Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa kalau dunia nyata itu terlalu kejam, sampai rasanya lebih enak hidup di dunia mimpi? Penuh warna, penuh kebahagiaan, dan nggak ada orang yang ngehakimi. Tapi… gimana kalau dunia mimpi itu ternyata lebih nyata dari yang kita kira?
Ini kisah tentang Lunaria, perempuan yang hidup di dunia penuh keajaiban, cinta, dan kebahagiaan. Tapi di balik semua itu, ada rahasia besar yang bakal bikin semua orang merinding. Siap buat masuk ke dunia fantasi yang beda dari cerita-cerita lain?
Dunia Fantasi yang Nyata
Kerajaan Cahaya dan Cinta
Dunia ini begitu indah, seolah-olah setiap elemen diciptakan hanya untuk menghadirkan kebahagiaan. Langit tak pernah muram, selalu memancarkan gradasi warna lembut yang menenangkan jiwa. Matahari bersinar hangat, tapi tidak menyengat. Awan-awan mengapung ringan seperti bulu angsa, berubah warna mengikuti irama angin.
Di tengah dunia yang seperti mimpi itu, berdirilah Lunaria—seorang ratu dalam balutan gaun yang seakan dijalin dari benang cahaya. Rambut peraknya memantulkan sinar matahari, berkilauan setiap kali ia bergerak.
Ia melangkah pelan di atas jembatan kristal yang membentang di atas sungai emas. Setiap pijakan kakinya mengeluarkan pantulan cahaya seperti permata. Di bawahnya, ikan-ikan dengan sirip berpendar berenang riang, menciptakan pola indah di permukaan air. Angin berembus lembut, membawa aroma manis dari bunga-bunga yang tak pernah layu.
Dunia ini adalah rumahnya.
“Lunaria,” sebuah suara memanggil lembut, membuatnya menoleh.
Di sana, berdiri seseorang yang tak pernah jauh darinya—Orpheon.
Pria itu memiliki rambut hitam kebiruan yang selalu tampak sedikit berantakan, tetapi justru membuatnya terlihat semakin menarik. Matanya dalam, berwarna seperti laut sebelum badai datang, tetapi selalu hangat saat memandangnya.
Lunaria tersenyum ketika Orpheon mendekat, tangannya yang hangat meraih jemarinya. Ia tak pernah keberatan dengan sentuhan itu. Ada sesuatu yang menenangkan setiap kali Orpheon menyentuhnya—seolah ia sedang menggenggam kebahagiaan yang tak akan pernah hilang.
“Kamu mau pergi ke mana?” tanyanya lembut.
“Tidak tahu.” Lunaria terkekeh. “Hanya ingin berjalan-jalan. Dunia ini terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja.”
Orpheon tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku ikut.”
Mereka berjalan berdampingan, tanpa tergesa-gesa, menikmati keindahan dunia yang diciptakan untuk mereka.
Saat mereka melewati taman, bunga-bunga berwarna pastel bermekaran lebih cerah seakan menyapa. Kupu-kupu bercahaya beterbangan di sekitar mereka, meninggalkan jejak serbuk keemasan di udara. Seekor kelinci kecil dengan bulu selembut awan melompat ke dekat kaki Lunaria, matanya yang besar menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Lunaria berjongkok, mengulurkan tangan. “Lucu sekali…”
Kelinci itu mendekat, membiarkan Lunaria mengelus kepalanya. Bulu lembut itu terasa seperti sutra di ujung jemarinya.
“Kamu suka di sini?” tanya Orpheon, suaranya pelan namun penuh makna.
Lunaria menoleh, menatapnya dengan heran. “Tentu saja. Kenapa kamu tanya begitu?”
Orpheon menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan.”
Lunaria mengernyit, tetapi tak menanggapi lebih lanjut.
Mereka melanjutkan perjalanan.
Di tepi danau kristal, mereka duduk berdampingan di atas batu yang permukaannya sehalus kaca. Air danau begitu jernih, memantulkan wajah mereka seperti cermin.
Orpheon menatapnya dalam-dalam. “Aku suka melihat kamu bahagia.”
Lunaria tersenyum kecil. “Aku memang bahagia.”
Orpheon tidak langsung menjawab. Jemarinya perlahan menyelip ke rambut Lunaria, mengusapnya dengan lembut.
“Aku ingin kamu tetap di sini.”
Lunaria mengerutkan dahi. “Memangnya aku mau ke mana?”
Orpheon tidak menjawab, tetapi sorot matanya mendadak terasa aneh.
Lunaria mengabaikannya. Ia memejamkan mata, menikmati belaian lembut itu. Segalanya terasa begitu sempurna. Dunia ini adalah tempat di mana ia selalu ingin berada.
Tak ada rasa sakit. Tak ada kesedihan. Hanya kebahagiaan yang tiada akhir.
Dan Orpheon—pria yang selalu ada untuknya, selalu memandangnya seolah dirinya adalah satu-satunya yang berharga.
Ia ingin semuanya tetap seperti ini selamanya.
Namun, entah mengapa… jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang berbisik pelan.
Bisikan yang asing.
Bisikan yang mengusik ketenangan yang telah ia kenal selama ini.
Bisikan dari Dunia Lain
Lunaria terbangun dengan rasa ganjil di dadanya. Seakan ada sesuatu yang baru saja berbisik di telinganya, namun saat ia mencoba mengingatnya, suara itu menghilang seperti asap tertiup angin.
Ia mengusap pelipisnya, lalu menghela napas. Angin pagi yang sejuk membelai kulitnya, membawa aroma bunga-bunga liar yang bermekaran di taman istana. Dari balkon kamarnya yang terbuat dari kristal biru transparan, ia bisa melihat dunia yang begitu indah terbentang luas. Pegunungan menjulang dengan puncak yang berpendar keemasan, sungai mengalir seperti cairan perak, dan burung-burung bernyanyi tanpa henti di antara pepohonan zamrud.
Dunia ini sempurna.
Lalu kenapa ada sesuatu yang terasa… tidak benar?
Lunaria menggeleng pelan, mencoba mengusir kegelisahan yang tiba-tiba mengendap dalam dirinya.
Ketukan lembut terdengar dari pintu kamarnya. Tak butuh waktu lama sebelum sosok Orpheon muncul di ambang pintu, membawa secangkir minuman yang mengepul harum.
“Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini,” katanya sambil mendekat.
Lunaria menerima cangkir itu dan tersenyum tipis. “Aku merasa aneh.”
Orpheon duduk di sebelahnya, menatapnya dengan mata yang menyelidik. “Aneh bagaimana?”
Lunaria menggigit bibir. Ia ragu harus menjelaskan perasaan ini bagaimana.
“Aku… seperti mendengar suara.”
Orpheon membeku sejenak, tetapi hanya sesaat sebelum ia tersenyum seperti biasa. “Suara apa?”
Lunaria menggeleng. “Aku nggak tahu. Rasanya seperti seseorang memanggilku, tapi aku nggak bisa mengingat apa yang mereka katakan.”
Orpheon menatapnya dalam, lalu tiba-tiba meraih tangannya. Jemari hangatnya membelai punggung tangan Lunaria, lembut dan menenangkan.
“Kamu pasti hanya bermimpi,” katanya pelan. “Di sini, nggak ada yang bisa memanggilmu selain aku.”
Lunaria menatapnya. Biasanya, kata-kata Orpheon bisa menenangkan semua kegelisahannya. Namun kali ini, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa berbeda.
Seolah-olah… ia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Hari itu, Lunaria mencoba mengalihkan pikirannya dengan berjalan-jalan sendirian di hutan cahaya. Pohon-pohon tinggi dengan daun transparan berpendar lembut di sekelilingnya. Setiap langkahnya di atas rerumputan menghasilkan jejak cahaya keemasan yang perlahan memudar.
Biasanya, ia akan menikmati setiap detik berada di tempat ini.
Tapi hari ini, perasaan ganjil itu semakin mengusik.
Saat ia melewati sebuah pohon tua dengan akar yang membentuk lengkungan indah, suara itu kembali terdengar.
“Lunaria…”
Lunaria tersentak, menoleh cepat.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya suara angin yang berhembus, menggesek dedaunan yang bersinar.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, berusaha tetap tenang.
“Lunaria…”
Kali ini lebih jelas.
Lebih nyata.
Bulu kuduknya meremang.
Ia menoleh ke sekeliling, mencari-cari sumber suara. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya hutan yang begitu sunyi, seolah seluruh dunia menahan napas.
“Lunaria, bangunlah…”
Sebuah getaran aneh menjalar ke dalam tubuhnya, dan tiba-tiba—
Bayangan-bayangan muncul di benaknya.
Ruangan putih. Cahaya terang. Suara mesin berbunyi monoton.
Dan tubuhnya sendiri… terbaring tak bergerak di atas tempat tidur.
Lunaria tersentak mundur, napasnya memburu.
“Apa… tadi itu?”
Dunia ini mulai terasa berputar. Kakinya melemas, hampir jatuh jika saja seseorang tidak menangkapnya tepat waktu.
“Lunaria!”
Suara itu familiar. Hangat. Nyata.
Orpheon.
Pria itu memegang bahunya erat, menatapnya penuh kekhawatiran. “Apa yang terjadi?”
Lunaria mengerjap beberapa kali, mencoba menenangkan diri. Napasnya masih tersengal.
“Aku… aku melihat sesuatu…”
Orpheon menggenggam tangannya lebih erat. “Apa yang kamu lihat?”
Lunaria membuka mulut, tetapi ragu untuk mengatakannya. Ia menatap mata Orpheon—mata yang biasanya selalu terasa hangat dan menenangkan.
Namun sekarang, ada sesuatu yang berubah.
Ketakutan.
Lunaria merasakan perutnya bergejolak.
Orpheon tidak ingin ia mengingat sesuatu.
Dan ia tidak tahu apakah itu pertanda baik… atau buruk.
Di Antara Dua Pilihan
Sejak kejadian di hutan cahaya, ada sesuatu dalam diri Lunaria yang berubah.
Dunia ini masih indah, masih sempurna, tapi ada celah kecil yang mulai terbuka—sebuah celah yang memperlihatkan sesuatu yang selama ini tersembunyi.
Setiap kali ia melihat refleksi dirinya di permukaan air, ada bayangan lain yang muncul. Bukan dirinya dalam gaun berpendar, bukan sang ratu dari negeri impian ini, tapi seorang perempuan dengan rambut berantakan, wajah pucat, dan mata yang kehilangan sinar.
Dan setiap kali ia memejamkan mata, suara itu semakin nyaring.
“Lunaria, bangun…”
Hari itu, ia memutuskan untuk kembali ke hutan cahaya.
Orpheon mencoba menahannya.
“Kamu nggak perlu ke sana lagi,” katanya, suaranya sedikit lebih mendesak dari biasanya.
Lunaria menatapnya. “Kenapa?”
Orpheon menghela napas, menangkup wajahnya dengan kedua tangan. “Karena aku nggak mau kehilangan kamu.”
Lunaria tersentak. Bukan karena kata-kata itu—Orpheon sudah sering mengatakan hal serupa—tapi karena sorot matanya.
Ada ketakutan.
Bukan ketakutan karena ia akan pergi ke tempat berbahaya, tapi lebih seperti… takut Lunaria akan menemukan sesuatu.
Lunaria melepaskan diri dengan lembut. “Aku harus ke sana, Orpheon.”
Orpheon terdiam, seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
Lalu akhirnya, ia menghela napas pelan. “Baiklah. Kalau begitu, aku ikut.”
Langkah Lunaria semakin mantap saat mereka memasuki hutan cahaya. Kali ini, ia tahu apa yang harus dilakukan.
Suara itu selalu memanggilnya dari satu titik—sebuah pohon tua yang ia temukan sebelumnya.
Dan saat ia berdiri di hadapan pohon itu lagi, sesuatu dalam dirinya bergetar.
“Lunaria…”
Suara itu lebih jelas dari sebelumnya.
Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh batang pohon yang terasa lebih dingin dari biasanya.
Tiba-tiba—
Dunia di sekelilingnya berubah.
Ia melihat dirinya sendiri.
Bukan dirinya di dunia ini, tapi di dunia lain. Dunia yang asing. Dunia yang tidak bercahaya.
Ia terbaring di tempat tidur, dengan berbagai kabel yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya tertutup, dan napasnya pelan—seakan setiap hembusan adalah perjuangan untuk tetap hidup.
Ruangan itu penuh dengan suara mesin dan bau antiseptik.
Dan di samping tempat tidur, ada orang-orang.
Seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih. Wanita dengan wajah penuh garis lelah.
Mereka menangis.
“Tolong bangun…”
Lunaria tersentak mundur.
Orpheon menangkapnya sebelum ia jatuh, matanya penuh kekhawatiran. “Lunaria!”
Lunaria terengah-engah, dadanya terasa sesak.
“Aku…” Ia menatap Orpheon dengan mata membulat. “Aku ada di tempat lain… Aku ada di dunia lain!”
Orpheon membeku.
Dan dalam keheningan itu, Lunaria melihat sesuatu dalam mata pria itu yang belum pernah ia sadari sebelumnya.
Kesedihan.
Tapi bukan kesedihan biasa.
Kesedihan seseorang yang tahu kebenaran sejak awal.
Lunaria menahan napas. “Kamu tahu, kan?”
Orpheon tidak menjawab.
Lunaria mencengkeram kerah bajunya. “Kamu tahu selama ini aku bukan berasal dari sini, kan?!”
Orpheon memejamkan mata, lalu menarik napas panjang. “Ya.”
Lunaria membeku.
Dadanya terasa sesak, bukan karena marah, tapi karena sebuah kesadaran pahit menghantamnya seperti gelombang pasang.
Dunia ini…
Semua yang ada di sini…
Kebahagiaan yang ia rasakan selama ini…
Semua itu bukan nyata.
Dan Orpheon tahu sejak awal.
“Kamu tidak boleh pergi.”
Lunaria menatapnya, tidak percaya. “Apa maksudmu?”
Orpheon menatapnya penuh harap. “Kalau kamu kembali ke sana, kamu akan kehilangan semua ini. Dunia ini. Kebahagiaan ini.”
Lunaria terdiam.
Orpheon menggenggam tangannya erat. “Aku di sini. Aku akan selalu di sini. Kamu tidak perlu kembali ke dunia yang menyakitkan itu.”
Lunaria menggigit bibir. Sebagian dari dirinya ingin percaya. Sebagian dari dirinya ingin tetap tinggal.
Tapi sekarang, ia tahu kebenarannya.
Dan ia tidak bisa mengabaikan suara yang terus memanggilnya.
“Lunaria, bangun…”
Ia harus memilih.
Tetap di sini bersama Orpheon… atau kembali ke dunia nyata yang penuh kesengsaraan?
Antara Realita dan Mimpi
Lunaria berdiri di antara dua dunia.
Di satu sisi, ada Orpheon dengan mata penuh harap, tangannya menggenggam jemarinya erat, seolah takut jika ia melepaskannya, maka Lunaria akan menghilang selamanya. Ada langit berpendar ungu kebiruan, angin yang berembus lembut membawa aroma bunga, dan istana kristal yang bersinar di kejauhan—dunia yang telah menjadi rumahnya. Dunia yang selalu memberinya kebahagiaan.
Di sisi lain, ada suara yang terus memanggil. Samar, namun semakin kuat, semakin nyata. Ada gambaran ruangan putih, suara mesin yang berbunyi monoton, dan tangan-tangan asing yang menggenggam tubuhnya yang lemah.
Ia menggigit bibir.
“Aku nggak bisa tinggal di sini, Orpheon…” suaranya hampir berbisik.
Orpheon menggeleng, jemarinya semakin erat menggenggam tangan Lunaria. “Kenapa? Di sini kamu bahagia, kan? Bukankah di sini lebih baik daripada dunia itu?”
Lunaria terdiam.
Orpheon benar. Di sini, ia bahagia. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada tangisan. Tidak ada orang-orang yang menyalahkannya, menuntutnya, menghakiminya.
Di dunia ini, Orpheon selalu ada untuknya.
Tapi apakah itu cukup?
Apakah ia harus menutup mata terhadap kebenaran hanya karena ia takut menghadapi dunia nyata?
Orpheon menyentuh wajahnya, ibu jarinya menghapus air mata yang jatuh tanpa ia sadari. “Aku mohon… jangan pergi.”
Lunaria menatapnya dalam-dalam.
Ia ingin tinggal.
Ia ingin tetap di sini bersamanya.
Tapi…
“Orpheon,” suaranya bergetar. “Dunia ini… hanya sebuah mimpi, kan?”
Orpheon terdiam. Ia menundukkan kepala, bahunya bergetar.
Lunaria mengulurkan tangan, menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku harus bangun…”
Orpheon mencengkeram tangannya sekali lagi, tapi kali ini, genggamannya melemah. Seakan ia tahu bahwa tidak peduli seberapa keras ia mencoba menahannya, Lunaria sudah membuat pilihan.
“Kamu akan melupakan semuanya,” bisiknya. “Melupakan aku…”
Lunaria menelan ludah, hatinya terasa remuk.
Ia menggeleng, menatapnya penuh keyakinan. “Aku nggak akan pernah melupakan kamu, Orpheon.”
Orpheon menutup mata, menarik napas panjang, lalu tersenyum pahit. “Kalau begitu… pergilah.”
Dunia mulai bergetar. Cahaya di sekelilingnya berpendar semakin terang, menyilaukan.
Lunaria merasakan tubuhnya semakin ringan, seakan sesuatu menariknya ke tempat lain.
Dan dalam detik-detik terakhir sebelum semuanya menghilang, ia melihat Orpheon tersenyum.
Senyum terakhirnya.
Napas pertama yang ia hirup terasa berat.
Tubuhnya terasa kaku, seolah sudah lama tak bergerak. Kelopak matanya begitu berat, tapi akhirnya ia berhasil membukanya.
Cahaya putih menyilaukan.
Bukan cahaya dari dunia imajinasi, tapi dari lampu ruangan rumah sakit.
Seseorang menangis tertahan di sampingnya.
“Lunaria?”
Suara itu tidak asing.
Ia menoleh pelan dan melihat wajah wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari yang ia ingat. Mata sembab, garis-garis lelah mengukir wajahnya.
“Ibu…?” suaranya sendiri terdengar serak, nyaris tidak dikenali.
Sang ibu langsung menangis lebih kencang, menggenggam tangannya erat. “Puji Tuhan… kamu bangun, Nak… Kamu benar-benar bangun…”
Lunaria mencoba memahami situasinya. Ia melirik ke sekeliling—ayahnya ada di sudut ruangan, memalingkan wajah, tapi ia tahu lelaki itu sedang menangis diam-diam. Kakaknya berdiri tak jauh, menatapnya seakan ia adalah keajaiban yang mereka tunggu.
Ia kembali ke dunia nyata.
Tapi mengapa rasanya begitu kosong?
Hatinya terasa hampa, seakan ada bagian penting yang hilang.
Dan saat ia memejamkan mata, bayangan terakhir Orpheon kembali muncul dalam benaknya.
Senyumnya.
Matanya yang sendu.
Lunaria menelan isakannya sendiri.
Orpheon sudah tidak ada.
Tidak akan pernah ada lagi.
Dan hanya Lunaria yang mengingatnya.
Waktu berlalu.
Lunaria kembali menjalani hidupnya di dunia nyata. Ia menjalani terapi, berusaha menguatkan tubuhnya yang melemah akibat koma yang begitu lama. Orang-orang yang dulu menyalahkannya perlahan berubah, terutama keluarganya.
Namun tidak peduli seberapa keras ia mencoba, dunia ini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Tidak ada Orpheon.
Tidak ada dunia berpendar yang sempurna.
Kadang, ia memejamkan mata, berharap bisa kembali walau hanya sebentar.
Tapi mimpi itu tak pernah datang lagi.
Lunaria sadar, dunia itu telah tertutup untuk selamanya.
Namun saat ia berjalan di taman rumah sakit suatu hari, angin bertiup lembut, membawa aroma bunga yang begitu familiar.
Dan di antara semilir angin, ada suara yang berbisik.
Bukan suara dari dunia nyata.
Bukan suara yang berasal dari orang-orang di sekitarnya.
Tapi suara yang ia rindukan.
“Aku selalu di sini.”
Lunaria tersenyum, menatap langit yang membentang luas.
Ia tahu.
Ia tidak akan pernah sendirian.
Kadang, dunia nyata memang nyakitin. Tapi bukan berarti kita bisa lari selamanya ke dalam mimpi. Lunaria udah belajar itu dengan cara paling menyakitkan. Tapi satu hal yang pasti, nggak peduli dunia mana yang kita pilih, kenangan itu nggak akan pernah hilang. Karena meskipun mimpi bisa berakhir, tapi perasaan yang ditinggalkannya akan tetap hidup selamanya.