Daftar Isi
Kadang kita cuma butuh dunia yang sederhana, tempat kita bisa menjadi diri sendiri tanpa pretensi. Cerpen ini tentang dua orang yang menciptakan dunia milik mereka berdua, jauh dari segala kerumitan hidup.
Cuma ada cinta, tawa, dan kebersamaan. Kalau kamu suka cerita yang bikin hati hangat dan penuh harapan, kamu bakal suka banget sama cerita ini. Yuk, ikuti perjalanan cinta mereka yang sederhana tapi penuh makna!
Dunia Milik Kita Berdua
Catatan Pagi yang Mengubah Segalanya
Pagi itu, matahari sudah cukup tinggi, namun aku masih terbaring di tempat tidur, meremukkan selimut yang terbuka. Suara burung yang berkicau di luar jendela terasa begitu menyenangkan, tapi tetap tidak cukup membuatku membuka mata. Aku malas sekali. Hari ini, rasanya aku ingin melarikan diri dari segala rutinitas.
Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Sebuah benda kecil tergeletak di atas meja samping tempat tidur, yang menarik perhatianku. Sebuah kertas berlipat, dengan tulisan tangan yang rapi dan penuh warna, seperti selalu yang dia buat. Itu catatan dari Mara, tentu saja. Aku mengenal tulisan tangannya dengan sangat baik.
Tanpa pikir panjang, aku membuka catatan itu. Di dalamnya tertulis sebuah pesan singkat namun penuh makna:
“Maukah kamu menjelajahi dunia ini dengan aku? Ciptakan petualangan kita sendiri.”
Aku tersenyum membaca kata-kata itu, seolah rasanya dunia ini tak ada artinya tanpa Mara di sisiku. Kami selalu seperti ini—tak ada yang harus direncanakan dengan rumit, semuanya mengalir begitu saja, sederhana tapi penuh makna. Dunia kami, selalu terasa seperti dunia milik kami berdua.
Aku segera membalas catatan itu dengan satu kata yang sudah pasti akan menjadi jawabanku, “Ayo.”
Segera aku bangkit dari tempat tidur, bergegas merapikan diri, dan keluar dari kamar. Aku tahu Mara sudah menunggu. Kami tidak pernah merencanakan pagi ini, namun rasanya selalu ada saja waktu untuk menciptakan dunia kami sendiri. Dunia yang penuh tawa dan kebahagiaan, yang hanya ada untuk kami.
Taman dekat rumah kami adalah tempat yang selalu menjadi saksi dari segala cerita kami. Tempat di mana kami menemukan kenyamanan, kebebasan, dan tanpa beban. Begitu aku sampai di sana, Mara sudah ada di bangku taman, duduk dengan santai, mengenakan gaun putih yang melambai-lambai tertiup angin pagi. Rambutnya yang panjang tergerai indah, menyatu dengan warna langit yang cerah.
Dia menoleh dan tersenyum padaku. Senyumnya itu, selalu bisa membuat hatiku berdebar. Seperti sebuah janji, yang entah mengapa aku merasa, aku tak akan pernah bisa lepas darinya.
“Kamu terlambat,” katanya sambil memelankan suaranya, seolah bercanda. “Dunia kita harus dimulai tepat waktu, kan?”
Aku terkekeh, duduk di sampingnya. “Aku sudah datang, itu yang terpenting.”
Mara menatapku dengan tatapan penuh kebahagiaan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang selalu membuatku merasa kami berbicara tanpa kata-kata. “Kamu tahu, aku suka tempat ini,” katanya sambil menatap ke sekitar. “Karena rasanya, dunia ini hanya ada untuk kita.”
Aku mengikuti arah pandangannya, memperhatikan betapa tenangnya taman itu. Pagi yang cerah, bunga-bunga yang bermekaran, dan angin yang lembut berhembus, seakan menyatu dengan momen yang kami ciptakan. Dunia yang terisi hanya oleh kami berdua. “Aku tahu,” jawabku pelan. “Dunia kita selalu ada di sini.”
Mara mengangguk pelan, lalu menatapku lebih lama. “Apa kamu pernah berpikir tentang itu? Tentang dunia kita yang hanya milik kita berdua?”
Aku tidak bisa menahan senyum. Terkadang, Mara suka bertanya tentang hal-hal yang sederhana, namun terasa sangat dalam. “Tentu saja. Selama kita bersama, dunia ini tak akan pernah berbeda.”
Dia meraih tanganku, menggenggamnya erat. Di antara suara alam yang begitu menenangkan, ada sebuah ikatan tak terucapkan di antara kami. Aku merasa aman, merasa seperti dunia ini benar-benar hanya untuk kami berdua.
“Kamu yakin?” tanya Mara dengan suara lembut. Matanya penuh harap.
Aku menatapnya, merasakan ketenangan yang hanya bisa didapat saat berada di dekatnya. “Aku yakin. Selama kita bersama, dunia ini akan terus ada. Tidak peduli apa yang terjadi.”
Kami saling berpandangan, tanpa perlu kata-kata lagi. Aku menarik Mara ke dalam pelukanku, seolah tak ingin dunia ini berakhir begitu saja. Rasanya, aku ingin melupakan segala hal di luar sana dan hanya berfokus pada momen ini. Di bawah langit yang terbentang luas, dengan udara segar pagi yang mengisi paru-paru, dunia ini terasa seperti milik kami berdua.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada masa depan yang penuh ketidakpastian. Hanya ada kita, dan dunia yang kami bangun bersama. Semua yang ada di sekitar kami hanyalah bagian dari cerita ini, cerita yang kami ciptakan berdua, tanpa ada campur tangan siapa pun.
Di sini, di tempat ini, dunia ini hanya milik kita berdua. Aku dan Mara, bersama-sama, menjelajahi setiap sudutnya dengan tawa dan cinta yang tak pernah berhenti berkembang. Dunia ini, bukan sekadar tempat, tetapi rumah yang kami bangun dari setiap detik yang kami lewati bersama.
Dan aku tahu, dunia kami tidak akan pernah berakhir. Karena, selama ada Mara di sisiku, aku akan selalu merasa seperti kami berdua adalah satu-satunya orang yang ada di dunia ini.
Senja yang Menjadi Milik Kita
Langit sore itu memamerkan warna-warna yang tak pernah gagal memukau. Warna oranye dan merah meresap perlahan ke dalam setiap sudut taman, memantulkan kehangatan yang terasa hingga ke kulit. Aku dan Mara masih duduk di bangku yang sama, tanpa ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Hanya ada kesunyian yang nyaman, yang menyelimuti kami berdua.
Mara menyandarkan kepala di bahuku, dan aku bisa merasakan hembusan napasnya yang lembut di kulitku. Dia selalu begitu. Tidak banyak bicara, tapi semua yang dia lakukan terasa begitu berbicara. Seperti saat ini, dia tidak perlu mengatakan apa-apa, tapi aku tahu, dia merasa nyaman, begitu juga aku.
“Kamu tahu, aku selalu merasa di rumah setiap kali bersamamu,” kata Mara pelan, suara lembutnya seperti bisikan angin yang merayap. Aku mengangguk, mengusap rambutnya yang tergerai dengan lembut.
“Aku juga. Rasanya, tidak ada yang lebih penting selain kita, selain momen ini.”
Dia tersenyum, mata itu berbinar seperti langit yang kini dipenuhi warna keemasan. Aku bisa merasakan jari-jarinya yang terulur, meraih tanganku, lalu menggenggamnya erat. Tangan kami menyatu, menciptakan dunia yang tak terbagi.
Tangan Mara terasa lebih dingin sekarang, jadi aku menariknya lebih dekat, memasukkannya ke dalam saku jaketku. Kami tak perlu berkata lebih banyak, karena setiap gerakan dan tatapan sudah cukup untuk menggambarkan apa yang kami rasakan. Dunia ini, memang hanya milik kami berdua.
“Aku merasa seperti kita sudah menjalani ini untuk waktu yang sangat lama, bahkan meskipun baru beberapa bulan,” kata Mara tiba-tiba, matanya menatap jauh ke depan, menyusuri jejak-jejak sinar matahari yang mulai meredup. “Mungkin ini yang orang-orang sebut cinta sejati, ya?”
Aku memandang Mara, merasa seperti setiap kata yang keluar darinya adalah kebenaran yang tak perlu dibuktikan lagi. “Mungkin, kita hanya tahu bahwa ini benar. Tidak perlu alasan.”
Mara tertawa kecil, kemudian menoleh padaku. “Kadang, aku ingin dunia ini berhenti berputar, agar kita bisa tetap seperti ini, hanya berdua.”
Aku menatapnya, merasakan sebuah keinginan yang sama. “Aku juga, tapi dunia tidak akan berhenti. Kita hanya perlu berjalan bersamanya.”
Mara menghela napas panjang, seolah berpikir tentang apa yang baru saja aku katakan. “Jadi, bagaimana kita bisa membuat dunia ini tetap milik kita? Apa yang harus kita lakukan supaya tidak ada yang bisa mengganggu kita?”
Aku merasa ada kedalaman dalam pertanyaannya, sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan ringan. Dunia ini memang tak akan berhenti berputar, dan meskipun kami berdua ingin menjaga setiap detik agar tetap berada di antara kami, kenyataannya hidup terus bergerak maju. Namun, ada satu hal yang pasti: kami akan selalu menemukan cara untuk menjaganya.
“Kita buat aturan sendiri,” jawabku. “Aturan yang hanya kita yang tahu, yang hanya kita yang mengerti.”
Mara menatapku dengan senyum penuh makna, seperti sedang memikirkan rencana besar yang belum terungkap. Dia tahu, bahwa bersama aku, dunia ini tak akan pernah bisa mengalahkan kami. “Aku suka itu,” katanya pelan. “Aturan kita sendiri.”
Kehangatan yang kami ciptakan bersama mulai menyelimuti senja yang perlahan menggugurkan matahari. Taman itu semakin sepi, hanya ada kami yang tetap duduk, berbagi momen dalam keheningan. Beberapa orang lewat, tapi mereka hanya menjadi bayangan dalam dunia kecil yang kami ciptakan. Dunia yang terbuat dari sentuhan, tawa, dan perasaan yang tak pernah bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Apa kamu pernah berpikir tentang masa depan?” tanya Mara tiba-tiba, suaranya lebih serius. Aku bisa merasakan ketegangan kecil yang muncul di dalam dirinya.
Aku mengangguk perlahan, mengerti arah pembicaraannya. “Tentu. Tapi, untuk kita, masa depan itu adalah apa yang kita buat sekarang. Selama kita bersama, aku tidak takut tentang apapun.”
Mara menyandarkan kepalanya ke bahuku lagi, dan aku bisa merasakan ketenangannya. “Aku suka itu,” katanya, suara lembutnya hampir tak terdengar. “Aku suka bahwa kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan, bahkan tanpa aku harus mengatakannya.”
“Karena aku selalu ingin menjadi orang yang bisa kamu andalkan,” jawabku, dengan suara yang begitu pasti. “Aku ingin selalu ada untukmu, Mara.”
Mara mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan yang penuh harapan. “Kamu selalu ada untuk aku, kan?”
Aku mengangguk, tersenyum dengan lembut. “Selalu.”
Dan saat itu, senja merayap lebih dekat, mengaburkan warna-warna indah di langit. Namun, aku merasa bahwa apa yang kami miliki—dunia kecil yang kami bangun dengan penuh cinta—akan tetap ada. Tidak ada yang bisa merubahnya, tidak ada yang bisa memisahkan kami.
Karena selama kami berdua ada, dunia ini adalah milik kami.
Berjalan Bersama di Taman Kita
Pagi berikutnya datang begitu cepat, namun suasana hati kami tetap terasa hangat. Seperti biasa, aku dan Mara memilih untuk menghabiskan waktu bersama di taman. Tempat itu, yang telah menjadi saksi bisu dari segala cerita kami, seakan tahu betapa kami mencintainya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Udara pagi terasa lebih sejuk dari biasanya, seolah memberi tanda bahwa hari ini akan berbeda. Kami berjalan berdampingan, langkah kaki kami bersatu dalam irama yang sempurna. Tak ada yang perlu dijelaskan—hanya kami, bersama-sama, meresapi setiap detik yang terlewat. Di dunia ini, kami berdua adalah satu-satunya yang tahu betapa berharganya momen ini.
“Lihat itu,” kata Mara tiba-tiba, menarik perhatianku. Dia menunjuk ke arah pohon besar di ujung taman, di mana beberapa burung berterbangan dengan bebasnya, melintasi langit yang cerah. “Seperti kita, kan? Bebas dan tidak ada yang mengikat.”
Aku mengikuti arah telunjuknya, melihat burung-burung itu terbang dengan riang, bebas dari segala kekhawatiran. Rasanya, aku ingin menjadi seperti mereka—terbang tinggi tanpa takut akan apa pun. Dan untuk itu, aku tahu, Mara adalah sayapku.
“Kita memang bebas,” jawabku, melirik Mara yang tersenyum cerah di sampingku. “Bebas dari semua aturan dunia. Dunia kita punya aturannya sendiri.”
Mara tertawa kecil, namun tawanya kali ini terdengar lebih dalam, penuh dengan perasaan yang tak terbendung. “Aku suka itu. Kita berdua adalah aturan itu.”
Aku merasa senang mendengar kata-katanya. Mara selalu punya cara untuk membuatku merasa lebih dari sekadar biasa. Begitu dia ada di dekatku, dunia ini menjadi tempat yang indah, tempat yang penuh kebebasan dan harapan. Tidak ada yang menghalangi kami, karena apa yang kami punya adalah sesuatu yang tak bisa dipahami oleh banyak orang.
Kami melanjutkan langkah, berjalan menyusuri jalur setapak yang dikelilingi pohon-pohon hijau, dengan angin pagi yang lembut berbisik di telinga kami. Suara langkah kaki kami bergema di sekeliling taman yang tenang. Di tengah keheningan itu, aku merasakan kedekatan yang begitu dalam. Kami berdua hanya ada untuk satu sama lain, dan itu sudah cukup untuk membuat hari ini sempurna.
“Ada yang ingin kamu lakukan hari ini?” tanya Mara, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Aku menoleh padanya, lalu tersenyum. “Aku hanya ingin bersama kamu. Itu sudah lebih dari cukup.”
Mara menghentikan langkahnya, lalu menatapku dengan mata yang penuh kehangatan. Ada kedalaman yang terpancar dari sorot matanya, sesuatu yang membuatku merasa seperti aku tak pernah bisa lepas darinya. “Aku juga,” jawabnya pelan, hampir berbisik. “Kita bisa pergi ke mana saja, asalkan kita bersama.”
Kami berjalan lagi, kali ini lebih pelan, menikmati setiap detik yang terlewati. Rasanya seperti waktu berhenti begitu kami berdua berada di sini, di dunia yang hanya milik kami. Tidak ada yang mengganggu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua yang ada di sekitar kami hanya menjadi latar belakang dari cerita yang kami bangun bersama.
Langkah kami semakin lambat saat kami mendekati danau kecil yang ada di ujung taman. Airnya tenang, memantulkan langit yang biru cerah. Di sini, kami berhenti dan duduk di sebuah bangku kayu yang sudah lama ada, menikmati pemandangan indah yang dihadirkan alam.
“Kita bisa duduk di sini selama-lamanya, kan?” tanya Mara dengan suara lembut, matanya menatap danau yang tenang. “Tidak ada yang mengganggu kita.”
Aku mengangguk, merasakan ketenangan yang sama. “Tentu saja. Selama kita bersama, aku tidak butuh yang lain.”
Mara tersenyum dan memejamkan matanya, seolah membiarkan angin pagi mengusap wajahnya. Aku merasakan kedamaian yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Di dunia ini, aku dan Mara adalah satu-satunya yang tahu bagaimana rasanya berbagi segala hal tanpa perlu takut kehilangan.
“Kamu pernah berpikir,” Mara mulai lagi, suara rendahnya terdengar begitu dekat, “jika kita terus seperti ini, dunia akan selalu ada untuk kita?”
Aku memandangnya, merasakan kenyamanan yang hanya bisa datang dari seseorang yang benar-benar memahami siapa aku. “Aku percaya itu,” jawabku yakin. “Selama kita berdua saling ada, dunia ini tak akan pernah berhenti berputar. Karena kita adalah dunia itu sendiri.”
Mara mengangguk perlahan, lalu tersenyum. “Aku suka cara kamu berpikir.”
Kami tetap duduk di sana, menikmati keheningan yang nyaman. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berarti. Dunia ini, seakan hanya milik kami berdua. Tak ada yang lebih berharga dari ini—dari momen yang kami ciptakan bersama, dari cinta yang kami pelihara.
“Jadi, apa yang kamu harapkan dari masa depan kita?” tanya Mara, kali ini suaranya lebih serius. Namun, aku tidak merasa tertekan dengan pertanyaannya. Karena, untuk aku, masa depan itu sudah ada. Itu adalah kami berdua, berjalan bersama, menjelajahi dunia ini dengan tangan yang saling menggenggam erat.
Aku tersenyum, merasakan ketegasan yang sama di hatiku. “Apa pun yang datang, selama kita tetap bersama, itu sudah cukup.”
Mara menoleh, menatapku dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku setuju.”
Dan di bawah langit yang semakin cerah, kami berdua terus berjalan, menikmati perjalanan ini bersama, dalam dunia yang hanya milik kami.
Dunia Kita yang Abadi
Matahari sudah mulai merendah, meninggalkan jejak-jejak keemasan di horizon, tetapi kami masih duduk di bangku kayu itu, tak berniat bergerak. Semua yang ada di sekitar kami seolah menghilang—hanya ada kami, dalam dunia kecil yang telah kami ciptakan. Di sini, di dunia milik kami, waktu berjalan dalam irama yang berbeda, lebih lambat, lebih indah, lebih terasa.
Aku menatap Mara yang duduk di sampingku, masih dengan senyuman yang tak pernah hilang dari wajahnya. Wajah yang selalu mampu membuat dunia terasa lebih terang. Matahari memantul di wajahnya, memberi kesan hangat yang seakan tak ingin pergi. Setiap kali aku menatapnya, aku merasa seperti aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Kamu tahu, aku merasa seperti di rumah setiap kali aku bersama kamu,” katanya, suaranya terdengar lebih dalam kali ini, lebih emosional. “Kadang aku berpikir, apakah dunia ini benar-benar milik kita, atau apakah kita hanya membangun dunia kita sendiri dari cerita-cerita yang kita bagi.”
Aku tersenyum, merasakan perasaan yang sama. Kami memang membangun dunia kami sendiri, dunia yang tak dipengaruhi oleh apapun selain cinta dan kebersamaan. Dunia di mana tidak ada ruang untuk ketakutan atau kekhawatiran. Hanya ada kami, saling mendukung, saling menguatkan.
“Kita membangunnya bersama,” jawabku dengan lembut, “Dan dunia ini akan selalu milik kita, selamanya.”
Mara mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari pandanganku. “Aku tidak tahu mengapa aku merasa begitu tenang denganmu. Seakan-akan, apa pun yang terjadi, kita bisa menghadapinya bersama.”
Aku menggenggam tangannya dengan erat, merasakan kehangatannya yang selalu menenangkan. “Karena kita memang tak akan pernah sendirian. Aku selalu ada untukmu, Mara. Apa pun yang terjadi.”
Dia tersenyum, senyum yang tulus dan penuh kepercayaan. “Aku tahu itu. Aku selalu merasa aman bersamamu.”
Kami duduk berdua, membiarkan angin senja membawa perasaan itu jauh, meninggalkan segala beban yang ada. Tidak ada yang bisa mengganggu dunia kami—tidak ada rintangan yang terlalu besar, tidak ada masalah yang tak bisa kami hadapi bersama. Kami adalah dua orang yang saling melengkapi, seperti dua potongan puzzle yang sempurna.
“Aku tidak ingin hari ini berakhir,” kata Mara tiba-tiba, suaranya penuh harap. “Aku ingin terus seperti ini, selamanya.”
Aku menatapnya, merasakan sesuatu yang sangat dalam di dalam hati. “Kita bisa. Dunia kita tak pernah harus berakhir. Kita bisa terus menciptakan momen seperti ini, setiap hari, bersama.”
Kami berdua berdiri dan berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju keluar taman, tanpa kata-kata lagi, hanya ada langkah kaki yang bersatu. Tak ada yang perlu diungkapkan. Semua sudah terasa jelas. Dunia ini adalah milik kami berdua, dan tak ada yang bisa merubah itu. Kami telah menemukan tempat kami, dan itu tidak perlu dibicarakan lebih lanjut.
Di luar taman, lampu-lampu kota mulai menyala, tapi kami tetap fokus pada satu hal—kami berdua. Selama kami saling ada, dunia ini tidak akan pernah berhenti menjadi milik kami. Selama cinta ini ada, tidak ada yang perlu dipertanyakan. Kami adalah dunia itu, dan dunia itu adalah kami.
Di sinilah aku tahu, inilah rumahku. Di samping Mara, di dunia yang kami bangun. Tidak ada yang lebih sempurna dari ini. Tidak ada yang lebih indah. Karena kami, bersama, adalah segalanya.
Dan begitulah, dunia mereka berdua terus berputar, penuh dengan tawa, cinta, dan momen-momen yang tak terlupakan. Karena pada akhirnya, dunia yang paling indah adalah dunia yang kita ciptakan bersama orang yang kita sayang.
Semoga cerita ini bisa bikin kamu ngerasa hangat di hati, seperti halnya dunia milik mereka yang tak ada habisnya. Terima kasih sudah menemani perjalanan cinta sederhana ini. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!