Duka Pengkhianatan Sahabat: Cinta yang Memecah Ikatan

Posted on

Apakah Anda pernah merasakan pengkhianatan dari sahabat terdekat karena cinta? Cerpen Duka Pengkhianatan Sahabat: Cinta yang Memecah Ikatan mengajak Anda menyelami perjalanan emosional Satria Wibisono, seorang pustakawan yang menghadapi patah hati akibat persahabatan yang hancur karena cinta. Dari luka mendalam hingga kebangkitan melalui puisi, kisah ini penuh dengan emosi, intrik, dan pelajaran hidup yang menyentuh. Siapkah Anda menemukan inspirasi di balik duka ini?

Duka Pengkhianatan Sahabat

Bayang di Balik Kepercayaan

Pukul 13:15 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, hujan rintik-rintik turun di sebuah taman kecil di kawasan Bogor, Jawa Barat, membawa aroma tanah basah yang menyelinap melalui celah-celah pepohonan hijau. Di sudut taman, di bawah pohon beringin tua yang rindang, satria Wibisono duduk sendirian di bangku kayu yang sudah usang, tangannya mencengkeram erat sebuah buku harian lusuh yang penuh tulisan tangan. Pria berusia 28 tahun itu memiliki rambut hitam agak panjang yang basah oleh tetesan hujan, matanya cokelat tua menatap kosong ke arah danau kecil di depannya, dan pakaiannya yang sederhana—kaos putih dan jaket denim—terlihat kusut akibat hari yang penuh gejolak. Di dadanya, rasa sakit yang tak terucap mulai membakar, dipicu oleh pengkhianatan yang baru saja ia sadari.

Satria adalah seorang pustakawan di sebuah perpustakaan kota, hidup tenang dengan hobi membaca dan menulis puisi. Dua tahun lalu, ia bertemu dengan dua sahabatnya, Jelita Saraswati dan Rangga Pratidina, dalam sebuah kelas sastra di komunitas lokal. Jelita, seorang seniman berusia 26 tahun dengan senyum hangat dan rambut panjang yang selalu diikat rapi, menjadi cinta pertamanya yang ia pendam dalam hati. Rangga, pria berusia 29 tahun dengan postur tinggi dan sikap ramah, adalah sahabat yang selalu mendampinginya, dari diskusi puisi hingga mendengarkan keluh kesahnya tentang perasaan pada Jelita. Mereka bertiga membentuk ikatan erat, seperti keluarga kecil di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Tapi pagi ini, segalanya berubah. Saat Satria membuka buku harian yang biasanya ia isi dengan puisi untuk Jelita, ia menemukan sebuah surat yang terselip di halaman terakhir—tulisan tangan Rangga. Surat itu berbunyi: “Jel, aku nggak tahan lagi. Aku cinta kamu. Maafkan aku kalau ini menyakiti Satria, tapi aku harus jujur.” Jantung Satria berhenti sejenak, tangannya gemetar saat membaca baris demi baris. Ia ingat malam kemarin, saat Rangga dan Jelita mengatakan mereka akan “mendiskusikan proyek seni” di rumah Rangga, dan Satria memilih tinggal di rumah untuk menyelesaikan buku barunya. Kini, ia paham bahwa itu hanya alasan untuk menyembunyikan hubungan mereka.

Pukul 14:00 WIB, hujan semakin deras, tetapi Satria tetap duduk di bangku, membiarkan air menetes di wajahnya yang kini basah oleh campuran hujan dan air mata. Ia mengingat momen-momen indah bersama mereka—saat Jelita menggambar potretnya dengan penuh perhatian, atau saat Rangga membantu menyelesaikan puisi yang terhenti karena kebuntuan ide. Mereka adalah sahabat yang ia percaya sepenuh hati, dan kini, kepercayaan itu dihancurkan oleh cinta yang tak ia duga. Di pikirannya, ia membayangkan wajah Jelita yang tersenyum padanya, dan tatapan Rangga yang penuh dukungan, tapi kini semua terasa seperti topeng.

Satria mencoba menghubungi Jelita, tapi panggilannya hanya berdering tanpa jawaban. Ia lalu mengirim pesan: “Jel, aku tahu semuanya. Apa artinya ini?” Tak ada balasan. Ia mencoba Rangga, tapi hasilnya sama—diam yang menusuk lebih dalam dari kata-kata. Dengan hati berat, ia membuka galeri ponselnya, melihat foto-foto mereka bertiga di festival sastra tahun lalu, dan merasa seperti hidupnya runtuh. Hujan di luar terus turun, seolah menambah beban di pundaknya, dan angin sepoi-sepoi membawa daun-daun kering yang bergoyang di sekitarnya.

Pukul 15:30 WIB, Satria memutuskan untuk pulang ke rumah kontrakannya yang sederhana di dekat taman. Ia berjalan pelan, payungnya tak mampu menahan hujan yang semakin deras, dan tubuhnya menggigil karena dingin. Di dalam rumah, ia duduk di lantai kayu yang dingin, menatap rak buku yang penuh dengan karya-karya kesukaannya. Ia mengambil sebuah buku puisi karya Khalil Gibran, membukanya, dan membaca kalimat: “Cinta adalah api yang membakar, dan kadang membakar yang mencintai.” Kalimat itu terasa seperti cerminan dirinya saat ini—terbakar oleh cinta yang ternyata menyakiti.

Pukul 17:00 WIB, Satria menerima telepon dari Jelita. Dengan jantung berdebar, ia menerimanya, dan suara Jelita terdengar gugup di ujung sana. “Sat, aku… aku minta maaf. Aku sama Rangga udah deket sebulan terakhir. Aku nggak sengaja, tapi perasaanku berubah,” katanya, diakhiri dengan isak tangis. Satria terdiam, merasa seperti dunia berputar. “Kenapa, Jel? Aku percaya sama kamu. Rangga… dia sahabatku!” bentaknya, suaranya pecah. Jelita menangis lebih keras, mencoba menjelaskan, “Aku tahu aku salah. Tapi Rangga ngerti sisi artisiku, Sat. Kamu terlalu tenggelam di duniamu sendiri.”

Rizqy tertawa pahit, melempar buku puisi ke lantai. “Jadi ini salahku? Aku tulis puisi buat kamu, Jel! Aku dukung kalian berdua!” teriaknya, menarik perhatian tetangga yang lelet melintas di luar. Jelita diam sejenak, lalu berkata, “Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabat, Sat. Tapi aku pilih Rangga.” Satria memutus panggilan, melempar ponsel ke sofa, dan menangis sepuasnya. Ia merasa seperti kehilangan dua orang terpenting dalam hidupnya dalam sekejap.

Pukul 19:00 WIB, senja turun dengan langit kelabu, dan Satria duduk di beranda rumah, menatap hujan yang perlahan reda. Ia mengambil buku harian, membukanya, dan menulis dengan tangan yang gemetar: “Hari ini, aku kehilangan sahabat dan cinta. Rangga, yang aku anggap saudara, mencuri Jelita dari hatiku. Aku sakit, tapi aku akan belajar berdiri lagi.” Kata-kata itu menjadi pelarian emosinya, meski air matanya terus mengalir, menciprat ke halaman yang sudah usang.

Malam tiba, pukul 21:00 WIB, dan Satria masih terjaga, duduk di lantai dengan buku harian di pangkuan. Ia mengingat saat Rangga mengajaknya minum teh untuk “merayakan” proyek seni Jelita, atau saat Jelita membacakan puisi untuknya di taman, dan kini semua terasa seperti sandiwara. Rasa sakit itu bercampur dengan kemarahan, tapi juga kebingungan—apakah ia yang terlalu buta, atau mereka yang terlalu rakus akan cinta? Di luar, hujan berhenti, meninggalkan keheningan yang menusuk, dan bintang-bintang samar mulai muncul di langit.

Satria mengambil pena lagi, menggambar sebuah burung yang terbang dari sangkar di buku harian, melambangkan harapan kecil yang ia pegang. Ia tahu perjalanan ini baru dimulai—ia harus menghadapi luka, mencari kekuatan, dan membuktikan bahwa ia bisa hidup tanpa mereka. Di balik kepercayaan yang ia berikan, kini ada bayang pengkhianatan karena cinta, tapi juga tekad untuk menyembuhkan diri. Di tengah malam yang sunyi, Satria berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menemukan cahaya di ujung kegelapan ini, meski harus melangkah sendirian.

Runtuhan di Tengah Hening

Pukul 13:17 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, hujan telah reda di kawasan Bogor, Jawa Barat, meninggalkan udara segar yang bercampur aroma tanah basah dan dedaunan basah di sekitar taman kecil tempat Satria Wibisono duduk semalam. Kini, ia berada di dalam rumah kontrakannya yang sederhana, duduk di lantai kayu yang dingin dengan buku harian terbuka di pangkuannya. Cahaya matahari siang menyelinap melalui jendela kayu yang sedikit terbuka, menerangi wajahnya yang pucat, dengan lingkaran hitam di bawah mata cokelat tuanya yang kini kosong akibat kurang tidur. Di tangannya, pena yang ia genggam terasa berat, seolah mencerminkan beban emosi yang menekan dadanya setelah percakapan menyakitkan dengan Jelita Saraswati tadi malam.

Setelah memutus panggilan dengan Jelita, Satria tak bisa tidur sepanjang malam. Kata-kata Jelita, “Aku pilih Rangga,” terus berputar di kepalanya, bercampur dengan bayangan surat Rangga Pratidina yang ia temukan di buku hariannya. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku puisi favoritnya, tapi setiap baris terasa seperti menusuk hati. Di pikirannya, ia mengingat saat Rangga mengajaknya berjalan-jalan di taman untuk “mengobrol santai,” atau saat Jelita menawarkan kopi hangat setelah diskusi sastra, dan kini semua terasa seperti alasan untuk menyembunyikan hubungan mereka. Rasa sakit itu bercampur dengan kemarahan, tapi juga kebingungan yang membuatnya tak bisa berpikir jernih.

Pukul 14:00 WIB, Satria memutuskan untuk bangun, meski tubuhnya terasa lelet seperti ditarik gravitasi berat. Ia berjalan ke dapur kecil, menuang air ke gelas dengan tangan yang gemetar, dan menatap cermin di atas wastafel. Wajahnya yang biasanya lembut kini penuh kerutan kecil, rambutnya berantakan, dan matanya merah akibat tangisan panjang. Ia mencoba tersenyum, tapi cermin hanya memantulkan ekspresi kosong yang mencerminkan jiwa yang hancur. Di pikirannya, ia bertanya-tanya apakah ia yang terlalu buta melihat tanda-tanda, atau apakah cinta Rangga dan Jelita benar-benar lebih kuat dari ikatan persahabatan mereka.

Pukul 15:00 WIB, Satria menerima telepon dari seorang teman komunitas sastra, Chandra Wijaya, yang tak tahu apa-apa tentang drama ini. “Sat, lo nggak datang kemarin. Ada apa? Kita kangen obrolan lo,” kata Chandra dengan suara hangat. Satria ragu, tapi akhirnya setuju untuk bertemu di sebuah warung kopi lokal, Warteg Pak Joko, di sore hari. Ia berjalan dengan jaket denim yang masih basah, melewati jalanan yang mulai ramai oleh pedagang dan kendaraan, dan tiba di warung tepat pukul 16:30 WIB. Chandra, dengan kacamata tebal dan senyum ramah, menyambutnya dengan pelukan, tapi Satria hanya bisa memaksakan senyum tipis.

“Lo keliatan capek, Sat. Cerita apa?” tanya Chandra, matanya penuh kekhawatiran. Satria menghela napas dalam, lalu menceritakan semuanya—surat Rangga, panggilan dengan Jelita, dan pengkhianatan yang menghancurkan hatinya. Chandra terdiam, menatapnya dengan mata terbelalak. “Serius? Rangga sama Jelita? Aku nggak nyangka, bro,” katanya, suaranya penuh kaget. Satria mengangguk, meminum kopi pahit tanpa gula, merasa seperti racun yang cocok dengan hatinya yang sakit. Chandra mencoba menghibur, menceritakan kenangan lama mereka di komunitas, tapi tawa Satria hanya terdengar hambar.

Pukul 17:30 WIB, saat senja mulai turun, Satria menerima pesan dari nomor tak dikenal: “Aku temen Jelita, namaku Rina. Aku kasihan liat lo dibohongin. Rangga sama Jelita udah deket sebulan, tapi mereka sembunyiin dari lo. Maaf nggak bilang lebih cepat.” Satria menunjukkan pesan itu pada Chandra, dan mereka berdua terdiam. Chandra memukul meja pelan, marah atas ketidakadilan itu. “Rangga itu nggak layak jadi sahabat! Lo harus ngomong sama mereka, Sat!” saran Chandra, tapi Satria menggeleng. “Aku nggak mau liat muka mereka lagi,” balasnya, suaranya patah.

Malam tiba, dan Satria kembali ke rumah dengan hati yang semakin berat. Ia duduk di lantai, menatap buku harian yang terbuka, dan memutuskan untuk menulis lagi. “Aku kecewa, tapi aku nggak akan menyerah. Rangga mencuri Jelita, tapi aku akan menemukan kekuatan untuk melangkah.” Ia melipat tulisan itu, menyimpannya di laci, dan berjanji untuk membukanya saat ia merasa lebih kuat. Di luar, angin sepoi-sepoi membawa suara jangkrik, menciptakan keheningan yang anehnya terasa menenangkan.

Pukul 20:00 WIB, Satria menerima panggilan video dari Rangga. Dengan hati berdebar, ia menerimanya, dan wajah Rangga muncul di layar, penuh ekspresi bersalah. “Sat, aku minta maaf. Aku tahu aku salah karena cinta Jelita. Tapi aku harap lo ngerti,” katanya, suaranya parau. Di belakangnya, Satria melihat siluet Jelita yang tampak menunduk. “Ngerti? Lo khianati aku, Rangga! Aku anggap lo saudara!” teriak Satria, memutus panggilan dengan tangan gemetar.

Pukul 22:00 WIB, Satria duduk di beranda rumah, menatap langit yang gelap dengan bintang-bintang samar. Ia mengingat saat Rangga mengajaknya minum teh untuk “merayakan” proyek seni, atau saat Jelita membacakan puisi untuknya, dan kini semua terasa seperti sandiwara. Rasa sakit itu bercampur dengan tekad—ia tak akan membiarkan pengkhianatan ini menghancurkannya. Ia mengambil pena, menggambar matahari terbit di buku harian, melambangkan harapan baru, dan menulis di sudut: “Aku akan sembuh, meski butuh waktu.”

Hening malam membungkus rumahnya, tapi di dalam hati Satria, ada percikan kecil kekuatan. Ia tahu perjalanan ini penuh luka—runtuhan persahabatan yang hancur karena cinta—tapi ia juga tahu ia harus melangkah maju, meninggalkan bayang pengkhianatan di belakang, dan menemukan dirinya kembali. Di tengah keheningan, Satria berjanji pada dirinya sendiri: ia akan bangkit, dengan buku harian sebagai saksi bisu perjuangannya.

Jeritan di Balik Diam

Pukul 13:20 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, matahari mulai menembus awan tipis di atas Bogor, Jawa Barat, menciptakan kilau lembut di daun-daun yang masih basah oleh hujan semalam. Di dalam rumah kontrakan sederhana Satria Wibisono, udara sejuk menyelinap melalui jendela kayu yang sedikit terbuka, membawa aroma tanah basah yang biasanya ia nikmati. Namun, kali ini, aroma itu tak mampu menenangkan jiwa yang dilanda badai emosi. Satria duduk di lantai kayu yang dingin, bersandar pada dinding yang penuh retakan kecil, dengan buku harian terbuka di pangkuannya. Matanya cokelat tua itu kini merah akibat kurang tidur, dan tangannya yang memegang pena terlihat gemetar, mencerminkan kekacauan batin setelah panggilan video menyakitkan dengan Rangga Pratidina tadi malam.

Setelah memutus panggilan dengan Rangga, Satria merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Kata-kata Rangga, “Aku harap lo ngerti,” terus bergema di kepalanya, bercampur dengan bayangan Jelita Saraswati yang menunduk di belakangnya. Ia mencoba melupakan dengan membaca puisi, tapi setiap kata terasa seperti pisau yang menggores luka baru. Di pikirannya, ia mengingat saat Rangga membantu menyelesaikan puisi yang terhenti, atau saat Jelita menggambar potretnya dengan penuh perhatian, dan kini semua terasa seperti pengkhianatan yang direncanakan. Rasa sakit itu bercampur dengan amarah, tapi juga rasa bersalah—apakah ia yang terlalu sibuk dengan dunianya hingga tak melihat tanda-tanda?

Pukul 14:00 WIB, Satria memutuskan untuk keluar dari rumah, membawa buku harian dan payung sederhana sebagai pelarian. Ia berjalan menuju perpustakaan tempat ia bekerja, berharap kesibukan bisa meredakan pikirannya. Jalanan di Bogor masih sepi akibat hujan, genangan air memantulkan langit biru yang mulai cerah, dan suara burung berkicau bercampur dengan derit sepeda tua yang lelet melintas. Di perpustakaan, ia duduk di meja sudut, menatap rak buku yang penuh dengan karya sastra, dan membuka buku hariannya. Ia menggambar sebuah kapal yang karam, melambangkan ikatan persahabatan yang tenggelam, lalu menulis di sampingnya: “Aku tenggelam, tapi aku akan berenang lagi.”

Pukul 15:30 WIB, Satria mendapat telepon dari Chandra Wijaya, teman komunitasnya yang kemarin mendengarkan curhatannya. “Sat, aku nemuin info dari Rina. Rangga sama Jelita bakal ada di galeri seni malam ini buat pameran. Lo mau kesana buat konfrontasi?” tanya Chandra, suaranya penuh semangat. Satria ragu, tapi rasa ingin tahu dan amarah mendorongnya untuk setuju. Ia berjanji menemui Chandra di Warteg Pak Joko terlebih dahulu untuk menyusun rencana, lalu bersiap dengan jaket dan sepatu yang masih basah.

Pukul 18:00 WIB, Satria dan Chandra tiba di Galeri Seni Bogor, sebuah bangunan tua dengan dinding putih dan jendela besar yang dipenuhi lukisan. Di dalam, ia melihat Jelita dan Rangga berdiri bersama, tersenyum di depan karya seni Jelita yang dipamerkan—sebuah lukisan wajah pria yang mirip Rangga. Rasa sakit menusuk lagi, tapi kali ini diikuti oleh kekuatan untuk menghadapi mereka. Chandra memegang bahunya, memberi semangat, dan mereka berjalan mendekat.

“Sat? Kamu di sini?” tanya Jelita, wajahnya memucat saat melihat Satria. Rangga berdiri tegak, mencoba tersenyum, tapi matanya penuh rasa bersalah. “Sat, aku tahu lo marah. Aku minta maaf, tapi aku cinta Jelita,” kata Rangga, suaranya gugup. Satria menatap mereka, merasa seperti melihat dua orang asing. “Cinta? Lo hancurin aku, Rangga! Aku anggap lo saudara, dan kamu, Jel, aku cintai diam-diam!” teriaknya, menarik perhatian pengunjung lain.

Jelita menangis, mencoba menjelaskan, “Sat, aku nggak mau sakitin lo. Tapi aku sama Rangga punya visi seni yang sama. Lo terlalu tenggelam di buku-buku kamu.” Satria tertawa pahit, melempar buku harian ke lantai. “Visi? Kalian cuma egois! Aku dukung kalian berdua, dan ini balasannya?” balasnya, suaranya pecah. Rangga mencoba mendekat, tapi Chandra mendorongnya. “Cukup, Rangga. Lo udah cukup jauh,” kata Chandra dengan nada tegas.

Pukul 19:00 WIB, setelah pertengkaran sengit, Satria meninggalkan galeri dengan Chandra, meninggalkan Jelita dan Rangga yang terdiam di sudut. Di luar, angin sepoi-sepoi membawa udara dingin, membasahi jaketnya, tapi ia tak peduli. Chandra memeluknya, mencoba menghibur, “Lo kuat, Sat. Mereka nggak layak buat lo.” Satria mengangguk, tapi hatinya masih terasa robek. Ia kembali ke rumah, duduk di lantai, dan menatap buku harian yang basah oleh air hujan dan air matanya.

Pukul 21:00 WIB, Satria menerima pesan dari Jelita: “Sat, aku minta maaf lagi. Aku tahu aku salah. Tapi aku harap lo bahagia.” Ia membacanya, tapi tak membalas. Ia lalu menerima pesan dari Rangga: “Aku nggak mau kehilangan lo sebagai sahabat, Sat. Maafkan aku.” Satria memblokir keduanya, merasa seperti memutus tali terakhir yang mengikatnya pada mereka. Ia mengambil pena, menggambar burung yang terbang dari sangkar, melambangkan kebebasan dari pengkhianatan, dan menulis: “Aku lepaskan kalian, tapi aku tak akan lupa luka ini.”

Malam itu, Satria tak bisa tidur lagi. Ia menyalakan lampu meja, membuka buku harian, dan mulai menulis puisi baru—bukan untuk Jelita, tapi untuk dirinya sendiri. “Di tengah diam, aku jerit, / Luka ini tajam, tapi aku bertahan, / Sahabat pergi, cinta sirna, / Tapi aku akan menemukan cahaya.” Ia membaca ulang puisi itu, merasa seperti melepaskan sebagian beban. Di luar, angin bertiup pelan, membawa suara daun yang bergoyang, dan bintang-bintang samar mulai muncul di langit.

Satria menatap langit melalui jendela, merasa seperti menemukan jejak kecil menuju penyembuhan. Ia tahu perjalanan ini penuh luka—jeritan di balik diam yang ditimbulkan oleh pengkhianatan sahabat karena cinta—tapi ia juga tahu ia harus melangkah maju, dengan buku harian sebagai saksi bisu perjuangannya. Di tengah keheningan malam, Satria berjanji pada dirinya sendiri: ia akan bangkit, meski butuh waktu untuk menyatukan kembali potongan-potongan hatinya.

Terbitnya Cahaya Baru

Pukul 13:15 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, sinar matahari sore mulai memenuhi ruangan sederhana Satria Wibisono di rumah kontrakannya di Bogor, Jawa Barat, menerangi lantai kayu yang penuh goresan dan dinding dengan retakan kecil. Udara hangat bercampur aroma teh celup yang baru diseduh menyelinap melalui jendela yang terbuka lebar, membawa suara burung berkicau dari pepohonan di luar. Satria duduk di meja kecil di sudut ruangan, tangannya memegang buku harian yang kini penuh dengan puisi dan sketsa burung terbang, matanya cokelat tua itu mulai menunjukkan kilau harapan meski masih ada bayang luka. Di sampingnya, secangkir teh hangat menguap pelan, menjadi teman sepi yang ia nikmati setelah malam penuh pergolakan emosi.

Setelah menulis puisi baru semalam, Satria merasa seperti melepaskan sebagian beban yang menekan dadanya. Panggilan video dengan Rangga Pratidina dan konfrontasi di Galeri Seni Bogor masih terngiang di pikirannya, tapi kini ia mulai melihatnya sebagai bagian dari perjalanan yang harus ia lalui. Ia menghabiskan pagi dengan membaca ulang puisi-puisinya, mencoba menemukan kekuatan dalam setiap kata, dan merencanakan langkah baru dalam hidupnya. Di buku hariannya, ia menulis: “Aku tak lagi terpenjara oleh luka. Cahaya baru menantiku.”

Pukul 14:00 WIB, Satria mendapat telepon dari Chandra Wijaya, teman setianya yang menjadi penutup luka. “Sat, lo oke nggak? Aku bawa kue buat lo. Ketemu di taman, ya?” tanya Chandra dengan suara ceria. Satria tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan, dan setuju. Ia berjalan ke taman kecil di dekat rumahnya dengan buku harian dan jaket sederhana, melewati jalanan yang mulai ramai oleh pedagang dan anak-anak yang bermain. Di taman, Chandra menunggu dengan sebuah kotak kue cokelat, tersenyum lelet saat melihat Satria mendekat.

“Lo keliatan lebih baik, bro,” kata Chandra, menyerahkan kue itu. Satria mengangguk, duduk di bangku kayu yang sama tempat ia menangis semalam, dan mulai bercerita tentang puisi barunya—bagaimana ia menemukan kekuatan untuk menulis lagi. Chandra mendengarkan dengan seksama, lalu menyarankan, “Lo harus terbitin puisi lo, Sat. Aku kenal penerbit kecil yang bisa bantu. Kita mulai bareng!” Satria terkejut, tapi ide itu membakar semangatnya. Ia membayangkan buku puisi pertamanya di tangan pembaca, menjadi bukti kebangkitannya.

Pukul 16:00 WIB, Satria kembali ke rumah dengan rencana baru di pikirannya. Ia membuka buku harian, menyusun puisi-puisi yang ia tulis selama seminggu terakhir, dan mulai mengetiknya di laptop tua miliknya. Tiba-tiba, telepon berdering lagi—nomor Jelita. Dengan hati berdebar, ia menerimanya, dan suara Jelita terdengar penuh penyesalan. “Sat, aku sama Rangga udah pisah. Aku salah pilih. Maafkan aku,” katanya, diakhiri dengan isak tangis. Satria terdiam, merasa campuran emosi—amarah, iba, dan lega. “Jel, aku udah lelet dari kamu. Aku harap lo bahagia, tapi aku nggak bisa balik,” balasnya, suaranya teguh.

Jelita menangis lebih keras, lalu memutus panggilan. Satria meletakkan ponsel, menarik napas dalam, dan kembali fokus pada puisinya. Ia tahu ini bukan akhir dari luka, tapi langkah menuju penyembuhan. Pukul 18:00 WIB, Chandra kembali dengan kontak penerbit, seorang wanita bernama Lestari Putri, yang tertarik dengan gaya penulisan Satria setelah Chandra menunjukkan beberapa puisinya. “Satria, aku suka karya lo. Kita bisa terbitkan buku kecil. Mulai dari sini!” kata Lestari melalui panggilan video, matanya berbinar. Satria mengangguk setuju, merasa seperti mendapat kesempatan baru.

Pukul 20:00 WIB, Satria mengadakan pertemuan kecil di rumahnya, mengundang Chandra, Lestari, dan beberapa teman komunitas sastra yang mendukungnya. Mereka membawa teh hangat, kue, dan ide-ide segar, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan kesepian sebelumnya. Satria membacakan puisi barunya, “Jeritan di Balik Diam,” dan semua bertepuk tangan, memuji kedalaman emosinya. Di tengah tawa, ia merasa seperti menemukan keluarga baru, jauh dari pengkhianatan Rangga dan Jelita.

Malam itu, pukul 22:00 WIB, setelah semua pergi, Satria duduk di beranda, menatap langit yang penuh bintang. Ia mengambil buku harian, menggambar wajah dirinya yang tersenyum, dan menulis: “Aku bangkit dari duka. Terima kasih, Tuhan.” Ia membuka laci, mengambil surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri, dan membacanya dengan senyum tipis. Kata-kata itu—janji untuk bangkit—kini terasa nyata. Di pikirannya, ia membayangkan buku puisinya di rak toko, dan dirinya berdiri tegak, bebas dari bayang pengkhianatan.

Keesokan harinya, pukul 13:00 WIB, Satria mulai bekerja serius. Ia menyelesaikan koleksi puisi pertamanya, berjudul “Cahaya dari Retak,” dengan bantuan Lestari, yang mengatur desain dan penerbitan. Chandra mengelola promosi di media sosial, memposting puisi pertama Satria, dan dalam hitungan jam, ia mendapat pesan dari pembaca pertama—seorang penggemar sastra yang ingin membeli buku nanti. Satria menulis balasan dengan penuh semangat, mencurahkan harapan ke dalam setiap kata, dan selesai tepat pukul 18:00 WIB.

Pukul 19:00 WIB, Satria berdiri di beranda rumahnya, menatap buku harian yang kini hampir penuh, dengan senyum bangga. Chandra dan Lestari datang, membawa kue untuk merayakan penyelesaian naskah, dan mereka bertiga tertawa bersama. Di pikirannya, ia mengingat Rangga dan Jelita, tapi kini tanpa rasa sakit—hanya pelajaran. Ia tahu luka itu akan meninggalkan bekas, tapi juga menjadi kekuatan. Di buku hariannya, ia menulis: “Pengkhianatan memecah, tapi cahaya menyatukan.”

Malam terakhir cerita ini, pukul 21:00 WIB, Satria duduk di beranda, memandang kota Bogor yang berkelap-kelip. Ia mengambil pena, menulis puisi terakhir: “Dari duka, aku terbang, / Sahabat pergi, cinta sirna, / Tapi di ujung retak, aku menemukan diriku.” Suara jangkrik dan angin sepoi-sepoi mengiringi malamnya, membawa kedamaian yang lama hilang. Di dalam hatinya, ia merasa utuh lagi—cahaya baru telah terbit di ujung duka, dan perjalanan barunya penuh dengan harapan dan kekuatan.

Cerpen Duka Pengkhianatan Sahabat membuktikan bahwa meski cinta dapat memecah ikatan persahabatan, kekuatan batin dapat membawa kebangkitan yang luar biasa, seperti yang dialami Satria Wibisono melalui puisinya. Kisah ini mengajarkan kita untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan dan membangun kembali hidup dengan harapan baru. Jangan lewatkan kesempatan untuk merenung dan terinspirasi dari perjalanan penyembuhan ini!

Terima kasih telah menyelami Duka Pengkhianatan Sahabat bersama kami. Semoga cerita ini memberi kekuatan untuk menghadapi tantangan dan menemukan cahaya dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan terus jaga semangat di hati Anda!

Leave a Reply