Dendam Sang Pangeran: Pembalasan Anak Terbuang terhadap Raja Pilih Kasih

Posted on

Pernah ngebayangin gimana jadinya kalau seorang anak yang selalu diremehkan, dihina, dan dianggap bukan siapa-siapa tiba-tiba bangkit untuk mengambil apa yang seharusnya jadi miliknya? Ini bukan kisah tentang pangeran baik hati yang sabar menerima takdirnya—ini cerita tentang Lucien!

Anak raja yang dibuang, dipandang sebelah mata, dan akhirnya balas dendam dengan cara yang tak pernah dibayangkan siapa pun. Persiapkan diri buat masuk ke dunia penuh pengkhianatan, pertarungan, dan kudeta yang bikin jantung kamu berdebar sampai akhir!

Dendam Sang Pangeran

Bayangan di Balik Singgasana

Langit Kerajaan Veldoria merona keemasan saat matahari perlahan tenggelam di balik menara-menara istana. Dari balkon tertinggi, Raja Aldebrand berdiri tegap, mengenakan jubah kebesarannya yang berhiaskan sulaman emas. Di sampingnya, Pangeran Kael berdiri dengan bangga, tubuhnya yang tinggi tegap terlihat sempurna dalam baju zirahnya yang baru saja dibersihkan dari darah pertempuran.

Di aula utama, para bangsawan dan jenderal berkumpul, mengangkat piala anggur mereka untuk merayakan kemenangan Kael atas pemberontakan di perbatasan. Namun, di antara mereka, seorang pemuda berambut hitam legam hanya duduk diam di ujung ruangan, matanya menatap kosong ke dalam cawan peraknya. Pangeran Lucien, putra kedua raja, seperti biasa tidak dianggap.

“Kael, kamu memang pantas jadi kebanggaan kerajaan.” Raja Aldebrand menepuk bahu putra sulungnya dengan bangga. “Seorang pangeran sejati. Seorang calon raja.”

Kael tersenyum, menerima sanjungan dengan kepala tegak. Sementara itu, Lucien mencengkeram gagang cawannya lebih kuat, merasakan kehangatan anggur yang menyentuh kulitnya.

Lucien bukan anak yang bodoh. Sejak kecil, ia tahu betapa besar perbedaan perlakuan yang ia dan Kael terima. Jika Kael berlatih pedang, ayahnya akan mengawasi langsung, memberi arahan dan pujian. Jika Lucien mencoba mengangkat pedang, yang ia dapatkan hanyalah tatapan tajam dan kata-kata dingin, “Itu bukan untukmu.”

Malam itu, pesta berlangsung meriah. Musik mengalun, para bangsawan tertawa, dan Kael dikelilingi oleh para jenderal yang mengaguminya. Namun, Lucien tetap di tempatnya, seolah menjadi bagian dari perabot istana yang dilupakan.

“Lucien, kenapa kamu diam saja?” suara Kael tiba-tiba menyapa, memecah lamunannya.

Lucien mendongak. Kael berjalan mendekat dengan sebuah piala anggur di tangannya, senyum hangat tersungging di bibirnya. Namun, bagi Lucien, senyum itu bukan kehangatan seorang kakak—melainkan kebanggaan seseorang yang selalu berada di atas.

“Aku hanya tidak tertarik berpesta,” jawab Lucien datar.

Kael tertawa kecil. “Kamu selalu begitu. Kenapa tidak mencoba lebih keras? Mungkin jika kamu lebih berani, Ayah akan mulai menganggapmu.”

Seketika, darah Lucien mendidih. Ia tahu Kael tidak bermaksud menghina, tapi justru itulah yang membuatnya semakin marah. Kata-kata itu terdengar seperti nasihat, namun di telinganya, itu adalah pernyataan bahwa ia memang tak pernah diakui.

Sebelum Lucien sempat membalas, suara Raja Aldebrand menggema di ruangan.

“Kael!” panggilnya. “Besok, kita akan membahas ekspedisi berikutnya. Aku ingin kamu ikut serta lagi.”

Kael menoleh sebentar ke Lucien, lalu kembali tersenyum dan meninggalkan adiknya untuk menjawab panggilan ayah mereka.

Lucien hanya bisa duduk diam. Bukan hanya tentang ekspedisi—bukan hanya tentang takhta—tapi tentang bagaimana dirinya selalu menjadi sosok yang tak diperhitungkan.

Dan malam itu, saat seluruh istana tertidur, Lucien berdiri di depan jendela kamarnya, menatap bulan yang menggantung tinggi di langit.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik kepada dirinya sendiri,

“Waktunya berubah.”

 

Api yang Tak Terpadamkan

Udara pagi di Kerajaan Veldoria terasa dingin, namun tak sedingin hati Lucien saat ini. Di halaman latihan istana, suara dentingan pedang bergema saat para ksatria kerajaan berlatih di bawah pengawasan para jenderal. Kael berdiri di tengah lapangan, memimpin sesi latihan dengan penuh percaya diri. Tubuhnya bergerak cekatan, pedangnya menari di udara, setiap gerakannya menggambarkan keahlian yang sempurna.

Di kejauhan, Lucien memperhatikan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia berdiri di balik pilar batu, menyaksikan bagaimana para prajurit mengagumi Kael—bagaimana ayahnya berdiri di sana, mengangguk puas.

Lucien mengepalkan tinjunya.

Dia muak.

Sudah terlalu lama ia dipandang sebelah mata.

Tanpa suara, ia berbalik meninggalkan halaman latihan, menyelinap melalui lorong-lorong istana menuju bagian yang jarang dikunjungi. Di sana, di antara bayangan dinding batu, seorang pria sudah menunggunya.

“Duke Rhaegar,” Lucien menyapa pelan.

Pria itu—seorang bangsawan dengan pengaruh besar di kerajaan—menatap Lucien dengan sorot mata tajam. “Kamu sudah memikirkannya?”

Lucien mengangguk. “Aku siap.”

Duke Rhaegar menyeringai kecil. “Bagus. Kudengar Kael akan dikirim ke ekspedisi lagi dalam waktu dekat. Itu bisa jadi kesempatan emas untuk kita.”

Lucien tidak merespons, tetapi dalam hatinya, ia tahu ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Ia sudah lama menyusun rencana ini—dan kini, semuanya mulai bergerak.

Malam itu, Lucien meninggalkan istana untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan ayahnya. Ia mengenakan jubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik bayangan saat ia berjalan menyusuri jalanan gelap menuju sebuah rumah sederhana di sudut kota.

Di dalam, beberapa orang sudah menunggu. Mereka bukan bangsawan, bukan prajurit istana—mereka adalah orang-orang yang merasa dikhianati oleh raja mereka. Mantan jenderal yang disingkirkan, pedagang yang hartanya dirampas oleh pajak yang terlalu tinggi, dan rakyat jelata yang kehilangan segalanya karena kebijakan kerajaan.

Lucien berdiri di depan mereka.

“Aku tidak akan bertele-tele,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Aku tahu kalian semua ada di sini karena kalian tidak lagi percaya pada kerajaan ini. Raja Aldebrand telah buta oleh kekuasaannya, dan Kael hanya akan melanjutkan warisan itu.”

Beberapa orang bertukar pandang, ragu-ragu.

Lucien melangkah maju, menatap mereka satu per satu. “Tapi aku tidak seperti mereka.”

Ruangan itu hening.

“Aku tidak menjanjikan keadilan yang kosong, tapi aku menjanjikan perubahan. Jika kalian ingin membangun dunia di mana kalian tidak lagi diinjak, berdirilah bersamaku.”

Sejenak, tak ada yang berbicara. Kemudian, satu per satu, mereka mengangguk.

Lucien menahan senyumnya.

Benih telah ditanam.

Bulan-bulan berlalu, dan Lucien semakin tenggelam dalam persiapannya. Ia tidak hanya mengumpulkan orang-orang, tetapi juga informasi. Ia mempelajari kekuatan dan kelemahan pasukan kerajaan, mempelajari bagaimana istana bekerja, siapa yang bisa diajak bersekongkol dan siapa yang harus disingkirkan.

Setiap malam, ia bertemu dengan Duke Rhaegar dan sekutunya, menyusun strategi yang perlahan mulai terbentuk menjadi sesuatu yang nyata.

Namun, tidak semua berjalan mulus.

Suatu malam, saat Lucien kembali ke istana setelah pertemuan rahasia, seseorang menunggunya di lorong.

Kael.

“Aku tidak tahu sejak kapan kamu punya kebiasaan berjalan-jalan tengah malam,” kata Kael, menyilangkan tangan di dadanya.

Lucien menahan ekspresi wajahnya. “Hanya mencari udara segar.”

Kael menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Lucien… Aku tahu kamu tidak suka Ayah memperlakukanku lebih baik. Aku tahu kamu selalu merasa diabaikan.”

Lucien diam.

Kael melangkah lebih dekat. “Tapi, aku kakakmu. Aku tidak akan pernah mengkhianatimu.”

Kata-kata itu terdengar begitu tulus—terlalu tulus.

Lucien menatap mata kakaknya. Untuk sesaat, ada keraguan kecil dalam hatinya. Namun, kemudian ia mengingat semua perlakuan ayahnya, semua penghinaan, semua tatapan meremehkan yang ia terima sejak kecil.

Lucien tersenyum kecil. “Tentu, Kael.”

Kael menepuk pundaknya dan berlalu.

Lucien tetap berdiri di sana, matanya meredup.

Kael adalah satu-satunya di keluarga yang tidak pernah merendahkannya secara langsung.

Namun, di dunia ini, tidak ada tempat untuk kelemahan.

Lucien menarik napas panjang dan berbalik, kembali ke dalam bayangan.

Rencana sudah berjalan. Tidak ada jalan untuk mundur.

 

Malam Kudeta

Angin malam bertiup kencang, mengguncang jendela-jendela istana yang megah. Namun, tak ada yang menyadari bahwa malam ini bukan sekadar malam biasa.

Di balik tembok batu yang kokoh, di lorong-lorong yang sunyi, bayangan mulai bergerak.

Lucien berdiri di ruangannya, mengenakan baju tempur hitam tanpa lambang kerajaan. Di depan cermin besar berbingkai emas, ia menatap refleksi dirinya. Matanya tajam, rahangnya mengeras. Ini bukan lagi pangeran yang diremehkan—ini adalah pria yang siap menumbangkan segalanya.

Sebuah ketukan terdengar di pintu.

Lucien berbalik.

Duke Rhaegar masuk, diikuti oleh tiga pria lain berpakaian hitam. “Pasukan kita sudah bersiap,” katanya pelan. “Sebagian besar penjaga telah diam-diam digantikan oleh orang-orang kita. Kita hanya perlu menunggu aba-aba.”

Lucien mengangguk. “Kael?”

“Dia baru saja kembali dari patroli. Jika kita bergerak sekarang, dia tidak akan punya waktu untuk bereaksi.”

Lucien menarik napas panjang. Ini adalah saatnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil belatinya dan berjalan keluar.

Dan malam pun dimulai.

Kudeta ini dirancang tanpa celah.

Saat lonceng istana berdentang tengah malam, gerbang utama yang seharusnya dijaga ketat terbuka sedikit—cukup bagi para pemberontak yang menyamar sebagai prajurit istana untuk masuk. Mereka menyelinap di antara bangunan, menghilangkan setiap penjaga setia yang masih tersisa tanpa suara.

Di dalam, para bangsawan tidur lelap, tak menyadari bahwa sejarah sedang ditulis ulang.

Lucien melangkah melewati lorong-lorong yang sudah dikenalnya sejak kecil. Namun kali ini, ia bukan seorang pangeran yang tersesat di dalam rumahnya sendiri. Ia adalah eksekutor yang datang untuk mengambil haknya.

Duke Rhaegar berjalan di sisinya, suara langkah mereka hampir tak terdengar di atas lantai marmer yang dingin.

“Raja ada di kamarnya,” bisik Rhaegar. “Penjaganya sudah kita singkirkan. Kael—”

Sebelum ia selesai bicara, suara teriakan tiba-tiba pecah di lorong lain.

Lucien menoleh tajam.

Salah satu pemberontak jatuh ke lantai, darah mengalir dari dadanya. Di belakangnya, berdiri seseorang yang sama sekali tidak asing.

Kael.

Matanya dipenuhi amarah, pedang panjangnya berkilat di bawah cahaya obor.

“Lucien,” Kael berkata dengan suara yang lebih dingin dari es.

Lucien menatap kakaknya. Ia sudah memperkirakan ini, namun tetap ada sesuatu dalam dadanya yang terasa berat.

“Kamu melakukan ini?” Kael bertanya lagi, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

Lucien tidak menjawab.

Kael mencengkeram gagang pedangnya lebih erat. “Aku ingin percaya kalau kamu bukan pengkhianat. Aku ingin percaya kalau kamu tidak akan pernah menusuk keluargamu sendiri.”

Lucien mengangkat dagunya sedikit. “Keluarga?” katanya, suaranya tak bergetar sedikit pun. “Sejak kapan aku dianggap bagian dari keluarga ini?”

Kael tidak langsung menjawab.

Dalam sekejap, Lucien menarik pedangnya. “Aku sudah memutuskan jalanku, Kael. Jika kamu menghalangiku, kamu tahu apa yang harus kulakukan.”

Kael mengepalkan rahangnya, lalu mengambil sikap bertahan. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan ini semua, Lucien.”

Lucien tersenyum kecil. “Kalau begitu, ayo kita lihat siapa yang lebih pantas di antara kita.”

Tanpa peringatan, Kael menyerang lebih dulu. Pedangnya melesat cepat, nyaris mengenai bahu Lucien jika saja ia tidak melangkah mundur tepat waktu.

Lucien membalas dengan tikaman cepat, tetapi Kael menangkisnya dengan mudah.

Dentang logam memenuhi lorong istana saat mereka bertarung. Kael lebih kuat, lebih terbiasa dengan pertempuran terbuka. Tapi Lucien tidak bermain dengan aturan yang sama.

Kael menyerang lagi, tetapi kali ini, Lucien menghindar dengan gerakan yang lebih licin.

“Kamu selalu lebih cepat dari yang lain,” Kael mengakui di antara napasnya. “Tapi itu tidak cukup untuk menang.”

Lucien hanya tersenyum tipis. “Aku tidak perlu menang. Aku hanya perlu memastikan kamu kalah.”

Saat Kael mengayunkan pedangnya sekali lagi, Lucien dengan cepat meraih belatinya yang tersembunyi dan mengayunkannya ke arah pinggang Kael.

Kael terkejut.

Darah mulai mengalir dari sisi tubuhnya.

Lucien mundur selangkah, menatap kakaknya yang berlutut, memegangi lukanya dengan ekspresi tak percaya.

“Kamu…” Kael terengah-engah. “Benar-benar menusukku.”

Lucien menghela napas. “Aku sudah memperingatkanmu.”

Kael menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya, ada kesedihan di matanya. “Kamu tidak perlu melakukan ini…”

Lucien merasakan sesuatu mengganjal di dadanya. Tapi ia tidak bisa berhenti sekarang.

Langkah kaki mendekat.

Duke Rhaegar muncul dari bayangan, menatap Kael yang terluka dengan ekspresi puas. “Bagus,” katanya pada Lucien. “Sekarang, kita harus menyelesaikan yang terakhir.”

Lucien mengalihkan tatapannya dari Kael yang masih terhuyung dan mengangguk.

Masih ada satu hal yang harus ia lakukan.

Pintu kamar Raja Aldebrand didorong terbuka dengan kasar.

Raja yang dulu begitu berkuasa kini duduk di kursinya, terbangun oleh keributan di luar. Matanya menyipit saat melihat siapa yang datang.

“Lucien?”

Lucien melangkah masuk, diikuti oleh Duke Rhaegar dan beberapa prajurit pemberontak.

Aldebrand mengamati putranya dengan tatapan penuh kehati-hatian.

“Jadi ini akhirnya,” katanya pelan.

Lucien tidak menjawab. Ia hanya menatap ayahnya—seseorang yang seharusnya membesarkannya dengan bangga, tetapi seumur hidup hanya melihatnya dengan kekecewaan.

Aldebrand menghela napas, lalu berdiri. “Kamu pikir dengan menjatuhkanku, semuanya akan berubah?”

Lucien mencengkeram pedangnya lebih erat. “Aku tidak berpikir, Ayah. Aku tahu.”

Raja itu menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Kamu memang anakku.”

Lucien tidak ragu lagi.

Dengan satu tebasan, sejarah kerajaan pun berubah selamanya.

Dan bayangan akhirnya mengambil alih singgasana.

 

Takhta dalam Bayangan

Matahari baru saja terbit di ufuk timur, tetapi istana Kerajaan Veldoria telah dipenuhi oleh warna merah pekat. Darah menggenang di lorong-lorong yang dahulu bersih berkilau. Prajurit pemberontak berdiri di antara tubuh-tubuh yang tak lagi bergerak, sedangkan para bangsawan yang selamat berlutut di aula utama, menunggu vonis dari penguasa baru mereka.

Lucien berdiri di puncak tangga utama, menatap ke bawah. Matanya menelusuri pemandangan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan—sebuah istana tanpa Raja Aldebrand, tanpa bayang-bayang Kael yang selalu lebih unggul darinya.

Namun, perasaan puas yang ia harapkan tidak datang.

Duke Rhaegar berdiri di sisinya, menatap dengan senyum puas. “Kamu telah berhasil, Yang Mulia,” katanya, suaranya penuh kemenangan.

Lucien tak menjawab.

Ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Takhta kini kosong, dan semua yang menentangnya telah disingkirkan.

Namun, di antara semua yang telah jatuh, masih ada satu yang bertahan.

Kael.

Lucien berjalan menuju salah satu ruang perawatan istana. Di dalamnya, Kael duduk di atas ranjang, tubuhnya masih lemah dengan perban melilit luka di pinggangnya. Tatapan matanya tak lagi berapi-api seperti sebelumnya—tetapi juga tidak redup.

Kael menoleh saat Lucien masuk, lalu tersenyum kecil. “Aku kira kamu akan membiarkan mereka menghabisiku semalam.”

Lucien mendekat, menatap kakaknya dengan ekspresi sulit ditebak. “Aku seharusnya begitu.”

Kael tertawa pelan. “Tapi kamu tidak melakukannya.”

Lucien tak langsung menjawab. Ia menarik kursi dan duduk di seberang Kael, menyandarkan tubuhnya ke belakang. “Kamu akan pergi dari sini. Malam ini juga.”

Kael menatapnya dengan alis terangkat.

Lucien melanjutkan, “Aku sudah menyiapkan kuda dan beberapa perbekalan. Pergilah sejauh yang kamu bisa. Jangan kembali.”

Kael terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. “Jadi ini belas kasihan seorang raja?”

Lucien tidak tertawa. “Bukan belas kasihan. Aku hanya tidak ingin melihat wajahmu lagi.”

Kael menatap adiknya dalam-dalam, lalu menghela napas. “Kamu tahu, Lucien… Kamu mungkin berhasil merebut takhta, tapi aku ingin melihat apakah kamu bisa mempertahankannya.”

Lucien tidak menanggapi.

Kael tersenyum miring. “Aku akan pergi, seperti yang kamu mau. Tapi ingat satu hal… aku tidak akan melupakan ini.”

Lucien bangkit, menatap kakaknya untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan.

Kael tetap diam, hanya menatap ke jendela. Ada sesuatu di matanya yang tak bisa diartikan—bukan kebencian, bukan dendam… tetapi harapan bahwa suatu hari, mereka akan bertemu lagi.

Dan mungkin, saat itu terjadi, keadaan akan berbeda.

Malamnya, Lucien duduk di ruang tahta yang selama ini hanya bisa ia impikan. Kursi besar di hadapannya kosong, tetapi ia tahu bahwa saat ia duduk di sana, semuanya akan berubah.

Duke Rhaegar berdiri di sampingnya. “Semua siap untuk penobatan besok, Yang Mulia.”

Lucien menatap kursi itu lama.

Ia telah mengorbankan segalanya untuk sampai ke sini.

Tapi kini, ia menyadari sesuatu.

Takhta itu lebih dingin dari yang ia bayangkan.

Lucien menarik napas, lalu perlahan melangkah menuju kursi raja.

Ia duduk.

Dan saat itu, ia menyadari bahwa perjuangan sejati baru saja dimulai.

 

Lucien akhirnya duduk di takhta yang selama ini ia incar, tapi apa benar dia menang? Atau ini justru awal dari kisah yang lebih kelam? Kadang, mendapatkan apa yang kamu mau bukan berarti kamu akan bahagia.

Dan bagi Lucien, kemenangan ini mungkin bukan akhir, tapi pintu masuk ke dunia yang lebih kejam dari yang pernah ia bayangkan. Jadi, kamu siap buat melihat apa yang akan terjadi setelah ini?

Leave a Reply