Daftar Isi
Kamu pasti sering ketemu sama pria yang kelihatan cuek banget, kan? Kayak nggak peduli sama apa-apa, seakan hidupnya biasa aja. Tapi, siapa sangka di balik sikap dingin dan acuh itu, ada sisi lain yang nggak banyak orang tahu.
Sisi yang penuh ketakutan, kebingungan, dan akhirnya… keberanian buat bangkit. Cerita ini tentang perjalanan itu. Gimana seorang pria yang tampaknya nggak peduli, ternyata punya banyak yang harus dia hadapi, buat akhirnya bisa jadi diri sendiri.
Di Balik Sikap Cuek Pria
Sikap Cuek yang Menyimpan Rahasia
Aku baru saja keluar dari kelas, masih dengan rasa malas yang mendera, ketika aku melihatnya. Ari. Duduk di bangku taman dekat sudut kampus, seperti biasanya. Aku sudah tahu, kalau dia memilih tempat itu, berarti dia ingin sendirian. Itu rutinitasnya—menyendiri di tempat yang tak terlalu ramai, seakan ingin menutup diri dari dunia sejenak.
Bola mataku menatapnya sesaat. Ari selalu terlihat sama. Dingin. Bahkan saat dia duduk di sana, diam, seperti menunggu sesuatu yang tak pernah datang, wajahnya tak pernah menunjukkan tanda-tanda emosi. Seakan dunia ini hanya sekelilingnya yang tak berarti apa-apa. Bahkan aku yang sudah cukup lama mengenalnya, merasa seperti orang asing yang tak pernah benar-benar bisa mengakses dunianya.
Aku melangkah mendekat pelan-pelan. Tidak ada niatan mengganggu. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang selalu mendorongku untuk mendekat setiap kali melihat dia begitu, seperti menarik perhatian dari kejauhan. “Ari,” aku menyebut namanya dengan suara pelan, berusaha memecah keheningan yang ada di antara kami.
Dia tak langsung menoleh, tetap sibuk dengan ponselnya, seperti menunggu aku untuk pergi saja. Tentu, sikap cuek itu sudah tak asing bagiku. Aku bisa menebak reaksinya. “Ada apa?” ujarnya, suara datarnya selalu membuatku merasa seperti berbicara pada dinding. “Kamu ngapain di sini?”
Aku duduk di sebelahnya. Tidak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan selain kalimat yang sudah lama terpendam. “Nggak tahu, cuma pengen ngobrol,” jawabku. Tanpa memandang wajahnya, aku merasakan sesuatu yang berbeda hari itu. Ada kesunyian di dalam diri Ari yang terasa lebih berat dari biasanya.
Kedua tangan Ari menggenggam ponselnya erat. Matanya terfokus pada layar, namun aku tahu pikirannya sedang kemana-mana. Hanya saja, dia tak akan memberitahuku. Selama ini, setiap kali dia dalam keadaan seperti itu, dia selalu terkesan menutup diri. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya kecuali jawaban singkat yang bahkan kadang tak terlalu aku butuhkan.
“Gimana kabarnya?” tanyaku, berusaha membuka percakapan.
“Aku baik-baik aja,” jawabnya cepat, suara datarnya sudah cukup jelas untuk menunjukkan bahwa dia tidak tertarik melanjutkan obrolan. Tapi aku tetap bertahan. “Kamu nggak capek? Maksud aku, dari kemarin-kemarin, kerjaanmu kayaknya numpuk banget.”
Dia menghela napas, meletakkan ponselnya di atas bangku dan menatapku sejenak. Tapi itu hanya sekejap, seolah-olah dia menilai apakah aku benar-benar ingin tahu atau hanya sekadar basa-basi. “Capek sih, tapi ya gimana lagi,” ujarnya sambil menoleh ke arah lain, seakan mencari sesuatu untuk fokus.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa frustasi. Ari selalu seperti ini, selalu bersikap cuek. Seolah-olah dunia ini tak punya artinya bagi dia, seolah tidak ada yang cukup layak untuk menarik perhatiannya lebih lama. Itu yang paling membuatku bingung. Kadang, aku merasa dia hanya bersembunyi di balik tembok tinggi yang dia bangun sendiri. Tembok yang tak bisa ditembus siapapun, termasuk aku.
“Kamu selalu kayak gini, ya? Selalu cuek, nggak peduli sama apa yang terjadi di sekitar kamu.” Suaraku agak lebih tinggi dari biasanya. Aku tidak tahan lagi.
Dia mengangguk sedikit, lalu menatapku dengan tatapan kosong. “Ya, mungkin. Itu cara gue buat bertahan.” Jawabannya seakan memberi petunjuk, tapi aku tahu, itu hanya sebagian dari kisah yang dia simpan rapat-rapat.
“Cara buat bertahan?” aku mengulang. Kini, aku lebih tertarik. Ada sesuatu di balik kata-katanya yang tak sesuai dengan sikapnya yang dingin itu. “Apa maksud kamu?”
Ari tidak langsung menjawab. Dia hanya memandangi aku beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai gelap. Seolah tak ada yang ingin dia bagi. Tiba-tiba suasana di sekitar kami terasa begitu berat, dan aku tahu, meskipun dia tak mengatakannya, ada hal yang lebih besar yang dia sembunyikan.
“Ari, kenapa kamu nggak pernah cerita?” Aku memberanikan diri untuk bertanya, meskipun aku tahu jawabannya akan sulit diterima. “Kenapa kamu selalu menjauh, nggak mau ngobrol dengan siapa pun?”
Dia mendengus pelan. “Mau cerita tentang apa? Tentang gue yang nggak bisa berbuat apa-apa? Tentang betapa frustrasinya gue?” suara Ari mulai sedikit lebih keras, ada kepedihan yang mencoba dia sembunyikan. “Gue cuma nggak mau orang lain ikut terlibat dalam masalah gue. Gimana orang bisa ngerti kalau nggak pernah ngerasain?”
Aku terdiam. Kata-katanya membuatku merasa kosong. Ari tidak sekadar pria cuek yang tak peduli. Di balik semua itu, ada luka yang lebih dalam, sebuah kekosongan yang dia coba isi dengan menjaga jarak dari semua orang. Dia merasa tidak ada yang mengerti, dan setiap kali dia membuka diri, semuanya hanya berakhir dengan kekecewaan.
Kita duduk dalam diam. Tidak ada lagi percakapan setelah itu, hanya suara angin malam yang mengalir lembut di sekitar kami. Tapi dalam diam itu, aku tahu aku baru saja sedikit lebih dekat dengan kebenaran. Ari bukan hanya pria yang cuek. Dia adalah pria yang berjuang sendirian, menanggung beban yang tak pernah dia bagi dengan siapapun.
Namun, aku merasa, entah bagaimana, aku harus ada di sana. Ada hal yang lebih dari sekadar sikap cuek yang bisa aku lihat. Mungkin, aku belum bisa mengubahnya, tapi setidaknya aku bisa berada di sampingnya, bahkan dalam diam.
Tatapan Kosong di Balik Senyuman
Malam semakin larut, dan bangku taman itu masih menjadi tempat kami berdua. Aku bisa merasakan dingin yang mulai merayap masuk ke dalam tulang, tapi Ari tetap duduk tenang, seakan cuaca tak mampu mengganggu ketenangannya. Selama beberapa menit, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Suasana semakin hening, hanya ada suara gemerisik daun-daun yang bergesekan dengan angin malam.
Aku menoleh ke arah Ari, melihat bahunya yang sedikit membungkuk, tangan yang digenggamnya erat. Dia masih terlihat terjaga, meskipun pandangannya kosong, kosong seperti tidak ada tujuan. Sesekali dia melirik ke arah langit, seolah mencari sesuatu di sana, sesuatu yang tidak bisa dia temukan di dunia nyata.
Gelisah. Itu yang aku rasakan. Aku sudah mengenal Ari cukup lama, dan kali ini aku tahu, ada sesuatu yang benar-benar membebaninya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya yang tak bisa dia ungkapkan, sesuatu yang lebih berat daripada sikap cueknya yang selalu ditampilkan kepada dunia. Sikap itu hanyalah lapisan luar, tembok tebal yang dia bangun untuk melindungi diri. Aku baru menyadari, bukan dia yang tidak ingin berbagi, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk melakukannya.
“Ari, kenapa kamu selalu bilang ‘baik-baik aja’ padahal kelihatan banget nggak begitu?” Aku akhirnya bertanya dengan hati-hati, meskipun aku tahu pertanyaan itu bisa membuatnya semakin tertutup. Tapi aku tak bisa diam begitu saja. Ada perasaan yang terus mendorongku untuk lebih tahu, untuk lebih mengerti.
Dia terdiam sejenak. Aku bisa melihat wajahnya yang sedikit tegang, seperti berusaha menahan kata-kata yang ingin keluar. “Karena itu yang paling mudah,” jawabnya pelan, tanpa menoleh padaku. “Lebih gampang bilang baik-baik aja daripada cerita yang nggak ada habisnya.”
Aku menggeleng pelan. “Tapi nggak bisa terus kayak gini, Ari. Kamu nggak bisa terus teriak diam-diam dan berharap orang lain nggak dengar.”
Ari memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang. Ada keheningan yang terlalu lama di antara kami. Aku tahu dia ingin berbicara, tapi sepertinya ada ketakutan yang menghalanginya. Ketakutan untuk membuka diri, untuk membiarkan dunia melihat sisi rapuhnya. Dan itu yang aku ingin ubah—aku ingin dia tahu, bahwa dia tidak sendirian.
“Kadang, aku cuma pengen semuanya berhenti,” kata Ari tiba-tiba, suaranya begitu pelan, hampir tak terdengar. “Aku capek, ngerti nggak? Capek sama semua yang aku lakuin, capek sama semua yang nggak pernah berhasil. Terus-terusan berusaha dan gagal. Kadang, gue ngerasa kayak semua usaha gue nggak pernah cukup.”
Kata-katanya menyentuh hatiku lebih dalam dari yang aku duga. Ari, yang selama ini kuanggap dingin dan tak peduli, ternyata menyimpan beban yang begitu berat. Aku bisa melihatnya, walau dia tak pernah menunjukkannya. Ada kegagalan yang terus membayanginya, menekan langkah-langkahnya setiap kali dia mencoba maju. Ketika dia berbicara, aku bisa merasakan betapa rapuhnya dia, seakan dia baru saja bangkit dari kekalahan yang tak terlihat oleh mata.
“Ari…” aku mencoba meraih tangannya, merasakan betapa dinginnya telapak tangan itu. “Kamu nggak perlu sendirian. Kamu nggak harus tanggung semua ini sendiri.”
Dia menatapku lama, tatapannya kosong sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke langit. “Mudah buat kamu ngomong gitu, tapi gue nggak bisa. Gue nggak bisa ngebiarin orang lain masuk ke dalam masalah gue. Gue nggak mau ngerepotin orang lain.”
Aku meremas tangan Ari dengan lembut. “Tapi, kamu nggak ngerepotin kok. Aku di sini bukan buat ngerepotin, tapi buat ngebantu. Kalau kamu merasa lelah, istirahatlah sebentar. Jangan biarin dirimu jatuh sendiri.”
Dia terdiam beberapa saat, seakan mempertimbangkan kata-kataku. Wajahnya masih dipenuhi dengan kebingungannya sendiri. Aku tahu, dia tidak bisa begitu saja melepaskan semua itu. Tapi setidaknya, aku bisa menemaninya untuk beberapa waktu, membiarkan dia tahu bahwa ada orang yang peduli, bahkan ketika dia merasa tak ada harapan.
Ari akhirnya menarik napas dalam-dalam. “Kadang gue cuma pengen berhenti aja. Nggak ada yang bisa gue lakuin dengan baik. Semua yang gue coba cuma berakhir sia-sia. Gue nggak tahu lagi mau gimana.”
Aku menggigit bibir. Lihat, itu dia—Ari, si pria cuek yang selalu terlihat sempurna, ternyata rapuh. Ternyata, di balik semua sikap cueknya, dia sedang berjuang dengan rasa frustasi yang tak terlihat oleh orang lain. Dia ingin berhenti, karena merasa usaha-usahanya sia-sia. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia terus terperangkap dalam rasa putus asa itu.
“Ari, itu bukan akhir dari segalanya,” ujarku pelan, mencoba memberi sedikit ketenangan. “Kadang, kita nggak langsung lihat hasilnya. Kita nggak tahu kapan semuanya bakal berubah. Yang penting, kamu nggak berhenti mencoba. Kalau kamu nggak percaya sama diri kamu sendiri, aku akan ada di sini buat ngingetin kamu. Kamu nggak harus lewati semuanya sendirian.”
Dia menoleh padaku lagi, mata itu terlihat lebih lembut daripada sebelumnya. “Gue… nggak tahu harus ngomong apa.”
“Gak perlu ngomong apa-apa,” jawabku sambil tersenyum sedikit. “Cukup tahu aja, kalau ada yang peduli sama kamu.”
Keheningan kembali menyelimuti kami, tapi kali ini terasa lebih ringan. Tidak ada kata-kata yang lebih berat dari apa yang sudah kami ucapkan. Ari tetap diam, tapi aku bisa merasakan sedikit perubahan dalam dirinya. Sesuatu yang semula tertutup rapat mulai sedikit terbuka. Mungkin, butuh waktu. Tapi setidaknya, aku bisa menemani dia sampai dia siap untuk menghadapi semua ini.
Dinding yang Perlahan Runtuh
Hari-hari setelah percakapan itu terasa berbeda. Ari, meski tetap dengan sikap cuek khasnya, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Aku bisa melihatnya—tatapan matanya yang lebih tajam, lebih terbuka, seolah ada ruang di sana yang sebelumnya terkunci rapat. Tidak banyak yang berubah di luar, tidak ada perubahan drastis yang langsung tampak, tapi ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Sesuatu yang perlahan mengikis dinding tebal yang dibangunnya selama ini.
Hari itu, aku menunggu Ari di kafe tempat biasa kami nongkrong. Tempat itu selalu ramai dengan suara tawa, obrolan, dan ketukan jari di atas meja. Tapi hari itu terasa lebih sunyi. Aku memandang secangkir kopi yang masih mengepul, berusaha mengisi kekosongan dalam pikiranku yang tak pernah berhenti berpikir tentang dia. Mungkin ini aneh, tapi sejak percakapan malam itu, aku seperti merasakan beban berat yang tak kasat mata, tapi nyata, di antara kami.
Pintu kafe terbuka, dan suara derap langkah kaki membuatku menoleh. Ari masuk, mengenakan jaket hitam kesukaannya, rambut sedikit acak-acakan, tetapi ada yang berbeda. Wajahnya tidak terlalu keras seperti biasa. Matanya tidak tertutup dengan topeng kebisuan yang biasa dia pakai. Kali ini, dia terlihat lebih manusiawi—lebih bisa dijangkau, lebih nyata.
Dia menatapku dengan tatapan datar, tapi kali ini aku merasa ada ketulusan di baliknya. Ari duduk di depanku tanpa berkata apa-apa. Suasana seperti biasa, nyaman dalam diam. Kami berdua hanya duduk di sana, sesekali saling bertukar pandang, tapi tak ada kata yang keluar. Entah kenapa, aku merasakan kedamaian yang aneh, meskipun dalam keheningan itu ada banyak hal yang tak terucap.
“Ari…” aku memecah keheningan dengan suara pelan. “Lo baik-baik aja?”
Dia menatapku sejenak, seolah mencerna pertanyaanku. Kemudian dia menarik napas panjang, seperti mengumpulkan kata-kata. “Biasa aja,” jawabnya singkat, tapi kali ini ada nada jujur di dalamnya.
Aku bisa melihatnya, melihat bagaimana dia berusaha untuk tidak terjebak dalam kebisuan. Bagaimana setiap kata yang dia ucapkan terasa lebih berarti, lebih datang dari dalam dirinya, bukan hanya sekadar pertahanan. Aku tahu dia tidak terbiasa dengan hal seperti ini, berbicara tentang perasaan, membuka diri. Tapi aku bisa merasakan ada sedikit ruang di hatinya yang mulai terbuka, meskipun masih sangat rapuh.
“Lo tahu nggak, kadang gue nggak ngerti sama diri gue sendiri,” lanjut Ari dengan suara yang lebih rendah. “Gue bingung, kenapa gue harus bertahan, kenapa gue harus terus maju, sementara setiap kali gue coba, hasilnya sama aja. Semua itu cuma bikin gue capek.”
Aku memiringkan kepala, mencoba memahami lebih dalam. Ari memang pria yang sering merasa seperti itu—perjuangan tanpa akhir, seakan usaha-usaha itu tak pernah ada gunanya. Tapi aku tidak ingin dia menyerah. Tidak sekarang.
“Gue ngerti itu berat,” jawabku, mencoba menenangkannya. “Tapi, lo gak sendirian, Ari. Kalau lo ngerasa capek, ya istirahat sebentar. Coba lihat semua dari sisi yang berbeda. Kadang lo perlu waktu buat ngeliat hal-hal yang gak lo lihat sebelumnya.”
Dia diam sejenak, tangan kanan yang biasanya terkunci dalam genggaman itu kali ini terulur, seakan mencari pegangan yang nyata. “Tapi gue takut,” ucapnya, suaranya pelan. “Takut kalau semua usaha gue sia-sia lagi, takut kalau semua yang gue harapin gak terwujud.”
Aku tahu, rasa takut itu adalah ketakutan terbesar Ari. Takut akan kegagalan, takut akan harapan yang hilang begitu saja. Dan lebih dari itu, dia takut jika membuka diri hanya akan membuatnya semakin rentan. Tetapi aku tidak bisa membiarkannya terperangkap dalam ketakutan itu.
“Lo takut gagal?” tanyaku. “Gue paham banget, Ari. Tapi… lo gak akan pernah tahu kalau lo nggak coba lagi. Kita semua pernah gagal. Gue pernah gagal. Semua orang juga pernah gagal. Tapi yang bikin kita kuat adalah kita berani bangkit lagi. Kalau lo takut gagal, lo nggak akan pernah tahu seberapa jauh lo bisa melangkah.”
Ari menatapku dengan tatapan yang agak ragu. Aku tahu, kata-kataku tidak akan langsung mengubah semuanya, tapi setidaknya aku berharap dia bisa melihat sesuatu yang berbeda. Aku berharap dia bisa sedikit saja percaya bahwa dia bisa melewati semuanya—bahwa ada masa depan yang lebih cerah di depan sana, jika dia mau terus berjuang.
“Gue nggak tahu…” Ari memulai, tapi kali ini suaranya lebih lembut. “Gue nggak tahu kalau gue bisa. Tapi… gue juga nggak bisa terus gini aja. Gue… cuma bingung mau mulai dari mana.”
Aku tersenyum, mencoba memberi sedikit dorongan. “Itu oke, Ari. Lo nggak harus tahu sekarang. Tapi mulai dari sini, dari langkah pertama. Gue yakin lo bisa, asal lo mau coba. Gak usah takut buat mulai lagi.”
Ari terdiam, memandang kopi yang sudah lama dingin di depannya. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, tapi kali ini ada sedikit kelembutan, ada ruang untuk berharap. Mungkin ini langkah pertama. Langkah pertama yang kecil, tapi mungkin itu yang akan membawanya lebih dekat pada penerimaan dirinya sendiri.
“Aku di sini kok, Ari,” kataku pelan. “Kapan pun lo butuh, gue akan ada di sini. Gak peduli seberapa berat itu.”
Ari mengangguk perlahan, masih menunduk, tetapi aku tahu, ada sesuatu yang telah berubah. Mungkin perlahan, dinding yang dia bangun akan runtuh. Perlahan, dia akan menemukan kekuatan di dalam dirinya sendiri. Dan mungkin, dalam perjalanan itu, dia tidak akan merasa sepi lagi.
Keberanian yang Terlahir Kembali
Pagi itu, suasana terasa lebih ringan. Udara sejuk dan matahari yang hangat membelai wajahku saat melangkah keluar dari rumah. Beberapa hari terakhir, Ari mulai menunjukkan sisi-sisi yang sebelumnya terkubur dalam dirinya. Kami masih sering bertemu di kafe itu, tetapi pertemuan-pertemuan itu sekarang terasa berbeda. Ada perubahan, meski kecil, tapi cukup nyata.
Hari ini, aku menunggunya di meja yang sama. Pemandangan di luar jendela kafe cukup menenangkan. Ada beberapa orang yang sedang berjalan cepat, sepertinya sibuk dengan urusan masing-masing. Aku menatap langit, berharap kehadiran matahari pagi membawa sedikit cahaya pada jalan yang sedang ditempuh oleh Ari—jalan yang masih penuh dengan keraguan, tapi kini lebih terbuka, lebih berani.
Pintu kafe terbuka, dan seperti biasa, Ari masuk dengan langkahnya yang biasa—tenang, tidak terburu-buru, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia mengenakan kemeja biru tua, dan meskipun wajahnya tampak datar seperti biasa, ada ketegasan dalam caranya bergerak, seperti seseorang yang tahu arah yang akan dia tuju.
Aku tersenyum ketika dia duduk di depanku, seperti biasa. Tidak ada kata-kata yang langsung keluar dari bibirnya, tapi aku bisa melihat ada perubahan kecil dalam cara dia menatapku. Ada secercah keyakinan di balik mata gelapnya. Bukan keyakinan yang datang begitu saja, tapi keyakinan yang tumbuh perlahan, meskipun dia tidak mengakui itu.
“Gue ada sesuatu yang perlu gue lakuin,” kata Ari akhirnya, suara tegas, tapi ada sedikit ketegangan yang tetap terasa.
Aku menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa itu?”
“Aku mau mulai. Mulai lagi, dari awal. Gue nggak bisa terus terjebak dalam ketakutan kayak gini. Gue nggak mau jadi orang yang cuma ngomong tapi nggak pernah ngelakuin apa-apa. Gue… gue nggak mau nunggu lagi buat coba.”
Aku menatapnya, terkagum dengan perubahan yang terjadi. Mungkin, ini bukan keputusan besar bagi sebagian orang, tapi untuk Ari—untuk seorang pria yang terbiasa dengan keraguan dan ketakutannya—ini adalah langkah yang sangat besar. Langkah pertama menuju perubahan yang mungkin dia butuhkan.
“Lo serius?” tanyaku, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang aku dengar adalah nyata.
Ari mengangguk. “Serius. Gue nggak tahu akan seperti apa ke depannya, tapi gue udah cukup lama nyiksa diri gue sendiri. Sekarang waktunya buat berani coba. Entah hasilnya nanti gimana, yang penting gue nggak diem aja.”
Aku tersenyum lebar, merasa bangga padanya meskipun kami belum tahu apa yang akan terjadi. Ari memang sudah memutuskan untuk memulai kembali, untuk mengambil langkah pertama dari ketakutannya. Itu sudah cukup. Keputusan itu menunjukkan keberanian yang lebih besar daripada yang bisa dia bayangkan.
“Gue percaya sama lo, Ari,” kataku. “Gue tahu ini nggak mudah. Tapi lo nggak sendiri. Dan lo bisa.”
Ari diam beberapa saat, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa terima kasih di sana, tapi juga kebingungan. Mungkin dia masih bingung tentang apakah dia sudah benar-benar siap, tapi satu hal yang pasti—dia sudah memutuskan untuk mencoba. Untuk pertama kalinya, aku merasa dia tidak hanya mengandalkan diri sendiri, dia mulai membuka diri untuk menerima bantuan, untuk menerima kenyataan bahwa terkadang, kita butuh orang lain untuk berjalan bersama.
“Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi,” katanya, “tapi gue yakin, mungkin ini langkah yang bener. Terima kasih udah ada di sini.”
Aku hanya mengangguk, merasa bahwa kata-kata tidak perlu lagi. Ada sesuatu dalam diri Ari yang sudah berbicara lebih keras dari apapun. Dia siap. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia siap menghadapi dunia dan dirinya sendiri.
Ketika Ari berdiri untuk pergi, aku menyadari sesuatu. Dulu, dia selalu tampak seperti pria yang tak bisa dijangkau—selalu melindungi dirinya dengan sikap cuek dan diamnya. Tapi sekarang, ada sedikit ruang di hatinya yang terbuka. Mungkin belum sepenuhnya, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia tidak sendirian. Kami mungkin tidak tahu apa yang akan datang, tetapi satu hal yang pasti—Ari tidak lagi terkunci dalam ketakutannya.
Aku melangkah keluar dari kafe setelahnya, menatapnya yang berjalan dengan langkah lebih ringan, lebih percaya diri. Sebuah perubahan kecil, tapi cukup untuk membuktikan bahwa dibalik sikap cuek seorang pria, ada hati yang rapuh, ada ketakutan yang terkubur dalam-dalam, dan yang terpenting, ada kekuatan untuk bangkit kembali.
Dan itu, lebih dari apa pun, adalah keberanian yang paling berharga.
Jadi, mungkin kamu pernah mikir, orang yang kelihatan cuek itu nggak peduli sama apa-apa. Tapi kadang, sikap itu cuma cara mereka buat nyembunyiin segala yang nggak bisa mereka ungkapin.
Siapa tahu, di balik semua ketidakpedulian itu, ada perjuangan buat menghadapi ketakutan terbesar mereka. Dan mungkin, justru itu yang bikin mereka akhirnya berani. Jadi, jangan cepat menilai—karena setiap orang punya ceritanya masing-masing.