Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa kalau hidup ini terlalu berat, dan nggak ada tempat buat berbagi semua rasa lelah dan kesedihan? Nah, cerpen Di Antara Dua Senyap ini bakal ngebahas soal persahabatan yang jadi tempat berbagi, bukan cuma untuk tawa, tapi juga untuk menanggung kelelahan dan kesedihan.
Lewat perjalanan dua sahabat, Namira dan Liris, kamu bakal diajak merenung tentang arti sebuah persahabatan yang nggak hanya sekadar canda tawa, tapi juga saling jadi tempat berlindung saat dunia terasa terlalu berat. Penasaran? Yuk, baca terus dan temukan betapa indahnya punya teman yang selalu ada di setiap detik kesulitan!
Di Antara Dua Senyap
Hujan di Kota Arlina
Kota Arlina sore itu seperti lelaki tua yang lupa cara tersenyum. Langitnya kelabu, lampu-lampu jalan menyala lebih awal dari biasanya, dan hujan turun pelan-pelan—bukan deras, tapi cukup untuk membuat orang malas bicara. Bau tanah basah menyeruak di antara bangunan tua, bercampur dengan aroma bensin dan kopi instan dari kios kecil pinggir jalan.
Bus tua berwarna hijau zaitun menderu pelan saat menepi di halte depan toko buku yang sudah lama tutup. Bunyi remnya mengerang seperti keluhan panjang. Pintu terbuka, dan dua perempuan naik—satu mengenakan sweater abu-abu, yang lain jaket denim dan ransel hitam yang sudah kelihatan lelah.
Namira duduk duluan, dekat jendela. Matanya kosong. Wajahnya seperti kaca yang tak sempat dibersihkan dari embun pagi. Di sampingnya, Liris menyusul, merapatkan jaket sambil menatap luar, seolah mencari sisa-sisa hari yang bisa diselamatkan.
Suasana di dalam bus sepi. Hanya ada tiga penumpang lain, dan supir yang memutar lagu lama dari radio kecil yang nyaris mati. Lagu itu terlalu pelan untuk dikenali, tapi cukup untuk memecah sunyi.
“Kamu bawa bekal nggak?” tanya Liris tiba-tiba, suaranya pelan tapi jelas.
Namira menoleh pelan. “Bekal?” Ia mengerutkan dahi. “Liris, kita udah nggak di SMA.”
“Ya siapa tahu. Aku cuma lapar.” Liris mengangkat bahu.
Namira membuka tasnya. Hanya ada buku catatan, charger ponsel, dan bungkus permen jahe. Ia mengeluarkan satu dan menyerahkannya.
“Ini aja, cuma bisa bantu manis-manisin harimu yang asem,” gumamnya.
Liris tertawa pendek. “Lumayan. Manis dari kamu lebih ampuh dari gaji bulanan.”
Namira tidak menanggapi. Dia kembali menatap jendela, mengikuti gerimis yang melukis kaca dengan pola acak. Matanya tampak berat. Bukan karena kantuk, tapi seperti seseorang yang udah lama nahan napas.
“Kamu tidur lagi jam berapa semalem?” tanya Liris pelan.
“Jam empat. Terus bangun jam enam.”
“Pantesan muka kamu kayak donat nggak dikembangin.”
Namira cuma nyengir. Tapi senyumnya setengah hati.
Bus berbelok melewati taman kota yang sepi. Bangku-bangku basah, dan pepohonan berdiri seperti barisan penjaga yang kehilangan tuannya. Di depan toko bunga yang tutup sejak pandemi, seekor kucing duduk di balik pot besar, berlindung dari hujan.
“Aku ngerasa aneh belakangan ini,” gumam Namira akhirnya.
Liris tidak menjawab, tapi matanya melirik sebentar, menandakan bahwa ia mendengar.
“Aku ngerasa kayak semua hal tiba-tiba berjarak. Aku kerja, iya. Aku makan, iya. Tapi kayak… aku bukan aku.”
Liris mengangguk, pelan. “Capek, ya?”
“Iya. Capek banget.”
Suara hujan makin pelan, tapi udara di dalam bus justru makin berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung, belum turun, belum selesai.
Liris menggenggam permen jahe yang belum dibuka.
“Kamu masih belum cerita juga, kenapa kamu ngajak aku naik bus ke sini?” tanyanya akhirnya.
Namira menghela napas. Lama.
“Karena tempat itu masih ada,” katanya, lirih. “Tempat kita dulu… yang di taman. Aku pengen lihat lagi. Entah kenapa, aku pengen duduk di sana.”
Liris menatap ke arah jendela. Taman yang mereka lewati memang bukan tujuan mereka hari ini. Masih dua halte lagi.
“Mau pulang ke masa lalu, gitu?” tanyanya, setengah bercanda.
“Enggak. Cuma pengen istirahat dari masa sekarang.”
Jawaban itu membuat Liris diam cukup lama.
“Ya udah,” katanya akhirnya. “Kita ke sana.”
Bus kembali melaju. Lampu jalan menyorot deras ke aspal basah. Jalanan mulai lengang. Jam sibuk sudah lewat, tapi kota belum benar-benar tidur.
Dalam diam mereka, tidak ada yang benar-benar nyaman, tapi tidak juga canggung. Seperti dua orang yang sudah terlalu sering duduk bersama dalam keheningan, dan tahu bahwa itu adalah bentuk lain dari perhatian.
Liris mengusap kaca jendela dengan lengan bajunya, lalu menggambar lingkaran kecil di sana. Di tengahnya, dia menuliskan satu kata: “Masih.”
Namira melirik dan tersenyum, kali ini lebih hangat.
“Maksudnya?”
Liris menunjuk lingkaran itu. “Kita masih ada di sini. Meski semuanya udah beda. Meski kita capek. Tapi kita masih.”
Namira tidak menjawab. Tapi di matanya, ada sesuatu yang sedikit longgar. Beban yang sedikit turun dari bahu.
Hujan belum sepenuhnya berhenti. Tapi bus terus melaju. Dan di antara bangku-bangku kosong, dua sahabat itu duduk, masih bertahan di tengah hari-hari yang mulai kehilangan warna.
Di luar, langit mulai menggelap. Tapi di dalam, ada sisa-sisa hangat yang enggan padam.
Malam Ketika Liris Diam
Taman itu masih sama. Rumputnya tak lagi rapi, bangku kayu di sudut kiri sudah kehilangan satu palang, dan lampu taman berkedip-kedip seperti mata lelah yang enggan terpejam. Tapi udara di situ tetap punya aroma yang aneh—campuran tanah basah, daun pinus tua, dan sedikit nostalgia yang terlalu pekat untuk dijelaskan.
Namira dan Liris turun dari bus tanpa banyak bicara. Langkah mereka perlahan menyusuri jalan setapak yang pernah mereka lewati ratusan kali dulu, waktu masalah terbesar dalam hidup hanyalah ulangan matematika dan tugas ekskul yang lupa dikumpulkan.
Mereka duduk di bangku miring yang sama, meski kali ini tidak membawa roti tawar atau es teh dalam botol minuman bekas seperti dulu. Tidak ada tawa keras. Tidak ada cerita lucu. Hanya diam dan udara malam yang menggigit pelan.
Liris membuka ranselnya dan mengeluarkan dua bungkus gorengan yang entah kapan dibelinya. Mungkin dari kios sebelum naik bus.
“Masih hangat,” katanya, lalu menyerahkan satu bungkus ke Namira.
Namira menerimanya tanpa protes, menggigit tempe goreng yang mulai lembek, tapi tetap terasa nyaman di lidah. Mereka makan perlahan, seperti dua orang yang sedang menunda kenyataan.
Beberapa menit berlalu, sebelum akhirnya Liris berbicara.
“Kamu inget malam waktu aku datang ke rumah kamu, cuma diem doang, bawa jaket butut dan mata kayak panda?”
Namira mengangguk. “Iya. Itu malam yang aneh.”
“Aku bahkan nggak bilang apa-apa waktu itu.”
“Kamu nggak perlu bilang apa-apa, Ris.”
Liris menarik napas panjang. “Malam itu… aku pengen pergi. Sumpah. Aku ngerasa semua orang di rumah itu kayak patung. Ibuku cuma duduk di kursi ruang tamu, nonton TV yang nggak ada suaranya. Kakakku sibuk bolak-balik telepon, urus surat ini itu. Tapi nggak ada yang nanya aku gimana. Kayak aku cuma lampu taman yang mati, tapi nggak penting buat diganti.”
Namira tidak menimpali. Ia membiarkan kalimat itu menggantung.
“Aku naik angkot waktu itu, bawa uang cuma cukup buat ke arah rumah kamu. Aku bahkan nggak mikir mau nginep atau enggak. Aku cuma pengen… ada.”
Angin malam berembus pelan. Daun-daun kering menari di trotoar.
“Dan kamu ngebukain pintu. Nggak nanya apa-apa. Nggak maksa aku cerita. Kamu cuma nyalain lampu kecil di kamar, terus muter lagu-lagu lama dari CD player kamu yang sekarang entah ke mana.”
Namira mengangguk pelan. “Kayaknya waktu itu aku juga nggak tau harus ngomong apa.”
“Itu justru yang aku butuh. Bukan kata-kata. Tapi ruang. Dan kamu kasih itu.”
Sunyi mengisi jeda. Tapi bukan sunyi yang kosong. Justru sunyi yang penuh. Seperti jeda antara dua bait puisi.
Liris menyandarkan kepalanya ke punggung bangku, menatap langit yang tak menampakkan bintang.
“Kadang aku mikir,” katanya pelan, “kalau malam itu aku nggak ke rumah kamu, mungkin aku udah… ilang.”
Namira menoleh cepat. “Jangan ngomong gitu.”
“Aku nggak ngomong buat nakut-nakutin. Tapi ya… waktu itu, semuanya gelap banget.”
Namira menggenggam lututnya. Dingin mulai merayap masuk ke sela-sela lengan bajunya.
“Kalau kamu ilang waktu itu, aku juga pasti ikut ilang,” katanya pelan. “Aku mungkin nggak ngerti cara nyelamatin orang. Tapi aku tau rasanya pengen berhenti, dan nggak bisa bilang ke siapa-siapa.”
Liris tersenyum tipis. “Makanya, sekarang aku yang nyamperin kamu.”
Namira tertawa pelan. “Jadi ganti peran, ya?”
“Bukan ganti. Emang dari awal udah kayak gitu. Kita bagi beban. Kalau kamu lagi lelah, aku yang nahan sebagian. Kalau aku jatuh, kamu yang angkatin dikit. Gitu terus aja, sampai tua nanti.”
Di kejauhan, suara motor lewat sesekali, tapi tak ada yang memecah keheningan yang mereka jaga.
Namira menatap taman kosong di hadapannya, lalu memejamkan mata.
“Aku pengen istirahat dari semuanya, Ris. Dunia ini keburu tua buat aku. Tapi aku masih muda. Dan capeknya kayak nggak masuk akal.”
Liris mengangguk, mengerti tanpa perlu banyak tanya.
“Kita nggak usah buru-buru benerin semuanya, Mir. Kadang, cukup barengin orangnya dulu sampai dia kuat lagi.”
Bangku itu jadi saksi dua perempuan yang tidak sedang baik-baik saja, tapi tidak pernah saling meninggalkan. Di tengah malam yang sunyi, mereka tetap duduk di situ. Menyisihkan sebagian dari luka masing-masing, dan menyimpannya di antara gorengan yang sudah dingin, di embusan angin, dan dalam diam yang tak pernah terasa asing.
Lampu taman berkedip lagi. Tapi bangku itu tetap tegak, meski miring. Sama seperti mereka.
Senyap yang Terbagi Dua
Pagi itu kota Arlina terasa lebih cerah, meskipun hujan kemarin meninggalkan jejak yang belum sepenuhnya mengering. Namun, bagi Namira dan Liris, dunia di luar seakan tetap sama. Mereka berjalan beriringan di trotoar yang sama, seperti biasa, meski langkah mereka lebih pelan, lebih terhenti di beberapa titik.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, seperti biasa saat mereka merasa tidak perlu berbicara. Tapi ada sesuatu yang tak terlihat—sebuah keheningan yang lebih dalam, yang sudah mereka bagi dalam setiap detik pertemuan. Kadang, mereka lebih memilih untuk mendengarkan angin dan langkah-langkah yang bersentuhan dengan aspal basah.
“Gimana hari ini?” tanya Liris, akhirnya, meskipun suara itu terasa agak canggung, seolah mencari celah dalam keheningan yang tak pernah benar-benar terasa kosong.
Namira menatap ke depan, lalu menghela napas. “Aku nggak tahu, Ris. Rasanya kayak semuanya mau runtuh, tapi aku nggak tahu harus gimana.”
Liris berhenti sejenak, menoleh, dan melihat wajah Namira yang tetap terlihat datar, meskipun di balik matanya ada sesuatu yang lebih rumit dari sekadar kelelahan. Ia tahu, kalau Namira tidak bicara lebih banyak, itu berarti ia sedang berjuang dengan sesuatu yang lebih berat dari biasanya. Dan itu membuatnya merasa cemas, meski ia tak bisa membacanya lebih jelas.
“Aku nggak tau juga harus gimana ngadepin semuanya,” lanjut Liris, kali ini lebih pelan. “Tapi kamu tau, kan, kalau apapun itu, aku ada di sini.”
Namira tersenyum tipis. Itu adalah senyuman yang tidak pernah sepenuhnya lepas dari ketegangan. “Aku tahu. Aku cuma… kadang merasa nggak punya tempat untuk bernafas, Ris. Seolah setiap langkah harus dipikirin dua kali. Pekerjaan, hubungan… hidup ini jadi rumit banget.”
Liris mengangguk, mengikuti langkah Namira yang sedikit lebih cepat. Mereka terus berjalan, menembus kesibukan kota, tetapi entah mengapa dunia terasa lebih jauh dari biasanya.
“Pernah nggak kamu ngerasa kayak semua hal yang kamu lakuin, entah itu usaha atau bahkan hal-hal yang cuma kamu lakuin buat bertahan, jadi nggak ada artinya?” Namira melanjutkan, suaranya mengandung ketegangan yang lebih kuat dari biasanya.
Liris menatapnya dalam diam. “Sering banget. Tapi, mungkin itu karena kita lupa, nggak semua hal harus ada artinya. Kadang kita jalanin aja, cuma buat tetap berdiri.”
Namira tersenyum sedikit, meski lebih kepada dirinya sendiri. “Iya, aku tahu. Tapi rasanya kalau aku berhenti, semuanya kayak langsung hilang. Kayak nggak ada pegangan.”
Mereka melanjutkan perjalanan, kini lebih mendalam dalam setiap langkah. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar setelah itu. Hanya ada dua sahabat yang sudah terlalu lama berbagi ruang sunyi, berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang terlalu cepat untuk ditangkap.
Mereka berhenti di depan sebuah kedai kopi yang sudah mereka datangi berkali-kali. Tempat yang tidak banyak berubah, seperti kebiasaan mereka yang tetap ada, meski hidup sudah banyak mengubah segalanya.
“Kayaknya aku butuh istirahat sebentar,” kata Namira sambil masuk ke kedai, mencari kursi di sudut dekat jendela yang menghadap ke jalan kecil yang lengang. “Pesan yang biasa, ya?”
Liris mengangguk, lalu mengambil tempat di seberang meja.
Di luar, hujan ringan mulai turun lagi, kali ini lebih lembut. Hanya setetes-setetes yang jatuh di kaca, membentuk garis-garis tipis yang terhubung seperti aliran sungai kecil.
“Ris, gimana caranya kita tetap bertahan?” tanya Namira, suaranya terdengar lebih hampa dari sebelumnya. “Gimana caranya supaya kita nggak hilang?”
Liris menatapnya, wajahnya terkerut sejenak. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu, karena sejujurnya, ia juga sedang bertanya hal yang sama pada dirinya sendiri.
“Kadang kita nggak tahu jawabannya. Tapi yang aku tahu, kita nggak pernah benar-benar hilang. Mungkin kita cuma perlu waktu untuk lihat semuanya dari sudut yang berbeda. Mungkin, kita cuma butuh untuk berhenti sebentar dan ngerasain keheningan. Agar kita tahu, kalau kita masih ada.”
Namira terdiam, memandang cangkir kopi yang datang di depannya. Ia menatap permukaan kopi yang berkilau, seperti melihat bayangan dirinya sendiri yang samar di dalamnya.
“Gampang banget ngomongnya, Ris. Tapi rasanya aku udah terlalu jauh untuk kembali ke tempat yang aman.”
“Aku ngerti. Tapi setiap kali kamu bilang kayak gitu, aku jadi mikir. Kita udah terlalu banyak jalan bareng, dan nggak mungkin kita tiba-tiba hilang gitu aja. Kita ada, karena kita saling ngasih tempat buat tetap ada. Bahkan di saat kita nggak bisa nahan apapun.”
Liris berkata dengan tenang, namun ada keyakinan yang tersembunyi di balik setiap kalimatnya. Seperti sesuatu yang ia yakin tanpa bisa dijelaskan.
Namira memandangnya, ada ketenangan yang datang tiba-tiba, meskipun ia masih merasakan berat yang mengendap. “Mungkin kita harus berhenti berharap semuanya akan baik-baik saja, ya?”
“Bukan berhenti berharap,” Liris menjawab, “tapi berhenti terlalu keras berharap pada hal-hal yang nggak bisa kita kontrol. Kita cuma bisa jalani apa yang ada, dan percayalah, kita masih punya waktu untuk itu.”
Senyap lagi, tapi kali ini terasa lebih ringan. Tidak ada ketegangan yang membebani.
Dan di antara keduanya, saat itu, mereka tahu bahwa segala kelelahan dan kesedihan yang ada, tidak akan lagi terasa seberat dulu. Karena mereka punya satu sama lain.
Bangku Miring dan Janji Tak Terucap
Pagi itu, angin terasa lebih kencang. Tidak seperti hari-hari biasa yang biasa-biasa saja. Tapi bagi Namira dan Liris, perubahan ini tidak lebih dari isyarat bahwa sesuatu telah berubah, meskipun tidak jelas apa itu.
Mereka kembali ke taman tempat mereka sering duduk. Namun, kali ini, suasana terasa berbeda. Bangku kayu yang miring itu masih ada, dengan cat yang sudah mulai mengelupas. Tidak ada lagi suara riuh anak-anak atau gelak tawa pasangan muda yang sedang bercinta di balik semak. Taman itu, kini lebih sepi dari yang mereka ingat. Mungkin juga, mereka yang sudah berubah, bukan hanya taman ini.
Namira duduk di bangku yang sama, sementara Liris berdiri, menatap kota yang perlahan mulai terbangun dari tidurnya. Suara kendaraan yang berisik dan langkah-langkah terburu-buru manusia yang melewati mereka seperti pengingat bahwa dunia terus berputar, meski mereka sedang terhenti di sini.
“Aku gak pernah tahu kenapa kita selalu kembali ke sini,” kata Namira, matanya terfokus pada bangku yang dulu menjadi tempat mereka berbagi cerita dan kelelahan.
Liris tersenyum samar, masih berdiri di sampingnya, memeluk dadanya. “Mungkin karena di sini kita belajar lebih banyak tentang siapa kita, Mir. Dulu kita datang ke sini cuma buat cari tempat buat kabur dari semua yang bikin pusing, kan?”
Namira menunduk. “Dan sekarang…?”
“Dan sekarang, kita cuma belajar untuk jadi lebih kuat. Kadang, bukan masalah seberapa banyak kita lari, tapi seberapa banyak kita bisa berdiri setelah jatuh.”
Namira tersenyum, meskipun ada kelembutan yang sedikit tersembunyi di balik matanya yang terlihat lebih tenang. “Mungkin itu juga yang aku lupakan. Aku terlalu fokus sama semua yang salah, sampai lupa ada banyak hal baik yang harusnya aku syukuri.”
Liris duduk di samping Namira, meskipun tidak terlalu dekat. Mereka memberi ruang satu sama lain, ruang yang tak pernah ada sebelumnya. Mereka duduk dalam diam, hanya mendengarkan suara angin yang bertiup pelan, seolah mencoba menyembuhkan luka-luka yang sudah lama menganga.
“Aku masih capek, Ris. Aku masih ngerasa lelah banget.” Suara Namira terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
“Ya, itu wajar.” Liris mengangguk. “Tapi aku janji, kita nggak akan pernah lari dari semuanya. Setiap kali kita capek, kita cuma perlu satu sama lain untuk berhenti sejenak, dan terus berjalan.”
Namira menatapnya. Tidak ada kata-kata yang bisa menggantikan rasa yang mereka bagi. Setiap momen bersama mereka telah menjadi sebuah pengingat bahwa di dunia ini, ada tempat bagi mereka untuk tetap ada, meskipun tak selalu bisa menemukan jawabannya.
“Makasih, Ris,” kata Namira, suara itu lebih lembut dari sebelumnya. “Makasih udah ada di sini. Meski kita nggak pernah benar-benar tahu, kita selalu berusaha tetap ada.”
“Gak perlu terima kasih,” jawab Liris, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kita emang harus ada. Bukannya itu yang teman-teman buat, kan?”
Namira mengangguk, meskipun senyum itu tak pernah sepenuhnya menghapus kesedihan yang masih menempel. Tapi itu bukan masalah. Karena mereka sudah tahu, kadang kelelahan dan kesedihan itu bukan untuk dilawan, tetapi untuk diterima bersama.
Pagi beranjak semakin terang. Udara terasa lebih segar, meskipun ada sisa-sisa hujan yang masih meninggalkan bekas di jalan. Taman ini tidak pernah benar-benar berubah, dan mungkin, mereka pun tidak akan pernah berubah sepenuhnya. Tetapi ada satu hal yang pasti: mereka akan selalu menemukan cara untuk berbagi, bahkan dalam diam.
Di tengah sunyi yang tidak lagi terasa asing, mereka duduk, saling berbagi ruang. Tidak ada janji yang harus diucapkan, karena mereka sudah tahu bahwa persahabatan ini lebih kuat dari kata-kata. Mereka hanya perlu bertahan bersama, seperti bangku miring yang tetap berdiri meski sedikit miring.
Dan di sana, di antara keheningan yang sudah mereka bagi, mereka tahu—bahwa kadang, tak perlu janji untuk tetap ada. Cukup satu sama lain. Itu sudah cukup.
(Akhir)
Jadi, persahabatan itu bukan cuma soal kebersamaan di saat bahagia, tapi juga tentang saling mendukung dan memberi ruang saat kelelahan datang. Seperti yang bisa kamu lihat di dalam cerpen Di Antara Dua Senyap, ada kekuatan luar biasa dalam berbagi kesedihan dan saling membantu mengangkat beban.
Jika kamu pernah merasa sendirian atau lelah dengan segala yang ada, ingatlah bahwa sahabat sejati adalah tempat di mana kamu bisa menemukan kedamaian dan kekuatan untuk terus maju. Jadi, jangan ragu untuk berbagi dengan teman-teman terdekatmu. Karena di antara dua senyap, persahabatan sejati selalu menemukan caranya untuk bertahan.