Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa waktu itu kayak… nggak cukup? Kayak sesuatu yang sangat berharga itu, kamu cuma punya sedikit waktu buat nikmatin, tapi harus udah pergi begitu saja? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam perjalanan dua hari yang nggak cuma penuh cinta, tapi juga perasaan yang bakal bikin hati kamu hancur.
Zaria dan Aidan punya cerita yang istimewa banget—dua hari terakhir mereka yang jadi momen paling berharga dalam hidup, meskipun berat banget untuk dijalani. Siap-siap deh, karena kamu bakal ngerasain sendiri gimana rasanya kehilangan orang yang kamu cintai, dan gimana kenangan itu tetep bertahan, meskipun orangnya udah nggak ada.
Dua Hari Istimewa
Hari-Hari yang Memudar
Zaria terbangun dengan rasa berat yang menekan di dada, napasnya tersengal-sengal, berusaha melawan sesak yang seakan membuat tubuhnya ingin menyerah. Untuk sesaat, ia merasa kebingungan. Matahari baru saja menyinari tirai kamar rumah sakit yang terbuka, menciptakan cahaya yang lembut di atas tempat tidur putih yang dingin.
Namun, rasa sakit itu tak bisa disembunyikan. Ia merasakannya begitu jelas—seperti ada sesuatu yang merayap di dalam dirinya, perlahan namun pasti. Dan saat itu, saat ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, sebuah kenyataan pahit menghantamnya. Penyakit itu. Penyakit langka yang tak ada obatnya, yang kini sudah sampai pada tahap akhir. Dua hari lagi. Itu saja yang ia tahu.
Ia menggenggam selimut dengan jemari yang lemah. Sebuah suara halus mengalir ke dalam telinganya, seolah memanggil dari jauh. Zaria menoleh ke samping, dan di sana, di samping tempat tidurnya, berdiri Aidan, dokter yang merawatnya sejak awal. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya, namun ada ketulusan yang terpancar dari matanya. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di samping Zaria, membiarkan hening yang agak canggung mengisi ruang di antara mereka.
Zaria memandangnya dengan pandangan kosong. Ia tak tahu harus mulai dari mana. Tak ada kata-kata yang cukup kuat untuk menggambarkan perasaan yang menggelayuti dirinya. Hanya ada rasa takut dan kerinduan akan sesuatu yang sudah hampir tak bisa dijangkau.
“Aidan,” suaranya keluar dengan nada lemah. “Aku… aku takut.”
Aidan menatapnya, matanya penuh perhatian. Ia tahu kata-kata seperti itu selalu sulit diucapkan, apalagi dalam kondisi seperti ini. “Takut tentang apa?” tanyanya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Zaria.
Zaria menundukkan kepalanya, menyentuh dada tempat rasa sakit itu berdiam. “Takut kalau aku nggak punya cukup waktu lagi,” ujarnya perlahan. “Takut aku nggak bisa merasakan semuanya yang ingin aku rasakan. Seperti… hidup.”
Ada jeda panjang setelah itu. Aidan menghela napas, mencoba memahami apa yang dirasakannya. Ia bukan orang yang mudah menunjukkan emosinya, tetapi ia merasa ada yang mengikat dirinya dengan Zaria, meskipun mereka tak pernah benar-benar berbicara tentang itu.
“Aku nggak bisa memberimu lebih banyak waktu, Zaria,” kata Aidan dengan lembut, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi apa yang bisa kamu lakukan hari ini… itu yang akan mengingatkanmu kalau kamu sudah hidup. Setiap detik yang kamu jalani, itu berarti.”
Zaria menatap Aidan dengan matanya yang berkilau, mencoba meresapi kata-kata itu. “Aku ingin hari-hari ini berarti, Aidan. Aku ingin menghabiskan sisa waktu ini dengan seseorang yang membuatku merasa hidup.” Ia menatapnya dengan penuh harap, seolah meminta lebih dari sekadar perawatan medis.
Aidan memegang tangannya dengan lembut, tatapannya dalam. “Aku akan tetap ada untukmu, Zaria. Aku tak akan membiarkanmu merasa sendiri. Dua hari yang tersisa ini… aku akan membuatnya menjadi sesuatu yang berharga, kita akan melewatinya bersama.”
Mendengar kata-kata itu, Zaria merasakan sesuatu yang hangat merayap di dadanya, mengusir rasa dingin yang tadi menyelimutinya. Ia menggenggam tangan Aidan, meskipun jemarinya mulai terasa kaku. “Aku tak tahu apakah aku pantas mendapatkannya, tapi… aku bersyukur kamu ada.”
“Aku juga bersyukur,” jawab Aidan, dengan suara yang hampir tak terdengar, namun cukup untuk membuat Zaria merasa tenang.
Hari itu, Zaria merasa lebih ringan. Walaupun tubuhnya semakin melemah, dan rasa sakit tak pernah benar-benar pergi, ada sesuatu yang menenangkan dalam kehadiran Aidan. Tanpa banyak bicara, ia lebih memilih duduk bersama, menemani Zaria saat ia terbaring di ranjang rumah sakit, menghadapi kenyataan yang tak bisa dihindari.
Saat sore datang, Zaria merasakan kantuk yang teramat sangat. Ia ingin berbicara lebih banyak, berbagi cerita, tetapi kekuatan itu sudah tak ada lagi. Sebelum matanya benar-benar terpejam, ia mendengar suara Aidan yang lembut mengisi ruang.
“Kalau kamu ingin bercerita atau melakukan sesuatu, aku di sini, Zaria. Apa pun itu, aku akan mendengarkan.”
Zaria tersenyum pelan, meskipun ia tahu senyum itu tak akan menghapus apa yang sedang ia rasakan. Tapi setidaknya, hari itu, ia tak merasa sendiri. Ia merasakan kehangatan dalam setiap detik yang berlalu.
Aidan tidak bisa menjanjikan lebih dari itu. Namun, saat dia memandang Zaria yang terlelap, ia tahu bahwa dua hari ini akan menjadi sesuatu yang tak akan pernah bisa ia lupakan. Hari pertama dari dua hari yang istimewa, sebuah perjalanan yang dimulai dengan ketakutan, namun perlahan berubah menjadi sebuah kenangan yang akan abadi dalam ingatannya.
Sampai malam datang, mereka tidak banyak bicara. Hanya ada suara mesin rumah sakit yang berdengung lembut, dan Zaria yang terbaring di sana, dengan hati yang lebih tenang daripada sebelumnya. Namun di dalam hati Aidan, ada sesuatu yang mulai terjalin—sebuah ikatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Kedua hari yang akan datang, mereka akan menjalani bersama, meskipun waktu itu terbatas. Dan apa pun yang terjadi, Zaria tidak akan merasa sendirian lagi.
Keberanian dalam Senyap
Hari kedua dimulai dengan kesunyian yang lebih dalam. Zaria terbangun dengan tubuh yang lebih lemah, setiap gerakannya terasa seperti memindahkan gunung. Namun, ada ketenangan yang menemaninya. Aidan masih ada di sana, duduk di kursi samping ranjang, membiarkan Zaria menikmati secercah kedamaian sebelum hari itu benar-benar dimulai.
Ketika Zaria membuka mata, Aidan sudah duduk dengan buku di tangan, namun sepertinya dia tak membaca apapun. Matanya lebih tertuju pada Zaria yang terbangun. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya sebuah tatapan yang penuh makna. Aidan tahu waktu terus berjalan, namun entah mengapa, ia merasa ini adalah momen yang harus dihargai.
Zaria mengerjapkan mata, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti. Saat ia menyadari bahwa Aidan masih di sana, ia merasakan sedikit kelegaan. Tangan kirinya terjulur lemah, mencari tangan Aidan yang ada di sampingnya.
“Aidan,” suaranya begitu pelan, hampir tak terdengar. “Hari ini, aku ingin melihat dunia.”
Aidan menatapnya dengan bingung, namun ia mengerti maksud Zaria. Ia tahu Zaria ingin merasakan dunia luar—terlepas dari kenyataan bahwa tubuhnya semakin tak berdaya. Dan meskipun hanya untuk beberapa jam, Aidan tahu itu adalah keinginan terakhir yang bisa ia berikan.
“Kalau itu yang kamu inginkan,” jawab Aidan dengan suara lembut, “aku akan menemanimu.”
Zaria tersenyum tipis, matanya mulai berkilau, meskipun tubuhnya semakin lelah. Ia merasa seolah-olah sudah lama tidak merasakan kebebasan seperti itu—sebelum semuanya berubah, sebelum ia terbaring di rumah sakit ini. Sebelum penyakit itu menyelimuti dirinya.
Aidan menyuruh perawat untuk menyiapkan kursi roda, dan dengan hati-hati, ia memindahkan Zaria ke luar kamar. Angin luar yang sejuk menyapu wajah Zaria saat mereka melaju menyusuri taman rumah sakit. Sinar matahari terasa lebih hangat dari biasanya, seperti menyapa dengan lembut.
Zaria menatap ke arah langit yang biru, di mana awan-awan putih bergerak perlahan, seolah tidak tergesa-gesa. Semua ini terasa begitu kontras dengan keadaan tubuhnya yang semakin lemah. “Aidan,” katanya, suaranya lebih kuat kali ini. “Aku merasa seperti… seperti kembali hidup.”
Aidan mendengarkan, meskipun hatinya dipenuhi rasa sakit yang tak terlihat. “Kamu memang hidup, Zaria. Setiap senyuman, setiap kata yang kamu ucapkan, itu hidup. Ini hanya bagian dari perjalananmu.”
Zaria menoleh, menatap wajah Aidan yang tegas namun penuh kehangatan. “Aku ingin kamu tahu, meskipun aku nggak bisa merasakannya lebih lama, aku bahagia. Aku bahagia karena… karena aku bisa merasa apa yang aku rasa sekarang.”
Aidan memegang tangannya lebih erat, mencoba menyampaikan tanpa kata bahwa dia memahami. “Dan aku akan selalu ada, Zaria. Kita mungkin nggak tahu apa yang akan datang, tapi kamu nggak akan pernah sendiri.”
Mereka terus melaju, menikmati keheningan yang mengisi ruang di sekitar mereka. Zaria merasa lebih tenang. Walaupun tubuhnya semakin melemah, pikirannya terasa lebih ringan. Dunia di sekelilingnya begitu luas, begitu indah. Namun, yang paling ia hargai adalah kehadiran Aidan di sisi kanannya.
Tak lama, mereka berhenti di sebuah bangku taman yang teduh. Zaria duduk dengan hati-hati, mengistirahatkan tubuh yang terasa rapuh. Aidan duduk di sampingnya, tak berbicara, namun tetap ada di sana. Keheningan itu mengalir begitu mendalam, namun tak canggung. Mereka berdua hanya duduk, menikmati kedamaian yang langka. Terkadang, tidak ada yang perlu diucapkan—hanya kehadiran yang saling memberikan ketenangan.
Zaria menatap bunga-bunga yang tumbuh di sekitar taman, lalu menoleh pada Aidan dengan senyum kecil. “Aku ingin tahu satu hal, Aidan. Apakah kamu percaya bahwa… bahwa hidup itu seperti bunga? Mungkin suatu hari nanti akan layu, tapi… sebelum itu, dia akan mekar dengan indah.”
Aidan menatapnya dengan tatapan yang penuh kehangatan. “Aku percaya itu, Zaria. Setiap orang punya waktunya untuk mekar, untuk berbagi keindahan dengan dunia. Meskipun waktumu mungkin lebih singkat, kamu tetap memberikan keindahan itu.”
Zaria terdiam sejenak, mencoba menyimpan kata-kata itu dalam hatinya. Ia tahu, meskipun hari-hari yang tersisa semakin sedikit, ia tidak akan merasa menyesal. Ia telah memberi sesuatu yang berarti—sesuatu yang mungkin tidak bisa dilihat oleh banyak orang, tetapi Aidan tahu itu. Dalam diam, mereka saling memahami.
Ketika matahari mulai terbenam, Zaria merasa tubuhnya semakin lemah. Namun, senyumnya tak pernah pudar. Ia menoleh ke arah Aidan dengan tatapan yang penuh pengertian, seolah berkata, “Aku sudah siap.”
Aidan menggenggam tangannya lebih erat, tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Hari kedua ini adalah pemberian yang paling berarti. Dalam hening malam yang mulai menyelimuti, mereka kembali menuju kamar rumah sakit, dengan Zaria yang merasa lebih ringan, meskipun tahu hari-hari yang tersisa tidak banyak.
Namun, untuk Zaria, dua hari yang istimewa ini adalah hadiah yang tak ternilai. Ia telah hidup, benar-benar hidup, di hari-hari terakhirnya.
Ketika Waktu Menjadi Sebuah Kenangan
Hari ketiga datang dengan nuansa yang berbeda. Pagi itu, Zaria merasa tubuhnya semakin rapuh, seakan-akan waktunya sudah hampir habis. Namun, ada keheningan dalam dirinya yang terasa lebih dalam, lebih damai daripada sebelumnya. Meskipun kondisinya semakin menurun, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—perasaan bahwa ia telah mencapai titik puncak hidupnya, di mana semuanya telah tercapai. Waktu yang singkat, namun penuh makna.
Aidan duduk di sampingnya, menatap Zaria yang kini terbaring dengan mata yang mulai menutup sebagian. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya tetap ada, sedikit lebih tipis, namun tetap begitu hangat, seperti matahari sore yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Di saat-saat seperti ini, kata-kata terasa tak lagi cukup. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semua yang harus dipahami sudah terpahat dalam hati mereka.
“Aidan,” suara Zaria terdengar lemah, hampir tersembunyi oleh napasnya yang semakin berat. “Aku nggak menyesal.”
Aidan menatapnya, mencoba memahami maksud Zaria yang tak sepenuhnya bisa ia tangkap. “Apa maksudmu?”
Zaria menggerakkan tangannya yang lemah, seolah ingin menyentuh wajah Aidan. “Aku nggak menyesal menjalani hidupku, meskipun aku tahu aku nggak akan bisa melanjutkannya lebih lama. Aku… aku sudah merasa cukup bahagia.”
Aidan menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun ia tahu, Zaria lebih membutuhkan keberanian daripada air mata. Jadi ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Kamu sudah memberi dunia begitu banyak, Zaria. Kamu lebih dari cukup.”
Zaria mengangguk perlahan, matanya mulai sedikit terpejam, seolah menikmati setiap detik yang tersisa. “Aidan,” katanya lagi, suara semakin melemah, “Aku ingin kamu tahu, saat kita duduk bersama seperti ini… aku merasa seolah waktu berhenti. Seolah hanya ada kita berdua di dunia ini.”
Aidan membungkuk sedikit, mendekatkan dirinya agar Zaria bisa mendengarnya dengan lebih jelas. “Aku juga merasa begitu. Seolah waktu ini milik kita.”
Keheningan kembali merayapi mereka. Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, hanya suara napas Zaria yang semakin pelan dan Aidan yang terus ada di sisi, menunggu, setia. Mungkin saat itu adalah puncak dari segalanya—dan mereka berdua tahu bahwa tak ada yang bisa menggantikan momen itu.
Seiring berjalannya waktu, Zaria semakin terkulai. Aidan membantunya duduk sedikit lebih tegak, memindahkannya dengan hati-hati agar ia bisa melihat dunia di luar jendela. Namun, untuk pertama kalinya, Zaria tidak ingin melihat dunia luar. Ia hanya ingin memandang Aidan, meresapi setiap detik kehadirannya. Setiap detik itu terasa lebih bernilai sekarang.
“Aidan,” suara Zaria kembali terdengar, kali ini lebih seperti bisikan. “Tolong jaga dirimu. Jangan biarkan dunia mengubahmu. Kamu… kamu orang baik, dan aku tahu, akan banyak orang yang membutuhkanmu.”
Aidan mengusap rambutnya yang kusut, menahan rasa sesak yang mulai memenuhi dadanya. “Zaria, aku… aku nggak tahu bagaimana melanjutkan tanpa kamu.”
Zaria tersenyum, meskipun itu adalah senyuman yang begitu rapuh, seperti bunga yang perlahan layu. “Kamu akan bisa, Aidan. Karena aku akan selalu ada, di sini.” Ia meletakkan tangan di dada Aidan, tepat di atas hatinya. “Aku akan tetap hidup di sini.”
Aidan menggenggam tangan Zaria dengan erat, meskipun ia tahu waktu yang tersisa semakin tipis. Ia ingin memberi Zaria satu hal terakhir—rasa tenang yang bisa ia berikan, rasa damai yang bisa mengalir dari hatinya ke hati Zaria. Seperti angin yang berhembus lembut, membawa kedamaian ke dalam jiwa yang rapuh.
“Zaria,” Aidan mulai, suaranya serak. “Aku akan menjaga kamu, setiap kenangan tentangmu. Aku nggak akan pernah lupa.”
Zaria menutup matanya perlahan, seolah menikmati kata-kata itu, membiarkannya meresap dalam jiwanya. “Aku nggak perlu diingat, Aidan. Cukup… cukup kamu tahu bahwa aku bahagia.”
Tepat ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Zaria merasakan kedamaian yang sempurna. Ia tidak lagi takut. Tak ada rasa cemas atau kesedihan yang menguasainya. Ia merasa telah menjalani hidup dengan penuh, dengan penuh kasih, dan ia tahu bahwa Aidan akan membawa kenangan mereka bersama ke masa depan.
Dengan senyuman terakhir yang begitu lembut, Zaria menutup matanya untuk yang terakhir kali.
Aidan tetap di sampingnya, menggenggam tangannya yang semakin dingin, namun hatinya dipenuhi dengan rasa cinta yang tak terucapkan. Dunia mungkin kehilangan seseorang yang begitu luar biasa, tapi bagi Aidan, Zaria akan selalu hidup—dalam setiap kenangan, dalam setiap langkah yang ia ambil setelahnya.
Tidak ada lagi kata-kata, tidak ada lagi tangisan. Hanya ada satu perasaan yang terus bersemayam dalam hatinya: cinta yang tak pernah mati.
Kehidupan Setelah Kehilangan
Hari-hari setelah Zaria pergi terasa seperti sebuah dunia yang perlahan-lahan kehilangan warnanya. Aidan masih sering duduk di kursi samping ranjang kosong di rumah sakit itu, meskipun Zaria telah tiada. Semua yang ada di sekelilingnya tetap sama—tapi segala sesuatunya terasa berbeda. Tidak ada lagi tawa Zaria, tidak ada lagi kehangatan dari mata yang selalu melihatnya dengan penuh kasih. Hanya ada ruang kosong yang meninggalkan keheningan tak terucapkan.
Namun, meski Aidan merasa kehilangan begitu dalam, ada sesuatu dalam hatinya yang tetap terang. Ia tahu Zaria tidak pernah ingin ia merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Meskipun dunia tampak suram tanpa kehadirannya, Aidan memilih untuk menjalani hidup, membawa kenangan tentang Zaria di dalam dirinya.
Pagi itu, Aidan berdiri di tepi taman rumah sakit, melihat langit yang biru dengan awan putih yang melambai. Tempat ini, tempat yang pernah menjadi saksi perjalanan mereka bersama, kini terasa sepi. Namun, di balik kesunyian itu, Aidan merasa Zaria masih ada—bukan dalam bentuk yang bisa ia sentuh, tapi dalam setiap detik yang ia jalani, dalam setiap langkah yang ia ambil.
Dia berjalan menuju bangku tempat mereka terakhir kali duduk bersama, tempat di mana Zaria terakhir kali berkata bahwa ia sudah siap pergi. Seiring Aidan duduk, ia merasakan angin yang sejuk, membawa aroma bunga yang masih mekar. Zaria selalu suka bunga-bunga itu—setiap kali mereka berjalan di taman, ia selalu berlari-lari kecil menuju bunga-bunga yang berwarna cerah, sambil tersenyum seperti seorang anak kecil.
“Aku akan selalu ingat, Zaria,” bisik Aidan, menyentuh kursi yang kosong di sebelahnya. “Kamu akan selalu hidup di sini, dalam setiap kenangan, dalam setiap napasku.”
Ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya, buku yang dulu diberikan Zaria kepadanya. Buku itu penuh dengan catatan, gambar-gambar kecil, dan kalimat-kalimat yang hanya mereka berdua yang mengerti. Aidan membukanya, membaca sebuah kalimat yang ditulis Zaria beberapa bulan sebelum mereka tahu tentang penyakit yang akan merenggut hidupnya.
“Jangan biarkan dunia membuatmu kehilangan dirimu sendiri. Aku tahu kamu kuat, Aidan. Kamu selalu lebih dari yang kamu kira.”
Aidan tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu kini menjadi mantra yang selalu ia pegang, pengingat akan siapa dirinya dan bagaimana Zaria percaya padanya. Ia tahu, meskipun Zaria telah tiada, ia tidak akan pernah meninggalkannya—karena ada bagian dari Zaria yang hidup di dalam dirinya, dalam setiap langkah yang ia ambil, dalam setiap keputusan yang ia buat.
Seiring berjalannya waktu, Aidan mulai merasakan sedikit ketenangan dalam hatinya. Ia kembali bekerja, kembali menjalani rutinitasnya, meskipun tidak pernah ada hari yang benar-benar terasa seperti hari biasa. Zaria selalu ada dalam pikirannya, mengisi ruang kosong yang ada, seperti sebuah bayangan yang tak pernah bisa hilang. Setiap senyuman, setiap kata-kata Zaria yang terdengar dalam ingatannya, itu semua menjadi bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.
Satu bulan setelah Zaria pergi, Aidan kembali ke taman rumah sakit, tempat yang selalu mereka kunjungi bersama. Ia membawa sebuah bunga putih, bunga yang dulu Zaria sukai. Ia meletakkan bunga itu di bawah pohon besar yang selalu mereka duduki.
“Aku janji, Zaria,” katanya, matanya memandang bunga itu dengan penuh kehangatan, “Aku akan terus hidup. Aku akan melanjutkan hidupku, tapi aku akan melakukannya dengan ingat kamu, dengan cara yang kamu ajarkan.”
Dengan itu, Aidan menatap ke langit yang mulai memerah, seolah menyambutnya dengan lembut. Zaria mungkin tidak ada lagi di dunia ini, tapi kehadirannya akan selalu hidup dalam hatinya. Tidak ada yang bisa merampas kenangan itu, tidak ada yang bisa mengubah cinta yang ia rasakan.
Aidan tahu, dengan atau tanpa Zaria, ia akan terus melangkah. Karena cinta mereka bukanlah akhir. Cinta itu adalah perjalanan—sebuah perjalanan yang akan terus ia jalani, meskipun hanya dalam ingatan dan hati yang penuh kenangan.
Dan di bawah langit yang mulai gelap, Aidan merasakan bahwa dunia masih punya tempat untuknya. Ia tidak lagi merasa sendirian. Dalam keheningan malam, ia tahu bahwa Zaria akan selalu ada, mengiringinya dalam setiap langkah yang ia ambil.
Jadi, setelah kamu baca cerpen ini, semoga kamu bisa merasa sedikit lebih kuat, meskipun kehilangan itu nggak pernah mudah. Setiap kenangan, setiap momen, selalu punya tempat khusus di hati kita, dan kadang, meskipun orang yang kita sayang pergi, cinta itu tetap ada, nggak pernah hilang.
Kalau ada yang bisa diambil dari cerita Aidan dan Zaria, itu adalah betapa berharganya setiap detik yang kita punya bersama orang yang kita cintai. Jangan sia-siakan waktu, karena kita nggak pernah tahu kapan semuanya akan berubah.