Di Atas Awan, Namamu Kupahat: Cerpen Romantis Tentang Perjalanan, Cinta, dan Gunung yang Bikin Baper Abis!

Posted on

Lagi cari cerita cinta yang nggak pasaran dan bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri? Cerpen “Di Atas Awan, Namamu Kupahat” ini beda dari cerita cinta biasanya. Bukan cuma soal dua orang jatuh cinta, tapi tentang perjalanan naik gunung bareng pasangan yang penuh tawa, luka kecil, momen dalem, dan keindahan alam yang jadi saksi bisu hubungan mereka.

Gaya ceritanya santai, nggak lebay, tapi dijamin ngena banget di hati. Yuk, baca sampe habis dan rasain sendiri gimana hangatnya cinta yang dipahat di ketinggian langit!

Di Atas Awan, Namamu Kupahat

Jejak Pertama di Tanah Basah

Pagi itu, udara masih enggan membuka mata. Kabut tipis menggantung di atas hamparan kebun teh yang membentang di kaki Gunung Prahwana. Dari kejauhan, siluet gunung tampak menggigil dalam balutan awan pucat. Tapi di sisi jalan setapak, dua sosok tampak sibuk membongkar isi ransel. Bukan karena ada yang tertinggal, tapi lebih karena mereka belum benar-benar siap menerima kenyataan bahwa perjalanan ini… benar-benar dimulai.

Aztara memeriksa ulang peta yang sudah agak kusut di ujung lipatannya. Sedangkan Elano, seperti biasa, lebih tertarik pada makanan ringan yang ia sembunyikan di balik saku jaket.

“Kamu bawa peta, tapi tetap bakal tanya arah ke warga sekitar, kan?” Elano menimpali, menyeringai sambil mengunyah wafer cokelat.

Aztara melirik, malas menanggapi. Tapi senyum tipis di wajahnya sudah cukup jadi jawaban.

Langkah mereka dimulai perlahan, melewati jalan berbatu yang diselingi akar-akar pohon. Tanah masih lembap sisa hujan malam, membuat sepatu mereka cepat kotor. Tapi tak ada yang mengeluh. Justru tawa kecil dan percakapan ringan membuat jalur yang sunyi terasa lebih hidup.

“Aku heran, kenapa kita nggak naik gunung yang rame aja? Yang ada tukang ciloknya di pos dua, misalnya,” celetuk Elano sambil menarik napas panjang.

“Karena kita nggak cari cilok. Kita cari sepi,” jawab Aztara, lirih.

“Elah. Tapi sepi juga bisa kita dapet kalau berdua di kos kamu.”

“Tapi kos aku nggak punya awan dan bintang, bro.”

Elano tertawa keras, suaranya memantul di antara batang pinus. Jalur mendaki masih ramah. Mereka berjalan berdampingan, sesekali berhenti sekadar membenarkan posisi ransel atau mengambil foto ala kadarnya. Tak ada tripod, tak ada drone, hanya ponsel usang dan tangan yang gemetar menahan dingin.

Di pos pertama, mereka menemukan sebuah gubuk kecil dari kayu lapuk. Catnya sudah mengelupas, atapnya bocor, dan dindingnya dipenuhi coretan nama-nama pendaki sebelumnya. Salah satunya tertulis: “Jangan cuma numpang lewat. Tulis kisahmu juga.”

“Lucu juga ya, tempat tua begini bisa jadi papan curhat,” ucap Elano sambil menyapu debu di salah satu bangku kayu.

Aztara mengeluarkan spidol dari kantong celana dan menggambar dua lingkaran kecil dengan satu garis lurus melintang di bawahnya—seperti wajah tersenyum.

“Elano dan Aztara. 2 orang biasa yang pengen bikin cerita nggak biasa,” gumamnya sambil menandatangani di bawah gambar.

“Yakin kita bakal jadi kisah yang nggak biasa?” tanya Elano, duduk di sampingnya.

“Yakin. Soalnya kamu nggak pernah biasa sejak aku kenal kamu.”

Jawaban itu membuat Elano diam sejenak. Tak ada kata “sayang” atau “aku cinta kamu” yang dilontarkan. Tapi ucapan tadi—dengan suara pelan dan datar—cukup untuk menggerakkan sesuatu di dadanya.

Perjalanan dilanjutkan. Jalur mulai menanjak perlahan, tapi belum cukup terjal untuk mematahkan semangat. Aztara sesekali mengamati langit, memastikan mereka tidak dikejar hujan. Elano tetap di belakang, sibuk memotret jejak kaki mereka di tanah basah.

“Aku suka suara sepatumu pas injak dedaunan. Nggak tau kenapa, rasanya kayak film-film indie,” kata Elano.

“Kalau aku suka suara napas kamu yang ngos-ngosan, kayak sapi ngorok,” balas Aztara, membuat Elano memukul pelan bahunya sambil tertawa.

Langit mulai terbuka sedikit demi sedikit. Cahaya matahari menyelip dari sela pepohonan, membuat bayangan mereka tampak panjang di tanah. Di tengah hening, hanya suara ranting patah, angin menderu pelan, dan percakapan setengah bercanda yang menemani.

Di sebuah tikungan, mereka berhenti. Bukan karena lelah, tapi karena pemandangannya terlalu bagus untuk dilewatkan. Di bawah sana, lapisan kabut mengambang di atas perkampungan kecil. Seperti kapas yang menutupi bumi.

“Gila. Ini keren banget,” gumam Elano sambil duduk di atas batu besar.

“Makanya, kalau kita cuma tidur-tiduran di rumah, kita nggak bakal lihat beginian,” sahut Aztara, duduk di sebelahnya.

“Kalau aku tidur-tiduran bareng kamu, tetap keren sih.”

“Jangan mesum di ketinggian, bro. Bahaya.”

Tawa mereka pecah lagi. Tapi setelah itu, keduanya diam. Bukan karena kehabisan bahan obrolan, tapi karena hening itu terlalu berharga untuk dipecahkan.

Lalu Elano berkata, “Aztar, aku nggak tau nanti bakal kayak gimana, tapi… aku pengen perjalanan ini kita simpan lama-lama. Nggak usah buru-buru balik.”

Aztara tak langsung menjawab. Ia menatap jauh ke arah langit, lalu berkata pelan, “Nggak usah takut. Kita masih jauh dari puncak. Masih banyak waktu buat bareng-bareng.”

Dan benar, perjalanan ini baru saja dimulai. Di depan masih ada jalur licin, hujan yang belum turun, tenda yang belum berdiri, dan malam yang belum datang. Tapi satu hal sudah pasti—langkah pertama mereka sudah jejakkan cerita.

Dan tanah basah itu, kini menyimpan jejak dua pasang kaki… dan satu janji yang belum sempat diucapkan.

Liku, Luka, dan Lelucon Receh

Langit mulai murung saat mereka mencapai titik pertigaan jalur. Aztara sempat ragu. Jalur kiri tampak lebih landai tapi berlumpur. Jalur kanan lebih menanjak, tapi kering. Keduanya tampak sama-sama tidak ramah. Elano, tanpa banyak pikir, menunjuk ke kanan sambil berkata, “Kalau udah capek, sekalian aja capek beneran.”

Mereka melangkah masuk ke jalur sempit itu, dan dalam waktu kurang dari lima menit, peluh mulai turun meski udara masih dingin. Tanahnya padat tapi licin, ditutupi daun gugur yang menutupi batu-batu licik yang siap menjebak siapa pun yang lengah.

Di titik itu, pendakian mulai terasa seperti ujian. Napas mereka mulai berat, jaket dibuka separuh, dan suara serangga terdengar lebih keras dari biasanya. Tak banyak obrolan, hanya suara langkah yang diselingi embusan napas dan bunyi botol minum di dalam ransel.

Sampai akhirnya, sebuah suara patahan keras memecah suasana. Aztara terpeleset di atas batu yang licin, jatuh terduduk, dan lutut kirinya terseret ke tanah penuh ranting tajam. Elano buru-buru berbalik dan berjongkok di sampingnya.

“Eh, kamu kenapa? Gila, tadi bunyinya kayak tulang ayam diremuk.”

Aztara meringis. “Lututku. Kayaknya kesayat.”

Elano langsung membuka ranselnya, mengeluarkan tisu basah dan perban kecil dari kantong darurat. Tanpa banyak bicara, ia membersihkan luka itu perlahan, gerakannya lebih hati-hati dari biasanya. Raut wajahnya serius, mulutnya tak banyak bergerak, tapi tatapannya penuh.

“Aku nggak bakal kuat kalau kamu kenapa-kenapa di sini,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan.

Aztara hanya menatap langit di atas mereka. Langit kelabu. Tapi tangan Elano yang hangat menempel di kakinya—itu cukup untuk membuat semuanya terasa stabil.

Setelah luka dibersihkan dan perban terpasang, Aztara bangkit perlahan. Jalannya agak pincang, tapi ia tetap tersenyum kecil.

“Cuma luka kecil, kok. Aku masih bisa ngalahin kamu nyampe puncak duluan.”

Elano mencibir. “Kalau kamu tetep keras kepala, aku bakal gendong. Tapi minta ongkos nanti.”

“Bayarnya pakai cinta, ya?”

“Gila. Jijik banget. Tapi ya… oke, lah.”

Lelah belum selesai, tapi candaan receh itu jadi semacam penawar. Mereka kembali berjalan, kali ini lebih pelan, lebih hati-hati. Elano berjalan di belakang Aztara, memperhatikan tiap langkah, memastikan tak ada batu licin yang terlewat.

Menjelang siang, mereka mencapai sebuah titik datar yang cukup luas. Hutan mulai terbuka, dan di depan, pemandangan mulai memperlihatkan sisi lain Gunung Prahwana—deretan bukit dengan jalur yang memotong lembah, seperti luka menganga di permukaan bumi.

Mereka duduk di atas batang pohon tumbang, membuka bekal seadanya—roti sobek, keju slice, dan dua buah pisang yang mulai lebam.

“Kita makan kayak korban bencana,” celetuk Elano sambil menggigit roti.

“Bencana cinta, iya.”

“Diem, ah. Aku lagi laper, bukan lagi pengen gombal.”

Aztara hanya tertawa pelan, tapi matanya terus memperhatikan Elano. Ada sesuatu dalam raut lelah itu—keringat di pelipis, rambut yang menempel di dahi, dan cara Elano memakan pisang seperti anak kecil—yang membuat momen ini terasa lebih dari sekadar istirahat. Ini adalah potongan kecil dari hidup yang ingin diingat selamanya.

Setelah makan, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Jalur makin sempit, dan kabut mulai turun. Awan menyelimuti pohon-pohon tinggi, membuat suasana seolah berada di negeri dongeng yang sedikit muram.

Tiba-tiba Elano berhenti dan menatap ke atas salah satu pohon. “Lihat deh… itu burung elang, bukan?”

Aztara ikut mendongak. “Bukan. Itu layang-layang putus nyangkut.”

Mereka tertawa, tapi suara mereka teredam oleh kabut yang kian tebal. Langkah mereka kini seperti menyusuri dunia yang sudah tidak sama dengan bumi. Setiap suara terasa jauh, setiap langkah seperti di dimensi lain.

Sore mulai datang. Mereka tahu, sebelum gelap total, mereka harus sampai ke area datar di bawah puncak untuk pasang tenda. Hujan belum turun, tapi aroma tanah sudah mulai menyengat. Langit seperti menahan napas. Elano menggenggam pergelangan tangan Aztara.

“Kalau hujan, kita tetap lanjut?” tanyanya pelan.

“Kita nggak datang ke sini buat mundur.”

“Elano, aku tahu jalan ini nggak gampang. Tapi aku yakin, selama kita jalan bareng, semuanya nggak akan sia-sia.”

Jawaban itu membuat Elano diam sesaat. Lalu ia menarik napas panjang, menatap ke jalur di depannya yang mulai menghilang di balik kabut.

“Oke. Kita kejar matahari sebelum dia turun,” katanya akhirnya.

Mereka pun kembali melangkah—dua bayangan kecil di antara kabut putih, di jalur yang makin sulit ditebak. Tapi satu hal jelas: hari ini bukan soal siapa cepat sampai, tapi bagaimana mereka terus saling menunggu, saling menjaga, dan saling mempercayai bahwa langkah mereka menuju tempat yang sama.

Dan dari situ, cerita belum selesai. Justru baru akan berubah bentuk—dari sekadar perjalanan menjadi pengikat yang lebih dalam.

Puncak, Bintang, dan Benang Merah

Matahari sore sudah tergelincir ke balik punggungan gunung saat mereka tiba di dataran lengang tepat di bawah puncak. Tempat itu semacam balkon alam—terbuka luas, beralaskan ilalang pendek, dengan pemandangan langsung ke lautan awan yang mengambang di bawah mereka. Seolah mereka berdiri di atas dunia yang sedang tertidur.

Aztara mendirikan tenda dengan gerakan lambat karena lututnya yang masih dibalut perban. Elano tak banyak bicara, hanya sesekali memeriksa apakah posisi tiang tenda sudah pas, lalu menyalakan kompor kecil portable dari logam.

Air dalam nesting mulai mendidih. Uapnya menguap cepat di udara dingin yang menusuk tulang. Mereka duduk berdampingan di depan tenda, dibalut sleeping bag setengah terbuka. Diam. Tapi diam yang tidak canggung—diam yang hangat.

“Aku suka tempat ini,” ujar Elano tiba-tiba. Suaranya pelan, nyaris tenggelam di antara deru angin.

“Kenapa?” tanya Aztara tanpa menoleh.

“Soalnya kamu di sini.”

Aztara tertawa kecil. “Kamu tuh bisa aja ya, ngomong gitu dengan muka setegas batu nisan.”

“Tapi batunya hangat, kan?” balas Elano, tersenyum pelan.

Langit malam mulai turun. Bintang-bintang bermunculan satu per satu, malu-malu tapi pasti. Di ketinggian seperti ini, tidak ada lampu jalan, tidak ada polusi, tidak ada bunyi kendaraan. Hanya alam, mereka, dan langit yang menaburkan cahaya.

Elano membuka ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari kantong paling dalam. Sebuah kotak kecil dari kain goni, diikat dengan tali merah tipis. Ia menyerahkannya ke Aztara tanpa banyak kata.

“Apa ini?” Aztara menatapnya curiga.

“Buka aja. Tenang, bukan bom molotov.”

Aztara membuka ikatan tali itu perlahan. Di dalamnya ada gulungan benang merah kusut, dililitkan ke sepasang ring kecil dari rotan yang dibentuk melingkar. Simpel, bahkan terlihat murahan. Tapi tangan Aztara berhenti bergerak. Matanya menatap benda itu lama, seolah sedang membaca sesuatu yang tak tertulis.

“Elano…”

“Itu buat kamu. Satunya buat aku. Aku tahu ini nggak seindah perhiasan mahal, tapi… katanya, benang merah itu simbol. Simbol yang katanya, walau dua orang jalan sejauh apa pun, benang itu bakal tetap narik mereka balik ke satu titik.”

Aztara tak langsung menjawab. Ia menatap Elano lama, lalu menatap benda itu lagi. Dingin di tangannya, tapi entah kenapa dadanya justru menghangat.

“Kenapa rotan?” tanyanya akhirnya.

“Karena kita nggak kaya buat beli perak. Dan karena rotan itu bisa ditekuk, dililit, bahkan dijalin. Kayak kita, walau aneh, walau kadang saling bentur, tapi bisa dibentuk jadi satu.”

Aztara tertawa pelan, nyaris tak terdengar. Ia mengenakan satu ring ke jari manis tangan kanannya, lalu menyerahkan satu lagi ke Elano. Lelaki itu menyelipkannya ke rantai kecil yang ia gantung di leher.

Angin malam makin menggila. Tapi mereka tak bergeming. Tangan mereka saling menggenggam, bersembunyi di balik sleeping bag yang kini jadi seperti benteng kecil di tengah dataran terbuka.

Langit kini penuh bintang. Rasi Orion tampak jelas. Galaksi Bima Sakti seperti sungai susu yang melintang dari timur ke barat. Suasana terlalu sunyi untuk dibiarkan berlalu begitu saja.

“Aku takut lupa malam ini,” gumam Elano.

“Kenapa harus takut? Aku juga ada di sini. Aku yang bakal ingetin kamu.”

“Tapi kalau suatu hari kamu nggak ada?”

Aztara menoleh, menatap Elano dengan mata yang kini tak sekaku biasanya. “Kalau aku nggak ada, berarti aku ada di tempat yang lebih tinggi dari puncak ini. Tapi kamu bakal tetap nemu jejakku, kan?”

Elano mengangguk pelan. Tak ada air mata. Tapi sesuatu seperti kabut tiba-tiba mengendap di matanya. Ia menggenggam tangan Aztara lebih erat.

“Kalau malam ini adalah akhir dari segalanya, aku nggak nyesel,” katanya akhirnya.

“Kalau malam ini adalah awal dari segalanya, aku siap.”

Dan malam pun berlalu perlahan. Dingin menari di ujung-ujung jari. Tapi di balik tenda kecil berwarna biru, dua manusia bertahan dalam hening, menunggu pagi dengan hati yang tak lagi kosong. Mereka tahu, apa yang mereka simpan malam ini tak bisa dibeli atau diulang.

Di luar, angin terus meniup lembut. Seolah ia sedang berbisik kepada gunung dan bintang, bahwa dua manusia telah menuliskan cerita—bukan di batu, bukan di awan, tapi di hati yang akan terus mereka bawa… bahkan saat kaki mereka kembali turun.

Jejak yang Tak Pernah Padam

Kabut pagi menyelimuti lereng saat matahari baru mulai mengintip dari balik cakrawala. Embun menempel di permukaan tenda, mengilap seperti titik-titik kristal kecil. Udara lebih dingin dari malam sebelumnya, tapi terasa lebih ringan—seolah gunung sedang mengucapkan salam perpisahan yang lembut.

Elano terbangun lebih dulu. Ia membuka ritsleting tenda perlahan, agar tidak membangunkan Aztara yang masih terlelap, tertutup jaket tebal dan hoodie yang menutupi sebagian wajahnya. Napas Aztara naik turun tenang. Damai.

Sambil meregangkan badan, Elano memandangi langit yang mulai berubah warna dari abu-abu pucat menjadi jingga muda. Suara burung-burung kecil terdengar samar dari kejauhan. Tidak ada hiruk pikuk. Tidak ada notifikasi dari ponsel. Hanya waktu yang berjalan lambat, dan perasaan yang tumbuh diam-diam.

Tak lama kemudian, Aztara keluar dari tenda sambil menguap dan menarik sleeping bag ke bahunya seperti selimut.

“Pagi. Udah bikin kopi belum?” tanyanya serak.

“Elah, niat bangun cuma buat kopi, ya?” Elano membalas dengan senyum kecil.

“Kopi itu ibadah. Jangan disepelekan,” jawab Aztara sambil duduk di atas matras, memeluk lutut.

Mereka membuat kopi instan dan sarapan ringan dengan sisa roti dan biskuit yang tersisa. Tak banyak bicara. Tapi setiap gerak mereka terasa sinkron, seolah tubuh dan pikiran mereka sudah terlalu akrab dengan ritme satu sama lain.

Setelah berkemas, mereka berdiri sejenak menghadap jurang dan hamparan awan yang mulai memudar, digantikan oleh perbukitan hijau yang perlahan muncul kembali. Dunia yang semalam tertutup kabut kini menampakkan wajah aslinya.

“Elan,” ujar Aztara pelan.

“Hm?”

“Kalau kita udah balik ke kota… kita tetap kayak gini, kan?”

Elano menatapnya. “Kayak gimana?”

“Kayak sekarang. Nggak berubah. Masih bisa ketawa bareng, diem bareng, nggak ribet, nggak drama.”

Elano mendekat, menggenggam tangan Aztara. “Selama kamu nggak lari duluan, aku juga nggak bakal berubah.”

Aztara mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Jadi kita turun, ya?”

“Turun. Tapi nggak berakhir.”

Langkah pertama menuruni gunung selalu terasa berbeda. Ada kelegaan, tapi juga ada perasaan bahwa sesuatu sedang tertinggal di belakang. Jalur yang mereka lewati kini tak lagi menantang seperti saat naik, tapi justru menyimpan kenangan di tiap sudutnya—di batu tempat Aztara jatuh, di batang pohon tempat mereka makan siang, di cabang kecil tempat layangan nyangkut yang sempat dikira elang.

Mereka berjalan perlahan, lebih tenang, seolah memberi waktu pada diri sendiri untuk mengingat setiap detik.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu beberapa pendaki yang baru naik. Salah satunya pasangan muda yang tampak baru pertama kali mendaki bersama. Elano sempat memberi saran soal jalur licin dan kabut. Tapi setelah rombongan itu berlalu, Aztara menyenggol bahunya sambil senyum.

“Lucu ya mereka. Kayak kita, versi dulu.”

“Versi dulu? Emang sekarang kita udah tua?”

“Bukan tua… udah matang.”

Elano tertawa. “Iya, kayak mangga goreng.”

Mereka melanjutkan perjalanan sambil tertawa kecil, sesekali saling menirukan gaya pendaki lain yang mereka temui. Jalur terasa lebih cepat karena langkah mereka sudah mengenal arah. Meski lutut Aztara masih sedikit sakit, ia tetap berjalan dengan ringan, dibantu tangan Elano di beberapa titik terjal.

Saat matahari hampir di tengah langit, mereka akhirnya keluar dari hutan, tiba kembali di basecamp. Mobil-mobil mulai ramai, aroma makanan warung lokal menyeruak di udara, dan suara kehidupan kota kecil menyambut mereka kembali ke dunia nyata.

Aztara duduk di bangku kayu, meletakkan ranselnya dan menghembuskan napas panjang. Elano duduk di sebelahnya, membuka botol minum dan menyerahkannya.

“Capek?” tanyanya.

“Capek. Tapi hati enteng.”

“Jangan enteng-enteng amat, nanti hilang.”

Aztara menoleh, senyumnya pelan. “Aku udah nemu tempat pulang, kok. Jadi nggak takut hilang.”

Elano diam sejenak. Lalu dari saku celananya, ia mengeluarkan benda kecil yang sempat ia selipkan semalam di kantong jaket. Potongan kecil ranting yang ia ukir diam-diam dengan ujung pisau lipat. Di permukaannya, tertulis huruf yang tak begitu rapi: A + E, dibingkai lingkaran kecil tak sempurna.

Elano menyerahkannya ke Aztara.

“Ini bukan buat dipajang. Tapi biar kamu tahu, bahkan di tempat yang paling liar sekalipun, ada ruang kecil di mana kita bisa tinggal.”

Aztara menerima benda itu tanpa kata. Ia hanya menggenggamnya erat, lalu bersandar di bahu Elano.

Dan seperti itu, perjalanan mereka selesai. Tapi bukan kisahnya.

Karena gunung bukan sekadar tempat mereka mendaki—gunung adalah saksi, rumah sementara, ruang hening tempat dua hati menemukan arah. Dan meski kaki mereka kini kembali menapak aspal, benang merah itu tetap membentang. Tak terlihat, tapi terasa.

Bukan di awan. Bukan di langit. Tapi di antara genggaman yang tak pernah lepas sejak langkah pertama.

TAMAT.

Jadi, gimana? Udah ikut baper naik turun gunung bareng Aztara dan Elano? Cerpen ini bukan cuma soal cinta-cintaan biasa, tapi juga tentang makna kebersamaan, saling jaga, dan bikin kenangan di tempat yang nggak semua orang bisa capai.

Kalau kamu pernah atau pengen naik gunung bareng pasangan, cerita ini bakal relate banget. Dan kalau belum, siapa tahu bisa jadi inspirasi perjalanan romantismu berikutnya. Jangan lupa share ke temanmu yang doyan cerita romantis atau suka naik gunung juga, ya!

Leave a Reply