Di Ujung Langit yang Retak: Kisah tentang Kehilangan dan Harapan

Posted on

Menyentuh hati dan penuh makna, Di Ujung Langit yang Retak adalah cerpen yang mengajak pembaca menyelami perjalanan emosional Veyra Salindra, seorang perempuan tangguh yang bergulat dengan luka masa lalu di tepi laut Pelabuhan Karsa. Dengan alur yang mendetail dan karakter yang kuat, cerita ini menggabungkan unsur sedih, misteri, dan harapan dalam empat bab yang memikat. Artikel ini akan mengulas keindahan narasi, pesan mendalam, dan alasan mengapa cerpen ini wajib dibaca oleh pecinta sastra yang mencari kisah yang tak hanya menghibur, tetapi juga menggugah jiwa.

Di Ujung Langit yang Retak

Bayang di Balik Jendela

Langit di atas Pelabuhan Karsa memudar menjadi jingga kelabu, seolah menahan napas di ujung senja. Angin laut membawa aroma garam dan kenangan yang tak pernah usai, menyapu rambut panjang Veyra Salindra yang terlepas dari ikatan kain di pundaknya. Ia berdiri di tepi dermaga tua, di mana papan kayu di bawah kakinya berderit pelan, seakan mengeluh atas beban waktu. Matanya, sepasang obsidian yang selalu menyimpan rahasia, menatap ke arah cakrawala. Di sana, kapal-kapal nelayan berlabuh, siluet mereka bergoyang lembut di atas air yang berkilau. Tapi Veyra tidak benar-benar melihat kapal-kapal itu. Pikirannya terperangkap di tempat lain—di masa lalu yang ia coba kubur, namun selalu bangkit seperti ombak yang tak kenal lelah.

Veyra adalah perempuan yang tak mudah dilupakan. Tingginya nyaris menyerupai lelaki, dengan bahu lebar yang seolah diciptakan untuk memikul dunia. Kulitnya sawo matang, dihiasi bintik-bintik halus di pipi yang hanya terlihat jika seseorang cukup dekat untuk memperhatikan. Tapi jarang ada yang berani mendekat. Ada sesuatu dalam caranya berjalan, dalam tatapannya yang tajam, yang membuat orang-orang di Pelabuhan Karsa menjaga jarak. Mereka menyebutnya “Perempuan dari Luar”—julukan yang melekat sejak ia tiba lima tahun lalu, tanpa penjelasan, tanpa keluarga, hanya dengan sebuah koper tua dan sepasang sepatu usang yang kini tersimpan di sudut kamarnya.

Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-28, tapi tak ada yang tahu. Veyra tidak pernah merayakan ulang tahun, bukan karena ia tak peduli, tapi karena setiap tanggal itu membawa ingatan yang terlalu berat. Ia memilih untuk bekerja lebih keras di hari seperti ini, mengalihkan pikiran dari bayang-bayang yang mengintai. Pagi tadi, ia sudah membantu Pak Drenvo, pemilik kedai ikan di pasar, mengangkut keranjang-keranjang berisi hasil tangkapan. Tangan Veyra, yang penuh kapalan, bergerak lincah memisahkan kepiting dari jaring, seolah tubuhnya tak pernah mengenal lelah. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang menggerogoti—rasa hampa yang tak pernah ia akui, bahkan pada dirinya sendiri.

Sekarang, saat senja merangkak, Veyra berjalan kembali ke rumahnya, sebuah gubuk sederhana di ujung pekan yang menghadap laut. Dindingnya terbuat dari kayu yang sudah lapuk, dengan jendela kaca buram yang selalu ia tutup rapat. Di dalam, ruangan kecil itu hanya berisi kasur tipis, meja kayu yang goyah, dan sebuah cermin tua yang memantulkan wajahnya dengan penuh cela. Di sudut ruangan, sebuah kotak kayu kecil tersimpan di bawah lantai yang longgar. Kotak itu berisi surat-surat yang tak pernah dikirim, foto yang sudah pudar, dan sebuah gelang kaca berwarna biru kehijauan—satu-satunya benda yang ia bawa dari “sebelumnya”.

Veyra duduk di tepi kasur, menatap jendela yang buram. Di luar, suara ombak bercampur dengan teriakan anak-anak yang bermain di pantai. Tiba-tiba, sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Ia mengerutkan kening. Tak ada yang pernah datang ke rumahnya, kecuali Pak Drenvo, dan itu pun hanya jika ada pekerjaan mendesak. Ketukan itu terdengar lagi, lebih ragu dari sebelumnya, seperti seseorang yang tak yakin apakah mereka diizinkan berada di sana.

“Siapa?” tanya Veyra, suaranya tegas, tapi ada sedikit getar yang hanya ia sendiri yang bisa mendengar.

Tak ada jawaban, hanya ketukan ketiga, hampir memohon. Dengan langkah berat, Veyra berjalan ke pintu dan membukanya. Di depannya berdiri seorang gadis kecil, mungkin berusia tujuh atau delapan tahun, dengan rambut hitam yang kusut dan sepasang mata besar yang penuh rasa ingin tahu. Gadis itu mengenakan gaun sederhana yang sedikit kekecilan, dan di tangannya ia memegang seikat bunga liar yang tampaknya baru dipetik dari tepi jalan.

“Kak Veyra, ini buat Kakak,” kata gadis itu dengan suara cerah, menyodorkan bunga-bunga itu. “Dari aku, tahu.”

Veyra terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. “Kamu… dari mana tahu nama saya?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari yang ia inginkan.

Gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sedikit ompong. “Semua orang tahu Kak Veyra! Aku Lirien, tinggal di rumah yang ada pohon akasianya. Mama bilang Kakak orang baik, tapi suka menyendiri. Aku pikir, mungkin Kakak butuh bunga biar nggak sedih.”

Kata-kata itu menusuk Veyra lebih dalam dari yang ia kira. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia tidak sedih, bahwa ia baik-baik saja hidup seperti ini. Tapi ada sesuatu dalam senyum Lirien yang membuat kata-kata itu tersangkut di tenggorokan. Veyra akhirnya, menerima bunga-bunga itu, tangannya sedikit gemetar.

“Terima kasih,” gumamnya, hampir tak terdengar.

Lirien tersenyum lagi, lalu berbalik dan berlari ke arah pantai, melambai-lambai dengan penuh semangat. “Sampai ketemu lagi, Kak!” teriaknya sebelum menghilang di balik tikungan.

Veyra menutup pintu, bunga-bunga itu masih di tangannya. Ia berjalan ke meja, meletakkan bunga-bunga di sana, lalu duduk dengan tatapan kosong. Kenapa gadis itu datang? Kenapa ia peduli? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, bercampur dengan ingatan yang tak diundang. Ingatan tentang sebuah rumah kecil di kota yang jauh, tentang tawa seorang anak yang kini hanya bergaung dalam mimpi. Veyra mengusap matanya, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba mengancam tumpah. Ia tidak boleh menangis. Tidak lagi.

Malam itu, Veyra tidak bisa tidur. Ia berbaring di kasur, menatap langit-langit yang penuh retak. Suara ombak di luar terdengar seperti lagu pengantar tidur yang pahit. Di tengah keheningan, ia mendengar sesuatu—langkah kaki pelan di luar gubuknya. Ia bangkit, jantungnya berdegup kencang. Dengan hati-hati, ia mengintip melalui celah jendela. Di luar, di bawah sinar bulan, ia melihat sebuah bayangan—seseorang yang berdiri di tepi pantai, menatap ke arah rumahnya. Sosok itu terlalu jauh untuk dikenali, tapi ada sesuatu dalam caranya berdiri yang membuat bulu kuduk Veyra berdiri. Sosok itu tidak bergerak, hanya menatap, seolah menunggu sesuatu.

Veyra mundur dari jendela, napasnya tersengal. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya, bahwa tak ada yang benar-benar di luar sana. Tapi saat ia kembali mengintip, bayangan itu sudah hilang, seolah ditelan oleh kegelapan malam. Hanya ombak yang terus berbisik, seakan menyimpan rahasia yang tak ingin ia ketahui.

Veyra kembali ke kasur, tangannya meraih kotak kayu di bawah lantai. Ia membukanya, mengeluarkan gelang kaca biru kehijauan itu. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela memantul di permukaannya, menciptakan kilau yang lembut. Veyra memegang gelang itu erat-erat, seolah benda itu adalah satu-satunya jangkar yang menahannya di dunia ini. “Maaf,” bisiknya, suaranya pecah. “Aku belum bisa pulang.”

Malam itu, Pelabuhan Karsa tenggelam dalam keheningan, tapi di dalam hati Veyra, badai tak pernah reda. Dan di luar, di ujung langit yang retak, sesuatu sedang menunggu untuk mengubah segalanya.

Jejak di Pasir

Pagi di Pelabuhan Karsa selalu dimulai dengan hiruk-pikuk. Suara nelayan yang berteriak memanggil satu sama lain, derit tali-tali kapal yang bergesek di tiang dermaga, dan aroma ikan segar yang bercampur dengan embun laut memenuhi udara. Veyra Salindra bangun sebelum matahari terbit, seperti biasa, dengan mata yang masih berat karena kurang tidur. Bayangan sosok misterius di tepi pantai malam tadi masih menghantui pikirannya, tapi ia memaksa diri untuk mengabaikannya. Ia tidak punya waktu untuk ketakutan yang tak jelas. Ada pekerjaan yang menunggu, dan hidup di pelabuhan ini tidak pernah memanjakan mereka yang terlalu lama termenung.

Veyra mengenakan kemeja flanel usang yang sudah kehilangan dua kancing di bagian bawah, celana kain yang sedikit robek di lutut, dan sepasang sepatu bot tua yang selalu ia poles setiap minggu agar tidak terlihat terlalu menyedihkan. Rambut panjangnya ia ikat asal-asalan dengan sehelai tali rami, lalu ia melangkah keluar dari gubuknya. Di meja kecil di sudut ruangan, seikat bunga liar dari Lirien masih tergeletak, kelopak-kelopaknya mulai layu. Veyra menatapnya sekilas, merasa ada sesuatu yang mengaduk di dadanya, lalu buru-buru menutup pintu.

Pasar pagi sudah ramai ketika Veyra tiba. Ia menuju kedai Pak Drenvo, yang seperti biasa sedang berteriak pada anak buahnya karena salah menghitung stok kepiting. “Veyra, cepat ke sini!” serunya begitu melihat sosok tinggi itu mendekat. “Hari ini kita dapat tangkapan besar, tapi anak-anak ini lambat kayak keong!”

Veyra hanya mengangguk, tanpa banyak bicara, dan segera bekerja. Tangan-tangannya yang kuat dan penuh kapalan bergerak dengan ritme yang hampir mekanis, memisahkan ikan-ikan dari jaring, menyortir kepiting berdasarkan ukuran, dan sesekali membantu mengangkut keranjang ke truk yang akan mengantar hasil tangkapan ke kota. Keringat mengalir di dahinya, tapi ia tidak menghapusnya. Bekerja seperti ini, dengan tubuh yang terus bergerak, adalah satu-satunya cara baginya untuk menjaga pikiran tetap tenang.

Namun, di tengah kesibukan itu, Veyra merasa ada sepasang mata yang mengawasinya. Ia melirik ke arah kerumunan, tapi tidak melihat apa pun yang mencurigakan—hanya wajah-wajah familiar para pedagang dan pembeli yang sibuk tawar-menawar. Ia menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya perasaannya. Tapi ketika ia membungkuk untuk mengangkat keranjang berikutnya, sebuah suara kecil memanggilnya.

“Kak Veyra!”

Veyra menoleh dan melihat Lirien berdiri di dekat tumpukan peti kayu, dengan senyum lebar yang sama seperti kemarin. Gadis kecil itu mengenakan gaun yang berbeda, kali ini berwarna biru pudar dengan tambalan di bagian siku. Di tangannya, ia memegang sebuah keranjang kecil berisi roti-rotian yang tampaknya baru diambil dari tukang roti di ujung pasar.

“Kamu lagi,” kata Veyra, nadanya datar tapi tidak sekasar biasanya. “Apa mau kasih bunga lagi?”

Lirien terkikik, kepalanya menggeleng. “Nggak, Kak! Ini buat Kakak.” Ia menyodorkan sepotong roti kecil yang dibungkus kain bersih. “Mama bilang, orang yang kerja keras harus makan banyak biar kuat.”

Veyra menatap roti itu, lalu ke wajah Lirien yang penuh harap. Ada sesuatu dalam kebaikan sederhana gadis itu yang membuatnya merasa… terpojok. Ia tidak terbiasa dengan perhatian, apalagi dari orang asing. Tapi menolak Lirien terasa seperti menghancurkan sesuatu yang rapuh dan murni.

“Terima kasih,” gumam Veyra akhirnya, menerima roti itu dengan tangan yang sedikit kaku. “Kamu… nggak usah repot-repot begini.”

Lirien hanya tersenyum, seolah tidak mendengar nada canggung di suara Veyra. “Kakak suka cerita, nggak? Aku suka cerita tentang laut. Kakak pernah ke luar pulau, kan? Ceritain dong!”

Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba, seperti panah yang mengenai sasaran yang salah. Veyra membeku, tangannya yang memegang roti mengeras. Kenangan yang ia coba kubur mulai merangkak naik—gambar sebuah kapal tua yang berderit, suara tangisan di malam yang gelap, dan aroma darah yang bercampur dengan air laut. Ia menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya tetap tenang.

“Aku nggak punya cerita,” jawabnya, suaranya lebih dingin dari yang ia maksud. “Kamu pulang aja, pasar bukan tempat buat anak kecil.”

Wajah Lirien sedikit meredup, tapi senyumnya tidak sepenuhnya hilang. “Baiklah, Kak. Tapi aku bakal balik lagi, ya!” katanya, lalu berlari menjauh, rambut kusutnya melambai-lambai di udara.

Veyra menatap kepergian gadis itu, merasa bersalah tapi juga lega. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Lirien, atau kebaikan yang datang tanpa alasan. Ia memasukkan roti itu ke saku celananya, lalu kembali bekerja, berusaha mengubur perasaan itu bersama kenangan lainnya.

Sore itu, setelah pasar mulai sepi, Veyra memutuskan untuk berjalan menyusuri pantai menuju rumahnya. Matahari sudah rendah, menciptakan bayangan panjang di pasir yang masih basah oleh ombak. Ia berjalan perlahan, sepatu botnya meninggalkan jejak yang dalam. Di kejauhan, ia melihat beberapa anak bermain layang-layang, tawa mereka terbawa angin. Veyra biasanya mengabaikan pemandangan seperti ini, tapi hari ini, entah kenapa, ia berhenti sejenak untuk menatap mereka. Ada sesuatu dalam tawa itu yang membuat dadanya terasa sesak.

Tiba-tiba, ia memperhatikan sesuatu di pasir, beberapa langkah di depannya. Jejak kaki—bukan miliknya, tapi jejak yang lebih kecil, seperti milik seseorang yang berjalan dengan langkah ringan. Jejak itu mengarah ke arah gubuknya, tapi berhenti tiba-tiba, seolah orang itu lenyap begitu saja. Veyra mengerutkan kening, jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Ia berjalan mengikuti jejak itu, tapi semakin dekat ke gubuknya, jejak itu semakin samar, sampai akhirnya hilang sama sekali di dekat batu besar yang menjorok ke laut.

Veyra berdiri di sana, menatap pasir yang kini kosong. Angin bertiup kencang, membawa aroma garam yang tajam. Ia merasa bulu kuduknya berdiri, seperti malam tadi ketika ia melihat bayangan di tepi pantai. “Siapa kamu?” gumamnya pada angin, tapi tentu saja tidak ada jawaban.

Malam itu, Veyra duduk di dalam gubuknya, pintu dan jendela terkunci rapat. Di tangannya, ia memegang gelang kaca biru kehijauan, jarinya mengelus permukaannya yang halus. Cahaya lampu minyak yang redup memantul di gelang itu, menciptakan kilau yang seolah hidup. Veyra menutup mata, mencoba mengingat wajah seseorang yang pernah memakai gelang ini—wajah yang kini hanya ada dalam mimpi buruknya.

Tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi keheningan—ketukan pelan di pintu. Veyra tersentak, gelang itu hampir jatuh dari tangannya. Ia bangkit, tangannya mencari pisau kecil yang selalu ia simpan di saku. “Siapa?” tanyanya, suaranya tegas tapi penuh kewaspadaan.

Tak ada jawaban, hanya ketukan kedua, lebih keras dari sebelumnya. Veyra mendekati pintu, napasnya tertahan. Dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit, cukup untuk mengintip. Di luar, di bawah sinar bulan, tidak ada siapa-siapa. Hanya pasir yang berkilau dan ombak yang terus berbisik. Tapi di depan pintu, di tempat yang seharusnya kosong, ada sesuatu yang membuat darah Veyra membeku: sebuah gelang kaca yang identik dengan yang ia pegang, tergeletak di pasir, berkilau seperti mata yang menatapnya dari masa lalu.

Bisik dari Masa Lalu

Malam di Pelabuhan Karsa terasa lebih dingin dari biasanya, seolah angin laut membawa lebih dari sekadar aroma garam—mungkin rahasia, mungkin kutukan. Veyra Salindra berdiri di ambang pintu gubuknya, menatap gelang kaca kedua yang tergeletak di pasir. Cahaya bulan membuatnya berkilau, seperti permata yang hidup, namun bagi Veyra, benda itu lebih menyerupai hantu yang menolak dikubur. Gelang itu identik dengan yang ada di tangannya—biru kehijauan, dengan goresan halus di permukaannya yang hanya terlihat jika disentuh. Jantungnya berdegup kencang, tapi tangannya gemetar saat ia membungkuk untuk mengambilnya. Dinginnya kaca terasa seperti menyengat, seolah membakar kulitnya dengan kenangan yang ia coba lupakan.

Veyra menutup pintu dengan keras, mengunci kembali palang kayu yang sudah rapuh. Ia meletakkan kedua gelang itu di atas meja, di samping seikat bunga liar yang kini semakin layu. Cahaya lampu minyak yang redup membuat bayangan gelang-gelang itu menari di dinding, seperti dua sosok yang berbisik satu sama lain. Veyra duduk, menatap benda-benda itu dengan mata yang penuh ketakutan dan kebingungan. “Ini tidak mungkin,” gumamnya, suaranya pecah. “Kamu sudah… hilang.”

Lima tahun lalu, gelang yang pertama—yang ia simpan di kotak kayu—adalah peninggalan terakhir dari seseorang yang pernah menjadi pusat dunianya. Seseorang yang ia panggil dengan nama yang kini hanya ia ucapkan dalam mimpi: Sylvara. Adik kecilnya, yang lenyap di tengah laut dalam malam yang penuh badai. Veyra masih bisa mendengar suara Sylvara, tawa riangnya yang seperti lonceng kecil, dan matanya yang selalu bersinar saat memandang laut. Gelang itu adalah hadiah ulang tahun dari Veyra untuk Sylvara, dibuat oleh pengrajin di kota tua, dengan warna yang mengingatkan mereka pada laut di pagi hari. Tapi malam itu, kapal yang mereka tumpangi karam, dan Sylvara hilang bersama ombak. Veyra selamat, tapi ia tidak pernah merasa benar-benar hidup sejak saat itu.

Sekarang, gelang kedua ini tergeletak di hadapannya, seperti ejekan dari masa lalu. Bagaimana bisa ada gelang yang sama persis? Apakah seseorang tahu tentang Sylvara? Apakah ini jebakan, atau hanya kebetulan yang kejam? Veyra mengusap wajahnya, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Ia ingin membuang gelang itu, melemparkannya ke laut dan melupakannya, tapi tangannya tidak mau bergerak. Sebaliknya, ia mengambil gelang itu dan memasukkannya ke dalam kotak kayu di bawah lantai, bersama yang pertama. “Aku akan cari tahu,” katanya pada dirinya sendiri, suaranya penuh tekad yang rapuh. “Tapi bukan malam ini.”

Pagi menyingsing dengan langit yang kelabu, awan-awan tebal menggantung seperti ancaman. Veyra bangun dengan kepala yang berdenyut, tidurnya dipenuhi mimpi tentang ombak yang mengaum dan tangan kecil yang mencoba meraihnya dari kegelapan. Ia memaksakan diri untuk bergerak, mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin, dan berjalan ke pasar. Tapi hari ini, langkahnya terasa lebih berat, seolah pasir di bawah kakinya mencoba menahannya.

Pasar pagi tidak berbeda dari hari sebelumnya—nelayan berteriak, pedagang menjajakan dagangan, dan anak-anak berlarian di antara kerumunan. Veyra mencoba fokus pada pekerjaannya di kedai Pak Drenvo, tapi pikirannya terus kembali ke gelang itu, ke jejak kaki di pasir, dan ke bayangan di tepi pantai. Ia merasa seperti sedang diawasi, meskipun setiap kali ia menoleh, tidak ada yang tampak mencurigakan.

Saat istirahat makan siang, Veyra duduk di bawah pohon kelapa yang condong di tepi pasar, menggigit roti yang diberikan Lirien kemarin. Rasanya sederhana, sedikit manis, tapi entah kenapa membuat tenggorokannya terasa tercekat. Ia sedang menatap laut ketika Lirien muncul lagi, kali ini dengan keranjang kecil yang berbeda, penuh dengan kerang-kerang kecil yang berkilau.

“Kak Veyra!” seru Lirien, berlari mendekat dengan langkah yang ringan. “Lihat ini! Aku kumpulin tadi pagi. Cantik, kan?”

Veyra memaksakan senyum tipis. “Cantik,” jawabnya, meskipun matanya tidak benar-benar melihat kerang-kerang itu. “Kamu selalu bawa sesuatu, ya?”

Lirien duduk di sampingnya, kakinya yang kecil menggoyang-goyang di udara. “Mama bilang, kalau kita bagi sesuatu sama orang lain, hati kita jadi ringan. Kakak pernah coba?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa seperti pukulan. Veyra tidak tahu bagaimana menjawab. Ia tidak pernah “berbagi” apa pun sejak kehilangan Sylvara. Hidupnya di Pelabuhan Karsa adalah tentang bertahan, bukan tentang memberi atau menerima. Tapi melihat Lirien, dengan mata besarnya yang penuh harap, membuat Veyra merasa seperti sedang gagal dalam sesuatu yang tidak ia pahami.

“Kamu suka kerang, nggak, Kak?” tanya Lirien lagi, tidak menyadari kegelisahan yang membuncah di dalam Veyra. “Aku punya satu yang spesial. Lihat!” Ia mengeluarkan sebuah kerang kecil berbentuk spiral, dengan warna biru kehijauan yang sangat mirip dengan gelang kaca itu.

Veyra membeku. “Dari mana kamu dapat itu?” tanyanya, suaranya tiba-tiba tajam.

Lirien tampak terkejut dengan nada itu, tapi ia tetap menjawab dengan ceria. “Di pantai, dekat batu besar. Banyak kerang di sana, tapi yang ini paling cantik. Kakak mau?”

Veyra menatap kerang itu, jantungnya berdegup kencang. Batu besar—tempat di mana jejak kaki itu menghilang kemarin. “Kapan kamu ke sana?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

“Tadi pagi, pas matahari belum muncul. Aku suka cari kerang waktu laut masih tenang,” jawab Lirien, lalu mengerutkan kening. “Kakak kenapa? Mukanya pucat.”

Veyra menggelengkan kepala, memaksakan diri untuk tersenyum. “Nggak apa-apa. Simpan aja kerangnya. Itu… bagus.”

Lirien mengangguk, tapi matanya menunjukkan sedikit kebingungan. Ia berpamitan tidak lama kemudian, berlari kembali ke kerumunan pasar dengan keranjangnya. Veyra menatap kepergiannya, tangannya meremas roti di sakunya hingga hancur. Ia harus ke batu besar itu. Sekarang.

Sore itu, Veyra berjalan menyusuri pantai menuju batu besar yang menjorok ke laut. Angin bertiup kencang, membawa butir-butir pasir yang menyengat kulitnya. Saat ia sampai di batu besar, ia mulai mencari-cari, berlutut di pasir untuk memeriksa setiap inci. Tidak ada jejak kaki baru, tidak ada kerang biru kehijauan seperti yang Lirien tunjukkan. Tapi di sisi batu yang menghadap laut, terselip di antara celah-celah, ia menemukan sesuatu yang membuat napasnya terhenti: sebuah potongan kain kecil, berwarna biru pucat, sama seperti gaun yang Sylvara kenakan di malam terakhir mereka bersama.

Veyra mengambil kain itu dengan tangan yang gemetar, jantungnya seperti akan meledak. Kain itu robek, ujungnya berjumbai, tapi ia yakin itu milik Sylvara. Aroma laut yang menempel di kain itu bercampur dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang samar, seperti wewangian bunga yang sudah lama memudar. Veyra memegang kain itu erat-erat, air mata akhirnya jatuh tanpa ia sadari. “Kamu di mana?” bisiknya, suaranya tenggelam oleh suara ombak.

Malam itu, Veyra tidak kembali ke gubuknya. Ia duduk di dekat batu besar, memeluk lututnya, menatap laut yang gelap. Kain itu masih di tangannya, dan di dalam hatinya, sebuah pertanyaan terus bergema: apakah Sylvara benar-benar hilang, atau ada sesuatu di Pelabuhan Karsa yang mencoba membawanya kembali?

Ombak yang Berbicara

Laut di Pelabuhan Karsa malam itu gelap seperti tinta, hanya diterangi kilau sporadis bulan yang sesekali menembus awan tebal. Veyra Salindra duduk di dekat batu besar, tubuhnya meringkuk di pasir yang dingin, potongan kain biru pucat masih digenggam erat di tangannya. Angin laut menderu, membawa aroma garam yang bercampur dengan kenangan yang kini terasa begitu nyata, seolah masa lalu merangkak keluar dari kuburnya. Kain itu, dengan ujungnya yang berjumbai dan aroma bunga yang samar, adalah bukti bahwa Sylvara—adiknya yang hilang lima tahun lalu—mungkin tidak sepenuhnya lenyap. Veyra tidak tahu apakah itu harapan atau kutukan, tapi ia tahu ia tidak bisa lagi berpaling dari kebenaran yang menanti.

Malam itu, ia tidak kembali ke gubuknya. Pikirannya terlalu kacau, jiwanya terlalu rapuh. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat wajah Sylvara: rambut hitam yang selalu diikat dengan pita, senyum yang mampu mencairkan malam paling gelap, dan mata yang penuh mimpi tentang laut yang tak pernah ia takuti. Veyra menggenggam kain itu lebih erat, air mata mengalir tanpa suara, membasahi pasir di bawahnya. “Aku akan menemukanmu,” bisiknya, meskipun ia tidak tahu apakah ia berbicara pada Sylvara atau pada dirinya sendiri.

Pagi menyingsing dengan kabut tipis yang menyelimuti pelabuhan. Veyra bangun dengan tubuh yang kaku, pasir menempel di pakaiannya yang sudah lusuh. Ia berdiri, memasukkan potongan kain itu ke saku celananya, dan memutuskan untuk mencari jawaban. Gelang kaca kedua, kerang biru kehijauan milik Lirien, jejak kaki yang menghilang, dan sekarang kain ini—semua itu seperti teka-teki yang menuntunnya ke suatu tempat. Ia tidak tahu ke mana, tapi batu besar ini, tempat semua petunjuk berkumpul, adalah titik awal.

Veyra berjalan kembali ke pasar, tapi kali ini ia tidak menuju kedai Pak Drenvo. Ia mencari Lirien. Gadis kecil itu, dengan kebaikan polosnya yang tak pernah ia minta, tampaknya tahu lebih banyak daripada yang ia sadari. Pasar pagi sudah mulai ramai, tapi Veyra tidak kesulitan menemukan Lirien. Gadis itu sedang duduk di dekat lapak penjual sayur, keranjang kecilnya penuh dengan kerang-kerang baru. Rambut kusutnya diikat dengan tali kain yang sama warnanya dengan gaunnya, dan matanya bersinar saat melihat Veyra mendekat.

“Kak Veyra!” serunya, melambai dengan semangat. “Aku pikir Kakak nggak bakal ke pasar hari ini. Mukanya kayak orang nggak tidur.”

Veyra tidak tersenyum, tapi nadanya lebih lembut dari biasanya. “Lirien, aku perlu tanya sesuatu. Kerang yang kamu kasih lihat kemarin, yang biru kehijauan itu… kamu bilang kamu menemukannya di dekat batu besar. Apa lagi yang kamu lihat di sana?”

Lirien mengerutkan kening, seolah mencoba mengingat. “Hmm… nggak banyak. Cuma kerang, pasir, sama ombak. Oh, tapi aku pernah lihat sesuatu yang aneh! Ada seperti… bayangan di air, kayak orang berdiri, tapi pas aku dekati, nggak ada apa-apa. Aku pikir cuma pantulan bulan.”

Jantung Veyra berdegup kencang. “Kapan itu?” tanyanya, suaranya hampir bergetar.

“Beberapa hari lalu, pas aku cari kerang sebelum matahari terbit,” jawab Lirien, lalu memandang Veyra dengan rasa ingin tahu. “Kakak kenapa sih? Kayak takut, tapi juga penasaran.”

Veyra tidak menjawab langsung. Ia menatap Lirien, mencoba mencari tahu apakah gadis itu menyembunyikan sesuatu, tapi yang ia lihat hanyalah kejujuran yang polos. “Lirien, kalau kamu lihat sesuatu yang aneh lagi di dekat batu besar, kasih tahu aku, ya?”

Lirien mengangguk dengan serius. “Janji! Tapi Kakak harus ceritain dong, kenapa suka ke pantai sendirian? Mama bilang Kakak kayak orang yang lari dari sesuatu.”

Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk tepat di hati Veyra. Ia ingin marah, ingin menyuruh Lirien diam, tapi ada sesuatu dalam nada polos gadis itu yang membuatnya tidak bisa. “Aku… cuma suka laut,” jawabnya akhirnya, suaranya parau. “Kamu jangan terlalu banyak tanya.”

Lirien tersenyum, seolah tidak tersinggung. “Oke, Kak. Tapi kalau Kakak butuh temen, aku ada di rumah pohon akasia, ya!” Ia melambai, lalu berlari ke arah lapak lain, meninggalkan Veyra dengan pikiran yang semakin kacau.

Sore itu, Veyra kembali ke batu besar, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia membawa pisau kecilnya, bukan untuk melukai, tapi untuk memberi sedikit rasa aman. Ia mulai memeriksa setiap celah di batu itu, mencari petunjuk lain. Pasir di sekitarnya tampak biasa saja, tapi saat ia berjalan lebih jauh ke sisi yang menghadap laut, ia melihat sesuatu yang terselip di antara karang: sebuah botol kaca kecil, tersegel dengan gabus, dengan selembar kertas di dalamnya.

Veyra mengambil botol itu dengan hati-hati, tangannya gemetar. Ia membuka gabusnya dan mengeluarkan kertas itu. Tulisan di atasnya sederhana, ditulis dengan tinta yang sudah mulai memudar: “Veyra, aku menunggu di ujung langit. Jangan takut.” Tulisannya mirip sekali dengan tulisan tangan Sylvara—huruf-huruf kecil yang sedikit miring, dengan lengkungan khas di huruf ‘y’. Veyra merasa dunia di sekitarnya berputar. Ia jatuh berlutut di pasir, kertas itu masih di tangannya, air mata mengalir tanpa henti.

“Apa ini?” bisiknya, suaranya pecah. “Sylvara, apa kamu masih di sini?”

Malam itu, Veyra kembali ke gubuknya, botol kaca dan kertas itu disimpan bersama gelang-gelang dan potongan kain. Ia tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Tapi satu hal yang ia tahu: ia harus pergi ke “ujung langit”. Ia tidak tahu apa artinya, tapi pesan itu terasa seperti panggilan yang tidak bisa ia abaikan.

Keesokan harinya, Veyra mendatangi Pak Drenvo dan meminta izin untuk tidak bekerja selama beberapa hari. Pak Drenvo, meskipun menggerutu, tidak bertanya banyak—ia tahu Veyra bukan tipe orang yang meminta izin tanpa alasan. Veyra kemudian pergi ke rumah Lirien, sebuah gubuk kecil dengan pohon akasia besar di depannya. Ia mengetuk pintu, dan ibu Lirien, seorang perempuan setengah baya dengan wajah ramah, membukakan pintu.

“Aku perlu bicara dengan Lirien,” kata Veyra, suaranya tegas tapi penuh hormat.

Lirien muncul dari dalam, matanya bersinar saat melihat Veyra. “Kak Veyra! Apa kabar?”

Veyra menarik napas dalam-dalam. “Lirien, kamu pernah bilang tentang bayangan di air. Aku perlu kamu tunjukkan tempatnya. Sekarang.”

Lirien mengangguk, seolah merasakan urgensi dalam suara Veyra. Mereka berjalan bersama ke batu besar, Lirien memimpin dengan langkah kecil yang penuh semangat. Saat mereka sampai, Lirien menunjuk ke arah laut, di mana ombak kecil bergulung perlahan. “Di sana, Kak. Kadang-kadang aku lihat bayangan itu pas air tenang.”

Veyra menatap laut, matanya mencari-cari. Dan kemudian, di tengah kilau air yang memantulkan sinar matahari, ia melihatnya—sebuah siluet samar, seperti sosok perempuan kecil yang berdiri di atas air. Veyra merasa napasnya terhenti. “Sylvara…” bisiknya.

Tanpa berpikir, Veyra melangkah ke dalam air, ombak kecil membasahi sepatu botnya. Ia terus berjalan, air naik hingga ke pinggangnya, lalu ke dadanya. Lirien berteriak dari belakang, “Kak Veyra, hati-hati!” tapi Veyra tidak mendengar. Ia hanya melihat siluet itu, yang kini semakin jelas—rambut panjang, gaun biru pucat, dan sepasang mata yang begitu familiar.

“Sylvara!” teriak Veyra, suaranya penuh harap dan keputusasaan. Tapi saat ia mendekat, siluet itu memudar, seolah ditelan oleh ombak. Veyra berhenti, air laut membasahi wajahnya, bercampur dengan air mata. Ia merasa hancur, tapi di saat yang sama, ada kelegaan yang aneh. Mungkin Sylvara tidak benar-benar ada di sana, tapi pesan-pesan itu—gelang, kain, kertas—adalah caranya untuk mengatakan bahwa ia baik-baik saja, di mana pun ia berada.

Veyra kembali ke pantai, tubuhnya basah kuyup, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. Lirien berlari mendekat, memeluknya tanpa peduli pakaiannya yang basah. “Kakak nggak apa-apa, kan?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Veyra memandang gadis kecil itu, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia tersenyum tulus. “Aku baik-baik saja,” katanya, lalu mengelus rambut Lirien. “Terima kasih, Lirien.”

Di ujung langit yang retak, Veyra menemukan bukan Sylvara, tapi kedamaian. Ombak terus berbisik, membawa rahasia yang kini ia pahami: cinta tidak pernah hilang, bahkan ketika orang yang kita sayangi pergi. Dan di Pelabuhan Karsa, di antara pasir dan laut, Veyra mulai belajar untuk hidup lagi, satu langkah pada satu waktu.

Di Ujung Langit yang Retak bukan sekadar cerpen, melainkan cerminan kehidupan tentang bagaimana kita menghadapi kehilangan dan menemukan cahaya di tengah kegelapan. Dengan narasi yang kaya emosi dan ending yang meninggalkan ruang untuk refleksi, cerita ini akan terus bergema di hati pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk menyelami kisah Veyra dan laut yang menyimpan rahasianya—sebuah pengalaman membaca yang akan mengubah cara Anda memandang cinta dan pengampunan.

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Di Ujung Langit yang Retak! Kami harap artikel ini menginspirasi Anda untuk membaca cerpen ini dan berbagi pengalaman Anda di kolom komentar. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan teruslah menjelajahi dunia sastra yang penuh keajaiban!

Leave a Reply