Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasa kalau dunia ini nggak cuma bisa didenger pake telinga doang? Kayak, ada suara-suara yang nggak kelihatan tapi tetep bisa ngerasain? Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ke dunia yang lebih dari sekadar suara biasa.
Ada dua telinga, satu dunia, dan pastinya, kamu bakal ketemu sama suara-suara yang bisa bikin kamu mikir ulang tentang apa aja yang selama ini kamu denger. Yuk, ikutan seru-seruan bareng Lendria dan Timpah, ngeliput dunia yang nggak pernah mereka duga sebelumnya!
Dua Telinga, Satu Dunia
Telinga Itu, Bukan Sekadar Aksesori
Di dunia ini, semua orang punya keunikannya sendiri. Ada yang berwarna biru, ada yang terbuat dari kristal, bahkan ada yang bertelinga seperti balon udara, terbang ke sana kemari. Tapi aku? Aku punya dua telinga yang tidak biasa. Bahkan, aku sering berpikir, dunia ini cukup beruntung karena punya dua telinga seperti milikku.
Telingaku besar. Sangat besar. Tidak hanya sedikit lebih besar dari telinga orang pada umumnya, tapi benar-benar besar. Bayangkan saja dua daun teratai yang mengembang dengan sempurna. Begitulah kira-kira telingaku. Mereka bisa mendengarkan suara yang sangat jauh, dan juga menghalangi sebagian besar pandanganku ketika aku menoleh ke belakang.
Namun, bukannya merasa malu atau terintimidasi, aku justru merasa bangga. Dua telinga itu adalah bagian dari siapa diriku. Telingaku mengajarkan banyak hal tentang dunia ini—tentang suara-suara yang kebanyakan orang tidak pernah peduli untuk dengar.
Pagi itu, aku berjalan-jalan di pasar kecil Pungkem, tempat yang selalu penuh dengan warna dan aroma yang mengundang rasa penasaran. Ada kios-kios yang menjual segala macam barang aneh dan unik—seperti jubah yang bisa memantulkan cahaya terang atau jam yang bisa meramalkan cuaca. Aku menyenangi pasar ini. Setiap sudutnya menawarkan kejutan kecil yang menyenangkan, namun kadang juga sedikit gila.
Hari ini, aku mendekati kios Timpah, penjual topi aneh yang selalu mengenakan topi besar dengan telinga berbentuk bola tenis. Aku masih heran, apakah Timpah ini benar-benar manusia atau hanya makhluk Pungkem yang suka bercanda.
“Hai, Lendria!” Timpah menyapaku dengan ceria, tangannya menyambutku di depan kios. “Mau coba topi baru? Bisa jadi penutup telingamu yang besar itu!”
Aku melirik topi ungu cerah yang dia tawarkan. “Topi itu bisa menutupi telingaku? Jangan-jangan cuma bisa menutupi rambutku yang kusut.” Aku tertawa, meski dalam hati aku tahu betapa aku selalu kesulitan mencari aksesori yang cocok untuk telingaku.
Timpah tertawa keras, hampir membuat telinganya terbang karena geli. “Topi ini lebih dari cukup. Bisa memperkecil telingamu, bikin kamu lebih cantik, Lendria.”
Aku menyeringai, tapi aku tahu dia bercanda. “Cantik? Topi itu malah bikin aku makin kelihatan aneh dengan telinga sebesar itu. Ini cuma satu-satunya hal yang aku punya, Timpah. Aku rasa telingaku sudah cukup, deh.”
“Telingamu? Kalau itu sih, bisa lebih besar lagi, Lendria,” Timpah berkata dengan wajah serius, seakan-akan memberi nasehat bijak. “Kamu tahu, di Pegunungan Gembira ada makhluk yang punya telinga bisa terbang. Telinga mereka bisa lebih besar dari yang kamu punya. Mungkin kamu harus ke sana, siapa tahu kamu butuh telinga lebih besar lagi.”
Aku menatapnya dengan tatapan aneh. “Telinga terbang? Itu apa, Timpah? Apakah kamu lagi bercanda?”
“Percaya atau tidak, mereka ada. Telinga yang bisa terbang seperti balon udara, bebas melayang ke sana kemari,” Timpah menjelaskan dengan semangat, seolah itu adalah penemuan terbesar yang pernah dia dengar.
Aku tertawa pelan, merasa geli dengan cerita Timpah yang selalu berlebihan. “Timpah, aku rasa dua telingaku yang besar ini sudah lebih dari cukup untuk hidup di dunia ini. Aku tidak butuh telinga terbang atau apa pun itu.”
Timpah mengangkat alisnya, terlihat seperti baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Kamu yakin? Kalau kamu bisa terbang dengan telinga, bayangkan berapa banyak hal yang bisa kamu dengar. Kamu bisa mendengar orang di ujung dunia, tahu apa yang mereka pikirkan!”
Aku menggelengkan kepala, meski dalam hati aku agak penasaran. “Kamu terlalu membayangkan sesuatu yang terlalu jauh, Timpah. Aku lebih suka mendengar apa yang ada di sini, di depan mata. Apa gunanya mendengar semua suara kalau kita tak bisa menikmati yang ada di sekitar kita?”
Timpah tertawa pelan, masih dengan pandangan penuh keyakinan. “Baiklah, kalau kamu tetap merasa dua telinga sudah cukup. Tapi, jangan salahkan aku kalau suatu saat kamu merasa kurang. Di Pegunungan Gembira, kamu bisa menemukan telinga yang lebih besar, dan lebih… bebas.”
Aku berpikir sejenak. Apa sih yang dimaksud Timpah dengan “lebih bebas”? Namun, rasa penasaran itu hanya bertahan sekejap. Aku tahu satu hal—aku merasa nyaman dengan telingaku yang sekarang.
Dengan senyum lebar, aku melambaikan tangan pada Timpah. “Terima kasih ya, Timpah. Tapi aku rasa aku akan tetap dengan dua telinga besar ini. Aku akan pergi ke Pegunungan Gembira kalau aku merasa perlu.”
Timpah mengangguk setengah kecewa, tapi tetap tersenyum. “Baiklah, Lendria. Tapi ingat, ada banyak hal yang bisa kamu dengar dengan telinga yang lebih besar.”
Aku hanya tertawa kecil dan berjalan menjauh. Telingaku terasa lebih ringan, meski pada kenyataannya, mereka masih sebesar dua daun teratai. Aku melangkah pelan di jalanan Pungkem yang penuh warna, berpikir tentang kata-kata Timpah tentang “lebih besar”.
Tapi… apakah benar aku butuh lebih besar? Apa artinya telinga yang lebih besar kalau hanya membuatku lebih lelah mendengar hal-hal yang tidak penting?
Aku rasa, dua telinga saya rasanya cukup.
Topi Unik dan Telinga Terus Berkembang
Hari berikutnya, aku terbangun dengan semangat yang sedikit berbeda. Seperti ada sesuatu yang menggelitik di dalam pikiranku, terutama tentang apa yang Timpah katakan tentang telinga terbang. Mungkin itu cuma lelucon, tapi entah kenapa, aku merasa seolah ada dunia lain yang belum aku ketahui. Dunia di mana telinga bisa terbang dan bergerak bebas ke mana pun mereka mau.
Aku menyisir rambutku yang mulai panjang dan menuju ke luar rumah dengan langkah santai, berencana untuk menjelajahi lebih jauh ke dalam hutan kecil yang mengelilingi desa kami. Aku memang sering keluar masuk hutan, tapi kali ini aku merasa ada yang menarik di sana. Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang bisa membuatku menemukan lebih banyak tentang apa yang Timpah bicarakan.
Perjalanan menuju hutan itu tak pernah membosankan. Di sepanjang jalan, aku selalu menemui hal-hal unik—seperti pohon-pohon yang tumbuh terbalik, bunga yang bisa bernyanyi, atau tikus-tikus yang berjalan memakai sepatu kayu. Keanehan-keanehan itu sepertinya hanya ada di dunia ini. Dunia tempat telinga besar seperti milikku sepertinya tidak pernah terlalu aneh.
Namun, kali ini aku memutuskan untuk pergi lebih jauh. Aku ingin tahu, apakah benar ada sesuatu yang luar biasa di balik cerita Timpah tentang telinga terbang. Hutan Pungkem terkenal dengan keanehannya, dan katanya, semakin dalam kamu masuk, semakin banyak hal tak terduga yang akan kamu temui.
Aku berjalan pelan, mengikuti jalur sempit yang jarang dilalui orang. Semakin jauh aku melangkah, udara semakin segar dan aroma tanah yang basah semakin kuat. Telingaku yang besar bisa mendengar segalanya—angin yang berbisik lewat dedaunan, suara jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan, bahkan langkah kecil serangga yang sedang melintas.
Tapi tiba-tiba, aku mendengar suara yang lebih keras. Suara itu datang dari sebuah gua kecil yang tertutup tumbuhan merambat. Telingaku langsung tertarik, seakan ada daya tarik yang memanggil. Aku mendekat dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara, meskipun aku tahu langkahku sudah cukup keras untuk didengar oleh makhluk apa pun di dalam gua.
Aku berhenti di depan gua dan memutuskan untuk memasuki tempat itu. Suara yang terdengar semakin jelas—sebuah desahan panjang dan lembut, hampir seperti suara angin, namun terdengar lebih… hidup. Aku menundukkan kepala, memastikan agar telingaku bisa mendengarnya dengan lebih jelas. Ketika aku mendekatkan kepala, seberkas cahaya keluar dari dalam gua, membuat mata ku silau.
“Aduh!” aku terkejut dan terjatuh ke belakang.
Aku melihat sebuah objek melayang di depan gua—sebuah benda yang tampak seperti… telinga. Telinga besar, lebih besar dari milikku, dan tampaknya sedang bergerak, berayun seperti daun yang ditiup angin.
“Ini bukan mimpi, kan?” gumamku, seolah tak percaya.
Sebuah suara lembut terdengar dari dalam gua. “Kamu datang untuk melihat telinga terbang, bukan?”
Aku terlonjak kaget dan menoleh cepat. Di dalam gua itu, berdiri seorang makhluk berbadan ramping, dengan wajah yang penuh kehangatan. Tubuhnya hampir tidak terlihat karena banyaknya cahaya berkelap-kelip yang memancar dari tubuhnya. Namun, apa yang paling menarik adalah telinga besar yang terletak di atas kepalanya—telinga yang sangat besar, bahkan lebih besar dari telinga manusia biasa, dan bergerak-gerak seperti sayap.
“Siapa kamu?” tanyaku dengan suara bergetar, merasa terheran-heran oleh pemandangan yang tak pernah aku bayangkan.
Makhluk itu tersenyum lembut. “Namaku Sely, dan aku adalah penjaga telinga terbang ini. Kamu telah menemui sesuatu yang langka, Lendria.”
Aku menatap makhluk itu dengan mulut terbuka. “Telinga terbang?” Aku masih tidak bisa percaya.
“Ya, telinga yang bisa terbang,” Sely menjawab dengan senyum penuh rahasia. “Di dunia ini, ada banyak hal yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Tapi telinga ini… bisa mendengar lebih banyak dari yang kamu bayangkan.”
Aku melangkah lebih dekat, tidak bisa menahan rasa ingin tahuku. “Telinga ini… bisa terbang?”
“Tentu,” jawab Sely, memutar telinganya dengan anggun. “Mereka terbang di udara seperti burung, mengumpulkan suara-suara dari segala penjuru dunia. Mereka mendengarkan apa yang tak terdengar oleh manusia biasa.”
Aku menatap telinga besar yang melayang di depan gua. “Aku tidak pernah tahu kalau ada telinga seperti itu. Apa yang mereka dengar?”
“Telinga ini mendengar suara yang tersembunyi, yang tak pernah disadari oleh manusia,” jawab Sely dengan nada bijak. “Suara dari dunia yang lebih jauh, dari masa depan, bahkan dari tempat-tempat yang tidak dapat diakses dengan indera biasa. Mereka bukan sekadar alat pendengaran. Mereka adalah jembatan antara dunia dan semua kemungkinan.”
Aku terdiam, bingung dan terpesona sekaligus. “Tapi… aku tidak pernah merasa kekurangan dengan telinga milikku. Dua telinga ini sudah cukup mendengarkan segala hal di sekitarku.”
Sely tersenyum penuh pengertian. “Itu benar, Lendria. Dua telinga yang kamu miliki sudah cukup. Tapi ada dunia lain di luar sana yang hanya bisa dipahami dengan telinga yang lebih besar. Telinga yang lebih bebas.”
Aku menunduk, memikirkan apa yang baru saja dikatakan Sely. “Apa maksudmu?”
“Jangan khawatir tentang itu dulu,” kata Sely. “Setiap orang memiliki takdir dan jalan yang berbeda. Tapi ingatlah, dunia ini lebih luas dari yang kamu bayangkan. Dan telinga yang besar… bisa membuatmu lebih bebas.”
Aku merasa seperti ada sesuatu yang terhubung di antara kata-kata Sely dan kisah yang Timpah ceritakan. Apa artinya ini semua? Apakah aku benar-benar harus mencari telinga yang lebih besar untuk memahami dunia?
Namun, aku tahu satu hal pasti—aku tak bisa tinggal di sini selamanya. Aku harus kembali, kembali dengan dua telinga besar milikku, dan terus hidup dengan cara yang aku kenal.
Tapi, siapa tahu, mungkin di lain waktu aku akan kembali lagi, mencari tahu lebih banyak tentang dunia yang tersembunyi di balik telinga yang lebih besar.
Sely mengangkat tangannya, seolah mengirimkan energi ke udara. “Jangan ragu untuk kembali, Lendria. Dunia ini penuh dengan suara yang belum kamu dengar.”
Di Balik Suara yang Tak Terlihat
Langkahku terasa lebih ringan saat aku meninggalkan gua, meskipun pikiran dan hatiku masih berkelana jauh, mengingat percakapan dengan Sely tentang telinga yang bisa terbang. Aku tahu, aku harus kembali ke dunia yang biasa, tempat di mana segala sesuatunya tampak biasa dan sederhana. Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa tak sabar untuk kembali ke tempat itu lagi.
Aku menyusuri jalan kembali ke desa, dengan langit yang perlahan mulai berubah menjadi jingga, pertanda matahari akan segera tenggelam. Telingaku yang besar seperti biasa mendengarkan setiap bisikan angin, setiap suara daun yang bergesekan, dan bahkan suara langit yang menguap perlahan. Aku tak pernah benar-benar sadar betapa banyak suara yang ada di sekitar kita, sampai aku berjumpa dengan Sely dan mendengarkan tentang dunia yang lebih dalam.
Namun, meskipun hatiku penuh rasa ingin tahu, aku tahu aku tak bisa terus mengabaikan hidupku yang sekarang. Aku harus kembali ke desa dan menemui Timpah, yang jelas sudah menunggu dengan harapan penuh. Aku tertawa kecil, menyadari bahwa dia pasti sudah punya banyak teori gila tentang perjalanan ini.
Begitu aku sampai di rumah, aku disambut oleh suasana yang familiar, namun terasa sedikit berbeda. Sepertinya ada sesuatu yang berubah di dalam diriku—sebuah rasa penasaran yang tak bisa dihentikan, seperti ada dunia baru yang harus kutemui.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah dan melihat Timpah yang sedang duduk santai di ruang tamu, dengan sebuah topi besar yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Ia menatapku dengan ekspresi penuh semangat.
“Lendria! Kamu kembali! Jadi, apa yang kamu temukan? Ada telinga terbang, kan?” dia bertanya dengan nada yang riang, seperti biasa.
Aku duduk di sebelahnya, lalu mengangguk. “Ada, Timpah. Tapi aku rasa, aku hanya menemukan sedikit dari yang sebenarnya ada di dunia ini.”
Timpah mengangkat alis, wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Sedikit? C’mon, cerita dong! Apa yang kamu lihat? Apa telinga itu bisa terbang?”
Aku tersenyum, memikirkan sejenak sebelum mulai berbicara. “Ya, mereka bisa terbang. Tapi bukan hanya itu. Telinga-telinga itu bisa mendengar lebih dari yang kita duga. Mereka bisa menangkap suara dari dunia lain—dunia yang lebih besar dan lebih dalam dari dunia kita yang biasa ini.”
Timpah menatapku dengan mata terbuka lebar. “Gila! Jadi, kamu benar-benar bertemu telinga terbang?”
Aku mengangguk. “Iya, dan aku bertemu dengan seseorang—makhluk yang menjaga mereka. Namanya Sely. Dia bilang, telinga ini bisa mendengar suara dari masa depan, atau bahkan suara dari tempat yang tak terjangkau oleh manusia biasa. Dunia ini lebih besar dari yang kita tahu, Timpah.”
Timpah merenung, mengusap dagunya seperti sedang memikirkan sesuatu yang dalam. “Telinga yang bisa mendengar suara dari masa depan? Itu… luar biasa, Lendria. Kamu harus kembali ke sana! Aku ingin sekali melihat sendiri!”
Aku menggelengkan kepala perlahan. “Aku ingin kembali juga, Timpah. Tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih penting yang harus aku pahami terlebih dahulu. Seperti… telinga kita, kita bisa mendengar begitu banyak hal, tapi apakah kita benar-benar mendengarkan semua suara itu? Apa yang kita lewatkan selama ini?”
Timpah menatapku, wajahnya tampak serius meskipun masih ada kekonyolan di matanya. “Jadi, kamu bilang kita cuma terlalu fokus dengan hal-hal biasa sampai nggak pernah benar-benar mendengar yang lebih dalam, gitu?”
“Yap,” jawabku. “Aku rasa, kita lebih sering fokus dengan apa yang kita ingin dengar, daripada mendengar apa yang sebenarnya ada di sekitar kita.”
Timpah tertawa kecil, tetapi kali ini suaranya terdengar sedikit berbeda, seperti dia juga mulai merenungkan apa yang aku katakan. “Telinga besar memang bikin kita jadi pendengar yang baik, ya. Tapi sepertinya, dunia ini juga perlu kita dengar lebih dari sekadar dengan telinga kita.”
Aku tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena ada seseorang yang bisa mengerti. “Mungkin kita harus lebih membuka telinga—dan mata—untuk memahami dunia yang lebih luas. Mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar suara.”
Timpah berdecak, “Ya, ya, aku ngerti. Jadi, kapan kita mulai eksplorasi lagi? Aku siap!”
Aku tertawa kecil, merasa senang bisa berbicara tentang hal ini dengan Timpah, meskipun dia selalu terlihat santai dan penuh canda. “Lain kali, Timpah. Aku ingin lebih banyak belajar dulu. Dunia ini penuh dengan misteri, dan aku ingin memahami semuanya satu per satu. Aku ingin tahu apa yang telinga kita bisa dengar selain suara sehari-hari.”
Timpah mengangguk, wajahnya serius meskipun bibirnya masih tersenyum. “Kalau begitu, aku akan jadi pendengar setia. Jadi, kapan kita mulai dengar lebih banyak?”
Aku tak bisa menahan tawa. “Kamu ini memang selalu antusias ya, Timpah. Baiklah, besok kita cari suara lain yang bisa kita dengar.”
Timpah langsung berdiri dengan ceria. “Setuju! Kita cari suara yang belum pernah kita dengar sebelumnya, Lendria! Dunia ini harus lebih dari sekadar yang kelihatan di mata, kan?”
Aku mengangguk dengan penuh semangat. Ya, dunia ini penuh dengan suara yang belum kita dengar, dan siapa tahu, mungkin telinga terbang bukanlah hal terakhir yang akan kita temui.
Ketika malam tiba, aku duduk di luar rumah, merenung tentang perjalanan yang baru saja aku mulai. Aku tahu, aku harus lebih mendengarkan, lebih membuka hati dan telinga untuk mendengar suara yang lebih dalam—suara yang tersembunyi dan mungkin hanya bisa didengar oleh mereka yang benar-benar mau mendengarkan.
Dan aku merasa, perjalanan ini baru saja dimulai.
Telinga yang Mendengar Dunia
Malam itu terasa lebih sepi, lebih sunyi, meskipun langit dipenuhi oleh suara alam yang tak pernah berhenti. Angin yang lembut menyapa kulitku, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang lelah setelah seharian diterpa sinar matahari. Semua terasa tenang, tapi hatiku tidak. Sesuatu dalam diriku seperti bergetar, seolah menunggu sesuatu yang besar untuk terjadi.
Timpah tidak ada di rumah. Ia pergi berkeliling desa, mencari informasi lebih banyak tentang dunia yang ada di luar. Walaupun kedengarannya seperti petualangan tanpa tujuan yang jelas, aku tahu dia sedang dalam perjalanan menemukan suara-suara baru yang mungkin bisa mengubah pandangannya tentang dunia. Sementara aku, aku duduk di luar rumah, memandang bintang yang berkelip-kelip di langit, mengingat perbincangan kami malam itu.
Telinga. Itu kata yang kini berputar di pikiranku. Telinga yang besar, telinga yang mampu mendengar lebih dari sekadar suara angin atau langkah kaki. Telinga yang bisa mendengar apa yang belum terjadi, atau bahkan apa yang tersembunyi di balik dunia nyata ini. Aku teringat akan kata-kata Sely, makhluk yang menjaga telinga terbang itu. “Setiap telinga mendengar, tetapi tidak semua telinga memahami. Ketika kamu mendengar dengan hati, kamu akan tahu suara yang sebenarnya.”
Kata-kata itu terus bergaung dalam pikiranku, seolah membawa aku ke dunia yang berbeda. Aku bisa merasakannya. Ada sesuatu yang lebih besar dari apa yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebuah dunia yang ada di luar logika, yang tidak bisa dipahami hanya dengan menggunakan indera. Dunia itu terasa begitu dekat, begitu menggetarkan, namun juga sangat jauh.
Tiba-tiba, terdengar suara halus dari belakang rumah. Aku menoleh, dan melihat sebuah cahaya yang berkilauan di antara pepohonan. Ada yang datang. Aku berdiri dan melangkah perlahan menuju cahaya itu, merasa seolah dunia di sekitarku memudar.
Sesampainya di depan cahaya itu, aku melihat sosok Sely, berdiri di tengah kebun, seolah menunggu kedatanganku. Wajahnya tersenyum, tetapi ada kesan bahwa ia membawa pesan penting.
“Lendria,” katanya dengan suara yang begitu lembut, “telinga itu memang memberi kita banyak hal, tapi lebih penting lagi adalah apa yang kita lakukan dengan suara yang kita dengar. Kamu telah mendengarkan banyak, tetapi apakah kamu siap untuk mendengarkan lebih jauh?”
Aku mengangguk, meskipun hatiku berdebar. “Aku ingin mendengarkan lebih banyak. Tapi ada sesuatu yang menghalangi aku untuk benar-benar memahami semuanya.”
Sely menatapku dengan pandangan yang penuh arti. “Apa yang menghalangi kamu, Lendria?”
Aku terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin… aku terlalu terikat dengan dunia ini, dengan apa yang aku tahu. Aku merasa takut jika aku mendengarkan suara yang lebih dalam, aku mungkin akan kehilangan diri aku.”
Sely tersenyum dengan lembut. “Itulah yang sering dialami oleh mereka yang berani mendengar lebih jauh. Dunia ini begitu luas, dan terkadang kita takut akan apa yang akan kita temui di luar batas pemahaman kita. Tapi ingatlah, Lendria, tidak ada yang bisa menghalangi kita untuk mendengar, jika kita membuka hati kita untuk mendengarkan.”
Aku menatapnya, mencerna kata-katanya. “Tapi bagaimana jika aku tidak siap?”
“Tidak ada yang benar-benar siap,” jawab Sely. “Kita hanya bisa terus mendengarkan, terus mencari, dan mempercayai apa yang kita dengar. Ketika kita mendengarkan dengan hati, kita tidak hanya mendengar suara, kita juga mendengar kehidupan itu sendiri.”
Aku terdiam, merasakan ada kedalaman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sely melangkah mendekat dan meletakkan tangan di bahuku. “Jangan takut, Lendria. Telinga kamu sudah siap mendengar. Dunia ini, dan semua suara di dalamnya, menunggu untuk ditemukan.”
Aku mengangguk, meskipun aku masih merasa bingung dengan semua yang baru saja terjadi. “Aku akan mencoba. Aku akan membuka telingaku untuk lebih banyak suara.”
Sely tersenyum puas. “Itulah semangat yang aku tunggu. Sekarang, biarkan dunia berbicara padamu.”
Dengan itu, sosok Sely mulai memudar, cahaya yang mengelilinginya semakin memudar hingga akhirnya menghilang. Aku berdiri di tempatku, masih merasakan getaran dari apa yang baru saja aku alami. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi aku tahu satu hal—aku tidak bisa berhenti mendengarkan. Dunia ini terlalu besar, terlalu penuh dengan suara yang menunggu untuk ditemukan.
Saat aku kembali ke dalam rumah, Timpah sudah kembali, duduk dengan ekspresi ingin tahu di wajahnya. “Jadi, bagaimana? Apa kamu menemukan apa yang kamu cari?”
Aku duduk di sampingnya, tersenyum. “Aku menemukannya, Timpah. Dunia ini lebih luas daripada yang kita bayangkan. Telinga ini… mereka tidak hanya mendengar suara biasa. Mereka mendengar kehidupan itu sendiri.”
Timpah menatapku dengan kagum. “Wah, itu keren banget. Jadi, kamu bakal terus mendengar suara-suara itu, kan?”
Aku mengangguk. “Aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku harus mendengarkan lebih banyak, lebih dalam. Dunia ini penuh dengan suara yang menunggu untuk ditemukan.”
Dan malam itu, dengan telinga yang lebih terbuka, aku duduk bersama Timpah, mendengarkan segala sesuatu di sekitar kami. Angin yang berbisik, bintang yang bersinar, dan suara yang datang dari dalam hati. Aku tahu, perjalanan ini masih panjang, tetapi aku sudah siap untuk mendengarkan lebih banyak lagi—lebih dari apa yang tampak, lebih dari apa yang kita bisa lihat dengan mata. Dunia ini penuh dengan suara, dan aku hanya baru memulai untuk mendengarnya.
Jadi, gimana? Udah siap buat dengerin suara-suara yang lebih dari sekedar yang biasa kamu denger? Dunia ini nggak cuma sekedar apa yang keliatan atau terdengar di permukaan. Dengan dua telinga kita, siapa tau kita bisa nyelam lebih dalam, nemuin hal-hal yang selama ini nggak kita duga.
Yang pasti, jangan pernah takut untuk terus mendengar, karena bisa aja dunia bakal ngasih kamu kejutan yang nggak pernah kamu bayangin sebelumnya. Jadi, siap-siap aja, siapa tau ada suara yang lagi nunggu buat ditemuin sama kamu!