Daftar Isi
Hai Semua! Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak kalian dengar ungkapan “surga di bawah telapak kaki ibu,” kan? Nah, dalam cerpen ini, kamu akan diajak menyelami kisah Rizwan, seorang anak SMA yang gaul dan aktif, yang harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan ibunya.
Cerita ini penuh dengan emosi, perjuangan, dan penyesalan yang dalam. Bagaimana Rizwan berusaha menebus kesalahannya dan menemukan kedamaian dalam hatinya? Yuk, ikuti perjalanan menyentuh hatinya dalam cerita “Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu.” Dijamin bikin baper!
Doa Terakhir dari Ibu
Hidup dalam Riuhnya Pergaulan
Rizwan melangkah dengan penuh percaya diri menyusuri koridor sekolah, seragam putih abu-abunya terlihat rapi, namun rambutnya sedikit acak-acakan dengan gaya khas anak gaul. Suara derap langkah kakinya yang cepat seolah mengimbangi keriuhan suasana pagi itu, di mana siswa-siswi lain tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan sekelompok temannya yang tengah bercanda di dekat taman sekolah.
“Eh, Riz! Sini, bro!” seru Doni, salah satu sahabatnya, sambil melambaikan tangan.
Rizwan menyeringai kecil, lalu segera menghampiri mereka. “Apaan nih, pagi-pagi udah rame aja?” tanyanya sambil mengambil posisi duduk di bangku taman yang terbuat dari kayu.
“Biasalah, ngumpul dulu sebelum jam masuk. Nggak seru kalau nggak mulai hari dengan cerita kocak,” kata Doni sambil tertawa.
Mereka pun asyik bercanda, berbagi cerita-cerita konyol tentang kejadian di kelas, guru-guru yang mereka anggap membosankan, dan sesekali menggoda teman-teman lain yang lewat. Rizwan menikmati setiap momen itu. Hidup di antara teman-temannya terasa begitu ringan dan menyenangkan. Ia merasa menjadi pusat perhatian, dan ia menyukainya.
Namun, di balik keceriaan itu, ada sesuatu yang sering diabaikan Rizwan ibu di rumah, yang setiap hari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan bekalnya. Bu Nisa, meski tubuhnya semakin lemah, tetap berusaha menjalani tugas-tugasnya sebagai ibu dengan penuh kasih sayang. Namun sayangnya, perhatian dan kasih sayang itu sering kali hanya dianggap angin lalu oleh Rizwan.
Pagi itu, seperti biasa, Rizwan berangkat sekolah tanpa sarapan di rumah. Ibunya sudah menyiapkan segala sesuatu di meja makan, mulai dari nasi goreng hingga segelas teh hangat. Namun, Rizwan hanya melewati meja makan dengan cepat.
“Rizwan, makan dulu, Nak. Mama udah siapin sarapan,” kata Bu Nisa lembut.
“Ah, nggak usah, Ma. Aku mau ketemu teman-teman dulu di sekolah. Lagi nggak lapar,” jawab Rizwan cepat tanpa menoleh, bahkan tanpa sedikit pun memperhatikan raut wajah ibunya.
Bu Nisa hanya tersenyum, meski dalam hatinya ada sedikit rasa kecewa. Ia tahu, putranya sedang dalam masa remaja di mana teman-teman menjadi prioritas, tapi sebagai seorang ibu, ia tak bisa memungkiri perasaan sepinya saat melihat anaknya berlalu begitu saja.
Saat di sekolah, Rizwan seolah lupa dengan semua hal yang terjadi di rumah. Pergaulannya adalah dunianya sekarang. Bagi Rizwan, hidup adalah tentang momen-momen penuh tawa bersama teman-temannya, nongkrong di kafe sepulang sekolah, atau sekadar bermain game online bersama-sama hingga larut malam. Ibunya? Hanya seseorang yang selalu ada di rumah, menunggu dengan kesabaran yang tak pernah ia perhitungkan.
Suatu sore, setelah selesai mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, Rizwan memilih untuk nongkrong bersama teman-temannya di kafe dekat sekolah. Mereka bercanda, membicarakan rencana akhir pekan, dan tertawa tanpa henti. Jam terus berputar hingga malam menjelang, dan Rizwan sama sekali tak menghubungi ibunya. Di rumah, Bu Nisa duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu. Pikirannya melayang ke putra satu-satunya yang tak kunjung pulang.
Rizwan akhirnya tiba di rumah sekitar jam sembilan malam. Saat ia membuka pintu, ia mendapati ibunya masih duduk di sofa, menunggunya.
“Rizwan, kok pulangnya malam sekali, Nak? Mama khawatir,” tanya Bu Nisa dengan nada suara yang lemah.
“Ah, Mama khawatir terus. Kan aku udah bilang sama teman-teman di sekolah. Santai aja, Ma. Aku baik-baik aja,” jawab Rizwan sambil berjalan masuk ke kamarnya tanpa banyak bicara.
Bu Nisa hanya menghela napas panjang. Dia tahu anaknya mulai menjauh. Dia mulai sibuk dengan dunia luar, tapi sebagai seorang ibu, perasaannya tak bisa disangkal. Setiap malam, sebelum tidur, ia selalu berdoa agar Rizwan tetap sehat dan diberi keselamatan. Doa yang sama terus ia ulang setiap malam, berharap suatu hari Rizwan akan kembali memberikan perhatian dan kasih sayang yang selama ini ia berikan tanpa pamrih.
Sementara itu, bagi Rizwan, hidupnya berjalan dengan cepat. Ia semakin tenggelam dalam pergaulan, hingga tak menyadari bahwa ibunya semakin sering jatuh sakit. Ada kalanya Rizwan mendapati ibunya batuk keras, atau terlihat pucat saat pagi hari. Tapi, Rizwan selalu menganggap itu hal biasa. “Mama cuma capek,” pikirnya, lalu pergi begitu saja.
Namun, semuanya mulai berubah ketika suatu hari, Rizwan tak mendapati ibunya di dapur seperti biasanya. Biasanya, setiap pagi, Bu Nisa sudah bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan untuknya, walaupun sering kali sarapan itu tak ia makan. Tapi pagi itu berbeda. Meja makan kosong, dapur sepi, dan tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah.
Rizwan mencari-cari ibunya ke seluruh penjuru rumah. Saat ia masuk ke kamar ibunya, ia mendapati Bu Nisa masih terbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat, dan napasnya terlihat berat.
“Ma? Mama kenapa?” tanya Rizwan panik.
Bu Nisa hanya membuka mata perlahan, senyum tipis terukir di wajahnya. “Maaf ya, Nak Mama nggak bisa untuk bangun pagi ini. Mama cuma butuh istirahat sedikit.”
Rizwan merasa ada yang aneh. Untuk pertama kalinya, ia merasa cemas. “Ma, kita ke dokter aja, yuk. Biar Mama diperiksa,” katanya dengan nada khawatir.
Namun, Bu Nisa hanya menggeleng pelan. “Nggak perlu, Nak. Mama cuma butuh istirahat. Kamu pergi sekolah dulu, ya? Nanti Mama baik-baik saja.”
Rizwan tahu ibunya sedang mencoba menenangkan, tapi dalam hati, ada perasaan bersalah yang mulai merayap. Sudah berapa lama ia tak memperhatikan ibunya? Berapa kali ia menolak bekal yang dibuat dengan penuh kasih sayang? Berapa malam ia pulang terlambat tanpa kabar, meninggalkan ibunya sendirian di rumah?
Meskipun begitu, Rizwan tetap berangkat ke sekolah dengan pikiran yang tak tenang. Sepanjang hari, pikirannya terus melayang ke rumah. Setiap kali ada teman yang mengajak bercanda atau berbicara, ia hanya merespons seadanya, tak benar-benar fokus.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Rizwan langsung bergegas pulang tanpa ikut nongkrong seperti biasanya. Saat tiba di rumah, ia menemukan ibunya masih terbaring lemah. Kali ini, Rizwan tak bisa lagi mengabaikan perasaannya. Ia memutuskan untuk membawa ibunya ke rumah sakit.
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang. Di dalam taksi, Rizwan memandang wajah ibunya yang semakin pucat. Di situlah ia tersadar betapa ia telah mengabaikan ibunya selama ini. Pikirannya dipenuhi penyesalan. Bagaimana mungkin ia terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri hingga tak melihat bahwa orang yang paling penting dalam hidupnya perlahan-lahan meredup di depannya?
Rizwan tak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti ia tak akan membiarkan dirinya menyesal lebih dalam lagi.
Tanda-Tanda Kasih yang Terlupakan
Rizwan duduk di ruang tunggu rumah sakit, hatinya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam. Suara detak jam dinding menggema di dalam ruangan yang sunyi, memperkuat kecemasannya. Di sebelahnya, Bu Nisa terbaring lemah di atas kursi roda, wajahnya semakin pucat. Suster yang tadi membawa mereka masuk telah pergi untuk memanggil dokter. Rizwan menggenggam tangan ibunya dengan erat, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. Tangannya terasa dingin, lemah, dan menggigil, seolah hanya kulit yang menutupi tulang.
“Maaf ya, Nak, Mama malah merepotkan kamu seperti ini,” bisik Bu Nisa pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya yang lemah.
“Mama jangan ngomong gitu, dong,” jawab Rizwan, suaranya parau. “Mama itu nggak pernah merepotkan aku. Seharusnya aku yang minta maaf karena selama ini nggak peduli sama Mama.” Ada getaran dalam suaranya, sebuah penyesalan yang tiba-tiba menghantam keras di hatinya.
Bu Nisa hanya tersenyum, tanpa kata-kata lagi. Pandangannya melayang pada langit-langit rumah sakit, seolah tak ingin membuat putranya semakin merasa bersalah. Namun, senyum itu, alih-alih menenangkan, justru semakin menambah beban di hati Rizwan. Ia teringat kembali bagaimana setiap pagi ibunya selalu menyiapkan sarapan untuknya, meskipun ia sering kali meninggalkan rumah tanpa memakannya. Betapa ibunya selalu menunggunya pulang meski ia berkali-kali datang terlambat. Dan kini, di saat Bu Nisa membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya, ia merasa terlambat untuk menebus segalanya.
Seorang dokter akhirnya datang, wajahnya terlihat serius. Ia memeriksa kondisi Bu Nisa dengan hati-hati, sementara Rizwan berdiri di samping mereka, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mendengar kabar yang mungkin terburuk. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dokter menghela napas panjang dan menatap Rizwan.
“Bu Nisa perlu dirawat, kondisinya sudah sangat lemah,” kata dokter dengan nada lembut namun tegas. “Sepertinya beliau sudah cukup lama sakit, dan sekarang kondisinya memburuk karena terlalu banyak menunda pengobatan.”
Rizwan merasa seperti tertampar oleh kata-kata itu. “Sudah lama sakit”? Kenapa ia tak pernah menyadarinya? Mengapa ibunya tak pernah mengeluh atau menceritakan kondisinya? Perasaan bersalah yang menumpuk semakin menghimpit dadanya, membuatnya sulit bernapas. Ia ingat beberapa bulan terakhir, saat ibunya sering terlihat pucat dan batuk-batuk di pagi hari. Tapi setiap kali ia bertanya, ibunya selalu mengatakan, “Mama cuma capek, Nak. Nggak usah khawatir.”
Dan Rizwan percaya begitu saja.
“Mama sakit apa, Dok?” tanya Rizwan, suaranya gemetar. Ia berharap dokter akan mengatakan sesuatu yang ringan, sesuatu yang bisa diatasi dengan cepat.
Dokter menatapnya sejenak, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan kabar buruk. “Bu Nisa mengalami komplikasi paru-paru yang cukup serius. Sepertinya sudah berkembang menjadi infeksi yang lebih parah. Kita harus segera mengambil tindakan, tapi… kesembuhannya akan sangat tergantung pada seberapa kuat tubuh beliau.”
Rizwan terdiam. Tenggorokannya tercekat, seolah kata-kata dokter tak bisa masuk sepenuhnya ke dalam pikirannya. Infeksi paru-paru? Parah? Semua itu terdengar seperti sebuah hukuman atas kelalaiannya. Bagaimana mungkin ia bisa begitu sibuk dengan pergaulannya, teman-teman, dan dunianya sendiri hingga tak pernah memperhatikan ibunya? Seberapa egoiskah dirinya?
“Baik, Dok. Tolong sembuhkan Mama saya,” kata Rizwan akhirnya, dengan nada penuh permohonan. Dokter hanya mengangguk sambil menuliskan beberapa resep dan instruksi untuk perawatan Bu Nisa.
Setelah itu, Bu Nisa dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Rizwan mengikuti dari belakang, melihat tubuh lemah ibunya di atas ranjang rumah sakit yang tampak besar dan dingin. Sesekali, Rizwan menyeka air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Ia bukan tipe anak yang sering menangis, tapi melihat ibunya dalam kondisi seperti ini membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Saat mereka tiba di kamar, Bu Nisa menatap Rizwan dan mencoba tersenyum, meski jelas terlihat bahwa senyum itu kini dipaksakan oleh rasa sakit yang ia derita.
“Rizwan, Mama baik-baik saja, ya. Kamu jangan terlalu khawatir,” ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar.
Rizwan menggigit bibirnya, menahan air mata yang kembali mendesak keluar. “Ma, aku janji mulai sekarang aku akan bisa lebih peduli lagi sama Mama. Aku akan selalu ada buat Mama. Aku minta maaf… aku minta maaf banget karena aku selama ini egois, Ma.”
Bu Nisa terdiam beberapa saat, lalu mengangkat tangannya dengan susah payah untuk menyentuh pipi Rizwan. “Mama nggak pernah marah sama kamu, Nak. Kamu anak yang baik. Mama cuma ingin kamu bahagia.”
Rizwan mengangguk, meski hatinya semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Ia ingin mengatakan bahwa kebahagiaannya selama ini ternyata semua bahwa tanpa ibunya, ia tak pernah benar-benar bahagia. Namun, kata-kata itu terjebak di tenggorokannya, dan ia hanya bisa menggenggam tangan ibunya lebih erat.
Hari demi hari berlalu, dan Rizwan mulai menghabiskan lebih banyak waktu di rumah sakit. Ia tak lagi sering nongkrong dengan teman-temannya. Setiap hari setelah pulang sekolah, ia langsung menuju rumah sakit untuk menemani ibunya. Ia duduk di samping tempat tidur, memandang wajah ibunya yang semakin hari semakin terlihat rapuh. Teman-temannya mulai bertanya-tanya, beberapa dari mereka bahkan mengirim pesan, tetapi Rizwan selalu menjawab singkat. Baginya, tak ada yang lebih penting sekarang selain ibunya.
Suatu sore, ketika mereka berdua sedang duduk dalam keheningan, Bu Nisa tiba-tiba berbicara dengan suara yang lemah tapi penuh makna. “Rizwan, kamu tahu kan, ada satu hal yang selalu Mama inginkan untuk kamu?”
Rizwan menoleh, menatap ibunya yang sedang menatap keluar jendela, ke arah matahari yang mulai tenggelam di balik gedung-gedung kota.
“Apa itu, Ma?”
“Surga, Nak. Mama selalu ingin kamu bisa meraih surga. Dan tahukah kamu, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu?”
Rizwan terdiam, meresapi setiap kata yang ibunya ucapkan. Kata-kata yang sering kali ia dengar sejak kecil, namun baru kali ini terasa begitu nyata, begitu dekat. Ibunya sedang berbicara dengan suara hati yang dalam, seolah memberi nasihat terakhir untuk anaknya.
“Mama pengin kamu ingat itu, Nak. Sebagai seorang anak, kamu punya tanggung jawab besar pada ibumu. Selama ini mungkin kamu lupa, tapi Mama tahu, dalam hati kecilmu, kamu tetap anak yang baik.”
Air mata menggenang di mata Rizwan. “Ma, aku janji. Aku janji nggak akan pernah lupa sama apa yang Mama bilang.”
Bu Nisa tersenyum tipis, lalu menutup mata, kembali terlelap dalam kelelahan yang menggerogoti tubuhnya. Rizwan menggenggam tangan ibunya, mencoba meresapi kehangatan terakhir yang mungkin bisa ia rasakan. Hatinya terbelah antara rasa takut kehilangan dan tekad untuk menebus setiap kesalahan yang telah ia buat.
Saat itulah Rizwan benar-benar menyadari, bahwa selama ini ia telah mengabaikan surga yang ada begitu dekat di bawah telapak kaki ibunya. Dan kini, ia berjuang untuk tidak kehilangan surga itu, meski waktu seolah semakin tipis.
Dalam perjalanan pulang malam itu, Rizwan merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Teman-temannya, kehidupan yang selama ini ia anggap pusat dunianya, tiba-tiba terasa jauh. Apa artinya semua itu jika ia kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya? Bu Nisa adalah segalanya. Dan Rizwan tak akan membiarkan ibunya pergi tanpa perjuangan.
Namun, di sudut hatinya, Rizwan tahu, ia sudah terlambat untuk banyak hal. Yang tersisa sekarang hanyalah doa, dan perjuangan untuk menjadi anak yang ibunya harapkan.
Di sinilah perjalanannya yang sesungguhnya dimulai perjuangan melawan penyesalan, dan upaya untuk meraih kembali surga di bawah telapak kaki ibunya.
Penyesalan Tak Berujung di Tengah Usaha untuk Bertahan
Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Rizwan. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan cemas yang tak pernah hilang, berusaha melawan kenyataan pahit bahwa waktu ibunya di dunia ini semakin menipis. Setiap malam, ketika ia akhirnya sampai di rumah setelah seharian menemani Bu Nisa di rumah sakit, rasa penyesalan dan bersalah membayangi setiap langkahnya.
Seketika, dunianya berubah total. Dulu, ia adalah anak yang selalu hadir dalam keramaian, menjadi pusat perhatian di antara teman-temannya, menikmati setiap detik kehidupan sosial yang penuh tawa. Namun, kini ia merasakan kehampaan yang tak terkatakan, di mana senyum yang dulu ia anggap remeh, menjadi hal paling mahal yang tak mampu ia kembalikan kepada ibunya.
Pagi itu, di sekolah, Rizwan berjalan melalui lorong dengan langkah yang pelan. Sejak kabar tentang penyakit ibunya tersebar di antara teman-temannya, ia merasakan tatapan simpati dari orang-orang di sekelilingnya. Biasanya, ia adalah sosok yang selalu dikelilingi teman-teman dan obrolan ringan, tapi sekarang keheningan menyelimutinya.
“Bro, lo nggak ikut nongkrong lagi?” tanya Dafa, salah satu teman terdekatnya, yang tampak canggung menghampiri Rizwan di pintu kelas.
Rizwan menoleh, sedikit tersenyum pahit. “Nggak, Daf. Gue lagi fokus ke Mama sekarang,” jawabnya singkat.
Dafa mengangguk, memahami. “Gue ngerti, bro. Kalau lo butuh bantuan apa pun, bilang aja. Semua teman-teman ngerti kok kalau lo lagi sibuk urusin Mama.”
“Thanks, Daf. Gue cuma butuh waktu aja sekarang.”
Kata-kata itu terucap dengan mudah, tapi hati Rizwan masih berat. Setiap hari ia merasa seperti terperangkap dalam kesedihan yang tak pernah ada akhirnya. Ketika teman-temannya bersiap untuk menghadapi ujian akhir, memikirkan masa depan dan rencana kelulusan, Rizwan hanya bisa memikirkan satu hal: bagaimana cara membuat ibunya tetap bertahan.
Sore itu, setelah jam sekolah usai, Rizwan segera berlari menuju rumah sakit seperti biasanya. Ketika ia sampai di sana, ia mendapati ruangan ibunya penuh dengan aroma obat-obatan, dinding-dinding putih yang terasa semakin dingin, dan suara alat-alat medis yang semakin akrab di telinganya. Ibunya terbaring di tempat tidur, matanya tertutup rapat, napasnya terdengar berat.
“Mama…” bisiknya pelan saat ia mendekat ke sisi ranjang, tangannya menggenggam tangan ibunya yang terasa semakin lemah.
Bu Nisa membuka matanya dengan perlahan, tersenyum lembut seperti yang biasa ia lakukan, meski kali ini senyum itu tampak penuh perjuangan. “Rizwan… Kamu sudah pulang sekolah?” tanyanya dengan suara yang lemah.
“Iya, Ma. Aku langsung ke sini. Gimana keadaan Mama hari ini?” Rizwan berusaha terdengar ceria, meski hatinya remuk.
“Alhamdulillah, masih diberi kekuatan. Kamu gimana, Nak? Sudah makan? Jangan sampai lupa jaga kesehatanmu sendiri.”
Rizwan hanya bisa tersenyum tipis. Sekarang, satu-satunya fokusnya adalah ibunya, bukan dirinya sendiri. Namun, mendengar ibunya tetap memikirkan kondisinya, membuat hatinya semakin terhimpit. Betapa ibunya, dalam keadaan sakit seperti ini, masih lebih memikirkan dirinya daripada kesehatannya sendiri.
“Kamu tahu, Nak?” lanjut Bu Nisa pelan. “Mama selalu bangga sama kamu. Kamu anak yang kuat, pintar, dan mandiri. Maafkan Mama kalau selama ini tidak bisa memberikan lebih banyak dari yang seharusnya.”
“Mama, jangan ngomong kayak gitu,” Rizwan berusaha menahan air mata. “Mama sudah lebih dari cukup buat aku. Malah aku yang nggak pernah ada buat Mama selama ini. Aku yang harus minta maaf.”
“Jangan, Nak,” potong Bu Nisa lembut, tangannya terangkat pelan dan menyentuh pipi Rizwan. “Kamu sudah menjadi anak yang baik. Mama hanya ingin kamu terus berjuang, apapun yang terjadi.”
Perkataan itu menggema dalam benak Rizwan. “Terus berjuang.” Tapi, berjuang untuk apa? Untuk menebus kesalahannya selama ini? Untuk tetap bertahan menghadapi kenyataan bahwa ibunya mungkin tak lama lagi bersamanya? Rasa takut kehilangan terus membayangi setiap langkahnya, setiap keputusannya.
Hari berikutnya, dokter yang merawat Bu Nisa datang dengan wajah yang serius. Rizwan sudah bisa membaca perubahan raut wajah setiap kali dokter mendekat, dan ia tahu kabar yang akan disampaikan tak pernah menyenangkan.
“Rizwan, kami sudah bisa melakukan segala yang bisa kami lakukan. Tapi kondisi Ibumu semakin kritis. Kami akan tetap berusaha memberikan yang terbaik, tapi kamu harus siap dengan kemungkinan terburuk.”
Kata-kata itu jatuh seperti bom yang menghancurkan seluruh harapan Rizwan. Ia sudah melihat tanda-tanda itu selama berminggu-minggu, tapi mendengarnya secara langsung dari dokter seakan menancapkan pisau di hatinya. Ia ingin marah, ingin berteriak, tetapi ia hanya bisa berdiri diam, menelan kenyataan yang terasa semakin menyesakkan.
Di kamarnya malam itu, Rizwan terbaring di atas kasur, matanya menatap langit-langit kosong. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran gelap. Bagaimana jika ia benar-benar kehilangan ibunya? Bagaimana ia bisa hidup tanpa sosok yang selalu ada di sisinya, yang selalu mendukungnya meski ia sering tak peduli? Hatinya penuh dengan penyesalan.
Pikirannya melayang ke masa-masa kecilnya, ketika ibunya selalu ada untuknya. Saat ia jatuh dari sepeda, ibunya yang membersihkan luka-lukanya dan menenangkannya. Saat ia mendapatkan nilai buruk di sekolah, ibunya tak pernah memarahinya, melainkan memberinya semangat untuk belajar lebih giat. Dan sekarang, ketika ibunya membutuhkan dukungan yang sama darinya, ia merasa tak berdaya.
Keesokan harinya, ketika Rizwan kembali ke rumah sakit, keadaan ibunya semakin memburuk. Napasnya lebih berat, dan matanya terlihat semakin sayu. Setiap detik yang berlalu terasa seperti sebuah pertempuran bagi Bu Nisa, yang dengan susah payah mencoba bertahan.
Rizwan duduk di sampingnya, menggenggam tangan ibunya erat. Di dalam hatinya, ia terus berdoa, memohon agar Tuhan memberikan keajaiban. Ia tahu bahwa ibunya sudah berjuang keras, tapi ia masih belum siap untuk kehilangannya.
“Mama, tolong bertahan,” bisiknya, air matanya tak bisa lagi ia tahan. “Aku janji akan jadi anak yang lebih baik. Aku janji akan selalu ada buat Mama. Tolong… jangan pergi dulu.”
Namun, di dalam hatinya, Rizwan tahu bahwa keadaannya mungkin sudah tak bisa diubah. Perjuangan ibunya semakin berat, dan ia hanya bisa berharap bahwa ia telah memberikan cukup dukungan di hari-hari terakhir ini.
Di saat-saat terakhir itu, Rizwan merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: sebuah rasa takut yang mendalam, bukan hanya takut kehilangan ibunya, tetapi takut kehilangan surga yang dijanjikan di bawah telapak kaki seorang ibu. Bu Nisa selalu mengingatkan bahwa hidup seorang anak tak lepas dari doa dan restu ibunya, dan kini, Rizwan takut ia sudah terlambat untuk membayar semua itu.
Setelah beberapa jam dalam keheningan, Bu Nisa membuka matanya untuk terakhir kali. “Rizwan…” ucapnya lirih, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Rizwan mendekatkan wajahnya. “Iya, Ma. Aku di sini.”
Bu Nisa tersenyum lembut, meski jelas bahwa setiap napas adalah sebuah perjuangan baginya. “Jangan lupa… surga ada di bawah telapak kaki ibu… Mama selalu mencintaimu.”
Dengan kata-kata itu, Bu Nisa memejamkan mata. Napasnya perlahan berhenti, meninggalkan keheningan yang mematikan.
Rizwan hanya bisa duduk di sana, memeluk tubuh ibunya yang kini terbaring tenang. Tangisannya pecah, memenuhi ruangan yang seolah semakin mengecil dan menyiksanya. Semua penyesalan yang ia tahan selama ini tumpah, mengalir bersama air mata yang jatuh ke pipinya.
Dalam keheningan itu, Rizwan tahu bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang tak pernah bisa ia dapatkan kembali. Surga yang ada di bawah telapak kaki ibunya kini telah pergi, meninggalkannya dengan penyesalan yang akan ia bawa selamanya.
Menghadapi Kenyataan Pahit dan Mencari Jalan Pulang
Setelah hari itu, dunia Rizwan berubah selamanya. Ibunya kini telah tiada, dan rumah yang dulu dipenuhi kehangatan serta kasih sayang seorang ibu kini terasa kosong dan sunyi. Kamar ibunya, yang biasanya menjadi tempatnya berbincang atau sekadar duduk di sampingnya, kini hanya menjadi ruang hampa yang menyisakan kenangan. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada kehadiran ibunya yang dulu selalu ada, tetapi kini pergi untuk selamanya.
Kepergian ibunya tidak hanya meninggalkan duka yang dalam, tetapi juga sebuah lubang besar di hati Rizwan. Ia merasa kehilangan arah. Setiap kali ia menatap cermin, ia melihat sosok anak yang penuh penyesalan, sosok anak yang merasa belum cukup berbakti. Suara ibunya yang mengingatkannya bahwa “surga ada di bawah telapak kaki ibu” terus terngiang di benaknya, mengingatkannya bahwa ia tak lagi bisa meraih surga itu.
Hari-hari setelah pemakaman, Rizwan menjalani hidupnya dengan berat. Orang-orang di sekelilingnya berusaha memberikan dukungan, tetapi tak satu pun dari mereka bisa mengisi kehampaan yang ia rasakan. Teman-temannya, meskipun selalu ada di sekitarnya, merasa canggung untuk mendekatinya. Mereka tahu Rizwan bukan lagi Rizwan yang mereka kenal yang dulu penuh tawa dan semangat hidup. Rizwan yang sekarang tampak seperti sosok yang tenggelam dalam kesedihan dan perasaan bersalah.
Suatu hari, di sekolah, Dafa teman dekatnya menghampiri Rizwan yang sedang duduk termenung di pojok kelas. Dafa bisa merasakan kesedihan dalam diri sahabatnya itu, dan ia tahu bahwa Rizwan butuh seseorang untuk bicara. Namun, setiap kali ia mencoba membuka pembicaraan, Rizwan selalu menutup diri.
“Bro,” Dafa akhirnya memberanikan diri. “Gue tahu lo lagi nggak baik-baik aja, dan gue ngerti kalau ini berat buat lo. Tapi, lo nggak bisa terus-terusan kayak gini.”
Rizwan hanya menatap kosong ke depan, matanya terlihat lelah dan berantakan. “Gue nggak tahu, Daf. Gue… gue nggak bisa ngelepasin ini. Semua terasa salah.”
Dafa duduk di sebelahnya, menatap lurus ke depan. “Gue tahu bahwa kehilangan orang yang lo sayang itu nggak akan pernah gampang. Tapi lo masih punya kehidupan, Wan. Lo masih punya masa depan yang harus lo jalanin.”
Rizwan terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Gue cuma merasa kalau gue gagal. Gagal jadi anak yang baik buat Mama. Gue nggak pernah ngasih waktu gue buat dia selama dia hidup. Gue terlalu sibuk sama diri gue sendiri, sama temen-temen, sama kehidupan gue yang nggak penting.”
“Kita semua punya penyesalan, Wan,” balas Dafa lembut. “Tapi lo nggak harus bisa terus-terusan nyalahin diri lo. Itu nggak akan bawa lo ke mana-mana. Apa yang bisa lo lakukan sekarang adalah jalanin hidup lo dengan cara yang bikin almarhumah Mama lo bangga.”
Kata-kata Dafa menusuk hati Rizwan, tetapi bukannya merasa lebih baik, ia malah semakin merasa terpuruk. Bagaimana mungkin ia bisa membanggakan ibunya jika setiap langkah yang ia ambil terasa berat? Setiap pagi, bangun dari tempat tidur saja sudah terasa seperti perjuangan. Apalagi, memikirkan masa depan yang harus ia jalani tanpa sosok yang paling berarti dalam hidupnya.
Beberapa minggu kemudian, Rizwan memutuskan untuk mengambil cuti sekolah selama beberapa hari. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang berputar tanpa henti. Ia merasa seperti terjebak di dalam lingkaran setan dari rasa bersalah dan penyesalan, tanpa tahu bagaimana caranya untuk keluar.
Di rumah, ia duduk sendirian di kamar ibunya. Aroma khas milik ibunya masih samar-samar tercium dari bantal dan selimut yang belum sempat ia cuci. Setiap benda di ruangan itu seolah membawa Rizwan kembali ke masa lalu, saat-saat ketika ia masih bisa melihat senyum ibunya, mendengar suara lembutnya, dan merasakan pelukan hangat yang selalu membuatnya merasa tenang.
Rizwan memandangi foto-foto ibunya yang terpajang di meja kecil di samping tempat tidur. Di salah satu foto, ia melihat ibunya tersenyum lebar, mengenakan kebaya sederhana saat menghadiri pernikahan salah satu kerabat mereka. Foto itu diambil beberapa tahun yang lalu, ketika Bu Nisa masih sehat dan energik. Rizwan merasakan rasa rindu yang dalam, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rindu akan sosok yang telah pergi, sosok yang tak akan pernah kembali.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ma?” bisik Rizwan pada foto ibunya, meskipun ia tahu jawaban tak akan pernah datang.
Beberapa hari kemudian, pada malam yang sepi, Rizwan duduk di teras rumah. Angin malam yang sejuk membelai wajahnya, tetapi hatinya tetap terasa panas oleh penyesalan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia memandangi langit yang gelap tanpa bintang, merasa seolah-olah hidupnya juga berada dalam kegelapan yang sama.
Namun, di tengah keheningan itu, ia mendengar suara hatinya berbicara. “Surga ada di bawah telapak kaki ibu.” Kalimat itu terus menerus bergema dalam pikirannya kali ini dengan arti yang sangat berbeda. Rizwan tiba-tiba menyadari sesuatu bahwa meskipun ibunya telah pergi, ia masih bisa membanggakan ibunya dengan caranya sendiri. Ia masih punya waktu untuk menebus kesalahannya, untuk menjadi anak yang lebih baik meskipun ibunya tidak lagi di dunia ini.
Pagi berikutnya, Rizwan memutuskan untuk kembali ke sekolah. Meskipun hatinya masih terasa berat, ia tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya. Ia harus berjuang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menghormati ibunya yang telah berjuang sampai akhir.
Di sekolah, Dafa tersenyum ketika melihat Rizwan berjalan masuk ke kelas. “Gue senang lo balik, bro,” katanya sambil menepuk bahu Rizwan. “Gue tahu bahwa lo masih membutuhkan waktu, tapi kita semua akan selalu ada di sini buat lo.”
Rizwan hanya bisa mengangguk pelan. Ia tahu bahwa perjalanan untuk keluar dari kesedihan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia masih memiliki teman-temannya, dan yang terpenting, ia masih memiliki kenangan ibunya yang akan selalu hidup di dalam hatinya.
Beberapa bulan kemudian, Rizwan mulai menemukan ritme dalam hidupnya kembali. Ia mulai fokus pada pelajaran di sekolah, kembali berinteraksi dengan teman-temannya, meskipun kini dengan pendekatan yang lebih bijaksana. Ia menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang berada di puncak popularitas atau memiliki banyak teman. Ada hal-hal yang lebih penting, hal-hal yang tidak bisa ia abaikan lagi.
Suatu sore, ketika ia pulang sekolah, Rizwan duduk di depan makam ibunya. Di tangannya, ia membawa setangkai bunga melati bunga favorit ibunya. Ia meletakkan bunga itu di atas batu nisan yang sederhana, lalu menatap ke arah langit.
“Mama,” ucapnya pelan, suaranya hampir berbisik. “Aku belum bisa untuk sepenuhnya jadi anak yang Mama harapkan, tapi aku berjanji akan terus berusaha. Aku janji akan menjalani hidup ini dengan cara yang bikin Mama bangga.”
Air mata mengalir di pipinya, tetapi kali ini air mata itu bukan hanya air mata kesedihan. Ada sebuah kelegaan yang menyertainya, seolah-olah ia akhirnya bisa merasakan damai yang telah lama ia cari.
Rizwan tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Masih banyak tantangan yang harus ia hadapi, banyak hal yang harus ia pelajari. Tetapi, ia juga tahu bahwa selama ia tetap berpegang pada kenangan dan cinta yang ditinggalkan oleh ibunya, ia akan selalu memiliki kekuatan untuk melanjutkan hidupnya.
Dalam hatinya, ia berjanji bahwa ia akan menjalani hidup dengan lebih baik, untuk membuktikan bahwa cinta seorang ibu memang abadi, dan surga yang dijanjikan itu masih bisa ia raih, meskipun ibunya telah tiada.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Nah, itu dia kisah perjalanan emosional Rizwan dalam menghadapi kehilangan ibunya. Cerita ini bukan hanya mengajarkan tentang pentingnya kasih sayang seorang ibu, tapi juga bagaimana kita harus menghargai setiap momen bersama orang yang kita cintai. Buat kamu yang sedang mencari inspirasi atau sekadar ingin membaca cerita yang penuh makna, kisah ini pas banget buat kamu. Jangan lupa, selama kita masih punya waktu, mari berbakti dan bahagiakan orang tua kita. Karena, seperti yang selalu dibilang, “Surga ada di bawah telapak kaki ibu.