semangat, Elora berdiri. “Kita harus terus bergerak, Mila. Ini baru permulaan. Jangan biarkan semangat kita padam sebelum kita bisa melihat hasilnya.”

Satu demi satu, perempuan-perempuan yang hadir mulai merasa lebih percaya diri. Mereka mulai berbicara lebih banyak, berdiskusi tentang apa yang bisa mereka lakukan selanjutnya. Tidak hanya soal membersihkan sungai, tapi juga tentang cara hidup mereka, tentang bagaimana mereka bisa merawat tanah, mengolah hasil bumi, dan memberi perhatian lebih pada kesejahteraan mereka sendiri.

Langkah kecil itu mungkin belum banyak berarti bagi sebagian orang, tapi bagi Elora dan kelompok perempuan itu, ini adalah awal dari perubahan besar. Mereka tahu bahwa mereka tidak hanya melawan kerusakan alam, tetapi juga melawan ketidakadilan yang selama ini menyelimuti kehidupan mereka sebagai perempuan.

Sungai itu, meskipun belum sempurna, mulai menggambarkan sesuatu yang lebih dari sekadar air yang mengalir. Itu adalah simbol dari suara yang mulai terdengar, dari langkah pertama menuju kebebasan, baik untuk alam maupun untuk perempuan.

 

Jejak yang Tertinggal

Malam itu, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Di desa Alira, hampir semua rumah sudah terlelap, namun sebuah kelompok kecil masih terjaga. Elora duduk di depan api unggun, api yang menari-nari menyala, menciptakan cahaya hangat yang memantul di wajahnya yang tampak serius. Di sekelilingnya, perempuan-perempuan desa mulai berkumpul, sebagian besar duduk dengan tenang, beberapa saling berbicara, sementara yang lain hanya memperhatikan dengan penuh perhatian.

Mila duduk di sebelah Elora, memerhatikan para perempuan yang mulai merasa lebih nyaman. Sejak mereka membersihkan sungai beberapa hari yang lalu, suasana di desa sedikit banyak berubah. Ada energi baru yang mulai mengalir di dalam diri mereka. Kepercayaan diri yang semula tidak ada, kini mulai tumbuh seiring dengan aksi mereka.

“Bagaimana menurutmu, Mila?” tanya Elora, suaranya rendah namun penuh tekad. “Kita harus melangkah lebih jauh. Ini sudah lebih dari sekadar membersihkan sungai.”

Mila menatap api unggun yang berkobar di depan mereka, kemudian memandang ke arah perempuan-perempuan yang hadir. “Mereka mulai mendengarkan, Elora. Ini lebih dari yang aku harapkan. Aku rasa mereka mulai merasa bahwa apa yang kita lakukan ini bukan sekadar tugas, tapi panggilan.”

Elora tersenyum, tetapi ada kekhawatiran di matanya. “Tapi apakah mereka siap untuk mengambil langkah lebih jauh lagi? Apa mereka siap menghadapi tantangan yang lebih besar?”

Mila mengangguk. “Mereka mulai sadar. Mungkin butuh waktu, tapi perubahan ini tidak bisa ditunda lagi.”

Saat Elora berdeham, ia menatap wajah-wajah perempuan itu, memerhatikan ekspresi mereka yang mulai menunjukkan kebanggaan akan apa yang sudah mereka capai. Beberapa di antaranya sudah mulai berbicara tentang bagaimana mereka bisa melibatkan lebih banyak orang, bagaimana mereka bisa menyebarkan pesan ini kepada desa-desa tetangga.

Elora berdiri dan melangkah beberapa langkah, hingga ia berdiri tepat di tengah-tengah api unggun yang menyala. “Malam ini, kita tidak hanya berbicara tentang sungai atau tanah yang kita rawat. Kita berbicara tentang hak kita. Hak untuk didengar, hak untuk dihargai. Semua yang kita lakukan di sini adalah bentuk dari suara kita. Suara perempuan yang selama ini terabaikan. Suara alam yang harus kita jaga,” kata Elora dengan lantang, suaranya membawa ketegasan yang membuat setiap perempuan yang mendengarnya ikut meresap dalam kata-kata itu.

Ada hening sesaat. Para perempuan memandang Elora dengan tatapan yang lebih kuat, seakan-akan mereka merasa terdorong untuk lebih banyak berbicara, untuk lebih banyak bergerak.

“Elora benar,” suara Bu Rini, yang sejak awal hadir dalam pertemuan ini, akhirnya terdengar. “Selama ini, kita selalu dianggap hanya sebagai penunggu di rumah. Sekarang waktunya kita berdiri bersama, bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak-anak kita, untuk generasi mendatang. Kita harus mengajarkan mereka cara merawat bumi ini.”

Suasana di sekitar api unggun semakin terasa hangat, meskipun angin malam semakin menderu. Mereka semua tahu bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sekadar gerakan kecil. Ini adalah sebuah revolusi diam yang dimulai dengan langkah mereka sendiri.

Mila menoleh ke Elora dengan senyuman. “Kamu benar, Elora. Kita harus melangkah lebih jauh. Tapi aku rasa kita sudah siap.”

Elora menatap sekelilingnya, melihat wajah-wajah perempuan yang penuh dengan keberanian, meskipun di antara mereka ada rasa takut yang tersembunyi. Mereka tahu bahwa langkah selanjutnya akan lebih sulit, akan lebih penuh tantangan. Tetapi, mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah kembali seperti semula. Mereka sudah mendengar suara mereka sendiri, dan itu tidak bisa dibungkam lagi.

“Langkah berikutnya adalah menyebarkan apa yang sudah kita lakukan di sini,” Elora berkata dengan mantap. “Kita tidak bisa berhenti hanya di desa ini. Kita harus menghubungkan suara-suara perempuan di seluruh daerah ini. Kita harus membuat mereka tahu bahwa kita ada, bahwa kita peduli. Kita harus menunjukkan bahwa kita bukan hanya penjaga rumah, tapi penjaga bumi ini.”

Mila mengangguk, matanya bersinar dengan semangat. “Aku setuju. Kita akan mulai mengajak lebih banyak orang, mengundang perempuan dari desa tetangga, dari setiap lapisan. Semua orang harus tahu bahwa kita tak hanya berbicara tentang merawat alam, tapi juga tentang hak kita sebagai perempuan untuk berbicara dan bertindak.”

Elora memandang api unggun yang mulai mereda. “Mungkin ada yang takut, mungkin ada yang ragu, tapi kita tidak bisa kembali mundur. Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang dunia yang akan kita tinggalkan untuk anak-anak kita.”

Suasana semakin sunyi. Suara api unggun yang berderak seakan menyetujui kata-kata Elora. Sekelompok perempuan ini, yang dulu mungkin hanya dikenal sebagai ibu rumah tangga atau pekerja kasar, kini mulai menyadari potensi mereka yang lebih besar—sebuah kekuatan untuk membuat perubahan, sebuah suara yang harus didengar.

Malam itu, setelah berbicara panjang lebar, mereka akhirnya beristirahat. Namun, Elora tahu ini bukanlah akhir. Ini adalah titik awal dari perjalanan yang panjang. Mereka akan bergerak lebih jauh, menyuarakan pesan mereka kepada dunia yang lebih luas. Mereka akan menunjukkan bahwa suara perempuan, seperti alam, tak bisa lagi dipinggirkan.

Dan mereka akan terus berbicara, terus berjuang, hingga suara itu menggema, hingga perubahan itu tercipta.

 

Titik Terang yang Baru

Pagi yang cerah itu, Elora duduk di depan rumahnya, memandang ke langit yang mulai cerah. Angin yang berhembus ringan menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah basah yang segar. Sebuah perasaan damai memenuhi dadanya, tetapi di balik kedamaian itu, ada juga keyakinan yang lebih dalam. Mereka telah melewati banyak hal—banyak ketakutan, keraguan, bahkan pertentangan—namun akhirnya mereka sampai pada titik ini.

Elora tersenyum, mengenang perjalanan panjang yang telah mereka lewati bersama. Perempuan-perempuan desa yang dulu ragu kini menjadi sumber kekuatan yang tak terbendung. Mereka mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda, bukan sebagai sesuatu yang tak terjangkau, tetapi sebagai sesuatu yang mereka bisa ubah, sesuatu yang bisa mereka rawat bersama.

Langkah pertama mereka—membersihkan sungai—telah menjadi simbol kekuatan mereka. Tak hanya untuk alam, tapi juga untuk diri mereka sendiri. Tapi perubahan itu bukan hanya soal aksi fisik; ini adalah perubahan dalam pikiran dan hati setiap orang yang terlibat.

Mila berdiri di sebelah Elora, memperhatikan beberapa perempuan yang sedang berlatih menanam bibit pohon di kebun bersama anak-anak mereka. “Lihat mereka, Elora. Mereka sudah berubah. Ini lebih dari yang kita harapkan.”

Elora mengangguk pelan, memandang ke arah mereka. “Ini baru permulaan, Mila. Mereka sudah tahu cara merawat alam, tapi lebih penting, mereka juga mulai merawat diri mereka sendiri.”

Satu demi satu, perempuan yang sebelumnya hanya tahu tentang pekerjaan rumah tangga atau kehidupan sehari-hari yang monoton kini menjadi agen perubahan yang luar biasa. Mereka mulai berbicara di depan umum, mengajarkan anak-anak mereka untuk peduli pada alam, dan menanamkan nilai-nilai keberanian pada diri mereka sendiri.

“Bagaimana kalau kita mulai berbicara di luar desa?” tanya Mila, memecah keheningan. “Mungkin sudah saatnya kita mengajak orang-orang dari luar untuk bergabung dalam perjuangan ini. Kita bisa memperluas jangkauan kita.”

Elora tersenyum. “Aku pikir itu ide yang bagus. Kita bisa mengadakan pertemuan dengan perempuan-perempuan dari desa tetangga. Jika mereka bisa melihat betapa pentingnya menjaga alam ini, mereka mungkin juga bisa tergerak untuk melakukan hal yang sama.”

Mila mengangguk. “Kita harus memberi mereka ruang untuk berbicara, untuk merasa bahwa suara mereka dihargai. Ini bukan hanya tentang aksi, tapi tentang kesadaran. Mereka perlu tahu bahwa perubahan itu dimulai dari diri mereka sendiri.”

Dengan langkah mantap, Elora melangkah ke depan, menatap jauh ke horizon yang terbentang di depannya. Matahari sudah semakin tinggi, memberi cahaya yang terang dan harapan. Dia tahu, perjalanan mereka tidak akan berhenti di sini. Akan ada banyak tantangan, banyak halangan yang akan datang. Tetapi mereka sudah memiliki sesuatu yang lebih penting—kepercayaan diri, keberanian untuk berdiri, dan suara yang tak akan lagi dibungkam.

Hari itu, Elora berdiri di tengah-tengah perempuan-perempuan yang kini menjadi pahlawan dalam kisah ini. Mereka bukan hanya merawat alam, mereka merawat diri mereka sendiri, merawat masa depan. Setiap langkah yang mereka ambil adalah tanda bahwa dunia bisa berubah, bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dunia, bahkan dengan langkah kecil yang mereka ambil.

“Jangan berhenti,” kata Elora, berbicara dengan suara yang penuh tekad. “Langkah kita baru saja dimulai. Jika kita bisa menjaga alam ini, kita juga bisa menjaga kehidupan kita, kehidupan anak-anak kita. Kita bisa membangun dunia yang lebih baik, dunia yang lebih adil bagi semua.”

Dan dengan itu, mereka melangkah bersama, menapaki jalan yang tak lagi gelap. Setiap langkah mereka adalah cahaya, setiap suara mereka adalah revolusi. Mereka tahu bahwa perubahan ini adalah milik mereka, dan dunia akan mendengarkan mereka.

 

Jadi gitu deh, kita semua punya peran, nggak peduli seberapa kecilnya. Perempuan, alam, dan perubahan itu nggak bisa dipisahin.

Kalau kita bisa mulai dari langkah kecil, siapa tahu dunia bisa jadi tempat yang lebih baik, kan? Makanya, yuk, terus jaga suara kita, dan jangan berhenti berjuang, karena setiap perubahan dimulai dari hati yang nggak pernah lelah.

Leave a Reply