Drama Sekolah Paling Kacau: Dari Tugas Mematikan sampai Panggung Berantakan!

Posted on

Sekolah tuh tempat belajar? Iya, bener. Tapi jangan lupa, di balik tumpukan tugas yang bikin pusing, ada momen-momen absurd yang nggak bakal dilupain.

Dari tugas drama yang niatnya serius malah berujung kekacauan total, sampe temen yang nggak ada akhlak nyusahin kelompok, cerita ini bakal bikin lo nostalgia sama masa sekolah. Dijamin ngakak, kesel, tapi juga kangen!

 

Drama Sekolah Paling Kacau

Ujian Tiga Soal, Tiga Tahun Penderitaan

Pagi itu, udara kelas terasa lebih dingin dari biasanya, seolah AC sekolah bekerja ekstra untuk membekukan nyali para siswa. Suasana mencekam menyelimuti ruangan, dengan wajah-wajah penuh kecemasan menatap papan tulis yang masih kosong. Tidak ada yang berani bersuara. Bahkan, suara kipas langit-langit yang berputar pun terdengar lebih nyaring dari biasanya.

Lalu, masuklah Pak Jaka. Dengan langkah santai, ia membawa selembar kertas di tangan kanannya, sementara tangan kirinya sibuk menyesap kopi dari gelas yang sudah usang. Aroma pahit menyebar ke seluruh kelas, seakan menjadi pengingat akan nasib pahit yang menunggu.

“Baiklah, anak-anak,” kata Pak Jaka dengan nada khasnya yang tenang, tapi mengandung teror. “Seperti yang sudah saya bilang kemarin, hari ini kita ada ujian kecil. Santai aja, cuma tiga soal.”

Tiga soal. Kata-kata itu langsung menimbulkan kegelisahan di seantero kelas. Semua tahu, tiga soal dari Pak Jaka itu lebih menyeramkan daripada sepuluh soal dari guru lain.

Nanda, yang duduk di barisan tengah, berbisik pada Rico dengan panik. “Tiga soal dari Pak Jaka itu kayak tiga tahun di neraka, tau.”

“Yaelah, santai aja,” balas Rico, berusaha terdengar tenang, tapi tangannya yang meremas ujung meja menunjukkan hal sebaliknya.

Pak Jaka mulai membagikan kertas ujian. Satu per satu, lembar putih itu sampai ke tangan siswa, membawa beban yang lebih berat daripada sekadar tinta hitam di atas kertas. Saat kertas ujian mendarat di meja Bima, si jenius kelas, ia hanya menghela napas panjang. Sementara itu, yang lain mulai meratapi nasib masing-masing.

“Silakan mulai,” kata Pak Jaka, lalu berjalan ke belakang kelas dengan santai, meninggalkan para siswa dalam ketidakpastian.

Seisi kelas hening. Hanya suara gesekan pensil yang sesekali terdengar. Beberapa siswa mulai berkutat dengan angka-angka yang tampak lebih seperti sandi militer daripada soal ujian biasa.

Rico menatap lembar ujiannya dengan ekspresi horor. “Ini soal atau kutukan kuno, sih?” bisiknya ke Nanda.

Nanda melirik soal nomor satu dan langsung ingin menangis. “Kenapa bisa ada integral di soal pertama?! Aku bahkan belum sempat memahami yang dasar-dasar!”

Di sudut kelas, Bima sudah menulis dengan tenang. Pena di tangannya bergerak lincah seakan sudah tahu jawabannya sebelum membaca soalnya.

“Kalau kamu udah selesai dalam sepuluh menit, aku bakal benci kamu seumur hidup,” gerutu Rico.

Bima hanya tertawa kecil tanpa mengalihkan perhatian dari kertasnya.

Sementara itu, beberapa siswa mulai menunjukkan tanda-tanda putus asa. Ada yang menatap langit-langit, berharap mendapat wahyu ilahi. Ada juga yang berusaha melirik ke jawaban teman sebelah, hanya untuk menemukan bahwa teman sebelah juga sedang dalam posisi pasrah.

Lima belas menit berlalu. Keringat mulai bercucuran, bukan karena cuaca, tapi karena beban mental yang luar biasa.

“Sepuluh menit lagi,” kata Pak Jaka, masih duduk santai di mejanya sambil membaca koran.

Nanda membeku. “Sepuluh menit?! Aku bahkan belum nemu akar masalah dari soal pertama!”

Rico langsung meraih rambutnya sendiri. “Aku juga nggak nemu akar kebahagiaan hidupku lagi.”

Bima, yang sudah selesai menulis, hanya tersenyum kecil. “Kalau kalian panik, otak kalian makin lemot. Santai aja.”

Nanda menatap Bima dengan mata penuh pengkhianatan. “Kamu ngomong kayak gitu karena kamu udah selesai, dasar otak alien!”

Pak Jaka berdiri dan mulai berjalan mengelilingi kelas. Langkahnya pelan, tapi efeknya seperti alarm peringatan bahaya bagi semua orang.

Detik-detik terakhir terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Beberapa siswa masih menulis secepat mungkin, berharap ada keajaiban di detik-detik terakhir.

Dan akhirnya—

“Kumpulkan sekarang,” kata Pak Jaka dengan nada tenang tapi mematikan.

Terdengar keluhan pelan di seluruh kelas. Kertas-kertas ujian dikumpulkan, satu per satu, dengan berbagai ekspresi di wajah para siswa. Ada yang pasrah, ada yang masih syok, ada yang bahkan sudah mulai berdamai dengan kemungkinan nilai rendah.

Saat Pak Jaka mengambil kertas terakhir, dia tersenyum kecil. “Saya harap kalian semua bisa belajar sesuatu dari ujian ini.”

Nanda mendengus. “Iya, Pak. Belajar bahwa hidup itu nggak adil.”

Rico mengangguk setuju. “Dan belajar bahwa tidur di kelas itu keputusan buruk, karena aku nggak ngerti apa pun dari materi minggu lalu.”

Bima hanya tertawa kecil, sementara Pak Jaka kembali ke mejanya, tampak sangat puas dengan hasil kejutannya hari ini.

Dan begitulah. Satu jam neraka telah berakhir. Tapi ini baru permulaan. Masih ada istirahat, kantin, dan tentu saja, drama tugas yang sudah menanti di bab berikutnya.

 

Kantin, Tempat Pelarian Para Pejuang Sekolah

Begitu bel istirahat berbunyi, kelas langsung berubah jadi pasar dadakan. Kursi-kursi bergeser kasar, tas-tas dijinjing seadanya, dan suara obrolan mulai menggema. Semua orang punya satu tujuan yang sama: kantin.

Nanda dan Rico jadi yang pertama beranjak, sementara Bima masih memasukkan alat tulisnya dengan santai.

“Ayo, Bi! Kalau telat sedikit aja, kita bakal kehabisan nasi ayam, tau,” kata Nanda, menarik lengan Bima dengan panik.

Bima terkekeh. “Nasi ayam ada tiap hari, Nd.”

Rico menyahut sambil melangkah cepat. “Iya, tapi kalau nggak dapat sekarang, kita harus makan sisa-sisa makanan penuh penderitaan. Kamu tahu kan betapa mengerikannya nasi yang cuma tersisa kuah doang?”

Tanpa menunggu balasan, mereka bertiga sudah meluncur ke kantin.

Kantin sekolah adalah tempat di mana hukum rimba berlaku. Yang kuat dan gesit menang, yang lelet bakal kelaparan. Begitu tiba, mereka disambut dengan antrean panjang di depan warung Bu Ratna, tempat nasi ayam favorit semua orang.

“Ah, gawat. Kita nggak bakal kebagian.” Nanda mendengus frustasi.

Rico mendekatkan diri ke antrean, mencoba mengintip ke dalam. “Coba lihat. Kayaknya masih ada.”

Tiba-tiba, seorang anak dari kelas sebelah, Iqbal, muncul entah dari mana dan langsung nyelip di depan mereka.

“Heh, antri yang bener, Bal!” protes Nanda.

Iqbal cuma cengengesan. “Hukum kantin, Nd. Siapa cepat, dia makan.”

Rico menatapnya tajam. “Kalau gitu, siapa kuat, dia nyelak balik.”

Tanpa basa-basi, Rico langsung menyelip di depannya dengan manuver gesit. Nanda pun ikut-ikutan, membuat Iqbal mengumpat pelan.

Bima, yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya buka suara. “Kalian sadar nggak, perang di kantin ini lebih kacau dari ujian Pak Jaka tadi?”

“Beda, Bi,” jawab Rico sambil menerima nasi ayamnya. “Kalau ujian Pak Jaka, kita masih bisa remedial. Kalau di kantin kehabisan nasi ayam, nggak ada remedialnya.”

Setelah berjuang mati-matian, akhirnya mereka bertiga berhasil mendapatkan makanan mereka. Mereka langsung menuju meja kosong di pojokan, tempat biasa mereka nongkrong.

Baru saja mereka duduk, Dinda—cewek paling bawel di kelas—datang dengan ekspresi panik. “Tolong! Siapa yang punya tugas Bahasa Indonesia?! Aku lupa ngerjain!”

Nanda dan Rico langsung saling pandang dengan tatapan sok prihatin.

“Duh, kasihan banget. Sayangnya, aku juga lupa ngerjain,” kata Rico dramatis.

Nanda mengangguk-angguk. “Aku sih ingat, tapi males.”

Dinda mendengus. “Ya ampun, kalian berdua nih. Bima, kamu punya kan?”

Bima menghela napas, lalu mengeluarkan bukunya dengan pasrah. “Jangan nyontek mentah-mentah.”

Dinda langsung merebut buku itu dengan semangat. “Siap, Bos! Pokoknya aku bakal menyalin dengan penuh kreativitas!”

Bima hanya bisa geleng-geleng kepala.

Di tengah-tengah obrolan, Rico tiba-tiba menatap langit-langit dengan ekspresi kosong.

“Kamu kenapa?” tanya Nanda.

“Aku kepikiran ujian tadi,” jawab Rico dramatis. “Kayaknya nilai Matematikaku bakal setara suhu kulkas.”

Nanda tertawa. “Aku yakin nilaimu nggak serendah itu.”

Rico mendesah. “Aku juga yakin, sih. Paling nggak bakal setara suhu freezer.”

Meledaklah tawa di meja itu.

Di tengah segala stres ujian dan tugas, kantin tetap jadi tempat di mana mereka bisa sedikit melupakan beban sekolah. Walaupun sebentar, momen ini bakal jadi sesuatu yang mereka rindukan nanti.

Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Soalnya, setelah ini, mereka masih harus menghadapi tugas kelompok yang lebih kacau dari kantin. Dan dari pengalaman sebelumnya, itu berarti pertengkaran, perdebatan, dan pastinya, seseorang bakal pura-pura sibuk biar nggak kerja.

Hari ini masih panjang.

 

Tugas Kelompok dan Pengkhianatan Besar

Setelah kantin sukses jadi medan perang pertama, mereka kembali ke kelas dengan perut kenyang dan hati tenang. Tapi ketenangan itu hanya bertahan sampai Bu Rina, guru Bahasa Indonesia, masuk ke kelas dengan senyum penuh arti.

“Baiklah, anak-anak,” ucap Bu Rina sambil meletakkan buku di meja. “Saya harap kalian sudah siap, karena hari ini kita akan mulai tugas kelompok.”

Sekelas langsung berisik.

“Lagi-lagi tugas kelompok?” desah Nanda, kepalanya langsung tertunduk lesu di meja.

Rico mendengus. “Nggak usah pura-pura terkejut, Nd. Ini sekolah, bukan taman hiburan.”

Bu Rina mengetukkan penggaris ke meja, menarik perhatian kelas kembali. “Saya sudah menentukan kelompoknya, jadi nggak ada yang boleh protes.”

Sekelas kompak mengeluh.

Bu Rina mulai membacakan daftar kelompok. Nama demi nama disebut, sampai akhirnya…

“Nanda, Rico, Bima, Dinda, dan Iqbal dalam satu kelompok.”

Kelas sontak riuh.

Rico langsung memegang dadanya dengan dramatis. “Bu, kenapa saya?”

Nanda menepuk pundaknya. “Sabar, bro. Ini mungkin ujian setelah ujian Matematika tadi.”

Iqbal, yang duduk santai di belakang mereka, hanya nyengir. “Wah, kerja kelompok bareng rival di kantin. Seru, nih.”

Dinda mengangkat tangan. “Bu, saya boleh pindah kelompok nggak?”

“Tidak.”

Jawaban tegas itu membuat Dinda langsung mendesah putus asa.

Setelah Bu Rina selesai membagi kelompok, mereka akhirnya berkumpul untuk membahas tugas yang, berdasarkan pengalaman, bakal lebih banyak berujung debat daripada kerja.

“Jadi, tugas kita adalah membuat drama pendek berdasarkan cerita rakyat,” ucap Bima sambil membaca catatan dari papan tulis.

“Drama?” Rico menatap langit-langit. “Aku lebih baik mengulang ujian Pak Jaka sepuluh kali daripada main drama.”

Dinda mengerutkan kening. “Kamu tuh lebay banget.”

“Tapi aku setuju,” timpal Nanda. “Gue mendingan nyusun makalah sepuluh halaman daripada disuruh akting.”

Iqbal menyeringai. “Kalau gitu, aku jadi sutradara aja.”

Rico mengangkat alis. “Oh, nggak. Sutradara itu tugas paling enak. Kamu harus ikut akting juga.”

Iqbal tertawa. “Fine. Tapi aku nggak mau jadi peran kecil.”

Bima menghela napas. “Kita bahkan belum milih cerita, kalian udah ribut.”

Setelah beberapa menit diskusi yang lebih mirip debat politik, akhirnya mereka sepakat memilih cerita Malin Kundang untuk dijadikan drama.

“Jadi, siapa yang jadi Malin Kundang?” tanya Dinda.

Serempak semua mata menoleh ke satu orang.

Rico menunjuk dirinya sendiri. “Hah? Aku?”

Nanda mengangguk penuh keyakinan. “Iya. Soalnya kamu yang paling sering durhaka sama tugas.”

Dinda tertawa. “Setuju!”

Rico mendesah pasrah. “Baiklah, baiklah. Aku jadi Malin. Tapi kalau aku jadi Malin, berarti aku harus punya ibu.”

Bima langsung menunduk, berharap tidak ditunjuk.

Iqbal berdeham. “Dinda, kamu cocok jadi ibunya.”

Dinda langsung melotot. “APA?!”

Rico menahan tawa. “Ya, iya sih. Soalnya kamu paling jago marah-marah di kelas.”

Dinda menggebrak meja. “Kalian semua PENGKHIANAT!”

Nanda tertawa terbahak-bahak. “Lihat sisi positifnya, Din. Kamu bisa marah-marah sepuasnya tanpa ada yang protes.”

Dinda masih ingin membantah, tapi akhirnya menyerah.

“Bima jadi narator aja, ya?” usul Rico.

Bima mengangguk setuju. “Aku nggak masalah, selama nggak perlu akting.”

Iqbal menepuk dada. “Aku jadi saudagar kaya.”

Nanda mendengus. “Kamu emang cocok jadi orang kaya. Kaya masalah.”

Setelah akhirnya pembagian peran beres, mereka mulai menyusun naskah drama. Tapi seperti dugaan, lebih banyak bercandanya daripada serius.

Rico membaca salah satu dialognya. “Ibu, ampuni aku! Aku telah durhaka!” Lalu dia menatap Dinda. “Eh, Din, nanti jangan beneran kutuk aku jadi batu, ya.”

Dinda menyeringai. “Tergantung mood.”

Nanda menambahkan. “Kalau sampai nilai kita jelek, kita kutuk Rico jadi patung sekolah.”

Bima hanya bisa menggelengkan kepala melihat teman-temannya yang lebih banyak bercanda daripada bekerja.

Di antara debat, tawa, dan kekacauan kecil yang mereka buat, tugas ini ternyata tidak seburuk yang mereka kira. Dan meskipun mereka belum menyadari, ini akan jadi salah satu momen yang paling mereka kenang setelah lulus nanti.

Namun sebelum mereka bisa menyelesaikan tugas ini, ada satu masalah besar yang akan datang. Dan itu, akan lebih kacau dari apa pun yang mereka hadapi sebelumnya.

 

Kekacauan di Hari Pementasan

Hari pementasan tiba. Suasana kelas sudah riuh sejak pagi. Semua kelompok sibuk dengan kostum, properti, dan persiapan terakhir. Tapi di sudut kelas, kelompok Rico, Nanda, Bima, Dinda, dan Iqbal justru duduk melingkar dengan wajah panik.

“Jadi,” ucap Bima sambil menekan pelipisnya. “Iqbal KEMANA?”

Dinda mengetuk meja dengan gusar. “Dia harusnya udah di sini dari tadi! Dia bagian penting dalam cerita kita, kan?”

Rico berdiri dan menatap jam dinding. “Kita tampil sepuluh menit lagi. Kalau dia nggak muncul, kita bakal punya drama Malin Kundang yang kehilangan saudagar kaya.”

Nanda mendecak. “Masalahnya, dia satu-satunya yang punya jubah buat properti!”

Bima menatap mereka semua dengan ekspresi kosong. “Jadi sekarang kita kekurangan pemain dan kostum?”

Dinda menggeram. “Ini bencana.”

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dengan kasar. Iqbal masuk dengan nafas ngos-ngosan, wajahnya penuh keringat.

“Maaf, maaf!” serunya. “Tadi jalanan macet, terus aku lupa bawa jubah, jadi aku balik lagi ke rumah buat ambil.”

Sekelas menatapnya seakan ingin melempar kursi.

“KAMU NGAPAIN BALIK KE RUMAH?!” seru Rico frustrasi.

Iqbal mengangkat jubahnya tinggi-tinggi. “Tapi aku berhasil dapet ini!”

Dinda memijat pelipisnya. “Udah nggak ada waktu buat marah-marah. Cepat kita siap-siap!”

Mereka buru-buru memakai kostum dan bersiap di belakang panggung. Jantung mereka berdegup kencang saat nama kelompok mereka dipanggil. Rico, sebagai Malin Kundang, berjalan ke panggung dengan dada tegap, meski dalam hati deg-degan.

Dinda, sebagai ibu Malin Kundang, berdiri di tengah panggung dengan ekspresi sendu. “Anakku… kau kembali.”

Rico menoleh dengan ekspresi angkuh. “Siapa kamu, perempuan tua?”

Sekelas mulai berbisik-bisik. Drama ini benar-benar terasa serius. Tapi semua itu berubah ketika…

BRAK!

Iqbal tersandung kabel di belakang panggung dan jubahnya tersangkut di kursi.

Semua mata tertuju pada insiden itu. Beberapa murid mulai cekikikan. Tapi Dinda tetap profesional dan berusaha fokus.

“Kamu… benar-benar tidak mengenali ibumu sendiri?” suara Dinda bergetar, mencoba menyelamatkan suasana.

Rico menatap Dinda dengan serius, lalu menoleh ke arah Iqbal yang masih berusaha lepas dari kursi. Ia berusaha menahan tawa, tapi gagal.

Nanda yang duduk sebagai salah satu figuran di pojokan menutup wajahnya, menahan ngakak.

Bima yang bertugas sebagai narator juga hampir kehilangan kontrol. Dengan suara gemetar, dia membaca naskah.

“Malin… eh… Malin Kundang yang kejam… menolak ibunya… dan…”

Iqbal akhirnya berhasil melepas jubahnya, tapi dia kehilangan keseimbangan dan hampir menabrak properti pohon di panggung.

“ASTAGA!”

Suasana pecah. Sekelas meledak dalam tawa. Bahkan Bu Rina sampai harus menutup mulutnya untuk menahan tawa.

Dinda menatap langit-langit dengan putus asa. “Kenapa aku setuju ikut kelompok ini?”

Meski penuh kekacauan, mereka tetap berhasil menyelesaikan drama. Endingnya tetap berjalan sesuai rencana—walaupun ketika Dinda ‘mengutuk’ Rico jadi batu, Rico malah menjatuhkan diri dengan dramatis sambil berteriak, “AKU HANYA INGIN MAKAN NASI PADANG!”

Setelah pertunjukan selesai, mereka kembali ke kursi dengan wajah penuh campuran perasaan.

“Ya ampun,” desah Bima. “Aku nggak tahu harus bangga atau malu.”

Iqbal hanya tertawa. “Tapi jujur, ini drama paling menghibur yang pernah ada.”

Dinda melotot. “Itu karena kamu hampir membunuh properti panggung!”

Nanda menepuk pundaknya. “Tapi di sisi lain, kita bakal dikenang sepanjang sejarah sekolah.”

Rico menyeringai. “Dan yang paling penting, kita nggak gagal.”

Saat pengumuman nilai, Bu Rina tersenyum sambil berkata, “Walaupun drama kalian agak kacau, saya harus akui… ini pertunjukan yang paling seru hari ini.”

Mereka pun berhasil mendapatkan nilai yang lumayan tinggi. Tapi lebih dari itu, mereka sadar satu hal—kadang, momen yang paling berantakan adalah yang paling berkesan.

Dan hari itu, mereka menambahkan satu kenangan lagi dalam lembaran kisah sekolah mereka yang tak terlupakan.

 

Yah, begitulah sekolah. Kadang niatnya mau tampil keren, malah bikin sejarah baru yang bikin sekelas ngakak nggak kelar-kelar. Tapi justru dari kekacauan itulah, kenangan sekolah jadi makin seru.

Karena yang bakal diinget bukan nilai tugasnya, tapi momen pas temen lo jatuh di panggung atau dialog yang mendadak absurd. Dan yakin deh, itu yang bakal bikin lo senyum-senyum sendiri di masa depan!

Leave a Reply