Di Kala Indah Teringat Ayah: Kisah Cinta Seorang Anak yang Tak Pernah Luntur

Posted on

Kehilangan orang tua adalah luka yang tak mudah sembuh, apalagi jika kenangan bersamanya begitu indah dan penuh makna. Cerpen “Di Kala Indah Teringat Ayah” menyuguhkan kisah mengharukan tentang Laila, seorang remaja yang terus merawat cinta dan ingatannya pada sang ayah, Budi. Melalui kenangan, surat, dan harapan, Laila mencoba berdamai dengan kehilangan yang begitu dalam. Cerita ini akan menyentuh relung hati pembaca, mengajak kita memahami arti kasih sayang seorang ayah yang tak lekang oleh waktu. Bacaan wajib bagi kamu yang merindukan pelukan seorang ayah dan ingin menemukan kekuatan dari kenangan.

Di Kala Indah Teringat Ayah

Senja dan Secangkir Kenangan

Senja mulai turun perlahan, memandikan langit dengan semburat jingga keemasan. Laila duduk di bangku taman belakang rumah, tempat favoritnya dan almarhum ayah, Pak Budi, menghabiskan waktu setiap sore. Di tangannya, sebuah cangkir berisi teh hangat mengepul pelan, aroma melatinya menguar lembut—persis seperti teh kesukaan Ayah.

Suara dedaunan yang diterpa angin terdengar seperti bisikan masa lalu. Laila menutup mata sejenak, membiarkan kenangan mengalir seperti film lama. Ia teringat bagaimana Ayah sering duduk di sampingnya, memegang cangkir yang sama, lalu berkata:

“Laila, kamu tahu kenapa Ayah suka teh melati? Karena aromanya bikin hati tenang. Sama kayak kamu, Ayah tenang kalau kamu baik-baik aja.”

Ucapan sederhana itu kini terasa begitu dalam. Dulu Laila hanya menanggapinya dengan tawa, belum mengerti arti ketenangan yang Ayah maksud. Kini, di usianya yang ke-18, ia mulai paham: kebahagiaan seorang ayah bukan dari hal besar, tapi dari melihat anaknya tumbuh dengan baik.

Tangan Laila menggenggam cangkir lebih erat. Matanya menatap langit, mencari-cari sosok yang tak lagi bisa disentuh, tapi terasa begitu dekat di hati.

“Ayah,” bisiknya lirih, “Laila kangen…”

Langit tak menjawab. Tapi angin bertiup lembut, seakan menyampaikan bahwa kenangan itu tidak pernah pergi—ia hanya berubah bentuk, menjadi kekuatan yang menemani Laila setiap langkah.

Teh Hangat dan Petuah Ayah

Dapur masih menyimpan aroma kenangan. Di sudut meja kayu yang sedikit tergores, Laila memandang kosong ke arah kursi yang dulu selalu ditempati Ayah setiap pagi. Di sanalah, Pak Budi biasa duduk sambil menyeruput teh hangat dan memberi petuah-petuah sederhana, yang kini terasa seperti harta paling berharga.

“Kalau kamu jatuh, nak, jangan malu. Bangkit itu bukan soal kuat atau tidak, tapi soal keberanian untuk mencoba lagi” begitu kata Ayah di suatu pagi yang dingin.

Waktu itu Laila hanya mengangguk sambil memainkan sendok di cangkir. Ia tak pernah benar-benar memperhatikan. Sekarang, tiap kalimat itu terngiang jelas—dan perih. Karena tak ada lagi suara yang akan mengucapkannya. Tak ada lagi tangan hangat yang mengusap kepalanya dan bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Laila menarik napas panjang. Di tangannya, selembar surat kecil usang tergenggam erat. Surat terakhir dari Ayah, yang ditulis beberapa hari sebelum kepergiannya. Tulisan tangan itu sudah mulai memudar, tapi Laila hapal setiap katanya.

“Laila, Ayah mungkin tak akan selalu ada di dunia ini. Tapi Ayah titip satu hal: jadilah orang yang sabar, yang kuat, dan jangan pernah merasa sendiri. Karena doa Ayah akan terus menemanimu.”

Air mata menetes di atas kertas itu. Laila menunduk, bibirnya bergetar.

“Ayah… kenapa harus secepat ini?”

Hening. Hanya suara detik jam yang terdengar, dan isak pelan dari hati yang belum benar-benar pulih. Rasa kehilangan memang tidak pernah bisa diukur. Ia hanya bisa dirasakan—dan Laila merasakannya setiap hari, setiap pagi, setiap cangkir teh yang ia seduh sendiri.

Tak ada lagi petuah, tak ada lagi pelukan. Yang tersisa hanyalah keheningan… dan kenangan.

Langkah yang Dijanjikan

Pagi itu, langit tak lagi kelabu. Matahari menyusup perlahan di balik tirai jendela kamar Laila, menyentuh meja belajarnya yang penuh coretan impian lama. Di sana, sebuah foto Ayah terbingkai rapi, tersenyum hangat dalam balutan kemeja putih favoritnya.

Laila meraih foto itu dan menatapnya dalam.

“Hari ini, Ayah. Hari yang dulu kita bicarakan…” ucapnya lirih.

Tepat hari ini, Laila dinyatakan lulus dan diterima di universitas impiannya. Sebuah pencapaian yang dulu terasa mustahil, terutama setelah kehilangan terbesar dalam hidupnya. Tapi ia ingat janji yang pernah ia ucapkan di depan pusara Ayah:

“Laila janji akan lanjut sekolah tinggi, Ayah. Buat Ayah bangga.”

Masa-masa penuh air mata, malam tanpa tidur, hingga keraguan akan diri sendiri—semuanya sudah dilewati. Ia pernah hampir menyerah, tapi suara Ayah selalu hadir dalam ingatannya, seperti bisikan lembut yang memeluk hatinya.

“Jangan takut gagal. Tak mencoba itu yang lebih menyakitkan,”

kata Ayah, dalam satu percakapan lama yang kini menjadi nyawa bagi semangatnya.

Hari itu, Laila melangkah keluar rumah dengan seragam rapi, membawa map berisi surat kelulusan. Tapi lebih dari itu, ia membawa harapan, kekuatan, dan cinta yang tak pernah pudar.

Ia tahu, meski Ayah tak lagi bisa menyambutnya di teras rumah, doa dan kebanggaan Ayah ada bersamanya… menyatu dalam setiap langkah.

Langkah yang dulu dijanjikan. Langkah yang kini benar-benar diwujudkan.

Hujan, Air Mata, dan Doa yang Tak Pernah Usai

Hujan turun pelan, membasahi batu nisan di hadapan Laila. Suasana TPU itu sunyi, hanya suara alam dan detak jantung yang terdengar jelas di telinganya. Di tangan Laila, ada satu buket bunga melati, bunga kesukaan Ayah, dan satu lembar kertas berisi surat yang baru ia tulis semalam.

Tangannya gemetar saat membacanya dengan suara lirih.

“Ayah… akhirnya Laila lulus. Bukan cuma lulus, tapi diterima juga di kampus yang Ayah dulu ceritakan. Laila berhasil, Yah. Tapi kenapa rasanya belum lengkap? Karena Ayah nggak di sini. Karena Ayah nggak bisa lihat langsung…”

Air matanya jatuh. Satu per satu, menyatu dengan titik hujan di kertas itu.

“Tapi Ayah tahu, kan? Laila kuat karena Ayah. Laila sampai di sini karena petuah-petuah kecil Ayah, dan cinta Ayah yang nggak pernah pergi.”

Langit tampak semakin gelap, namun di hati Laila justru mulai terang. Ia memejamkan mata, seakan merasakan pelukan hangat yang dulu sering menenangkannya di tengah badai hidup. Angin berhembus pelan, menyapu lembut rambutnya, seolah Ayah membelainya dari kejauhan.

Ia tersenyum, meski matanya masih basah.

“Terima kasih, Ayah. Untuk cinta tanpa syarat. Untuk doa yang diam-diam menuntunku hingga hari ini.”

Laila meletakkan bunga dan surat itu di samping nisan. Kemudian ia berdiri, menengadah ke langit. Di balik mendung, ia yakin ada cahaya. Dan di balik rindu, ada cinta yang tak pernah usang.

Kini, ia melangkah pulang. Tidak lagi dengan air mata duka, tapi dengan kekuatan. Karena ia tahu, Ayah tak benar-benar pergi.

Ayah selalu ada—di setiap doa, di setiap napas, di setiap langkah menuju masa depan.

Di Kala Indah Teringat Ayah bukan sekadar cerpen biasa, tapi cermin dari banyak hati yang sedang belajar ikhlas dan kuat dalam kehilangan. Lewat tokoh Laila, kita diajak menyelami rasa rindu, harapan, dan tekad yang tumbuh dari luka. Semoga kisah ini bisa menjadi pelipur lara, inspirasi, dan pengingat bahwa cinta sejati tak pernah benar-benar pergi—ia hanya berganti bentuk menjadi doa yang abadi.

Leave a Reply